You are on page 1of 29

HALUAN POLITIK ISLAM

Karya: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

PENGANTAR KATA
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatulaahi wabarakaatuhu,

Syahdan, karangan yang ringkas ini adalah khulasoh dari pidato yang
kami ucapkan dalam salah satu rapat lengkap di Garut pertengahan bulan
lalu yang diselenggarakan oleh Partai Politik Islam Masyumi daerah
Priangan dan dihadiri oleh semua Cabang Masyumi seluruh Priangan,
wakil dari G.P.I.I daerah Priangan, Hizbullah, Sabilillah, Muslimat, G.P.I.I.
Putri, dan pihak lainnya yang menerima undangan untuk sidang tersebut.
Karangan ini dinamakan HALUAN POLITIK, satu pedoman yang amat
diperlukan bagi Masyumi dan cabang-cabang usahanya, terutama di
zaman revolusi ini, di masa perubahan masyarakat dan peredaran zaman
yang serba cepat laksana kilat. Sedapat mungkin cara menerangkannya
kami atur semudah-mudahnya (elementair), agar memudahkan masuk ke
dalam data dan pikiran rakyat murba (jelataed).
Mudah-mudahan karangan ini dapat membantu meringankan beban
para pemimpin Islam dan alim-ulama dalam kewajibannya membimbing
Ummat dan bangsa menuju Mardlotillah dan Rahmatillah, di dunia dan di
akhirat; karena pertolongan dan kurnia Allah jua adanya. Aamiin.
Selain itu, harapan kami kepada sekalian pembaca yang budiman,
jika terdapat kekurangan, kekecewaan, atau kekeliruan di dalamnya, sudi
kiranya karena Allah bersedia menyampaikannya dengan segera
kepada Pengarang risalah ini sendiri. Sebaliknya, jika ditemukan kebaikan
dan kebenaran, hendaklah karena Allah juga bersedia menyiarkannya
kepada sekalian handai taulan dan kawan-kawan sekelilingnya.
Atas bantuan pada arif budiman itu, terlebih dulu kami mengucapkan
banyak terima kasih, serta Alhamdulillah.
Wassalam
S.M. KARTOSOEWIRJO
Malangbong, Awal Ramadhan 1365, Awal Agustus 1946
BAB I
POLITIK
Politik asal mulanya diambil dari bahasa asing, polis, yang maknanya
kota negeri atau negara, sehingga kata-kata politik itu mengandung
makna cara-cara mengatur dan memerintah sesuatu negara.

Dulu pada zaman penjajahan Belanda, negara kita diperintah oleh


bangsa Belanda. Mereka merasa mempunyai hak memasukkan dirinya
dalam golongan bangsa yang dipertuan, sedang bangsa Indonesia
dianggapnya

sebagai

bangsa

yang

diperhamba,

bangsa

yang

mempunyai jiwa budak, yang cuma patut diperintah, ditindas dan


dirampas. Sementara itu, bangsa Indonesia kehilangan hak-haknya untuk
menentukan nasibnya sendiri, untuk mengatur dan memerintah negeri
dan bangsanya sendiri. Keadaan yang serupa itu berlaku atas kita
sekalian kurang lebih tiga setengah abad lamanya (350 tahun).
Setelah Belanda lari meninggalkan Indonesia, datanglah tamu baru
yang menamakan dirinya saudara-tua (Jepang), yang dengan segera
menduduki seluruh kepulauan Indonesia. Usaha Jepangisme, yang ingin
memper-Jepang-kan seluruh Asia, terutama Indonesia, hanya berjalan
lebih-kurang tiga setengah tahun. Keadaan rakyat bangsa kita di bawah
perintah kapitalis Belanda atau di bawah fasis Jepang setali tiga uang,
alias sama saja, sebab kedua bangsa itu terpengaruh oleh nafsunya untuk
menindas dan memperkudakan bangsa lain, yang lazimnya menurut
terminologi (istilah) politik dikatakan imperialisme.
Sampai pada dewasa itu, bangsa Indonesia hanya tahu satu
kewajiban, yaitu kewajiban diperintah, dan cuma kenal satu hak, yaitu
hak

hamba-sahaya,

yang

hidupnya

untuk

ditindas

dan

diperas

(diperah). Enyahkanlah sifat Belandaisme, yang membawa kekufuran bagi


kita! Musnahkanlah sifat Jepangisme, yang menanam benih kemusyrikan
atas bangsa dan Ummat Islam Indonesia! Kedua jalan itu menuju ke arah
nerakaneraka dunia dan neraka akhirat!
Betul, dulu pada masa akhir zaman Belanda, kita di-ninabobo-kan
dan diberi permainan boneka, yang bernamakan hak politik. Akan
tetapi, sikap manis bangsa Belanda yang serupa itu tidaklah sekali-kali
timbul dari keluhuran budi dan kemurahan hati. Tidak! Sekali-kali tidak!
Bangsa Belanda (pemerintah jajahan) memberi hak yang-sesungguhnyabukan-hak itu di antaranya karena (1) takut celaan dunia internasional
atas beleid (peraturaned.) Belanda dalam memerintah Indonesia, yaitu

sebagai tanah jajahan, (2) dikhawatirkan dapat timbul pemberontakan


yang maha-hebat, dan (3) walaupun bangsa Belanda tidak tahu malu,
dengan kenyataan yang tak-dapat dibantah oleh berita dan cerita, mereka
terpaksa mengakui bahwa bangsa Indonesia bukanlah sebangsa kuda
beban yang hanya tahu memikul kewajiban saja.
Apalagi

