You are on page 1of 60

Aqidah Islamiyah

AQIDAH ISLAMIYAH
Katakanlah : Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. (QS Al Ikhlas: 1-2)
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir,
kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah.
Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang
bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan
kenyataan (fakta), yang muncul dari adanya dalil/bukti.
Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya
tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan fakta
artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan
diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Al Quran,
wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan
tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya
tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli
dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara
itu masih dalam jangkauan panca indera/akal, maka dalil
keimanannya bersifat aqli, tetapi jika di luar jangkauan panca
indera, maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu
diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga
ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil
naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan
mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai
sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah
pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini,
Imam Syafi'i berkata1:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf
adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti
berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam
kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada
Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap
hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra
dan ini
merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam
bidang ushuluddin."

Peranan Akal dalam Masalah Keimanan


Akal manusia mampu membuktikan keberadaan
hal berada di luar

sesuatu

Lihat "Fiqhul Akbar", karangan Imam Syafi'i hal. 16

Aqidah Islamiyah

jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk


atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy
(orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya "Dengan apa
engkau mengenal Rabbmu ?" Jawabnya :
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki
menunjukkan pernah ada orang yang berjalan."

Oleh karena itu, ayat-ayat Al Qur'an adalah bukti eksistensi/


keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara mengajak manusia
memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, jika akal diajak
untuk mencari Dzat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya,
seperti firman-Nya:

"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tandatanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada
penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran
(di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
meyakini." (QS Al Jaatsiyat: 3-4)

Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang


manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat
Allah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya.
Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila
ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian)
menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu
fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengirangira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'im dalam
"Al Hidayah" ; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat


khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah
melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya,
dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa
diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi
apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua,
bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkanNya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang
menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk,
maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits
tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih
baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di
luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat,
2

Aqidah Islamiyah

tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata2:


"Para sahabat berbeda
pendapat
Padahal mereka itu adalah ummat yang
Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah
satu sama lainnya dalam menghadapi
perbuatan

dalam
dijamin
terlibat
asma

beberapa masalah.
sempurna imannya.
bertentangan faham
Allah, perbuatan -

Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al


Qur'an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak
memalingkan pengertiannya."

Ketika kepada Imam Malik3 ditanyakan tentang makna


"persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan
bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik
mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga
kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan
mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah
bid'ah/ salah."
Dalil Naqli dalam Hal Aqidah Haruslah Mutawatir

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa aqidah


haruslah tashdiiqul jazm yang artinya pembenaran dengan pasti.
Pembenaran dengan pasti ini berarti tidak boleh ada keraguan
sedikitpun dalam mengimaninya (harus utuh/seratus persen) dan
tidak boleh ada kekurangan sedikitpun (misal 99,99%). Hal ini
diharuskan karena dalam masalah aqidah/keimanan berarti
menyangkut iman atau kafir. Apabila ada sedikit saja keraguan
dalam dalam hal aqidah/keimanan (mis. keberadaan Allah), maka
sesungguhnya keimanannya sudah dapat dikatakan rusak atau
bahkan kafir. Untuk itulah dalam masalah aqidah/keimanan ini
pun dalil naqli yang digunakan juga haruslah kuat dan qathi
(pasti) serta tidak memberi peluang sedikitpun untuk ada
keraguan di dalamnya.
Al Quran adalah sebuah kitab yang sudah dapat dipastikan
membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan qathi. Selain itu, Al
Quran juga disampaikan secara mutawatir. Hal ini menjadikan
kebenaran Al Quran adalah qathi/jazm serta sedikitpun tidak
ada keraguan untuk mengimaninya. Dengan demikian
penggunaan Al Quran untuk dalil naqli dalam masalah aqidah
tidak dapat diragukan lagi.
Berbeda dengan Al Quran, Al Hadits ada kalanya
2

Lihat buku "I'llamul Muwaaqi'in", jilid 1, halaman 5.

Lihat "Fathul Baari", jilid XII, halaman 915.

Aqidah Islamiyah

disampaikan secara mutawatir, adakalanya juga disampaikan


secara ahad. Hadits Mutawatir artinya bahwa hadits tersebut
disampaikan oleh para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin dalam
jumlah tertentu dalam setiap thabaqat-nya (generasi). Setiap
thabaqat itupun periwayat yang membawanya haruslah
mempunyai syarat-syarat yang akan menjadikan hadits
mutawatir ini bersifat qathi, tidak dzann, sehingga kebenarannya
seratus persen dan tidak dapat diragukan lagi. Adapun beberapa
syarat dari hadits Mutawatir itu antara lain sebagai berikut:
a. Hadits yang disampaikan harus diterima langsung oleh
perawi dengan pendengaran dan penglihatan langsung pada
periwayat sebelumnya.
b. Jumlah rawi tiap tabaqatnya (sahabat, tabiin dan tabiit
tabiin) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan
mereka bersepakat bohong. Jumlah ini harus seimbang tiap
thabaqatnya4.
c. Untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin
berbohong baik
sengaja maupun tidak, maka haruslah mempunyai sifat adil,
sempurna ingatan
(hafalan kuat), dan beberapa syarat yang lain.
Akan halnya hadits ahad, hadits ini kekuatannya tidak bisa
dipastikan seratus persen (qathi) serta masih mengandung
dzann, baik sedikit maupun banyak. Jumlah perawinya pun lebih
kecil dari hadits mutawatir dengan kondisi dan syarat-syarat
tidak seketat hadits mutawatir. Hal inilah yang menjadikan hadits
ahad bersifat tidak qathi (pasti kebenarannya) sehingga walau
sedikit masih mengandung unsur keragu-raguan (dzan)5. Seperti
telah diketahui sebelumnya bahwa dalam masalah aqidah tidak
boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Oleh sebab itu
hadits ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus
untuk masalah aqidah, namun tetap dapat digunakan untuk
masalah selain aqidah tergantung kekuatan hadits ahad
tersebut6.
Kerusakan Aqidah Ummat Islam Akibat Filsafat Yunani
4

Beberapa ulama yang memberi batasan minimal tersebut antara lain Taqiyyuddin (min. 5
orang), Abut-Thayyib (min. 4 orang), Ash-habusy-SyafiI (min. 5 orang) bahkan ada yang
menetapkan minimal 20 hingga 40 arang

Beberapa jumhur ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah al-Hafidz Ibnu
Hajar, Imam Asnawiy, Imam Baidawiy, Imam Nawawiy dan Imam Al Ghazali.

Tidak dipergunakannya hadits ahad dalam masalah aqidah berbeda pengertiannya dengan
menolak keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Karena menolak
keberadaan hadits ahad sebagai salah satu sumber hukum Islam berarti menolak sama
sekali hadits ahad untuk dipergunakan dalam masalah apapun. Sedangkan menolak
kehujjahan hadits ahad hanya dalam masalah aqidah berarti masih mengakui keberadaan
hadits ahad sebagai hujjah dan salah satu sumber hukum Islam, hanya saja dalam hal
selain aqidah, misalnya syariah, karena sekali lagi, dalam hal aqidah harus ada kebenaran
seratus persen dan tidak boleh ada keraguan sedikitpun.

Aqidah Islamiyah

Sebagian ulama khalaf (Mutaakhirin), terutama ahli ilmu


kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh
ulama salaf. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian.
Karenanya, mereka lalu menta'wilkan suatu Al Wahyu yang
termasuk mutasyabihat (tidak dijelaskan rinci oleh Allah dan
Rasul-Nya, a.l. tentang sifat dan perbuatan Allah SWT), sesuai
dengan kehendak akal, padahal semua itu berada diluar
kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar
mantiqi (logika) untuk membahas hal-hal seperti bergeraknya
Allah, Allah turun ke langit, hubungan antara sifat dengan Dzat
Allah, dll.
Meski ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai
dengan apa yang telah diturunkan Al Quran, tetapi mereka
masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalildalil syar'i. Namun mereka telah mencoba menggunakan akal
untuk memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para
filosof Yunani terdahulu, tanpa kembali pada ketentuan Al Wahyu
dan contoh Rasulullah SAW. Mulailah mereka melontarkan
kembali masalah-masalah klasik, seperti wihdatul wujud dll.
Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan filosof) telah
meragukan umat terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan
masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan
mengeluarkan sebagian kaum muslimin dari Islam. Karenanya
aqidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu mantik atau filsafat agar
tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber aqidah hanyalah
Al Qur'an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan
adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli
dan naqli) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW,
jauh sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani)
dan ajaran-ajarannya.

PROSES KEIMANAN
Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana
ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan
5

Aqidah Islamiyah

gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi,


bagaimana ia dihamparkan? (QS Al Ghasyiyah: 17-20)
Uqdatul Kubro
Di saat manusia beranjak dewasa yang ditandai oleh
kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir
tentang keberadaan-nya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang
beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu, bahkan harus
ia jawab. Jawaban tersebut akan menjadi landasan kehidupan
pada masa-masa selanjutnya. Selama masalah ini belum
terjawab, selama itu pula manusia seolah tersesat tanpa tujuan
jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena
sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan
mendasar ini sering disebut sebagai Uqdatul Kubro
(masalah/simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa :
- dari manakah manusia dan kehidupan ini ?
- untuk apa manusia dan kehidupan ini ada ?
- akan kemana manusia dan kehidupan setelah ini ?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki
landasan
kehidupan
sekaligus
tuntunan
dan
tujuan
kehidupannya, - terlepas dari jawabannya benar atau salah.
Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan landasan tersebut,
berekonomi dan berbudaya berdasar landasan itu, bahkan ia
akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti landasan
tersebut.
Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul
kubra dengan jawaban
kehidupan dunia ini ada dengan
sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan
kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup
untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup,
maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri,
dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan
berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai
kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan
kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat,
pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka.
Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab
dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang
mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas /
amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain

setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di


dunia, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya,
berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan
6

Aqidah Islamiyah

Penciptanya. Standar baik buruk berdasarkan aturan Sang


Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia
pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Demikian gambaran ringkas tentang landasan kehidupan
seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban
uqdatul kubro manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang
benar terhadap masalah ini?
Pemecahan Shohih Uqdatul Kubro
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban
tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya.
Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak
lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan
(3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan
obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan
terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh
tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan
ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan
dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir
yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal,
menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Proses
pencarian keshahihan dari uqdatul qubra itu adalah sebagai
berikut:
1. Proses keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta)
Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan
kehidupan ini ada Al Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan
semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Kholiq itu bersifat
wajibul wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk karena
sifatnya sebagai Sang Pencipta memastikan bahwa diri-Nya
bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya
Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai
berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau
oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam
semesta dan kehidupan. Ketiga unsur inii bersifat terbatas
dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan
dirinya sendiri-peny), serba kurang dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa terbatas
sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung
terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang
tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat
terbatas, mulai dari ketiadaannya sampai batas waktu yang
tidak bisa dilampauinya lagi. Begitu pula halnya dengan
kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab
7

Aqidah Islamiyah

penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan


apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan
itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas
kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja.
Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat terbatas.
Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya
terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat

terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam


semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki
batas awal dan akhir keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala
hal tersebut tidak azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab
apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak
boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan
adanya sesuatu yang lain. Dan sesuatu yang lain inilah
dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan manusia, kehidupan
dan alam semesta.
Dalam menentukan sifal Al Kholiq (Pencipta) ini tentu saja
hanya ada tiga kemungkinan.
a. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran
aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa
kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat
diterima oleh akal). Sebab apabila Ia diciptakan oleh yang lain
maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh
kepada yang lain untuk mengadakannya.
b. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua
ini pun bathil juga. Karena dengan demikian ia akan menjadi
makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak
dapat diterima oleh akal.
c. Ketiga, Ia bersifat azali, wajibul wujud dan mutlak
keberadaannya. Setelah dua kemungkinan di atas dinyatakan
bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya
kemungkinan yang ketigalah yang shohih, yakni Al Kholiq itu
tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud
serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal
hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat
diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda
itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan
memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba
kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan kepada yang
8

