You are on page 1of 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa,
sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit
polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun
sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM
dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema,
vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput
lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau
infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif
terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan
terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SJS. SJS
muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya
kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun
sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal,
paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari
pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani
1

pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan waktu
pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak
dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan
bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan
kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum
eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target
yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah.
Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi
karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan
prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama
merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya.
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

1.2 Batasan Masalah


KTI ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa Steven
Johnson Syndrome.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Memahami

definisi,

etiologi,

patogenesis,

manifestasi

penatalaksanaan dan prognosis Steven Johnson syndrome.

klinis,

diagnosis

1.3.2 Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.


1.3.3 Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada klien dengan sindrom
Steven johnson.
1.3.4 Mampu merumuskan diagnosis pada pasien dengan sindrom steven johnson.
1.3.5 Mampu membuat rencana perawatan pada pasien dengan sindrom steven johnson.

1.4 Metode Penulisan


KTI ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada
beberapa literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

1.5.1 Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik.


1.5.2 Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar.
1.5.3 Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme Steven johnson.
1.5.4 Menambah pengetahuan mahasiswa tentang penatalaksanaan pada Steven
Jonshon.

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAN
2.1

DEFENISI

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr.
Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut
sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme Sindrom
Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136)..
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks
imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari
setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum


multiform

mayor,

eritema

poliform

bulosa,

sindrom

muko-kutaneo-okular,

dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya
merujuk pada kelainan kulitnya saja
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsimukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger- Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom mukokutaneo- okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom
Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr.
Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya (Adithan,2006).

2.2

ETIOLOGI
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,

terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat
nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang
paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol
(jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu
(Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri,
parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain
(penyakit polagen, keganasan, kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
dianggap sebagai penyebab adalah:

a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan


paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b)

Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)

Neoplasma dan faktor endokrin

d)

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)

Makanan
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek

samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven
Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi
berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic
dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan
SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya

sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin


(antikonvulsan), fenitoin dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam
valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
FAKTOR PREDISPOSISI SJS
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus
persatu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi
pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur,
tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada
laki-laki (Siregar, 2004).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson


Infeksivirus

Herpes

simpleks,

Mycoplasma

pneumoniae,

vaksinia

jamur

koksidioidomikosis,

bakteri

streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,

histoplasma

salmonela
parasit
Obat

malaria
salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,

kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik


Makanan
Coklat
Fisik
udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain
penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
Genetika
Beberapa orang Asia Timur mengkaji (Han Cina, Thailand), carbamazepine dan
fenitoin ternyata memicu SJS adalah sangat terkait dengan HLA-B * 1502 (HLA-B75),
sebuah HLA-B serotipe serotipe yang lebih luas HLA-B15. Sebuah penelitian di Eropa

menunjukkan bahwa gen penanda hanya relevan bagi orang-orang Asia Timur.
Berdasarkan temuan Asia, penelitian serupa dilakukan di Eropa yang menunjukkan 61%
dari allopurinol-induced SJS / TEN pasien membawa HLA-B58 (B * 5.801 alel fenotipe frekuensi di Eropa biasanya 3%). Satu studi menyimpulkan "bahkan ketika
alel HLA-B berperilaku sebagai faktor risiko yang kuat, seperti allopurinol, mereka
tidak cukup dan tidak perlu menjelaskan penyakit."

2.3

PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan

dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun
beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya
virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks
imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di
kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator
serta produk inflamasi lainnya.

Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang


akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala
bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala
prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat
menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan
mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat
meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum.
Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004).

Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik
dan makanan
Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody

Terpangkap dalam jaringan kapiler

Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

Kerusakan jaringan kapiler/organ

Akumulasi neutrofil

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak

kembali dengan antigen

Melepas limfosit dan sitotoksin

Reaksi radang

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Gangguan integritas kulit

Nyeri

Kelainan selaput

10

lendir dari ofisiun

Kesulitan menelan

Intake in adekuat

Kelemahan fisik

< Nutrisi dari kebutuhan

Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata

G3 Persepsi sensori: penglihatan


Konjungtifitis

Stevens-Johnson

Syndrome

merupakan

penyakit

hipersensitivitas

yang

diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari
temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi
allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya
3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe
III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang

11

membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya


terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000:
147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen
dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis
sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa
sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya

2.4

GAMBARAN KLINIS
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk

mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

Ruam

Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

12

Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.