setelah

selesai

Perang

Dunia

yang

pertama

dan

dilangsungkannya Perjanjian Damai di Versailles[1] (1919), bangsa Belanda


semakin rajin mencari tipu daya dan tipu muslihat yang halus untuk
mempertahankan dan menyejahterakan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Salah satu tipu daya yang halus itu ialah hak politik.
Pada waktu itu, bangsa Indonesia dikatakan mempunyai hak politik.
Akan tetapi, di belakang, di kanan, dan di kiri, bahkan pada tiap-tiap
penjuru dipasang berbagai-bagai perangkap, yang merupakan goda dan
bencana, halangan dan rintangan, fitnah dan aniaya. Belum terhitung
banyaknya provokasi dan intimidasi yang dihambur-hamburkan di tengahtengah pergerakan rakyat.
Ini semuanya memaksa rakyat dan pemimpin rakyat yang lunak itu
ridho menerima nasib papa dan sengsara, nasib ditahan dan ditangkap,
bahkan nasib dibuang dan naik tiang gantungan. Sungguh berat risiko
yang harus ditanggung oleh setiap pemimpin rakyat pada waktu itu, baik
yang berhaluan maupun yang di luarnya. Itu semuanya akibat politik yang
katanya menjadi hak dan miliknya rakyat Indonesia.
Mengingat keadaan dan kejadian yang sedemikian itu, hak politik
pada waktu itu bukanlah suatu hak yang patut diterima dan dimiliki oleh
sesuatu bangsa yang beradab. Bahkan di dalam pandangan setengah
bangsa kita yang kurang pengetahuan dan pengertian, kata-kata politik
itu seolah-olah berisi hantu yang menakutkan.
Inilah sebabnya kata-kata politik menjadi tercemarkarena noda
yang dilemparkan oleh politik jajahan pada waktu itu, sehingga politik
dijauhi, dibenci, dicaci, bahkan ada pula yang berani mengharamkan
bergerak dan berbuat politik.

Pada zaman pendudukan Jepang, keadaannya lebih menyedihkan


daripada zaman Belanda. Semua pergerakan politiktanpa kecuali
disapu bersih. Kehidupan politik dibongkar sampai keakar-akarnya;
dibunuh mati. Hak politik bagi rakyat nol, tidak barang sedikit pun
diberikan. Rakyat tampak masih setia dan menurut, padahal sebenarnya
hanya takut kepada nakir dan munkar yang bermain di belakang layar
politik Jepangisme, yaitu Kenpeitai dan Gestapu, yang sungguh amat
seram itu.
Pada masa itu, praktis tiada hak politik bagi rakyat Indonesia. Semua
jejak dan langkah harus dialirkan ke Tokyo, yang merupakan pusat
persembahan manusiaberhala yang bernama Tennoo Heika, kiblatnya
semua Jepangisme dan kemusyrikan ala Jepang. Naudzu billahi min
dzalik!
Oleh sebab itu, sekali lagi kami serukan, lenyapkanlah segala macam
sifat kolonialisme atau sisa-sisa Belandaisme dari tubuh masyarakat
Indonesia dan dari diri kita masing-masing! Basmi-lah pula semua sifat
Jepangismesemua jalan yang membawa kesengsaraan dunia dan
akhirat!
Sekarang, Negara dan Rakyat Indonesia sudah merdeka, hampir
cukup setahun umurnya. Kini baru merdeka de facto (nyata menurut
bukti) dan tidak lama lagi in syaa Allah menjadi merdeka de jure jika salah
satu negeri luar mengesahkan kemerdekaan negara kita. Pada saat itulah
kemerdekaan Indonesia menjadi bulat, 100 % penuh, tidak lebih dan tidak
kurang, sehingga dalam ikatan dan persatuan bangsa-bangsa di dunia
negara kita akan mendapat kedudukan yang sederajat dan sejajar dengan
negara-negara merdeka yang lainnya.
Sudah setahun lamanya kita memerintah negara kita sendiri. Oleh
sebab itu, tiap-tiap warga negara seharusnya dan sewajibnya tahu dan
sadar dalam hal politik (politik-bewust). Tahu dan sadar, bahwa tiap-tiap
warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sepenuh-penuhnya
untuk ikut memegang kemudi pemerintah negeri. Sifat masa bodoh,

seperti pada zaman Belanda dan Jepang, haruslah dihalau sejauh-jauhnya


dari pikiran dan amal-perbuatan kita.
Politik, yang dulu pada zaman Belanda dan Jepang dibenci dan
ditakuti,

sekarang

pada

zaman

merdeka

dicintai

dan

disukai.

Selanjutnya, politik yang dulu oleh setengah orang diharamkan,


sekarang di dalam suasana Indonesia Merdeka politik adalah halal,
bahkan wajib bagi tiap-tiap warga negara, terutama yang mengaku
Ummat Islam, Ummat Muhammad.
Jika di kalangan rakyat dan masyarakat masih terdapat sifat
kolonialisme Belanda atau fasisme Jepang, tolong obati penyakit itu
sampai sembuh sama sekali, sebab sifat kuda beban-Belanda atau
anjing-Jepang yang sebodoh itu tidak lagi patut menjadi sifat seorang
warga dari suatu negara yang sudah merdeka. Sebaliknya, kita tidak perlu
berlomba-lomba begitu rupa sehingga terjadi persaingan dan perebutan
kursi, yang akibatnya hanyalah kerusuhan, kekacauan, serta gangguan
keamanan dan ketertiban umum.
Dengan keterangan ringkas tersebut, hendaknya tiap-tiap warga
negara terutama yang termasuk golongan Ummat Islam harus, bahkan
wajib berpolitik. Terlebih lagi, berpolitik mengandung kewajiban suci, yaitu
kewajiban memerintah negeri kita sendiri dan kewajiban menjadi bangsa
yang merdeka.

BAB II
CITA-CITA DAN KENYATAAN
(Ideologi dan Realiteit[2])
Di dalam perjuangan politik, kita selalu harus berpegangan kepada
dua akidah politik. Akidah yang pertama ialah ideologi atau CITA-CITA,
tepatnya maksud dan tujuan dari perjuangan politik. Tiap-tiap usaha dan
amal politik yang dilakukannya harus dan wajib diarahkan kepada
tercapainya ideologi itu, walaupun betapa besar goda dan coba dalam
perjalanan itu.
Adapun akidah politik kedua ialah realiteit, artinya KENYATAAN, yaitu
bukti syariat yang terletak di depan mata kita. KENYATAAN itu dapat
merupakan sejumlah kekuatan, jiwa, harta, kecakapan, kepandaian, dan
lain-lain. Semuanya itu menjadi syarat dan alat perjuangan untuk
mendekati dan mencapai maksud serta tujuan (ideologi).
Sebuah tamsil[3] mungkin dapat memudahkan kita berpikir secara
politik. Taruhlah, kita ingin pergi ke Bandung atau Jakarta. Menginjak
Bandung atau Jakarta adalah maksud kita. Itulah ideologi kita. Lalu, kita
mencari dan memperoleh syarat dan alat untuk menyempurnakannya
perjalanan sehingga sampai di Bandung atau Jakarta. Dikumpulkannya
uang