Aqidah Islamiyah

lain, maka semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk


membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha Pengatur,
sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu
yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri
manusia itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Quran senantiasa
melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di
sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk mengamati
segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan
dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab
dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu
pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah
yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada
keraguan. Di dalam Al Quran telah dibeberkan banyak ayat yang
berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih


bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang
yang berakal. (QS Ali Imran: 190)

Juga firman-Nya :

(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya


langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu. (QS
Ar Rum: 22)

Serta firman-Nya yang lain seperti QS Al


Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7, atau juga
firman-Nya berikut yang artinya :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya


malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan
yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
9

Aqidah Islamiyah

terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang


memikirkan. (QS Al Baqarah: 164)

Masih banyak lagi ayat sejenis yang mengajak manusia untuk


memperhatikan benda-benda alam, serta melihat apa yang ada
disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas adanya Sang
Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada
Allah SWT menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al
Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Penciptaan

Sebelum dunia
ADA PENCIPTA

Dibangkitkan

Saat di dunia
UNTUK IBADAH
KEPADA ALLAH

Setelah mati
ADA SAAT
PEMBALASAN
SETELAH MATI

Perintah/Larangan

Hisab

Skema Pemecahan Shohih Uqdatul Qubro


Sifat Fithri Keimanan
Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini
merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan
tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang
ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman
akibatnya serta tidak akan membawa suatu ketetapan/keyakinan
apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal). Sebab
perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap
apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan
mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim
terhadap apa
yang
ia
imani
sehingga
dapat
menjerumuskan ke arah kekufuran dan
kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong),
tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu
Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya
jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan
perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk
menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta
10

Aqidah Islamiyah

melarang bertaqlid dalam urusan aqidah. Untuk ini Islam telah


menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada
Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih


bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal. (QS Ali Imran: 190)

Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk


menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir,
penelitian, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam
beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
Batas akal dalam memahami Al Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya
dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya
untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indra dan
akalnya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas,
sehingga pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat
Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur
pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta,
manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan :
Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah
SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat
Allah?. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada
hakekatnya
iman
itu
adalah
percaya
akan
adanya
(wujud/keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud Allah ini dapat
dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam
semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam
batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami
adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada
adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal.
Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal
ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya diluar jangkauan
kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin
memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya,
disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari
akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan
menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari
fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh
akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu
keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu
pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas
11

Aqidah Islamiyah

semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan


meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami
hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.

2. Proses keimanan terhadap Rasul


Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para
rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai mahluk
Allah SWT yang bersifat terbatas, akal
dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama
itu sebagai suatu hal yang fithri dalam diri manusia, karena ia
merupakan salah satu fithrah pen-taqdis-an (pengagungan dan
pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu manusia
senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan
inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan
tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila
hubungan inii dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung
terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya
penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya.
Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini
dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak
manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al
Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu
diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat
meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta.
Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta harus
sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada
para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat
manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah
bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan
jasmani dan gharizah (nalurinya) merupakan hal yang mutlak
diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan
akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta
menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada
aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan
jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak
manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan
kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan,
perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang
didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah
SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah
melalui seorang rasul.

12

Aqidah Islamiyah

3. Proses Keimanan terhadap Al Quran Kalamullah


Adapun bukti yang sangat mudah bahwa Al Quran itu
datang dari Allah SWT, dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa
Al Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya
menentukan dari mana asal Al Qur'an itu, dapat kita buktikan
dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu,
tidak ada yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
a. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa
Al Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu
kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an
sendiri
menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya
yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :

Katakanlah: Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.


(QS Hud: 13)

Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan maka coba


datangkan sebuah surat yang menyamainya. (QS Yunus: 38)

Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya


yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al
Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena
ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang
serupa.
b. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan
bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah
kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah
orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia
sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota
dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu
menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula
apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak
mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al
Qur'an, bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya haditshadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang
bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun
dalam Al Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan
13

Aqidah Islamiyah

dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari


orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari
segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya
seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam
pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya
bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena
tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan
gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan
perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan
pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka
lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu di sadur oleh Muhammad
SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu
ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:

(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata,


Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka
tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa
ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang
jelas. (QS An Nahl: 103)

Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan


karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al
Qur'an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi
mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada
kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al
Qur'an itu berbahasa Arab.
c. Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan
pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini
hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Quran itu
adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara
tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus
membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah
karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali
seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al
Quran) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang
dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada
kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an,
bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah.

14

Aqidah Islamiyah

Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al


Quran
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan
memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi
dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan
segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah
beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat ketuhanan
itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja
yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal
maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan
pengumpulan (baats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga
beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja
yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qathi. Iman seperti
ini walaupun didapat dengan jalan mengutip (naql) dan
mendengar (sama), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti
oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar
kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh
akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal
serta nash Al Qur'an dan hadist qathi (mutawatir), haram
baginya untuk mengitiqadkannya. Sebab aqidah tidak boleh
diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum
dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya;
serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat.
Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (shilah)
antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu
hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi tali
penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia
(shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh
tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam
kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beritiqad
bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat
atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih
tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan
manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang
alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya
terdapat tali penghubung antara dunia dengan kedua alam
tersebut. Dengan demikian telah terurailah masalah besar itu
secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat
beralih memikirkan
kehidupan
dunia
serta
mewujudkan
mafahim yang benar (terhadap
dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut.
Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu
prinsip ideologis kehidupan (mabda) yang membentuk jalan
15

Aqidah Islamiyah

menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan


menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh)
suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan
hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan negaranya.
Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh
(ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/ metode
pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri. Allah SWT
berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah


dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja
yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan
Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya
kesesatan. (QS An Nisa: 136)

Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti
kebenarannya, maka wajib pula beriman kepada Syariat Islam
(sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini
tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah
SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar
terhadap hukum-hukum syara secara keseluruhan atau
sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukumhukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi),
ataupun mathumat (yang berkaitan dengan makanan). Maka
kufur terhadap ayat:
Dirikanlah shalat..

sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba. (QS Al Baqarah: 275)

Atau terhadap ayat :


Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah
tangan keduanya. (QS Al Maidah: 38)

Atau ayat :

16

Aqidah Islamiyah

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan


(hewan yang disembelih atas nama selain Allah. (QS Al Maidah: 3)

Dengan demikian, iman terhadap syariat sebenarnya tidak


berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan
mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana
firman-Nya :

Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman


sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim
(pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan
yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan
sepenuhnya. (QS An Nisa: 65)

Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia tergantung dari landasan kehidupan
(aqidah)nya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan
mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus
diarahkan kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki
pandangan hidup yang benar dan mendorongnya berbuat sesuai
dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar tadi.
Pemahaman aqidah ini selalu ada dalam diri suatu manusia,
umat atau kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu
kaum agar bangkit, aqidah inilah yang harus diubah terlebih
dahulu. Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum


sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.
(QS Ar Rad: 11)

Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan membentuk


pemikiran yang benar dan jernih tentang aqidah yang shohih
yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat
dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang
benar tentang pemecahan simpul pada masalah besar (Uqdatul
Kubro) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah
teruraikan, maka terurai pula masalah yang lainnya, sebab hanya
merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi. Oleh
karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan
kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu
17

Aqidah Islamiyah

memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar,


yakni dengan aqidah yang benar.
Islam telah menangani masalah besar ini. Dipecahkannya
untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan
fithrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa.
Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah,
yang mengatakan bahwasanya dibalik alam semesta,
manusia dan kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq)
yang telah menciptakan ketiganya, dan yang
telah menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah
Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini
telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada.
Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk,
karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diriNya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa ia mutlak
adanya. Segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diriNya, sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.

IMAN KEPADA MALAIKAT


Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para
malaikat : Sujudlah kamu kepada Adam, maka
sujudlah mereka. (QS Al Baqarah : 34)
Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli; sebab akal
tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan
malaikat. Dalil syara tentang adanya malaikat berasal dari Al
Quran dan sunah Rasul, diantaranya adalah firman Allah SWT :

Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sungguh-sungguh)


kepada Allah dan Rasul-Nya dan (kepada) kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (ketahuilah
bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS An-Nisa: 136)

Malaikat dan Asal Usul Kejadiannya


Malaikat diciptakan Allah sebelum jin, manusia dan alam
semesta. Adapun asall kejadian mereka, sesungguhnya Al Quran
tidak merincikannya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa malaikat itu
18

Aqidah Islamiyah

dijadikan dari cahaya (nur), tanpa menerangkan bagaimana


karakteristik (bentuk) cahaya (nur) tersebut. Oleh karena itu,
dzat malaikat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dijangkau
akal, karena ia berada di luar jangkauan panca indera dan akal
manusia. Tetapi wujudnya pasti, yang menurut penjelasan Al
Quran, mereka berada di langit dan di bumi dan saling
berpindah tempat di antara keduanya.
Tugas-Tugas Malaikat
Al Quran dan sunnah Rasul telah menunjukan berbagai
tugas malaikat yang bekerja menurut perintah dan seizin Allah
untuk mengatur apa yang ada di langit dan bumi serta apa yang
ada dan terjadi di antara keduanya. Misalnya, ada yang
ditugaskan untuk mengatur peredaran matahari, bulan dan
bintang, mengatur peredaran awan dan turunnya hujan,
mengatur terjadinya proses pembentukan janin di dalam rahim.
Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi setiap
manusia, menghitung dan menulis amal usaha manusia. Selain
itu, ada pula
yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, bertugas di jahannam
dan jannah, dan tugas-tugas lainnya. Jadi, para malaikat adalah
tentara Allah yang paling banyak dari segi kuantitas dan paling
banyak dari segi tugas-tugasnya. Inilah tentara yang paling
agung. Sebab merekalah yang mengatur alam semesta dengan
izin Allah. 7
Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : 8
Tentang tugas-tugas malaikat, Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyah mengatakan :
Allah telah mewakilkan para malaikat untuk mengatur langit
dan bumi. Mereka (para malaikat itu) bekerja dengan seizin dan
atas perintah Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT di dalam Al
Quran kadang menyebutkan bahwa pengaturan tersebut
diserahkan kepada malaikat, seperti firman-Nya :
Demi para malaikat yang mengatur urusan alam (QS An
Naziaat: 5)

Atau terkadang tugas-tugas pengaturan seperti itu dikaitkan


(bersangkut langsung) terhadap Allah, seperti firman-Nya:

Kata-kata yang digarisbawahi, upaya untuk menghindari salah menafsirkan seolah-olah


malaikat-lah yang mengatur segala sesuatunya.

Lihat Ikhsyatul-lahfan min Masyaidsy Syaithan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Jilid II
halaman 125-128, 130-132.