13

Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan


dalam

kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis,


iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus
berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler
yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun. Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila
kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :


1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30

14

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal,
yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna
merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh
dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk
lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan
halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit
yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan
demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi
mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

15

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan samasama berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes
dari daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang
menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya.

Gejala awal termasuk :


o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
o

konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan bola mata)


o demam terus-menerus atau gejala seperti flu

16

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)

Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian

memecah sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata.

17

Erythema multiforme

"Eritema multiforme mayor" (Stevens-Johnson syndrome); yang menyerupai


"erythema multiforme
b)

Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)

kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung
dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang
cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam
terbentuk pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius
bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

18

c)

Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah

konjungtifitis kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan,


ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula
terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

Konjungtivitis di SJS
Konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata
edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.
GAMBAR GEJALA KLINIS PASIEN SJS

19

2.5

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,

mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat
lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu
didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta

20

pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat
dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau
sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bias membantu diagnosa
kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).

Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisis,

dan

laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan


yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya
dengan faktor penyebab.

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor


penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit,
trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik
(kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit.

Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan


kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan.

Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat
peninggian eosinofil.

Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun,
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.

21

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis


sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan
endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan


fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka
bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan
TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi
kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa
terkena (Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau
kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva
bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
Yang lainnya :

Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi
keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.

Erythema Multiforme

Burns, Chemical

Burns, Ocular

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

22

Toxic Epidermal Necrolysis

Burns, Thermal

2.6

PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi

yang diberikan biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,


kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid
sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek
samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3- 12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk
setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta
pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

23

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,


berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1,
2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor
FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006;
Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya
kekeringan pada bola mata.

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand


kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan
pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi


elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan
stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut


dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa
24

nyeri.daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres


salin atau burrow solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan


diterapi.Obat penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.


Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan

reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka
bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan
simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi
sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun
tidak ada yang berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan
dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif
lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga
lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis
atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola
mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan,
dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien
diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Kortikosteroid

25

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh
harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan
digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus
segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis
teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi,
dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na
dan Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan
KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi
efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti
nandrolok dekanoat dan nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis
untuk anak tergantung berat badan).

Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat

menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,


berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien


sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang
26

disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di

kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang
dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN
dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk
menghindari infeksi.Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan
pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit.
Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus
untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah
infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien
merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari
pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai.
Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat,
apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

2.7

PROGNOSIS
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat

menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan
5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan
yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan
27

kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat
disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006;
Siregar, 2004).

2. 8

KOMPLIKASI
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai

berikut:

Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

Gastroenterologi Esophageal strictures

Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis


vagina

Pulmonari pneumonia

Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder

Infeksi sitemik, sepsis

Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).


Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai

hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat
adanya

perlukaan

di

konjungtiva

dapat

menyebabkan

pseudomembran

atau

konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada


28

komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang
mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan
konjungtiva meninggalkan

perlukaan

yang dapat berakibat simblefaron

dan

ankyloblefaron.
Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda
menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari
komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada
permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya
berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial
yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea)
yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun
ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi di atas akan menimbulkan
komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan
atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea,
endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan
enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002).

29

BAB 3
DISKUSI/PEMBAHASAN

30

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),

dan

kolonoskopi dapat dilakukan


B. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C.

Pemeriksaan

histopatologi

dan

imonohistokimia

dapat

mendukung

ditegakkannya diagnosa

sampai 27 jam untuk terbentuknya.


E. Pemeriksaan laboratorium
a.

Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam

penegakan diagnosis.

31

b.

CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau

leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena


infeksi bakteri.
c.

Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab

infeksi.20
Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur


unit gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

32

BAB 4

KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan
pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat.
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi
SJS

pada

mata

dapat

berupa

konjungtivitis,

konjungtivitas

kataralis

blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit


dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan.
Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic
Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan
konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan
keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik
pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang

33

signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan


menyelamatkan nyawa.

BAB 5

SARAN
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

34

BAB 6

DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement
of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu
Anonym. 2010. Doctorology Indonesia Steven Johnson Syndrome. http. www. Steven
Johnson syndrome. Diakses tanggal 21 agurtus 2010.
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-14
Hamzah M. Sindrom Steven Johnson ; ilmu penyaki kulit dan kelamin. Edisi keempat.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:147-149
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-13
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.

35

Corwin,
Doenges.

Elizabeth.
2000.

J.

2001.

Rencana

Buku

Asuhan

Saku

Patofisiologi.

Keperawatan

Edisi

3.

Jakarta:

EGC.

Jakarta:

EGC.

Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Jakarta: EGC.

36

You might also like