untuk

berbagai

biaya

di

perjalanan,

serta

dipersiapkannya

perbekalan lainnya, seperti mencari kereta-api atau mobil yang pergi ke


arah itu, naik sado pergi ke stasiun, dan lain-lain. Semua persiapan dan
perlengkapan

untuk

melangsungkan

perjalanan

itu

dinamakan realiteit atau KENYATAAN. Taruhlah, kereta api tidak ada


karena perhubungan jalan ke arah itu terputus. Hendaknya kita mencari
mobil. Taruhlah, mobil tidak kita dapatkan. Maka, haruslah kita mencari
kendaraan lain. Kalau akhirnya kendaraan apa pun tidak mungkin
didapatkan,
hendaknya

dengan

jalan

kaki

perjalanan

atau

harus

merangkak-rangkak
terus dilangsungkan,

sekalipun
asal

perjuangan (perjalanan) jangan sampai tertunda atau terhenti karena


kekurangan atau sepinya syarat.

Seorang pejuang yang berideologi tidak pernah terhentiapalagi


sengaja menghentikan diridalam usahanya mendekati dan mencapai
CITA-CITA-nya. Mungkin pada suatu waktu ia tampak lari hilir-mudik,
melompat ke kanan dan ke kiri, terbang ke barat atau ke timurkarena
keadaan dan KENYATAAN masyarakat tidak memberi kemungkinan atau
kelapangan lebih dari itu. Akan tetapi saat ia terombang-ambing oleh
gelombang masyarakat dan terdampar di pantai kesengsaraan, matahatinya tidak pernah lepas dari ideologi. Setiap langkah dan geraknya
selalu diarahkan kepada tercapainya ideologi. Ia hidup dengan ideologinya
dan ingin mati pun pada jalan dan usaha menuju tercapainya ideologi itu.
Jiwa perjuangan yang demikian itu tiada ternilai harganya. Jiwa yang
serupa itu adalah mustika bangsa, yang menjadi benih kemuliaan dan
keluhuran sebuah Ummat dan agama.
Alhamdulillah, kita bangsa Indonesia masih boleh merasa bangga,
bahwa di kalangan bangsa kita masih terdapat pemimpin-pemimpin
Ummat yang berbudi luhur itu. Hal ini kami anggap perlu dinyatakan,
walau hanya dengan sepatah atau dua patah kata. Sebab menurut
kejadian di waktu yang silam, baik pada zaman Belanda, pada zaman
Jepang, maupun pada zaman merdeka ini, tidak sedikit jumlah pendekarpendekar bangsa yang hanyut dalam lautan goda dan coba keduniaan
(pangkat, harta dan lain-lain) atau karena tidak tahan lagi kena pukulan
badai nista dan sengsara hina dan papa, yang merupakan kadar risiko
yang dapat dikurniakan [ujian yang diberikan Allahed] kepada tiap-tiap
pemimpin ahli perjuangan bangsa, nusa, dan agama. Akan tetapi,
manakala yang satu jatuh, yang lainnya sudah siap sedia menggantikan
tempat kedudukan kawannya. Memang! Begitulah perputaran roda cokro
panggilannya, dan demikian pulalah agaknya perjalanan Qodrat Allah,
yang menguasai segenap hukum cakrawala dan semesta alam ini.
Pun sebaliknya, kita harus pula bercermin kepada berbagai peristiwa,
yaitu saat orang bisa demikian yakin kepada suatu ideologi sehingga lupa
kepada realiteit, tergila-gila kepada ideologi sendiri, mabuk dengan
kebenaran sendiri, sehingga sering lupabahkan kadang-kadang tidak

barang sedikit menaruh perhatian atau penghargaan kepada ideologi


yang lainnya.
Penyakit fanatisme yang demikian inilah yang mudah sekali
membahayakan persatuan bangsa dan persatuan perjuangan, yang
kesudahannya berakibat perpecahan dan percideraan (kerusakaned)
yang tidak diharapkan; terutama pada masa genting-runcing seperti
sekarang ini, ketika tiap-tiap warga negara seharusnya merasa wajib ikut
serta menyempurnakannya perjalanan Revolusi Nasional yang sedang kita
hadapi bersama. Lebih-lebih lagi, [rasa tanggungjawab ini akan semakin
besared] kalau kita yakin bahwa tiap-tiap perpecahan antara kita
dengan kita adalah satu keuntungan bagi musuh. Tentang hal ini, lebih
lanjut akan kami sajikan di bagian yang lain.
Dengan demikian, keterangan dan penerangan ringkas tersebut
cukuplah kiranya menunjukkan tentang wajibnya kita selalu berpegangan
kepada kedua akidah-politik tersebut jika kita hendak melalui jalan yang
sebaik-baiknya dalam perjuangan menuju dan mencapai kemuliaan dan
keluhuran nusa, bangsa, dan agama. Singkatnya, menegakkan Republik
Indonesia.

BAB III
ALAM PERJUANGAN
Mengingat sifat dan keadaannya, alam perjuangan yang kini sedang
kita hadapi bolehlah kita bagi menjadi dua bagian.
Pertama, alam perjuangan sejak mula proklamasi Indonesia Merdeka (17
Agustus 1945) hingga kemerdekaan Indonesia bulat 100%.
Adapun

yang

dikatakan

kemerdekaan Indonesia bulat

100%

ialah

manakala negara kita lepas dan bebas dari gangguan penjajahan asing,
baik imperialisme Belanda maupun imperialisme lainnya. Lagi pula,
kemerdekaan yang 100% itu tidak hanya berlaku atas sebagian atau
beberapa bagian dari kepulauan Indonesia saja, melainkan kemerdekaan
100% atas dan bagi seluruh kepulauan Indonesia.
Kedua, alam perjuangan setelah Indonesia Merdeka bulat 100%.
Pada waktu itulah orang berjuang dengan sepenuh kekuatannya untuk
membela dan mempertahankan keyakinan dan ideologinya masingmasing. Tiap-tiap golongan dan partai berikhtiar dan berdaya-upaya
dengan segenap usahanya untuk mengembangkan ideologi di kalangan
rakyat. Karena Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan Rakyat, suara
rakyat yang terbanyak itulah yang akan memegang kekuasaan negara.
Jika komunisme yang diikuti oleh sebagian besar rakyat, pemerintah
negara akan mengikuti haluan politik sepanjang ajaran komunisme. Bila
sosialisme atau nasionalisme yang menang suara, sosialisme dan
nasionalisme-lah yang akan menentukan haluan politik negara.
Demikian pula, jika Islam yang mendapat karunia Tuhan menang
dalam perjuangan politik itu, Islam pulalah yang akan memegang
tampuk

pemerintahan

negara.