19

Aqidah Islamiyah

Sesungguhnya Rabbmu adalah Allah yang menciptakan langit dan


bumi dalam enam hari, kemudian ia bersemayam di atas Arsy untuk
mengatur segala urusannya (QS Yunus: 3)

Juga perhatikan firman-Nya yang lain:

Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit


dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang
mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab Allah. Maka
katakanlah: Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)? (QS
Yunus: 31)

Jadi Allah-lah pengatur alam ini dengan perintah (izin) dan


kehendak-Nya, sedangkan malaikat mengatur alam ini hanya
menjalankan atau melaksanakan perintah saja. Perhatikan firman
Allah SWT:

Sehingga bila datang kematian pada salah seorang diantaramu,


lalu utusan-utusan Kami mewafatkannya, sedangkan para utusan
(malaikat Kami) itu tidak (pernah) lengah. (QS Al Anaam: 61)

Ibnu Qayyim lebih lanjut menjelaskan:


Sesungguhnya para malaikat yang bertugas dengan izin
Allah untuk mengatur urusan manusia sejak terjadinya proses
pembuahan di dalam kandungan, sampai matinya manusia.
Merekalah
yang
ditugaskan
untuk
memproses
dan
mengembangkannya tahap demi tahap sampai kepada bentuk
manusia yang sempurna. Mereka jugalah yang menjaga ketika
janin itu masih berada dalam tiga lapisan (chorion, alantion, dan
amnion) di dalam kandungan. Mereka yang mencatat rezekinya,
amal, ajal, sengsara, bahagia dan mengikuti manusia dalam
setiap keadaan, serta mencatat perkataan dan pebuatannya.
Mereka melindunginya sewaktu manusia hidup dan mencabut
nyawanya serta menghantarkan nyawa itu kembali kepada Allah
yang menciptakannya.
Kitabullah dan sunnah menyebutkan jenis malaikat yang
ditugaskan mengatur urusan makhluk-makhluk yang diciptakan.
Allah telah menugaskan sebagian malaikat-Nya untuk membawa
awan dan menurunkan hujan. Jadi malaikat adalah tentara Allah
yang paling agung.
20

Aqidah Islamiyah

Beliau menyebutkan ayat-ayat Al Quran mengenai hal ini


(baca QS Al Mursalat 1-5; An Naziat 1-5; As Shaffat 1-3) 9.
Tingkatan, Tugas dan Wewenang diantara Malaikat
Mengenai tingkatan tugas dan wewenangnya, Al Quran
menyebutkannya sebagai berikut:
Malaikat Jibril adalah pimpinan umum dan sangat terkemuka
diantara para malaikat. Dialah utusan Allah bagi seluruh nabi dan
rasul untuk menyampaikan wahyu dan petunjuk lainnya. Ia
sangat perkasa, punya kekuatan yang luar biasa seperti
mengarungi angkasa yang maha luas hingga Sidratul Muntaha
(berada di langit ke tujuh) sampai kembali ke bumi ketika
memimpin dan menuntun perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad
SAW. Ia dipatuhi oleh bawahannya, pemimpin yang bijaksana dan
sangat dipercaya Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan firman
Allah:

Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa


oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang
mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, pemilik Arsy, yang ditaati di
sana (alam malaikat) lagi dipercaya (QS At Takwir: 19-21)

Malaikat yang diserahi tugas mengatur pembagian rezeki


semua makhluk di seluruh alam adalah Malaikat Mikail; seperti
diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Thabarani
dan
Baihaqi10 dengan sanad yang hasan:
Ketika Rasulullah bertanya kepada Jibril, apa tugas malaikat
Mikail? Jibril menjawab: (Ia ditugaskan untuk mengatur) tumbuhtumbuhan dan hujan.

Malaikat Israfil ditugaskan meniup sangkakala (ashshur). Ia


senantiasa meletakkan mulutnya pada tempat peniupan
sangkakala, sebagai tindakan berjaga-jaga jika mendadak ada
perintah dari Allah. Beginilah contoh kepatuhan para
malaikat kepada Allah. Entah berapa juta tahun keadaan seperti
demikian, namun Ia tetap setia kepada tugasnya. Peniupan
sangkakala itu dilakukan dua kali, seperti yang diceritakan dalam
ayat Al Quran:

(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang berada


di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup
9

Lihat buku Mahluk-mahluk halus Menurut Al-Quran HM. Ali Usman, 38-49

10

Lihat buku Syuabul Iman Oleh Imam Thabrani dan Baihaqi

21

Aqidah Islamiyah

sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu


(putusannya masing-masing). (QS Az Zumar: 68)

Malaikat yang bertugas mencabut nyawa (roh) makhluk


hidup (bila telah tiba ajalnya) adalah Izrail; seperti ditegaskan Al
Quran:
Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawa)mu akan mematikan kamu. Maka hanya kepada Rabbmu kamu
pasti dikembalikan. (QS As Sajadah: 11)

Keterangan-keterangan lain didapat dari Al Quran dan


sunah, antara lain:

(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya (RaqibAtid), seorang duduk di kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS Qaaf: 17-18)

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu


dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu
(berhala); penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At
Tahrim: 6)

Iman kepada malaikat, meskipun berdasarkan kepada dalil


naqli, namun pada hakekatnya, keberadaannya wajib diyakini
karena penukilannya bersumber dari sesuatu yang secara akal
sudah dipastikan kebenarannya, yakni Al Quran dan As Sunnah.
Dengan keimanan yang utuh terhadap malaikat, seorang
Muslim akan berhati-hati dalam berbuat, karena ia yakin sang
malaikat akan senantiasa mencatat amal baik dan buruknya.
Selain itu, iapun akan lebih berani dan optimis dalam mengarungi
kehidupan, khususnya dalam mengemban dakwah, karena ia
yakin selalu dikawal oleh tentara Allah yang perkasa, yakni
para malaikat.

IMAN KEPADA KITABULLAH


22

Aqidah Islamiyah

Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi


mereka yang bertaqwa. (QS Al Baqarah: 2)
Seorang muslim beriman dan yakin kepada segala hal
yang diturunkan dan diwahyukan oleh Allah SWT, baik
berupa kitab maupun yang difirmankan-Nya kepada beberapa
rasul berupa shuhuf (lembaran).
Kitab-kitab yang berasal dari Allah SWT ada empat
macam, yaitu Al Quran yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, Taurat kepada Nabi Musa as, Zabur kepada
Nabi Daud as, dan Injil bagi hamba Allah dan rasul-Nya, Isa
as. Sementara itu, firman Allah SWT dalam bentuk shuhuf,
misalnya adalah apa yang diberikan Allah kepada Nabi
Ibrahim as.
Diantara kitab tersebut, hanya Al Quran yang
dipelihara/dijaga keasliannya oleh Allah dan sekaligus
berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syariatsyariat nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan


sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al Hijr: 9)

(Dan) Kami telah menurunkan Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
turun sebelumnya) dan sebagai standar terhadap kitab-kitab tersebut.
Maka, putuskanlah perkara mereka menurut (Al Quran) yang diturunkan
Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran (Al Quran) yang telah datang kepadamu.
(QS Al Maidah: 48)

Beriman kepada kitab-kitab Allah mempunyai sandaran yang


berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun
mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al Quran adalah
kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara
faktual/nyata, Al Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa
dijangkau panca indra dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan
(kebenarannya).
Tidak demikian halnya dengan kitab-kitab samawi lainnya.
Kitab-kitab tersebut, faktanya sudah tidak ada, sehingga akal
23

Aqidah Islamiyah

tidak mampu membahas dan membuktikan


kebenarannya
(bahwa kitab itu berasal dari Allah-peny). Sebab,
kitab-kitab tersebut tidak mengandung mukjizat yang bisa
dijangkau akal manusia pada setiap manusia (terutama pada
zaman kini). Juga, Nabi yang membawanya tidak menjadikannya
(Taurat, Zabur atau Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya.
Meski demikian, kita wajib meyakini bahwa kitab-kitab tersebut
pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu.
Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab selain Al
Quran, adalah dalil naqli, yakni berdasar penunjukan oleh Al
Quran dan hadits rasul yang pasti, seperti firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah


dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada
Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja
yang kafir kepada Allah, makaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya dari hari kiamat, maka sesungguhnya orang-orang tersebut
telah sesat sejauh-jauhnya. (QS An Nisaa: 136)

Adapun dalil yang menunjukan bahwa Al Quran telah


diwahyukan Allah SWT kepada nabi dan rasul-Nya, Muhammad
SAW, melalui malaikat Jibril as, adalah berdasarkan dalil aqli,
yaitu dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa (Al Quran)
dan isi yang dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukan suatu
mukjizat yang amat menakjubkan dan besar, sekaligus
membuktikan bahwa Al Quran bukan hasil karya seorang
manusia.
Bahkan untuk itu, Rasulullah SAW telah menantang kaum
Quraisy dan orang-orang Arab untuk menandingi Al Quran.
Sebab, beliau yakin bahwa kitab tersebut adalah sebagai satusatunya mukjizat terbesar sekaligus bukti kenabiannya sebagai
utusan Allah SWT. Beliau tidak perlu lagi memperlihatkan
mukjizat lainnya, meski kaum Quraisy meminta bukti (mukjizat)
selain Al Quran itu. Hal itu diabadikan di dalam surat Al
Ankabuut 50-51:

(Dan) Orang-orang kafir Makkah berkata: Mengapa tidak


diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat (benda lainnya) dari RabbNya?. Katakanlah (Hai Muhammad): Sesungguhnya mukjizat-mukjizat
24

Aqidah Islamiyah

itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku ini hanya seorang
pemberi peringatan yang nyata. (QS Al Ankabuut: 50-51)

Setiap orang yang memiliki pengetahuan walaupun sedikit


tentang bahasa dan sastra Arab serta seluk beluknya, akan
menemukan bahwa Al Quran merupakan bentuk ungkapan
bahasa yang istimewa dan belum pernah ada orang Arab yang
mengungkapkan seperti itu, baik sebelum atau sesudah turunnya
Al Quran.
Kehebatan Al Quran dengan segala aspeknya telah
menyebabkan mereka tersungkur mengakuinya, dan bantahan
apapun menjadi patah. Tantangan tersebut telah menyebabkan
mereka terdorong untuk mencoba berbicara atau membuat
semisal Al Quran.
Tetapi yang terjadi ternyata sungguh
mengherankan.
Jangankan untuk meniru, mengubah gaya bahasa Al Quran saja
mereka tidak mampu, padahal mereka adalah orang-orang Arab
yang terkenal fasih dibidang sastra dan berbicara (syair, puisi).
Tetapi memang sudah sepatutnya mereka kalah dan mengakui
kebenaran Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam
firman-Nya:
Sesungguhnya, Kami tahu bahwa apa yang mereka katakan itu
menyedihkanmu,
(tetapi
janganlah
bersedih)
karena
mereka
sebenarnya bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang dzalim itu
telah mengingkari ayat-ayat Allah. (QS Al Anaam: 33)

Sejarah pun mencatat kekalahan itu secara meyakinkan,


yakni bahwa orang-orang Arab telah gagal meniru, dan tidak
mampu menelurkan satu perkataanpun yang senilai dengan Al
Quran, meski Al Quran telah menantang mereka. Al Qur'an
sendiri menegaskan:
Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Qur'an ini, pasti mereka tidak dapat
membuatnya, sekalipun seluruh dari mereka membantunya. (QS Al
Israa: 88)

Berdasarkan kepastian di atas kaum Quraisy dan bangsa


Arab tidak mampu membuat satu ayatpun yang serupa dengan
Al Qur'an, yakinlah kita bahwa Al Qur'an terbukti berasal dari
Allah SWT dan merupakan kalamullah.
Keyakinan dan bukti itu menyebabkan orang-orang tidak bisa
menuduh Al Qur'an adalah perkataan Muhammad SAW,
walaupun beliau adalah orang Arab. Sebab bila orang Arab
sendiri tidak mampu menandingi Al Qur'an, maka beliaupun
25