Dengan

demikian,

pada

waktu

itu

terbangunlah Dunia Islam atau Darul Islam, yang tetap bersendikan


kepada kedaulatan rakyat, yang tidak menyimpang serambut dibelah
tujuh sekali pun dari ajaran-ajaran kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad
Saw.

Pada saat itulah, kita hidup di dalam Dunia Baru, yang boleh kita
gelari Al-Daulatul-Islamiyah. Selanjutnya, tentang hal ini akan kami
bentangkan (jelaskaned) di bagian lain. Oleh sebab itu, perjuangan
kedua ini bolehlah dinamakan alam perjuangan ideologi.

BAB IV
REVOLUSI NASIONAL DAN REVOLUSI SOSIAL

Mengingat corak dan wujud serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di


alam-alam perjuangan tersebut, pada garis besarnya bolehlah perjuangan
yang berkenaan dengan perubahan masyarakat cepat (revolusi), menurut
sifat dan tabiat yang terkandung di dalamnya, dibagi atas dua bagian.
1) Revolusi Nasional, yaitu segala perubahan mengenai negara kita dari
dalam

ke

luar,

yang

menolak

tiap-tiap

penjajahan.

Perjuangan

menuntut pengakuan dunia internasional atas hak kemerdekaan kita.


Revolusi Nasional itu bisa saja menghasilkan diplomasi dan bukan
berupa pertempuran rakyat sebagai suatu bentuk yang nyata, yang
menyatakan bahwa rakyat Indonesia sungguh-sungguh tidak menyukai
penjajahan dalam bentuk apa pun. Dilihat sepintas lalu, kedua jalan ini
acapkali tampak berselisihan, bahkan adakalanya bertentangan dan
bertikaian. Padahal, sesungguhnya kedua usaha itu (diplomasi dan
pertempuran) harus dilakukan, di mana perlu dan seberapa perlunya
(saat diperlukan dan dengan perhitungan-ed), sebab tiada harganya
suara Indonesia bergelora di medan percaturan internasional, menuntut
pengakuan dunia atas hak kemerdekaan negara kita (diplomasi), jika di
belakang

mulut

diplomasi

itu

tidak

terambing

dan

tidak

diselenggarakan gerakan dan perjuangan rakyat, yang suatu saat


sanggup

mempertahankan

kemerdekaannya

dan

menegakkan

kedaulatan negaranya (Republik Indonesia).

Dalam hal ini, yakinilah, tiap-tiap muslim, bahwa fardlu ain-lah yang
menuntut dan mendorong dirinya untuk menolak tiap-tiap penjajahan,
melakukan jihad fi

sabilillah bimana[4] qital atau ghazwah[5],

dengan

harta dan jiwanya, dan apa pun juga yang dikehendaki untuk berkorban
di jalan yang suci itu. Selain itu, tiap-tiap warga negara Indonesia
lainnya juga tidak terlepas dari pertanggungan beban dan kewajiban
yang utamasebagai seorang warga dari suatu negara yang telah
merdekauntuk

mempertahankan

dan

menegakkan

kedaulatan

negaranya, dengan tiap syarat dan maksud, yang dikehendaki pada


jalan yang mulia itu. Di balik itu, maka haramlah bagi tiap-tiap muslim
mempunyai sikap dan pendirian menerima dan ridho dijajah oleh siapa
pun juga.

2) Revolusi Sosial, merupakan sifat kedua dari perjuangan Ummat yang


menghendaki perubahan masyarakat dari dalam ke dalam, di dalam
negeri sendiri, oleh bangsa sendiri, dan bagi kepentingan negara kita
sendiri. Revolusi Sosial ini berlaku atau tidak berlaku di suatu tempat
atau daerah bergantung semata-mata kepada matang atau mentahnya
suatu

ikatan

masyarakat

di

tempat

atau

daerah

tersebut

dan

bersangkutan langsung dengan keadaan dan peristiwa yang berlaku di


daerah itu. Lagi pula, Revolusi Sosial itu tidak dapat dilakukan oleh
saban orang, dalam arti kata segenap rakyat, melainkan dilakukan oleh
sebagian dari rakyat, menurut golongan, tingkatan, atau ideologi yang
berlaku di daerah itu.
Jika Revolusi Sosial itu menjadi wajib pula atas kita, dalam pandangan
hukum masyarakat (sosiologis) dan sepanjang tinjauan hukum agama
bolehlah kiranya kita masukkan dalam bagian fardlu kifayah, yaitu
kewajiban yang dianggap sudah cukup sempurna dilakukan bilamana
sebagian dari Ummat telah menyelesaikannya.
Syahdan, jika kita bandingkan kedua sifat perjuangan itu (Revolusi
Nasional

dan

Revolusi

Sosial),

yang

pertama

dapat

kita

namakan Jihadul Asgar (jihad keciled) dan yang kedua Jihadul Akbar
(jihad

besared).

Selain

itu,

sebagai

tambahan

bolehlah

pula

dicantumkan sifat perjuangan yang ketiga, yang hanya mengenal


(melibatkaned) diri seorang (individueel, syakhsiyah), yang oleh
karenanya

dapat dinamakan Revolusi Diri, atau Revolusi Pribadi,

atau Revolusi Syakhsi.


Adapun yang kami maksudkan dengan revolusi pribadi itu ialah
perubahan diri, perubahan sifat dan tabiat, perubahan himmah
(kemauaned) dan semangat, serta perubahan kehendak dan CITACITA. Tegasnya, perubahan jiwa, perubahan manusia dalam arti
manawi (hakikat) dan maani (wujud), dzahir dan batin.
Sungguhpun hal ini (revolusi pribadi), yang bila sudah merata akan
menjadi Revolusi Rakyat, jarang sekali disebut-sebut orang. Akan
tetapi dalam pandangan dan pendapat kami, [revolusi inied] tidak

kurang pentingnya dibanding dengan Revolusi Nasional dan Revolusi


Sosial. Lebih-lebih lagi, revolusi rakyat itu mengenai dasar-dasar dan
sendi-sendinya masyarakat dan khalayak ramai serta tulang-punggung
pemerintahan negeri. Jauhkan dan enyahkanlan sifat kolonialisme (sisa
Belanda-isme) dan sifat fasisme (sisa Jepang-isme) dari diri kita, dari
tubuhnya masyarakat, dan dari khalayak ramai! Jadikanlah diri kita
masing-masing menjadi jiwa merdeka, jiwa yang patut menjadi
anggota masyarakat yang merdeka! Jiwa yang pantas menjadi warga
dari suatu negara yang merdeka!
Dalam pandangan Islam, tiadalah mungkin dibentuk jiwa merdeka
melainkan berdasarkan atas sesuci-suci iman kepada Allah dan
sebersih-bersih tauhid, sepanjang ajaran kitabullah dan sunnah
Rasulullah Muhammad Saw. Usaha mengubah diri menjadi jiwa
merdeka adalah kewajiban yang diletakkan atas pundak tiap-tiap
warga negara yang sadar dan insaf akan bangsa dan tanah airnya,
terutama atas warga negara yang menamakan dirinya muslim atau
mumin, yang telah mendapat panggilan suci dari agamanya.
Sebab, jika tiap-tiap warga negara Indonesia telah dapat mengubah
dirinya menjadi jiwa merdeka, tegasnya jika revolusi rakyat telah
berlaku atas dirinya, In syaa Allah tertutuplah jalan dan kemungkinan
bagi kaki penjajah yang mana pun juga menginjak tanah air kita,
jangankan mengganggu kedaulatan negara kita.

BAB V
IDEOLOGI ISLAM
Berbeda dengan ideologi-ideologi lainnya, ideologi Islam tidak hanya
menuju kepada keselamatan dunia, melainkan juga kesejahteraan akhirat.
Apabila kita sebagai ahli ilmu jiwa (psycholoog[6]) dan sebagai ahli
ilmu

(sosioloog[7])

masyarakat

meneropong

jiwa

dan

gerak-gerik

sukmanya Ummat Islam, serta suka pula membandingkannya dengan


ideologi

Islam,

terdengarlah

suara

sayup-sayup

laksana

teriakan

penunggang onta di tengah-tengah lautan pasir yang amat luas, namun


ada kalanya terdengar pula seperti dentuman meriam dan letusan bom,
seolah-olah seperti halilintar di tengah-tengah hujan-angin yang lebat dan
taufan yang dahsyat.
Sari dari suara jiwa Ummat Islam yang serupa itu mengalir ke satu
jurusan yang tetap dan tentu, yaitu CITA-CITA Islam atau ideologi Islam.
Dalam hal ketatanegaraan dan di dalam masyarakat, suara jiwa Ummat
Islam ini bolehlah kami terjemahkan sebagai berikut.
1) Hendaklah

Republik Indonesia menjadi

republik

yang

berdasar

Islam;
2) Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum syara
agama Islam; dalam arti yang seluas-luas dan sesempurnasempurnanya;
3) Kiranya tiap-tiap muslim mendapat kesempatan dan lapangan
usaha untuk melakukan kewajibannya, baik dalam bagian duniawi
maupun dalam urusan ukhrowi;
4) Kiranya Rakyat Indonesia, teristimewa sekali Ummat Islam, terlepas
dari tiap-tiap perhambaan yang manapun jua.
Dengan ringkas tapi tegas, bolehlah kita katakan bahwa CITA-CITA Ummat
Islam (ideologi Islam) ialah hendak membangunkan Dunia Baru atau
Dunia Islam, atau dengan kata-kata (terminologi) lain, Darul Islam.

Sebab pada sepanjang keyakinan dan pendapat Ummat Islam, hanya


dengan Islam di dalam bangunan Darul Islam sajalah masyarakat
Indonesia khususnya dan segenap perikemanusiaan umumnya dapat
terjamin keselamatannya, baik yang berhubungan dengan hidup dan
peripenghidupannya maupun yang bersangkutan dengan kepentingan
dan keperluan keduniaan yang lainnya.
Selain itu, kejurusan (tujuaned) ukhrowiyah Ummat Islam yang ber-CITACITA-kan memperoleh keselamatan dan kesejahteraan akhirat ialah
Dunia Baqa (kekaled); atau dengan kata lain, Darul Salam. Dunia
sempurna, alam di balik kubur, yang dijanjikan Allah atas tiap-tiap hambaNya yang sengaja dan pandai melakukan kewajibannya dengan sempurna
sepanjang tuntunan dan petunjuk kitab-Nya dan contoh tauladan NabiNya yang penutup SAW.
Begitulah harap dan doa tiap-tiap jiwa yang berideologi Islam jika pada
suatu

saat

bertemu

dengan

ujung

kesudahan

hidupnya;

setelah

menyelesaikan amal usaha dan kewajibannya, yang perlu diperbuat


semasa diberi haya[8] oleh Dzat Yang Maha Murah dan Maha Asih.
Karenanya pula, sering dikatakan oleh pemuka-pemuka Islam dan para
alim ulama bahwa CITA-CITA Ummat Islam ialah menuju dan memperoleh
mardhotillah dan rahmatillah. Mardhotillah

dan

rahmatillah

di

dunia

merupakan Darul Islam! Sedangkan mardhotillah dan rahmatillah di


akhirat mewujudkan Darus Salam!
CITA-CITA yang serupa itu tertanam dalam-dalam dan berakar kuatkuat dalam kalbu Ummat Islam sehingga tiap-tiap muslim dan mumin
menganggap hidupnya tiada berguna (mubadzir), bahkan ia merasa
menanggung dosa yang sebesar-besarnya, jika ia menghentikan ikhtiar
dan usahanya bagi mencapai Darul Islam, Darus Salam!