Aqidah Islamiyah

sama, tidak mampu seperti halnya orang Arab yang lain. Dan
bagaimana mungkin Al Qur'an diciptakan oleh beliau? Padahal ia
nabi yang buta huruf (ummi), bahkan Al Qur'an mengandung
kabar masa depan dan sains teknologi yang baru diungkapkan
manusia pada abad ini. Bagaimana mungkin ia dikarang oleh
Muhammad SAW, sedangkan ia sering menunggu datangnya Al
Wahyu jika menghadapi suatu persoalan? Dalam masalah ini
Imam Syafiiy berkata11 :
Mukjizat Nabi Muhammad SAW itu amat banyak dan tak
mungkin dihimpun seluruhnya oleh buku ringkas ini. Yang penting
kami kemukakan di sini adalah tentang Al Qur'an. Al Qur'an
merupakan mukjizat paling tinggi yang tidak bisa dipungkiri atau
diselewengkan oleh siapapun. Ia merupakan mukjizat terbesar
diantara mukjizat-mukjizat lainnya dan yang paling ampuh untuk
menaklukan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau.
Pernyataan seperti ini kita temukan dalam firman Allah sendiri. Al
Qur'an memiliki sajak yang berbeda dengan syair-syair yang
ada, berbeda dengan isi pidato-pidato, ucapan dan karangan
yang tertulis manapun. Ia menantang semua orang dengan QS
Al Isra ayat 88.
Kemudian tantangan itu semakin tegas dengan mengatakan
Maka, datangkanlah satu surat saja yang serupa dengannya.
Ternyata mereka tidak sanggup menjawab tantangan
tersebut, meski bahasa Al Qur'an
adalah bahasa
mereka
(bahasa Arab). Padahal tantangan itu jauh lebih
mudah dibandingkan dengan menentangnya, atau mengeluarkan
harta dan menyerahkan jiwa. Tetapi tidak satupun surat yang
muncul sebagai tandingannya, meski hanya sebuah surat yang
paling pendek. Padahal jumlah kaum kafir yang memusuhi Islam
begitu banyaknya. Hal ini membuktian bahwa Al Qur'an itu
mukjizat bagi kenabian Muhammad SAW.
Kitab suci yang jelas ini dan merupakan wahyu Allah SWT,
telah mampu mengadakan revolusi mental dan sosial serta
mengubah dan menuntun pemikiran manusia selama empat
belas abad. Ia juga telah mengubah wajah sejarah manusia dan
membangun suatu umat yang lemah menjadi perkasa,
menerangi mereka dari jalan sesat ke jalan lurus dan
menyatupadukan barisan yang tadinya cerai berai. Dengan
karunia Allah dan petunjuk Al Qur'an, terwujudlah kesatuan umat
di bawah undang-undang yang menegakkan hukum dan keadilan
di muka bumi ini. Ia juga menjadi penuntun bagi umat dan
menjadi misi universal sebagai puncak mahkota keagungan
peradaban manusia.
Dengan Al Qur'an, Nabi SAW telah membangkitkan taraf
pemikiran orang Arab yang tadinya tenggelam dan terpecah
11

Lihat Fiqhul Akbar Imam Abu Hanifah-Imam Syafii, hal. 59-60

26

Aqidah Islamiyah

belah dalam fanatisme jahiliyah, buta huruf dan hidup dalam


budaya berhala yang nista, kearah kehidupan yang gilang
gemilang. Beliau menyembuhkan lalu menyatukan mereka
dengan Al Qur'an dan perkataan yang penuh hikmah.
Ajaran-ajaran yang tercantum di dalam Al Qur'an dan umat
yang telah menerimanya sebagai ajaran kehidupan, ternyata
telah mampu mengangkat umat lain, baik yang masih
terbelakang maupun yang telah maju peradabannya. Padahal
kalau ditilik dari sejarahnya, dahulunya masih banyak yang buta
huruf, tidak berilmu dan juga tidak pernah belajar dari bangsa
lain.
Cukuplah bukti bahwa mukjizat Al Qur'an telah mampu
menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang buta huruf
telah menjadi bangsa yang berilmu dan mampu memimpin
dunia. Bangsa Arab maupun Ajam (non Arab) yang tadinya hidup
dalam kegelapan jahiliyah, menjadi bangsa beradab dan
berbudaya tinggi. Tidaklah mengherankan bahwa kemajuan umat
masa lampau di segala bidang ilmu dan budaya, disebabkan
karena Al Qur'an telah menunjukan bermacam ilmu, seperti
astronomi, sejarah, syariat, strategi perang, politik dan lain-lain.
Semua itu secara jelas membuktikan bahwa Al Qur'an mutlak
kebenarannya sebagai wahyu Allah.
Pengakuan akan kebenaran Al Qur'an juga dicetuskan para
cendekiawan barat dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian besar
dari mreka telah tunduk dan mengakui bahwa Al Qur'an adalah
kitab suci (Al Wahyu) yang bersumber dari Allah, apalagi setelah
terbukti berbagai penemuan baru pada abad mutakhir kini dan
sebelumnya12.

IMAN KEPADA NABI DAN


RASUL ALLAH
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
(QS Ali Imran: 144)
Seorang Muslim beriman dan percaya bahwa Allah SWT
telah memilih di antara umat manusia sejumlah nabi dan
rasul sebagai utusan-Nya kepada umat manusia. Allah SWT
mengutus para nabi dan rasul untuk membawa kabar gembira
kepada umat manusia tentang kenikmatan abadi yang
disediakan bagi mereka yang beriman, dan memperingatkan
mereka tentang akibat kekufuran (syirik). Merekapun memberi
12

Lihat Quran, Taurat, Injil dan Ilmu-ilmu, Moris Pukey

27

Aqidah Islamiyah

teladan tingkah laku yang baik dan mulia bagi manusia, antara
lain dalam bentuk ibadah yang benar, akhlak yang terpuji dan
istiqomah (berpegang teguh) terhadap ajaran Allah SWT.
Pengertian Nabi dan Rasul
Walaupun tugas nabi dan rasul adalah sama dari segi tugas
penyampaian wahyu, tetapi kedua istilah ini maknanya berbeda.
Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa nabi atau rasul
adalah orang yang menerima wahyu Allah untuk dilaksanakan
terutama untuk dirinya sendiri; lalu jika ia diperintahkan Allah
untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia, maka ia
disebut rasul. Tetapi jika tidak demikian, maka ia disebut nabi.
Pendapat ini terasa ganjil terdengar. Sebab, mungkinkah
seorang nabi tidak diberikan tugas untuk menyampaikan wahyu
kepada umat manusia? Apakah nabi hanya diutus Allah untuk
melaksanakan agama Allah untuk dirinya sendiri?
Sesungguhnya arti nabi adalah orang yang diwahyukan
kepadanya syariat rasul sebelumnya dan diperintahkan untuk
menyampaikan syariat itu kepada suatu kaum tertentu.
Contohnya adalah nabi-nabi Bani Israil seperti nabi Musa as dan
Isa as. Sedangkan rasul adalah orang yang diwahyukan
kepadanya suatu syariat baru untuk disampaikan kepada
kaumnya sendiri atau semua kaum. Singkatnya rasul adalah
orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariatnya
sendiri, sedangkan nabi diperintahkan untuk menyampaikan
syariat rasul lain (rasul sebelumnya)13.
Allah SWT berfirman:

(Dan) Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan


tidak pula seorang nabi. (QS Al Hajj: 52)

Imam Baidlawi menafsirkan ayat itu sebagai berikut 14:


Rasul adalah orang yang diutus Allah dengan syariat yang baru
untuk menyeru manusia kepada-Nya. Sedangkan nabi adalah orang
yang diutus Allah untuk menetapkan (menjalankan) syariat rasul-rasul
sebelumnya.

Dengan batasan yang jelas ini, dapat dikatakan bahwa Nabi


Musa as adalah nabi sekaligus rasul. Tetapi Nabi Harun as
hanyalah nabi. Sebab ia tidak diberikan syariat yang baru.
Sayyidina Muhammad SAW adalah nabi dan rasul. Namun yang
paling istimewa pada diri beliau adalah kenabian dan
13

Fikhul Akbar, hal.42

14

Anwaru Tanzhim, Imam Baidhawi, Jilid VI hal 57

28

Aqidah Islamiyah

kerasulannya diutus untuk seluruh umat manusia, bukan hanya


untuk satu kaum tertentu.
Seorang muslim wajib meyakini semua nabi dan rasul
sebagaimana firman Allah SWT:

Katakanlah (kepada orang-orang mukmin) : Kami beriman kepada


Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang
diturunkan Musa dan Isa, serta apa yang diberikan nabi-nabi dari RabbNya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (QS Al Baqarah: 136)

Jumlah Nabi dan Rasul serta Keluasan Ajaran Risalahnya


Seorang Muslim wajib beriman bahwa Allah telah mengutus
sejumlah nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW, meski
tidak perlu mengetahui berapa jumlah mereka seluruhnya, siapa
nama-nama mereka dan di mana mereka bertugas.
Memang dalam suatu hadits riwayat Imam Ahmad bin
Hambal dalam kitab musnadnya, dikatakan bahwa jumlah nabi
ada lebih kurang 124 000 orang dan jumlah rasul ada 315 orang.
Tetapi riwayat tersebut bukan hadits muttawatir, karenanya tidak
bisa dijadikan pegangan dalam aqidah. Sebab aqidah tidak boleh
berlandaskan dalil-dalil yang dzonni (yang belum pasti
kebenarannya, seperti hadits ahad). Tetapi ia harus berdasarkan
dalil-dalil yang qothi15.
Allah SWT berfirman:
(Dan) sesungguhnya telah Kami utus beberapa rasul sebelum
kamu. Diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan
diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS
Al Mukmin: 78)

Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa Allah hanya


memperkenalkan sebagian dari para nabi dan rasul-Nya.
Al Qur'an hanya menerangkan
(menceritakan) sebanyak 25 nabi dan rasul saja, yang wajib
dipercayai kenabian dan kerasulannya.
Semua nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diutus
Allah untuk suatu bangsa tertentu (baik satu atau beberapa
generasi dari suatu bangsa) dan untuk suatu periode tertentu.
Masa berlaku syariat dan daerah dakwah para nabi terbatas di
daerah dan waktu tertentu sampai datang rasul penggantinya.
15

Studi Islam, Masyfuk Zuhdi, hal.57

29

Aqidah Islamiyah

Kecuali risalah dakwah Nabi Muhammad SAW yang bersifat


universal, sebagaimana firman Allah SWT:
(Dan) Kami tidak mengutus engkau melainkan bagi ummat
manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak (mau) mengetahui. (QS
Saba: 28)

Rasulullah SAW menegaskan hal ini dalam sabdanya yang


diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ra:
Nabi-nabi terdahulu diutus diperuntukan bagi kaumnya sendiri
(khusus). Sedangkan aku telah diutus untuk seluruh umat manusia.

Berbeda dengan para nabi dan rasul lainnya, kenabian


Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan
mukjizatnya yang abadi, yaitu Al Qur'an. Al Qur'an adalah wahyu
Allah sekaligus mukjizat abadi bagi kenabian Muhammad SAW. Al
Qur'an telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tak
mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal
dalam Al Qur'an. Inilah dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad
SAW adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya
diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT berfirman:

(Dan) jika kalian (tetap) meragukan Al Qur'an yang Kami


wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), maka buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al Qur'an dan ajaklah para penolong selain
Allah, jika kalian orang-orang yang benar. (QS Al Baqarah: 23)

Rasulullah Muhammad SAW adalah Penutup Nabi dan


Rasul
Selain beriman kepada kenabian dan kerasulan Muhammad
SAW, seorang muslim wajib pula meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin (penutup para nabi).
Tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Hal
ini berdasarkan:
(1)Firman Allah SWT:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
diantara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Mahatahu segala sesuatu. (QS Al Ahzab: 40)

(2)Hadits
(a)Hadits muttawatir yang diriwayatkan Imam Ahmad bin
Hambal dari Anas bin Malik:
30

Aqidah Islamiyah

Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada


nabi dan rasul sesudahku.

(b) Hadits shohih riwayat Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban


dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi
sebelumku adalah sama dengan seseorang yang membuat
sebuah rumah; diperindah dan diperbagusnya (serta diselesaikan
segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan) untuk sebuah
batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi
rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya : Mengapa engkau
belum memasang batu bata itu? Nabipun berkata: Akulah batu
bata (terakhir) sebagai penyempurnaitu, dan sayalah penutup
para nabi.

Dengan nash-nash tersebut faham Ahmadiyah Qadiyani yang


meyakini bahwa sesudah Rasulullah SAW masih ada nabi adalah
keliru (sesat) dan tidak berdasarkan pengertian bahasa Arab
dan syara. Pemahaman Qadiyani tentang kalimat Khatamun
nabiyyin adalah cap (stempel) untuk nabi-nabi sebelumnya,
jelas sangat keliru. Sebab pengertian kalimat itu menurut bahasa
Arab adalah Nabi penghabisan (terakhir).
Jamaludin Muhammad Al Anshari16, ahli bahasa Arab paling
terkenal dengan kamus Lisanul Arab mengatakan bahwa
kata khatam mempunyai arti yang sama dengan kata khatim
dan khatam. Ia menulis:
Khitam dari suatu kaum serta khatim dan khatamnya, artinya
adalah penghabisan dari mereka. Dan Muhammad SAW adalah khatim
(penghabisan/akhir) dari segala nabi. Khatim dan khatam adalah
diantara nama (yang diberikan kepada) Nabi Muhammad SAW di dalam
Al Qur'an. Disebutkan di dalam Al Qur'an bahwa Muhammad SAW
adalah khatimannabiyyin, yakni penghabisan nabi (penutup) segala
nabi.