BAB VI
TAKTIK DAN SIKAP PERJUANGAN
Tiap-tiap pemuka dan penganjur perjuangan sadar dan insaf,
mengerti dan mengetahui, bahwa untuk mencapai suatu CITA-CITA atau
ideologi harus dan wajib dilakukan taktik dan dibuat sikap perjuangan
yang tepat, dengan mengingati (mempertimbangkaned) keadaan masa
(waktu) dan keadaan masyarakat.
Pemimpin yang ulung dan bijaksana dalam perjuangan tidaklah
mudah menggerakkan kaki dan tangan, bibir dan penanya, hanya asal
berjuang saja. Akan tetapi, tiap-tiap gerak dan langkahnya harus
bersandarkan

kepada

perhitungan

yang

pasti

(setepat

mungkin,

sepanjang atau sependek hitungan akal manusia). Terutama bila ia masuk


golongan pemimpin Islam, selain berdasarkan kepada hitungan yang
pasti, ia harus pula selalu mengingati ketentuan-ketentuan hukum dan
senantiasa

berusaha

menyelaraskan

tiap-tiap

langkah

dan

amal

perbuatannya dengan ketentuan-ketentuan hukum itu (taufiq), walaupun


dalam pada itukapan perlu dan seberapa perlunyaia terpaksa
menentang nafsunya sendiri atau melawan nafsu golongannya.
Selain itu, tiap-tiap pemimpin Islam jangan putus-putus memanjatkan
harap dan doa kepada Azza wa Jalla, kiranya Ia memperkenankan
hamba-Nya memperoleh petunjuk Ilahi (hidayatullah) yang sempurna
sehingga dalam hal itu ia selalu menerima pimpinan yang suci, pimpinan
dari Allah, satu-satunya jalan yang menjamin keselamatan dunia dan
kesejahteraan

akhirat,

baik

buat

diri

maupun

buat

masyarakat

seluruhnya.
Syahdan, maka pada waktu ini kita menghadapi perjuangan dua
muka

(twee-fronten-strijd).

Yang

pertama

adalah

perjuangan

ke

luar (ekstern), yaitu Revolusi Nasional yang menolak tiap-tiap serangan

penjajahan asing, sedangkan yang kedua berwujudkan perjuangan ke


dalam (intern), yaitu Revolusi Sosial yang bermaksud menyelesaikan dan
menyempurnakannya segala urusan dalam negeri sehingga Republik
Indonesia

menjadi

satu

negara

merdeka

yang

kokoh,

kuat,

dan

sentausa (stable government).


Kedua langkah dan arah itu sungguh amat penting dan menuntut
sepenuh-penuh

perhatian

kita

atasnya.

Setiap

waktu

harus

kita

pergunakan dan setiap jalan ke arah itu harus kita tempuh, meskipun
terpaksa melampaui ranjau dan bencana yang maha-hebat dan dahsyat.
Maka, setengah pemuka perjuangan berpendapat bahwa Revolusi
Sosial harus diselesaikan lebih dulu. Sebab, ia (merekaed) berkeyakinan
bahwa

Revolusi

Nasional

sesempurna-sempurnanya,

tidak
jika

akan
Revolusi

berlaku
Sosial

sehebat-hebat

dan

belum

dulu

lebih

diselesaikan.
Sebaliknya, setengah dari pemuka perjuangan lainnya berpendapat
bahwa penyelesaian Revolusi Nasional harus didahulukan. Sebab pada
anggapan dan keyakinan pihak perjuangan ini, masalah dalam (Revolusi
Sosial) adalah barang yang agak mudah, yang dapat diselesaikan antara
kita dengan kita, sedangkan sementara ini musuh sudah bersarang di
tengah-tengah masyarakat kita. Lebih lanjut, menurut pihak ini, Apa
artinya kita meneguhkan kedaulatan republik kita, jika pengaruh penjajah
nanti sudah masuk dalam tulang sumsum rakyat kita? Malah tiap-tiap
ideologi pun tidak lagi mempunyai hak hidup dan hak berlaku dengan
sepertinya, selama kita masih selalu tergoda oleh nafsu angkara murka
yang senantiasa ingin menjajah bangsa kita itu.
Memang! Sekalian (semuaed) pemuka dan pemimpin sudah
sepakat

kata,

bahwa

tiadalah

sesuatu

CITA-CITA

(ideologi)

dapat

berkembang dengan luhurnya di Indonesia, kecuali jika Indonesia sudah


merdeka 100%, merdeka de facto dan merdeka de jure, merdeka menurut
bukti KENYATAAN dan merdeka yang sah sepanjang hukum dunia
internasional. Inilah sebabnya, pendirian kita di dalam menentukan taktik
perjuangan untuk mencapai ideologi Islam kita bagi juga di dalam dua

tingkatan, menurut alam perjuangan dan masa perjuangan yang sedang


kita hadapi.
Tingkatan pertama, selama Indonesia belum merdeka 100%, makakita
harus

mengutamakan

dan

mendahulukan

Revolusi

Nasional

lebih

daripada Revolusi Sosial.


Taktik yang seperti itu tidaklah sekali-kali menutup atau mengurangkan
perjuangan kita di dalam negeri. Tidak! Sekali-kali, tidak! Akan tetapi,
kekuatan kita, kekuatan Rakyat, kekuatan Ummat Islam harus dibagi
menjadi dua bagian. Bagian yang terbesar dipergunakan untuk ikut
menselesaikan Revolusi Nasional, sedang bagian kecil hendaknya kita
sediakan untuk ikut menyelenggarakan berlakunya Revolusi Sosial.
Tingkatan

kedua,

jika

dengan

pertolongan

dan

karunia

Tuhan Indonesia sudah merdeka 100%, kita pergunakan segenap tenaga


kita untuk kepentingan Revolusi Sosial semata-mata.
Adapun, Revolusi Nasional pada waktu itu boleh dikata hampir tidak
menghendaki (membutuhkaned) tenaga lagi. Jikapun perlu tenaga,
hanyalah merupakan persiapan, persediaan, dan penjagaan bahaya dari
luar belaka. Kemudian, perlu juga kiranya ditambahkan beberapa
pandangan ringkas tapi jelas dan tegas untuk menguatkan apa yang
dirawaikan[9] sebelumnya.
Di beberapa tempat di tanah Jawa sudah mulai berlaku Revolusi
Sosial. Bahkan ada pula yang sudah hampir selesai, meskipun dalam
ukuran normal masih jauh dari sempurna. Semuanya itu sesungguhnya
terbatas oleh keadaan dan kejadian di tempat dan daerah itu sendiri.
Di Jawa pada dewasa ini, Revolusi Sosial mungkin dapat berlaku
(terjadied)bersamaan dengan waktu berlakunya Revolusi Nasional
jika keadaan di tempat atau daerah itu menuntut dan menghendakinya.
Dan bilamana terpaksa terjadi yang serupa itu, hendaknya dijaga
beberapa perkara, di antaranya:

1) Peliharalah eratnya persatuan antara pemerintah dan rakyat, serta


jagalah persatuan antara golongan dengan golongan, antara
berbagai-bagai

lapisan

rakyat,

sehingga

mungkin

terjadi

percideraan, pertikaian, atau pertengkaran[10], yang kadang-kadang


menimbulkan korban. Setiap usaha yang merenggangkan kita sama
kita tiap-tiapnya itu menjadi keuntungan musuh, maka hendaknya
kita harus lebih berhati-hati, tertib, dan teliti dalam tiap-tiap gerak
dan langkah kita.
2) Revolusi Sosial itu hendaknya jangan hanya memberi keuntungan
kepada

tempat

atau

daerah

itu

sendiri

saja,

tetapi

juga

menimbulkan keuntungan nasional. Tegasnya, Revolusi Sosial yang


berlaku (terjadied) itu dapatlah kiranya menambah pesatnya
kekuatan guna menyelesaikan Revolusi Nasional. Sebaliknya, jika di
suatu tempat terjadi Revolusi Sosial dan ternyata merugikan tempat
atau daerah itu sendiri, jangankan merugikan perjuangan Ummat
(nasional), teranglah bahwa revolusi yang seperti itu bukanlah
revolusi yang kita harapkan, yang bisa membawa rakyat bangsa kita
kepada kemerdekaan yang sejati.
Adapun

revolusi

yang

kita

harapkan

ialah

revolusi

yang

membangun (konstruktif), bukan revolusi yang membongkar (destruktif)


yang menumbuhkan huru-hara atau perang saudara dalam kalangan
bangsa kita sendiri. Padahal tiadalah marabahaya yang lebih hebat dan
dahsyat yang boleh menimpa Ummat dan negara, melainkan tumbuhnya
huru-hara dan perang saudara itu, teristimewa sekali pada masa yang
segenting ini, saat nasib bangsa dan negara kita hanya tergantung
kepada kekuatan diri sendiri semata-mata dan pada hakikatnya hanya
terkandung kepada pertolongan dan karunia Ilahi.
Oleh sebab itu, kami berharap moga-moga keyakinan yang serupa ini
dan taktik perjuangan yang kita lakukan itu tidak hanya menjadi milik kita
sendiri saja, milik Partai Politik Islam Masyumi dan Ummat Islam
umumnya, melainkan juga merata bagi sekalian ahli perjuangan yang
sama-sama menghendaki kemuliaan nusa, bangsa, dan terutama agama,
dalam melakukan kewajiban kita bersama, menegakkan kedaulatan

Republik Indonesia. Kalau kita selalu menjauhkan masalah-masalah yang


kecil (fariyah) dari pandangan kita dan melihat kewajiban-kewajiban yang
besar (ushul) yang selamanya menantikan kita, in syaa Allah segala
sesuatu akan dapat kita selesaikan bersama-sama dengan cara yang
sebaik-baiknya.

BAB VII
MENUJU KE ARAH DARUL ISLAM DAN DARUS SALAM
Hatta[11], berikut ini kami hendak coba menerangkan gambaran amal
dan usaha, gambaran cara dan rencana, gambaran jalan dan arah, yang
dapatdengan izin Allah juamembuka pintu gerbang Dunia Baru yang
selalu menjadi rindu-dendam kita, yaitu Dunia Islam atau Darul Islam.
Lebih dulu, kami nyatakan di sini bahwa rencana dan usaha itu
didasarkan

atas

keadaaan

yang

biasa

(normal,

senormal mungkin,

menurut keadaan dewasa ini) dan melalui hukum-hukum yang sah (legal),
baik dalam pandangan negara maupun dalam pandangan agama.
Adapun, kalau sewaktu-waktu, sekonyong-konyong terjadi peristiwaperistiwa yang luar biasa (abnormal)yang semuanya itu tidak mustahil
terutama pada zaman revolusi seperti sekarang ini, cara melakukannya
kami serahkan dan percayakan kepada kebijaksanaan para pemimpin
Ummat dan pemimpin negara. Hanya, kita tahu bahwa suatu penyakit
mungkin sembuh jika diobati dengan anasir[12] yang melawan penyakit
itu. Kalau kurang vitamin, ditambahnya dengan vitamin lain. Kalau kurang
gemuk, ditambahnya dengan penambah gemuk lain. Kalau dihinggapi
penyakit

pes,

disuntiknya

dengan

serum

anti-pes.

Pun,

demikian

keadaannya dengan penyakit masyarakat sehingga, jika pada suatu waktu

terjadi peristiwa-peristiwa yang abnormal (dalam pandangan hukum di


dalam

lingkungan

negara

yang

teratur/geordende

staat),

abnormaliteit[13] itu biasanya di-normaliseer (disembuhkan) dengan suatu


abnormaliteit yang bersifat kebalikannya.
Walhasil, dalam hal ini kami percaya sepenuh-penuhnya atas usaha
para arif-bijaksana yang bertanggung jawab atas keselamatan Ummat,
masyarakat, dan negara. Sekarang, baiklah kita mulai dengan gambaran,
sekadar yang berkenaan dengan pokok.
Pertama, Ummat

Islam

adalah

sebagian

dari

rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh sebab itu, kita pun akan mengambil
bagian yang besar pula dalam menyelesaikan Revolusi Nasional, yang
pada saat ini merupakan kewajiban yang pertama (utamaed) atas kita
sekalian. Lebih-lebih lagi, kita yakin dengan sepenuh-penuh keyakinan
bahwa tiada tempat dan lapangan usaha serta lapangan hidup bagi
ideologi manapun juga, melainkan apabila negara kita sudah sungguhsungguh merdeka 100%. Andai kata, negara kita tidak merdeka 100%.
(misalnya, hanya merupakan gemeentebest[14], dominion status[15], atau
lain-lainnya), tidak satu ideologi rakyat pun yang boleh berkembang biak
di Indonesia. Oleh karenanya, mau atau tidak mau, insaf atau tidak insaf,
tiap-tiap warga negara harus merasa wajib ikut menyelesaikan Revolusi
Nasional,

menentang

tiap-tiap

usaha

penjajahan

dari

imperialisme

manapun juga.
Kedua, seperti telah disunting sebelumya, saat kita melakukan
kewajiban ikut serta dalam penyelesaian Revolusi Nasional, sekali-kali kita
tidak boleh lengah atau melupakan usaha kita di dalam bagian
pembangunan, yaitu Revolusi Sosial. Sedangkan, harapan dan syaratsyarat

untuk

menyelenggarakan

Revolusi

Sosial

itu

sudahlah

kita

maktubkan sebelumnya. Sedikitnya, jangan sampai mengurangi tenaga


untuk menyempurnakan jalannya Revolusi Nasional.
Lagipula, bila kita melakukan kewajiban kita dalam bagian Revolusi Sosial
ini, semuanya itu merupakan suatu persiapan buat masa yang akan
datang, yaitu masa kemudian (masa depaned) Indonesia merdeka bulat