Selanjutnya Jamalusin Muhammad Al Anshari mengatakan :


Merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits muttawatir di atas, kalau ada
orang yang mengatakan masih akan ada nabi setelah Muhammad SAW,
maka mereka telah sesat dan kafir. Oleh karena itu, orang-orang yang
mengklaim dirinya sebagai nabi maka orang itu telah sesat
(menyimpang) dari aqidah Islam yang jelas-jelas menegaskan bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dengan nash yang
qath'i dilalah.

Mengenai hal ini jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah


memberitakannya dalam sebuah hadits dan diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim Ahmad dari Abi Hurairah 17:
16

Lisanul Arab, Jamaludin Muhamad Al Anshori. Juz XV. Hal.55

17

Jamiul Ushul fi Ahadits Rasul, Ibnu Katsir, juz X, hal.390

31

Aqidah Islamiyah

Tidak akan terjadi kiamat kecuali akan keluar (muncul) tukangtukang bohong (para penipu) kira-kira 30 orang. Semuanya mengaku
dirinya sebagai rasul Allah.

Termasuk para penipu yang disinyalir Rasulullah SAW itu,


adalah Mirza Ghulam Ahmad. Orang ini mengklaim dirinya
sebagai nabi sesudah Muhammad SAW. Ia mengada-adakan
syariat baru dan menyatakan bahwa ia menerima wahyu serta
mengarang kitab yang disebutnya sebagai wahyu Allah18.
Makna Iman kepada Kerasulan Muhammad SAW
Ketika seorang muslim mengucapkan Laa ilaaha illallah;
Muhammadur rasulullah berarti ia telah meyakini bahwa hanya
Allah SWT satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi dan diabdi,
dipatuhi dan ditaati serta sebagai satu-satunya pembuat syariat.
Ia pun meyakini bahwa dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah
di dunia, hanya Muhammad SAW satu-satunya hamba Allah yang
berhak untuk diikuti dan diteladani. Tidak boleh mengambil
sesuatu teladan perbuatan dan hukum kecuali dari beliau.
Jadi, tidak boleh mengambil hukum dari Voltaire, Montesque
ataupun Karl Marx (dalam hukum kemasyarakatan dan tata
negara). Juga tidak boleh mengambil hukum dari agama
manapun, baik dari agama yang sudah menyimpang dan diubah
seperti Yahudi dan Nasrani, ataupun agama yang sumbernya dari
manusia seperti Hindu, Budha, Qodiyaniyah, dan lain sebagainya
(dalam hukum ibadah dan keakhiratan).
Begitu pula tidak diperbolehkan untuk mengambil hukum
yang bersumber dari ideologi apapun di dunia ini, seperti
kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain. Selaku seorang
muslim, kita dituntut untuk merujuk hanya kepada Islam semata,
dan hanya mengikuti Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman:
Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (QS Al Hasyr: 7)

(Dan) orang-orang mumin serta muminah, apabila Allah dan


Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan tidaklah patut bagi
mereka untuk memiliki pilihan (yang lain) tentang hukum urusan
mereka. (QS Al Ahzab: 36)

18

Lihat Ahmadiyah dalam Persoalan, Fauzi Said. Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah, Hamka
Haq Al-Badri.

32

Aqidah Islamiyah

Maka demi Tuhanmu, mereka sesungguhnya tidak beriman


sebelum mereka menjadikanmu hakim (pemutus) terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima
sepenuhnya. (QS An Nisaa: 65)
Katakanlah: Jika kamu cinta kepada Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintai kamu. (QS Ali Imran: 31)

Ayat-ayat ini jelas memerintahkan kepada kaum muslimin


agar mengambil aturan dari Rasulullah SAW, meneladani dan
mematuhinya baik dalam perkataan
maupun perbuatan. Ayat kedua menerangkan tentang tidak
boleh (patut)nya seorang mukmin mempunyai aturan selain dari
Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ketiga menegaskan bahwa seseorang hanya bisa
menjadi mukmin sejati, kecuali ia mengangkat Rasulullah sebagai
hakim (pemutus permasalahan) bila terjadi perselisihan antar
mereka. Mereka belum beriman sampai mereka menerima
keputusan hukum dari Rasulullah SAW tanpa ada rasa keberatan
serta kesempitan dalam diri mereka terhadap hukum tersebut.
Disamping itu mereka benar-benar pasrah serta berserah diri
lahir-batin terhadap apa yang datang dari Rasulullah.
Sedangkan ayat terakhir mengaitkan cinta kepada Allah
dengan ketaatan mengikuti Rasulullah dalam segala peraturan
yang dilakukan beliau. Sebab bila tidak demikian, tidak ada
artinya orang berpura-pura mencintai Allah tapi tak mau
mengikuti ketetapan utusan-Nya.
Oleh karena itu, Rasulullah mewajibkan segenap muslimin
untuk menerapkan secara sempurna segala apa yang diturunkan
Allah kepada Rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan antara hukum
ibadah dan muamalah, dll. Semua hukum Allah itu sama rata
ditinjau dari kewajibannya untuk diterapkan.
Allah SWT berfirman:

Apakah kalian beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan


mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian di antaramu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia, dan di hari kiamat mereka akan dicampakan ke dalam siksa yang
amat berat. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kalian perbuat.
(QS Al Baqarah: 85)

33

Aqidah Islamiyah

IMAN KEPADA HARI KIAMAT


Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang
dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban
berat (yang dikandung) nya, dan manusia
bertanya,Mengapa bumi jadi begini? pada hari itu bumi
menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu
telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.
(QS Az Zalzalah: 1-5)
Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan
musnah dan berakhir, kemudian berganti dengan
kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan ini merupakan
bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Bukti-bukti
keimanan adanya hari kiamat adalah dalil naqli (Al Qur'an dan
Al Hadits) bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu
yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak
mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha
penginderaan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang
hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak mengetahui
apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta
bagaimana bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli
tersebut a.l.:

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali


tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi Tuhanku, kalian
benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah.
(QS At Taghaabun: 7)

Juga hadits shohih Muslim, ketika Jibril mengajarkan kepada


Rasulullah SAW:
Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah tentang iman, maka
Rasulullah menjawab: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para
Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari kiamat.
Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari
Allah) .

Waktu dan Tanda-tanda Hari Kiamat


Manusia selalu bertanya kapankah terjadinya hari kiamat.
Sesungguhnya hanya Allah yang tahu dengan pasti dan tepat,
kapan terjadinya. Allah SWT berfirman:

34

Aqidah Islamiyah

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah


terjadinya? Katakanlah: Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu
ada di sisi Rabbku. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba. Mereka bertanya kepadamu
seakan-akan
kamu
benar-benar
mengetahuinya.
Katakanlah:
Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah.
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Al ARaaf: 187)

Meskipun Al Qur'an dan Al Hadits tidak secara pasti


menjelaskan waktu hari kiamat, namun dalam banyak hadits,
--meski tidak kepada derajat muttawatir dan meski masih
diperselisihkan dalam beberapa hal di kalangan kaum muslimin-digambarkan beberapa tanda-tanda kedekatannya, a.l.:
Banyaknya mode pakaian telanjang. Jumlah orang beriman
sedikit. Zina dan minuman memabukkan serta kejahatankejahatan lain merajalela. Perhiasan masjid yang berlebihan dan
suara hiruk pikuk lebih sering terdengar di masjid.
Penyalahgunaan jabatan. Perpecahan umat Islam/negeri-negeri
Islam akibat fitnah oleh musuh-musuh Islam. Kehancuran
peradaban Islam dan akan kembali jaya dan berkuasanya kaum
muslimin dikemudian hari sehingga kaum muslimin menguasai
pusat kekuasaan Khatolik Nashrani di Roma dan tersebarnya
Islam ke seluruh dunia. Perperangan antar umat Islam dengan
Yahudi yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum
muslimin.
Juga munculnya Dajjal di tengah ummat Islam untuk
menyesatkan manusia. Muncul Muhammad Al Mahdi di bumi
untuk menegakkan keadilan dan kekuasaan umat Islam.
Turunnya Nabi Isa untuk meluruskan ajaran Nashrani (ajaran
trinitas, yakni menuhankan Nabi Isa), mengislamkan orang
Nashrani, menghancurkan salib-salib, menegakkan kebenaran
dan keadilan berdasarkan syariat Islam, membunuh Dajjal
kemudian beliau kawin lalu meninggal dan dikuburkan dekat
makam Rasulullah SAW. Munculnya Daabbah (binatang ajaib)
yang dapat berbicara kepada manusia untuk menunjukkan
kepalsuan dan ketidakbenaran ajaran semua agama selain Islam,
serta memperingatkan orang-orang yang tidak percaya dengan
ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah).
Matahari akan terbit dari arah barat dan itu terjadi setelah Nabi
Isa wafat. Pada saat itulah pintu taubat ditutup. Munculnya Yajuj
dan Majuj (dua bangsa dari sebelah Timur) menyerang kaum
muslimin bagaikan air bah, tetapi peperangan itu akan berakhir
dengan kehancuran tentara Yajuj dan Majuj oleh Allah dengan
kemenangan di fihak kaum Muslimin (ini terjadi pada masa Nabi
35

Aqidah Islamiyah

Isa masih hidup). Kemudian Allah akan mengirimkan kabut tipis


yang menyebabkan kematian seluruh kaum muslimin dan
tinggallah orang-orang kafir (jahat). Terjadi gempa bumi di
Timur/Barat dan seluruh Jazirah Arab, disertai munculnya api di
daerah Yaman, sehingga orang-orang berlari ke arah Syam dan di
sini mereka mati setelah ditiup sangkakala. Pada saat itulah
Kiamat yang sesungguhnya terjadi.
Inilah gambaran ringkas kondisi yang menunjukan sudah
sangat dekatnya hari kiamat. Hanya saja, selain gambarangambaran tersebut masih diperselisihkan kepastiannya karena
dasarnya hanya berupa hadits-hadits yang tidak mencapai
derajat muttawatir seorang Muslim yakin bahwa Allah mampu
mewujudkan kiamat kapan saja yang Ia kehendaki. Selain
itu, yang penting bagi kita tentu
bukanlah dapat menyaksikan kiamat itu atau tidak, tetapi sejauh
mana kesiapan menghadapi kejadian-kejadian setelah hari
berbangkit tersebut. Harus juga dipahami bahwa kematian
seseorang, sudah termasuk kiamat (kecil) bagi dirinya.
Nasib Manusia pada Hari Kiamat
Al Qur'an menerangkan bahwa hari kiamat terjadi setelah
ditiupnya sangkakala pertama oleh Malaikat Isrofil. Pada saat itu,
semua makhluk binasa kecuali mereka yang dikehendaki Allah,
kemudian ditiupkan sangkakala untuk kedua kalinya agar semua
makhluk berdiri dan menuju Padang Mahsyar untuk perhitungan
amalnya. Firman Allah SWT :
(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah apa yang ada di langit
dan bumi kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian ditiup
sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu
(putusannya masing-masing) . (QS Az Zumar: 68)

Pada hari perhitungan/hisab, segala sesuatu akan disaksikan


oleh manusia, binatang dan semua makhluk, sejak Nabi Adam
hingga makhluk terakhir. Ia juga akan disaksikan oleh ayahibunya, neneknya dan kawan-kawannya. Allah SWT berfirman:
Bacalah kitabmu sendiri yang pada hari itu cukuplah sebagai
penghisab terhadapmu. (QS Al Israa: 14)

Pada hari itu semua berita akan bercerita sendiri. (QS Zalzalah:
4)

Orang-orang
yang
beriman
kepada
Allah,
tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, maka ia pasti
36

Aqidah Islamiyah

diampuni dosa-dosanya. Sebab Allah akan mengampuni semua


dosa manusia semasa hidupnya, kecuali dosa syirik. Allah SWT
berfirman:

Sesungguhnya
Allah
tidak
mengampuni
dosa
syirik
(menyekutukan Dia). Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauhjauhnya. (QS An Nisaa: 116)

Kedzaliman antar manusia di dunia merupakan dosa yang


tidak terhindarkan. Namun, ia akan diadili dengan seadil-adilnya.
Mereka yang merampas harta orang lain, mencuri, memperkosa,
membunuh, menganiaya, mereka yang mengetahui di kanan
kirinya banyak orang miskin, tersiksa dan memerlukan bantuan
tetapi ia membiarkannya, mereka yang tidak benar ketika
bergaul, berpolitik maupun berdagang, mereka yang berdosa
besar maupun kecil, berjual beli secara bathil, membuka aurat di
depan umum dan berteriak-teriak di jalanan, berbisik, mengukur
dan menimbang secara curang, hubungan antara majikan
dengan buruh buruk, serta berbagai persoalan keluarga. Semua
bentuk perbuatan tersebut pasti
diadili, yaitu disaat tidak ada partai dan golongan, kebangsaan,
kesukuan maupun ikatan lainnya yang dapat membantu mereka
dari peradilan yang seadil-adilnya.
Segala caci maki, tuduhan yang semena-mena tanpa bukti,
menyakiti orang lain, bergunjing, mengkritik dengan maksud
buruk, kata-kata yang keluar tanpa makna, menyia-nyiakan
waktu, berhutang tetapi tidak mau membayar, berjudi dan
berzina, serta 1001 macam persoalan kehidupan manusia,
semua pasti diadili dan mendapat hukuman Allah pada hari
kiamat. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Tirmidzi dari Abi Hurairah:
Tahukan engkau siapa orang-orang miskin (bangkrut) itu? Mereka
adalah umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan shalat, shaum,
zakatnya, tetapi mereka telah mencaci maki, menuduh seseorang tanpa
bukti, sehingga semua perbuatannya itu menyebabkan ia telah
menghilangkan kebaikannya. Kemudian ia ditenggelamkan ke dalam
jahannam.

Orang-orang yang jumlah dosanya lebih banyak daripada


amal kebajikannya, mereka pasti disiksa dalam neraka jahannam.
Sedangkan orang-orang yang jumlah amal kebajikannya lebih
banyak daripada amal kejahatannya, maka mereka akan
mendapat balasan kenikmatan di jannah. Tetapi akan berbeda
37

Aqidah Islamiyah

terhadap orang-orang yang jumlah amal kebajikannya seimbang


dengan amal kejahatannya, maka mereka akan ditangguhkan,
tidak dimasukan ke dalam jannah atau jahannam. Mereka akan
ditempatkan di suatu lokasi yang disebut Al Araaf sampai batas
waktu yang tidak ditentukan. Dari tempat ini, mereka dapat
menyaksikan bagaimana pedihnya siksa jahannam dan
bagaimana pula kenikmatan yang diperoleh oleh penghuni
jannah. Namun penghuni Al Araaf ini suatu waktu pasti
dimasukan Allah ke dalam jannah. Hal ini dijelaskan dalam ayat
46-47 surat Al Araaf.
Kenikmatan Jannah (Surga)
Kehidupan di dalam jannah adalah abadi, penuh dengan
kesenangan dan kenikmatan. Allah SWT berfirman:
Masukilah jannah itu dengan aman, itulah hari kekekalan. (QS
Qaaf: 34)

Penghuni jannah akan bertemu dengan ayah, suami, istri,


para famili, dan para cucunya yang beramal shalih dengan penuh
kegembiraan dan kebahagiaan. Para malaikat akan masuk dari
segala penjuru dengan menyampaikan salam. Gambaran
tersebut, sekilas ditunjukan oleh firman-Nya:
(Itulah) Jannah Adn, tempat mukim mereka, bersama orang-orang
shalih dari bapak, istri, dan anak cucu mereka. Sementara itu, para
malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, (sambil berucap):
Sejahtera atas kalian seluruhnya karena kesabaran kalian. Maka,
alangkah baiknya tempat berakhir itu. (QS Ar Raad: 23-24)

Tentang sifat-sifat jannah, Rasulullah SAW bersabda:


Siapa saja yang masuk jannah, maka ia pasti merasakan senang
dan tidak pernah putus asa. Ia berpakaian yang tidak lepas, masa
remaja yang tidak pernah pudar, matanya melihat
sesuatu yang tidak pernah dilihat sebelumnya, telinganya mendengar
sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya, dan hati manusia
tidak pernah mengkhayalkan sesuatu hal yang ada sebelumnya. ( HR
Imam Muslim dari Abu Hurairah)

Saat itu manusia akan melihat Rabbnya. Ini dinyatakan


Rasulullah SAW sebagai saat yang maha indah. Di dalam jannah
berlimpah buah-buahan yang tidak putus-putusnya dan tidak
pernah terhalang. Allah SWT berfirman :

38

Aqidah Islamiyah

Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan


tidak dilarang mengambilnya. (QS Al Waqiah: 32-33)

Siksaan Jahannam (Neraka)


Tentang siksaan terhadap orang kafir dan dzalim di dalam
jahannam, Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api


jahanam yang bahan bakarnya adalah (tubuh) manusia dan bebatuan;
penjaganya para malaikat yang kasar, keras, (dan) tidak (pernah)
membantah kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At
Tahriim: 6)

Sedangkan kedudukan orang-orang munafik, mereka akan


berada di kerak/dasar jahannam yang paling bawah.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (tempat mereka) berada
pada tingkatan yang paling bawah dari jahannam, dan kamu sekali-kali
tidak mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS An Nisaa:
145)

Allah SWT juga mengingatkan kepada manusia bahwa siksa


jahannam amatlah pedih.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami,


maka kelak akan Kami masukan mereka ke dalam jahannam. Setiap kali
kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain
(baru) supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS An Nisaa: 56)

Adzab Jahannam adalah Siksaan Fisik (tidak hanya ruh)


dan Kenikmatan Jannah adalah Kesenangan Sempurna
Siksaan jahannam dan kenikmatan jannah adalah abadi dan
kekal. Semua itu merupakan akibat perbuatan manusia di
dunia. Semua dirasakan secara fisik, bukan secara roh.
Tentang pendapat bahwa kenikmatan maupun siksaan pada
kedua tempat tersebut dirasakan manusia dalam bentuk roh,
maka pernyataan tersebut terbantah dengan memperhatikan
firman Allah SWT:

39

Aqidah Islamiyah

Ketika (itu) belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya


mereka diseret. (Kemudian mereka dimasukan) ke dalam api yang
sangat panas, lalu mereka dibakar di dalam api (yang menyala-nyala).
(QS Al Mumin: 71-72)

Begitu pula sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an


surat At Taubah ayat 35 dan Al Maaarij ayat Muhammad SAW 1516.
Bagaimana mungkin siksaan yang disebutkan pada ayatayat Al Qur'an tersebut bentuknya adalah siksaan yang bersifat
ruh? Bahkan patut pula diketahui bahwa kehidupan akhirat
tersebut mempunyai persamaan dengan kehidupan dunia, yaitu
adanya perasaan, pengertian, kepuasan dan adanya makhluk
(hewan dan tumbuhan) yang akan menemani kehidupan manusia
di jannah. Allah SWT berfirman:
(Dan) Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan
daging dari segala jenis yang mereka ingini. (QS Ath Thuur: 22)

Rasulullah SAW bersabda:


Ahli jannah makan dan minum di dalam jannah tetapi mereka
tidak buang air besar, tidak buang ingus dan tidak kencing. (HR
Muslim dari Jabir ra)

Dari Numan bin Basyir ra, ia berkata: Aku telah mendengar


Rasulullah bersabda:
Seringan-ringannya siksa pada hari Kiamat adalah orang yang
padanya diletakan dua bara api di bawah tumitnya yang mampu
mendidihkan otaknya. Pada saat itu dia merasa bahwa tidak seorangpun
yang lebih berat siksaan yang diterimanya dibandingkan dengan orang
lain. Padahal sesungguhnya itulah siksa seringan-ringannya. (HSR
Bukhari Muslim)

Dampak Iman Kepada Hari Kiamat


Iman pada hari kiamat akan mampu mendorong setiap
mukmin untuk berfikir sebelum melakukan tindakan. Sebab ia
yakin bahwa semua amal perbuatannya akan dimintai
pertanggungjawaban dan ia menerima balasannya, baik atau
buruk sesuai dengan perbuatannya itu. Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, maka
pasti ia melihat (balasan)nya, dan siapapun yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrah, juga pasti melihat (balasan)nya. (QS Al
Zalzalah: 7-8)
40

Aqidah Islamiyah

Karena itu, iman kepada hari akhir mempunyai dampak


positif bagi kehidupan seseorang, yakni:
(a) Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT
dan berusaha menjauhi segala larangan-Nya karena takut
siksaan kelak di kemudian hari.
(b) Menghibur dan mendorong untuk bersabar, bahwa
kebahagiaan bagi mukmin yang belum diperolehnya di dunia
akan diterimanya di kemudian hari. (lihat Aqidah Ahlus
Sunnah, Muhammad Shalih, terj. Hal.89)
Catatan Amal Perbuatan Manusia
Iman kepada Hari Kiamat membawa konsekuensi logis untuk
iman kepada adanya catatan amal perbuatan manusia. Setiap
manusia akan menerimanya pada hari pembalasan itu. Allah SWT
berfirman:

(Dan) Setiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya


(sebagaimana tepatnya kalung) pada lehernya. Dan Kami berikan
kepadanya pada Hari Kiamat sebuah kitab (catatan amal perbuatan)
yang dijumpainya terbuka : Bacalah kitabmu. Maka, cukuplah dirimu
sendiri pada waktu ini sebagai penghisab. (QS Al Israa: 13-14)

Al Qur'an menjelaskan bahwa orang-orang mukmin akan


diberikan catatan amal perbuatan mereka melalui tangan
kanannya dari depan, sedangkan orang-orang mukmin yang
berdosa besar akan menerimanya melalui tangan kanannya tapi
dari belakang. Hal itu akan berbeda terhadap orang-orang kafir.
Mereka pasti menerima catatan amal perbuatannya melalui
tangan kirinya. Kejadian ini digambarkan dengan jelas melalui
firman Allah SWT pada ayat 19 sampai 37 surat Al Haaqqah.
Bagi
kaum
muslimin,
iman
kepada
Hari
Kiamat
sesungguhnya akan berdampak kuat bagi setiap amal
perbuatannya. Mereka pasti berlomba-lomba menjalankan semua
perintah Allah yakni syariat yang dibawa rasul-Nya, Muhammad
SAW, yaitu syariat Islam.
Hari Kiamat merupakan hari yang pasti datangnya. Seluruh
manusia akan menemuinya, baik secara sukarela maupun
terpaksa. Dan sesungguhnya siksaan maupun kenikmatan yang
diterima setiap manusia merupakan akibat logis dari seluruh
amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.

41

Aqidah Islamiyah

TAQDIR, QADHA DAN QADAR


Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri
mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS
Ar Radu: 11)
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang
wajib bagi setiap muslim. Sebab, hal ini memiliki
sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti (qothi) serta
dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya.
Berbeda dengan iman kepada Qadha dan Qadar, ia
bukan lahir dari nash-nash syara secara langsung.
Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu
yang bermakna tertentu pula--, tidak didapatkan
dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita kaji dari
buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan
masalah ini (qodha dan qadar). Kita hanya
menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang
bermakna taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari
hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim no. 26342664; yang merupakan bab khusus tentang masalah
taqdir. Di dalam Al Qur'an sendiri tidak ada istilah
qadha dan qadar yang digabungkan. Keduanya
hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al
Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal. 536-537 tentang al
qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).
Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang
digabungkan, dan memiliki makna tertentu) tersebut,
karena memang masalah ini baru muncul pada masa
tabiin (setelah masa shahabat), pada akhir abad
pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Taqdir dan Pengertian Iman Terhadapnya
Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua
keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT
(karena memang Allah Maha Mengetahui sesuatu (Al
Aliim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang
maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun
42

Aqidah Islamiyah

bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan


dituliskan di Lauhul Mahfuz (kitab induk dan gambaran
umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah
dijelaskan oleh Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW.
Dengan kata lain taqdir
adalah catatan (ilmu
Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu yakni
termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya,
makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah
tercatat / diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya
di Lauhul Mahfuzh.

Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena


merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar
bin Khatab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada
Nabi SAW dan bertanya:
Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu
percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulnya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal
dari Allah SWT. (HR Muslim)

Seorang yang tidak percaya kepada taqdir, maka


imannya cacat bahkan dapat mengeluarkan dirinya
dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan
oleh nash-nash Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW,
seperti ayat:
Sesungguhnya Kami menciptakan segala
taqdirnya/ukurannya. (QS Al Qamar: 49)

sesuatu

menurut

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy Syuyuti


menyatakan:
Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah
adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia
telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktunya, jauh
sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu kejadian
di langit dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah
43

Aqidah Islamiyah

(kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.

(lihat Tafsir Imam

Qurthubi juz XVII hal. 148)


Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah
mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum
ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasib
seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak
(bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau
miskin, umurnya, dsb).
Pahamilah,
pembahasan
masalah
taqdir
sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan
Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan
kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala
sesuatu karena ia memang bersifat Al Aliim) dan
mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Hadits berikut ini menunjukan wajibnya iman
kepada taqdir dan larangan mengingkarinya :
Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang
berperilaku seperti majusi. Orang-orang majusi mengatakan bahwa
tidak ada taqdir. Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka
janganlah kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah
dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal.
Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku
mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq (benar)
dari Allah SWT. (HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat

Sunan Abu Dawud, juz IV hal. 222)


Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah
SWT, tetapi janganlah mencampur-adukan antara
iman kepada taqdir tersebut dengan amal
perbuatan manusia, karena keduanya tidak ada
hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir)
tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu dan juga
tidak
pernah
memaksa
seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rosulullah SAW telah melarang para shahabatnya
mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal
perbuatan manusia yang dapat menyebabkan
manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa
44

Aqidah Islamiyah

ada perbedaan antar : Apa-apa yang harus diyakini


dengan apa-apa yang harus dikerjakan !
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali
bin Abi Thalib ra. yang artinya:
Rosulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat).
Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau
menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata :
Setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah
(surga) dan jahannam. Para shahabat terkejut lalu bertanya : Kalau
demikian ya Rosulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih
baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : Jangan!
Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah
jalan yang sudah ditentukan baginya. Lalu Rosulullah membaca surat Al
Lail ayat 5-10. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz

XVI, hal. 196-197)


Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia
diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan
tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana
yang salah dan mana yang benar sebagai standar
perbuatannya. Dengan demikian maka secara suka
rela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur
paksaan)
suatu
kehendaknya
sendiri.
Karena
sesungguhnya taqdir hanyalah pemberitahuan
tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala
sesuatu dan ilmu Allah tersebut tidak pernah
memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. (lihat Imam Al Khattabi dalam
Aqidah Islam. Sayyid Sabiq, hal. 151)
Tak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang
tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Karenanya
tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang berkata
: Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh
Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini.
Karena, darimana ia tahu bahwa Allah telah
menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul
Mahfuzh?
Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam
pemahaman yang benar, pasti akan memberikan
suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa.
Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan
45

Aqidah Islamiyah

yang positif untuk meraih kehidupan bahagia yang


sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam
garisan syariat Islam. Selain itu, hal tersebut juga
akan memberikan ketabahan dan keberanian dalam
membela yang haq, berhati baja dalam merealisasikan
hal-hal yang haq serta menetapi segala kewajiban
yang dibebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah
atau putus asa dalam kamus orang yang beriman
kepada taqdir dengan pemahaman yang benar. Ia
akan menjadi orang yang bersyukur ketika langkahlangkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan ia
akan menjadi orang yang sabar ketika langkahlangkahnya tidak memberikan keberhasilan.
Asal Mula Munculnya Istilah Qadha dan Qadar
Akhir abad kedua merupakan masa suburnya
penaklukan daerah lain, yang dilakukan oleh Khilafah
Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Banyak hal baru
mulai
ditemukan,
termasuk
usaha-usaha
menerjemahkan faham-faham di luar Islam semisal
filsafat (Yunani). Pada awalnya hanya semacam
kebutuhan untuk menjawab dan berdebat dengan
mereka
setelah
dari pihak
Nasrani terlebih
dahulu
mempelajarinya untuk mempertahankan aqidah
mereka. Kaum Muslimin tergerak untuk mendalami
filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah
yang dilontarkan pihak Nashrani, terutama dalam
bidang kebebasan bertindak (free will).
Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya
munculah beberapa aliran/pandangan di kalangan
kaum muslimin sendiri terhadap permasalahan ini.
1. Faham Qadariyah (Muktazilah)
Ketika Islam telah menyebar hampir ke seluruh
penjuru dunia, kemunculan berbagai faham di dalam
ajaran Islam sulit untuk dihindari. Karenanya
kemunculan segolongan dari kaum Muslimin yang
berpendapat bahwa manusia itu bebas berkehendak
46

Aqidah Islamiyah

atau terlepas dari taqdir Allah SWT adalah salah satu


akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat.
Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas
berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan
(qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya
akhirnya golongan ini disebut dengan Qadariyah 19.
Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya
sesuai dengan taqdir (Al Qadar) maupun dalam
ketetapan
Allah20.
Faham
ini
pertama
kali
dikembangkan oleh Washil bin Atha.
Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa
manusia memiliki kehendak (iradlah), kekuatan,
kekuasaan (qudrat, power) dan kebebasan (huriyyah,
freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta
terlepas dari kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah.
Karena itu, menurut faham ini, wajar dan adil apabila
manusia harus bertanggung jawab atas semua
perbuatannya21. Golongan ini memandang bahwa
manusia
sesungguhnya
menciptakan
segala
perbuatannya dengan ikhtiar dan qudratnya sendiri
sementara iradlat dan qudrat Allah tidak turut campur
dalam perbuatan manusia22.
Inilah faham indeterminasi (Qadariyah) dari filsafat
Yunani yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang
menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan,
hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke
jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah
mengganggu persatuan umat23.
Untuk mendukung pendapat mereka, Muktazilah
gemar menakwilkan ayat-ayat Al Qur'an24. Ayat-ayat
Al Qur'an yang sering dikutip adalah ayat-ayat yang
menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas
perbuatannya misalnya:
19

Kitab Fajrul Islam, Ahmad Amin, hal. 283-303

20

Opcit., Ahmad Amin

21

Kitab Al-Aqaid Nasyafiyah, At-Taftazany, hal. 46

22

Buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Hasbi Ash-Shidieqy, hal. 115.

23

Buku Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Muh. Fuad Facrudin, hal. 158-174

24

Opcit., Muh. Fuad Facrudin

47

Aqidah Islamiyah

(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka,


siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang
ingin (kafir), biarlah ia kafir... (QS Al Kahfi: 29)

Dalam perkembangannya, faham ini telah


dirangkul erat-erat oleh ahli pikir Barat yang ingin
menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan
mereka dari imannya. Padahal Islam telah memulai
risalahnya dengan penanaman iman dan beriman
kepada enam rukun iman yang dimulai dengan
iman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia
dalam menggunakan akalnya, yaitu segala sesuatu
telah diberikan batas, dari garis halal dan haramnya.
Muktazilah adalah golongan yang bergerak dalam
tiga fungsi25 :agama-filsafat-politik. Nama lain
Muktazilah adalah Qadariyah, Adliyah, atau Ahlul
Adli wat Tauhid (penganut faham keadilan dan
keesaan Allah).
2. Faham Jabariyah
Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham
sebelumnya. Mengenai kemunculannya, ada yang
berpendapat bahwa faham jabariyah muncul sebelum
adanya Muktazilah26. Orang pertama yang memelopori
faham Jabariyah adalah Jahmu bin Sofyan27. Ia
berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan
untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan
sesuatu selain apa yang telah ditentukan, dan bahwa
Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia
yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah
menciptakan benda-benda. Ia tidak ubahnya seperti
air yang mengalir, angin yang berhembus, batu yang
jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia melakukan
sesuatu apapun sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat,
25

Opcit., Muh. Fuad Facrudin

26

Opcit., Ahmad Amin

27

Gol. Ini dikenal sbg. Jahmiyah, sesuai nama pendirinya, Jahm bin Shafwan

48

Aqidah Islamiyah

tidak lebih dari itu). Oleh karena itu, pahala, siksa dan
amal perbuatan tidak lain adalah hasil dari paksaan.
Allah telah menakdirkan terhadap diri seseorang
sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar
orang tersebut mendapat pahala, dan begitu juga
kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain
untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka
orang tersebut telah ditakdirkan akan mendapat siksa.
Imam Saduddin At Taftazany28 menyebutkan
golongan ini berpendapat bahwa manusia sekali-kali
tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan,
apakah baik atau jahat. Manusia bukan subyek,
melainkan hanya sebagai obyek (kehendak dari luar).
Dengan kata lain, manusia dipaksa oleh kekuatan dari
luar dirinya, yakni atas kehendak dan kekuasaan
Allah. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak
(laa hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan
untuk berbuat sesuatu.
3.
Faham
Asy
Ariyah
(kadang
disebut
Ahlussunnah)
Mohammad Fuad Fachruddin29 mengatakan
bahwa kemunculan dua faham di atas, mendorong
kalangan ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al
Asyari dan Mansur Al Maturidy 30 memberikan jawaban
untuk membela aqidah Islam agar tidak tersesat oleh
faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah.
Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah
terbagi dua golongan, tetapi mereka sepakat bahwa
manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak,
berkuasa dan berpengetahuan (knowledge), tetapi
hanya sampai ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi).
Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pada
diri manusia ada kehendak berbuat dan ada khasiat
yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan
Allah SWT tatkala seseorang memulai melakukan
suatu perbuatan, sampai pada suatu batas,
yang
28

Opcit., At-Taftazany

29

Opcit., Muh. Fuad Facrudin

30

Dari nama Ulama Ahlus-Sunnah ini, muncul gol Asariyah dan Maturidiyah

49

Aqidah Islamiyah

saat
batas
itulah
tidaknya perbuatan

Allah

menentukan,

jadi

tersebut. Jadi ketika seseorang akan/sedang berbuat


maksiat atau perbuatan terpuji, maka ketika itulah
Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba.
Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al Qur'an,
antara lain:
Mereka itulah penghuni jannah. Mereka kekal di dalamnya sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al Ahqaf: 14)

(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka,


siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja
yang ingin (kafir), biarlah ia kafir... (QS Al Kahfi: 29)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (QS Al Baqarah: 286)

Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini


memunculkan sifat Maha Adil (keadilan) Allah. Mereka
mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan dosa dan
pahala, atau siksa dan kenikmatan, yang erat
kaitannya dengan perbuatan.
Bagaimana Menyikapi Berbagai Faham Ini ?
Demikianlah, kaum Muslimin terpecah ke dalam
tiga golongan besar ketika mereka membahas
amal/perbuatan manusia yang dikaitkan dengan asas
taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan
tersebut disebabkan karena mereka menakwilkan
beberapa nash ayat Al Qur'an tentang perbuatan
manusia sendiri, juga karena ada nash dari ayat Al
Qur'an yang menurut mereka menunjukan bahwa
perbuatan manusia tergantung kepada kehendak
Allah. Golongan pertama dari kalangan Mutazilah,
golongan kedua dari golongan Jabbariyah. Namun ada
50

Aqidah Islamiyah

golongan yang berada di tengah-tengah kedua


golongan tersebut, yaitu dari kalangan Ahlussunnah31.
Dasar Pembahasan Masalah Qadha dan Qadar
Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah
qadha dan qadar (sebagai suatu istilah baru, yang
memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa
ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk
mengetahui
terlebih
dahulu
dasar
berdirinya
pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang
menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan
qadha dan qadar ini.
Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan
ini adalah pertanyaan :
Apakah
manusia
itu
dipaksa
untuk
melakukan
(atau
meninggalkan)
suatu
perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi
kebebasan memilih ?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah
qadha dan qadar, yaitu perbuatan
manusia.
Karena perbuatan manusia merupakan hal yang
dapat
diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalildalilnyapun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah
permasalahan yang akan dibahas dalam tema qadha
dan qadar ini.
Hakikat Perbuatan Manusia dan KejadianKejadian yang Menimpa Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu
perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau yang
menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya
manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis
perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia,
yang timbul karena semata-mata pilihan dan
keinginannya sendiri.
31

Lihat Imam Ibnu Hazm; Al-Fishal Fil-Mihal wan-Nihal, jilid III, hal. 51-16

51

Aqidah Islamiyah

b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan


manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau
terkena perbuatan yang berada di luat kemampuan
dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama
mudah diketahui, semisal, apakah kita mau duduk
atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup
atau khamir, berbakti atau durhaka kepada orang tua,
belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini
jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan
manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak
memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia
dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun
terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan
manusia.
Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini
terdiri dari dua bentuk. Pertama, kejadian yang
ditentukan
oleh
nidzom
wujud
(Sunnatullah/peraturan alami). Misalnya ia lahir dari
seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit
tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak
dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb.
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh
nidzom wujud, namun tetap berada di luar
kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh
dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang
yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya
kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan
karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari
manusia atau yang malah diluar kemampuannya.
Meskipun tidak ditentukan oleh nidzom wujud, akan
tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa
kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar
kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan
qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang
meng-qadha (memutuskannya). Terlepas apakah
hal/keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik)
atau keburukan (qadha yang buruk), menurut
52

Aqidah Islamiyah

penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan


tersebut bukan menimpa kita karena adanya hari
baik, hari sial, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu
diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah
qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun
yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab
atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun
kejadian
tersebut
mengandung
manfaat
atau
kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia
tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia
tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut,
serta tidak tahu
menahu
mengenai kejadian
tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia
pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk
menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya
diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha,
dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah
SWT, bukan dari yang lain.
HAKIKAT PERISTIWA YANG TERJADI DI
DUNIA

Daerah yang dikuasai / di


bawah kontrol manusia

Manusia dihisab atas apa


yang diperbuat

Daerah yang tidak dikuasai/


tidak di bawah kontrol
manusia
Melibatkan
manusia

Tidak
melibatkan
manusia

Tidak ada hisab atas apa yang terjadi

Skema pemahaman qadlaqadar


Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan
istilah qadha dan qadar yang digabungkan ini).
Sedangkan untuk memahami pengertian qadar, dapat
disimak dari uraian berikut ini:
53

Aqidah Islamiyah

Memahami Makna Qadar


Bahwasanya segala perbuatan dan kejadian, baik
jenis yang pertama maupun yang kedua, semuanya
terjadi dari benda menimpa (terhadap benda), baik
benda itu termasuk dalam unsur alam semesta,
manusia maupun kehidupan. Misalnya, peristiwa
tabrakan antara mobil (benda, bersifat keras) dengan
manusia, kebakaran, antara api dengan benda lain,
dsb.
Sesungguhnya, Allah SWT juga telah menciptakan
benda-benda
tersebut
beserta
khasiatkhasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada bendabenda tersebut. Contohnya saja di dalam api
diciptakan khasiat membakar. Dalam kayu terdapat
khasiat terbakar. Dalam pisau (benda tajam)
terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya.
Pada manusia ada rasa lapar, haus dll. Juga ada
gharizah
(naluri),
seperti
naluri
seksual,
mempertahankan diri, beragama, dsb.
Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu
tunduk sesuai dengan nidzom wujud yang tidak bisa
dilanggar lagi. Bila suatu waktu tampak khasiat ini
melanggar nidzom wujud, hal ini karena Allah SWT
telah menarik khasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu
yang berada di luar kebiasaan, yang hanya terjadi
bagi para nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka.
Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik
yang terdapat pada benda-benda ataupun yang
terdapat pada manusia (gharizah serta kebutuhan
jasmani), inilah yang dinamakan qadar (penetapan
batasan/kadar). Sebab hanya Allah sendiri yang
menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta
kebutuhan
jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat
di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan
sendirinya
dari
unsur-unsur
tersebut
--seperti
pernyataan orang-orang atheis(materialis).
54

Aqidah Islamiyah

Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak


memiliki andil atau pengaruh apapun. Ia hanya
diwajibkan untuk mengimani bahwa yang menetapkan
khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut hanyalah
Allah SWT.
Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat ini memiliki
qabiliyyah
(tendensi/
kecenderungan)
untuk
digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal
perbuatan. Apakah perbuatan itu berupa kebaikan
ataukah keburukan. Apabila digunakan sesuai dengan
perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan
baik. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar
aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat jahat. Baik
ia melakukan perbuatannya itu dengan menggunakan
khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan
memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan
jasmaninya.
Makna Iman kepada Qadha - Qadar, Baikburuknya dari Allah SWT
Dengan demikian, perbuatan atau kejadian yang
berada di luar kontrol dan kemauan manusia,
datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan
khasiat-khasiat
yang
ada
pada
benda-benda,
gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani juga
datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan
kebaikan ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib
bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha,
baik dan buruknya dari Allah SWT.
Dengan kata lain mengitiqadkan bahwasanya
perbuatan dan kejadian yang berada di luar
kekuasaannya adalah dari Allah SWT. Dan wajib pula
bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar,
baik dan buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat
tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun
keburukan.
Manusia
sebagai
makhluk
tidak
mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Misalnya
terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan
seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau, atau
rasa lapar dan haus yang terdapat pada kebutuhan
55

Aqidah Islamiyah

jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT


semata.
Amal Manusia Yang Akan Dihisab
Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan
dan kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan
manusia. Adapun pada perbuatan dan kejadian yang berada
di bawah kontrol dan kemauan manusia maka pada wilayah
ini manusia berjalan secara sukarela di atas nidzom
(peraturan) yang dipilihnya, baik itu syariat Allah atau
syariat yang lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan
perbuatan yang berasal atau menimpa manusia disebabkan
kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum, dan
bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan
api dan memotong dengan pisau apa saja yang
dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan seksualnya
atau keinginan memiliki barang, ataupun keinginan perutnya
dengan cara apapun yang ia kehendaki. Ia melakukannya
dengan sukarela sebagaimana ia tidak melakukannya juga
dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas
perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini.

Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan


qadar ini yang melakukan perbuatan, melainkan
manusialah yang melakukan perbuatan dengan
memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yang
terdapat pada gharizatun nau
memang mempunyai qabiliah (kecenderungan)
untuk kebaikan atau keburukan, namun manusialah
yang menggunakan sesuai dengan pilihannya.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal
bagi manusia yang mampu membedakan. Di dalam
tabiat akal ini diciptakan kemampuan memahami
serta membeda-bedakan; mana yang baik (taqwa),
dan mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
(Dan) Ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk dan mana
yang taqwa. (QS As Syams: 8)

Dan disisi lain, Allah telah menunjukan kepada


manusia jalan baik dan buruk.
56

Aqidah Islamiyah

Telah Kami tunjukan padanya dua jalan.

(QS

Al Balad: 10)

Maka apabila manusia memuaskan panggilan


gharizah dan kebutuhan jasmaninya sesuai dengan
perintah dan larangan Allah SWT berarti ia telah
melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa.
Akan tetapi apabila ia memenuhi panggilan gharizah
dan kebutuhan jasmaninya seraya berpaling dari
perintah Allah dan larangan-Nya berarti ia telah
melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan
kejahatan. Berdasar hal inilah manusia dihisab atas
perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya.
Kemudian diberi pahala dan dosa tergantung pada
perbuatannya. Sebab ia melakukan secara sukarela
tanpa ada paksaan sedikitpun (qadar Allah pada
benda dan manusia tidak pernah memaksa manusia
untuk berbuat sesuatu).
Allah menjadikan akal sebagai sandaran (manath)
pembebanan kewajiban syariat. Karenanya Allah
menyediakan pahala bagi perbuatan baik, sebab
akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk
perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab
akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan
larangan Allah. Sebagaimana firman-Nya :

Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS
Al Mudatsir: 38)

KETERIKATAN TERHADAP
HUKUM SYARA
Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya)
tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara
57

Aqidah Islamiyah

yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak


merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan
yang engkau berikan dan merekamenerima (pasrah)
dengan sepenuhnya. (QS An Nisa: 65)
Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu
status hukum sebelum datangnya pernyataan dari syara'.
Amal itu tidak tergolong wajib, sunah, haram, makruh, atau pun
mubah.
Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan
pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan
manusia. Sebab, tidak ada "beban hukum" (taklif) sebelum
sampainya pernyataan syara'. Allah SWT berfiman:
"(Dan) Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami
mengutus seorang Rasul/ utusan." (QS Al Isra': 15)

Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman,


bahwa Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan datang
azab kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan,
sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka
tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum
pun.
Hanya saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang rasul
kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum,
penjelasan syara'; maka terikatlah mereka dengan risalah yang
dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman :

"(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira


dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (QS An Nisaa
165)

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada


Rasul, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan
Allah kelak, tentang ketidak imanannya dan
ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang
dibawa Rasul
tersebut.
Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan
diri pada hukum yang dibawanya iapun akan dimintai
pertanggungjawaban
tentang
penyelewengan
terhadap
sebagian hukum dari hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
Untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan
amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena
kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya
58

Aqidah Islamiyah

dengan segala perintah dan larangan Allah SWT.


berfirman:

Allah SWT

"... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." (QS Al Hasyr: 7)

Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barangsiapa yang tidak


datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul
secara langsung (karena masa Rasulullah SAW telah lewat) maka
ia tidak termasuk "mukallaf" (orang yang terbebani hukum).
Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut
syara' adalah 'aam (bersifat umum), sebagaimana umumnya
risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan
dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan
tersebut yang lolos dari hukum syari'at. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah
utusan Allah untuk kamu semuanya." (QS Al A'raf: 158)

Oleh karena itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa


apapun yang dibawa Rasul tentang suatu hukum akan mencakup
setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga
mencakup setiap perbuatan. Dengan demikian setiap muslim
yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi
kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib
baginya
secara syar'i mengetahui hukum Allah tentang
perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia dapat
berbuat sesuai dengan hukum syara'.
Selain itu, bila ada perbuatan/ hal baru yang belum diketahui
nash syara' terhadapnya, maka manusia tetap tidak berhak
menghukumi berdasar kemauannya. Jika ada anggapan bahwa
terdapat perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukum;
anggapan tersebut sama artinya dengan menganggap bahwa
syari'at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali
untuk masa dan keadaan tertentu.
Tentu saja hal ini
bertentangan dengan syari'at itu sendiri serta kenyataan yang
sesuai dengannya.
Hukum bagi Masalah Baru
Memang syari'at Islam tidak datang dengan hukum-hukum
secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia
merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut.
Tetapi Islam datang dengan makna-makna umum (garis global/
khuthuthun 'aridhoh ) yang berkaitan dengan problema hidup
manusia; yaitu dengan melihat 'manusia sebagai manusia',
sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondisi/tempat.
59

Aqidah Islamiyah

Kemudian mengalirlah di bawah makna-makna umum tersebut


berbagai makna cabang yang lain.
Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka
ia harus dikaji dan
difahami. Kemudian, dilakukan istinbath" hukum (penggalian
status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang
terkandung dalam syari'at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu
pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.
Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya
Rasulullah SAW, hingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka
bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri
mereka kepada syari'at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa
Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang
tidak dijumpai di zaman Rasulullah SAW; begitu pula telah
muncul persoalan-persoalan baru di masa Khalifah Harun Al
Rasyid yang tidak ditemui dimasa Abu Bakar ra. Disini para
mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan
bahkan ribuan masalah yang sebelumnya tidak pernah
ditemukan.
Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syari'at
Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari'at Islam
telah mencakup seluruh perbuatan manusia; tidak ada satupun
masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut
Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslimin untuk
senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum
syari'at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika
sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.

60

You might also like