100%. Sebab walaupun betapa pula halnya, semasa Revolusi Nasional kita
belum selesai, selama itu keadaan di dalam negara belum tetap
(konstant), selalu berubah-ubah dan beralih-alih sesuai dengan sifat
zaman Revolusi, sifat perubahan masyarakat yang terjadi dengan cara
yang serba cepat dan di dalam waktu yang amat singkat. Ditambah lagi,
Indonesia sebagai negara baru dan negara muda, niscayalah kekurangan
alat, syarat, dan rukun, baik yang merupakan manusia maupun benda,
kecakapan, kepandaian, peraturan negara, dan lain-lain. Misalnya, pada
waktu ini Indonesia belum mempunyai Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Parlemen atau Majelis Syuro), padahal majelis yang seperti itu (Majelis
Tahkim, majelis pembuat hukum/undang-undang negara) amat penting
terbentuknya dalam suatu negara yang merdeka, terutama di negara kita
yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat 100%.
Namun, walaupun betapa pula halnya, kami tidak sekali-kali berkecil
hati, bahkan kami yakin bahwa penyelenggaraan dan perlengkapan
(penyempurnaaned) usaha pembangunan makin hari makin mendekati
kepada kesempurnaannya. Pada waktu ini, mau atau tidak mau, kita harus
dan wajib berdayung dengan kemudi yang terletak di tangan kita.
Maka, usaha kita dalam bagian ini (Revolusi Sosial), dapatlah kiranya
dibagi dalam beberapa bagian, di antaranya yang teramat penting dan
harus kita perbincangkan di sini ialah Bagian Politik.
A. Hendaknya Ummat Islam jangan ketinggalan dalam [pembentukan
ed] badan-badan perwakilan rakyat, mulai di tempat-tempat yang
sekecil-kecilnya (desa) sampai kepada pusatnya, malahan hendaknya
sampai

pula

kepada

Majelis

Permusyawaratan

Rakyat

yang

bersifat legislatif (pembuat hukum).


B. Selain itu, Ummat Islam jangan sampai lupa kepada kewajiban [yang
bersifated] eksekutif (melakukan hukum), jika sewaktu-waktu ada
tempat

terluang

baginya

dan

masyarakat

menghendaki

serta

memanggilnya. Kedua tempat itu (legislatif dan eksekutif) sama-sama


pentingnya. Marilah kita heningkan (renungkaned) sebentar kedua
pasal ini.

Umpamanya, pada suatu waktu Ummat Islam dapat menduduki


sebagian

besar

Majelis

Permusyawaratan

Rakyat

dan

menurut

keputusan majelis tersebut, yang berarti juga keputusan menurut


kedaulatan rakyat, digunakan undang-undang Islam. Padahal di
bagian eksekutif (yang menjalankan hukum), kita amat kekurangan
tenaga. Maka, tentulah jalannya hukum sekurang-kurangnya akan
menjadi pincang, malahan mungkin juga tidak berjalan sama sekali.
Kami yakin dan tahu bahwa dalam hal ini Ummat Islam masih jauh
sekali ketinggalan. Oleh sebab itu, hendaklah di samping latihanlatihan ketentaraan (militer) untuk menyelesaikan Revolusi Nasional,
diadakan pula latihan-latihan politik (ketatanegaraan) dengan cara
kilat, agar secepat mungkin Ummat Islam dapat menunjukkan
kecakapan dan kecukupannya jika sewaktu-waktu mendapat panggilan
dan karunia Ilahi untuk memerintah negaranya sendiri.
Dalam hal ini perlulah diadakan persatuan yang lebih rapat dan lebih
erat antara para alim-ulama (yang biasanya tak-tahu akan selukbeluknya tata-negara) dan para intellektueel[16] (yang pada lazimnya
tidak tahu akan seluk-beluknya agama dan hukum agama), agar
dengan cara demikian satu sama lain tambah-menambah (saling
melengkapied) di dalam hal pengetahuan, pengertian, kecakapan,
kepandaian, dan lain-lain.
Dengan jalan ini, akan lekas pula tampak luasnya paham dan
pengertian dengan terang dan nyata, terutama dalam mengatur dan
memerintah negeri. Sehingga, lenyaplah salah sangka orang bahwa
agama Islam hanya cakap dan cukup untuk dipergunakan di masjidmasjid dan di pesantren-pesantren belaka. Dengan ini, akan musnah
juga penyakit kebarat-baratan yang mengandung paham memisahkan
agama dari drigama[17], memisahkan dunia dari akhirat (Schelding van
Kerk en Staat/perpisahan antara gereja Kristen dan negara), yang
merupakan suatu penyakit (paham barat) yang sengaja disuntikkan
oleh orang barat ke dalam tulang sumsum rakyat Indonesia. Paham
yang seperti itu mungkin bisa masuk di dalam otaknya orang barat
dan mungkin benar buat di negeri-negeri barat, tetapi bagi Indonesia

yang rakyatnya 90% memeluk agama Islam, paham yang serupa itu
nyatalah keliru, salah, dan sesat.
Andai kata kewajiban Ummat Islam dalam bagian pemerintahan
negara yang dua bagian itu telah lengkap (legislatif dan eksekutif),
belum juga sempurna.
C. Kalau hukum telah ditentukan (legislatif), hakim (yang dijalankan
hukum atasnya) pun keadaannya harus sesuai dengan hukum hakim
itu. Adapun yang menjadi hukum dalam hal ini ialah rakyat murba,
rakyat Indonesia seluruhnya yang menjadi warga negara Indonesia.
Riwayat

zaman

penjajahan

Belanda,

lebih-lebih

lagi

zaman

pendudukan tentara Jepang, menunjukkan bukti yang seterang-terang


dan

senyata-nyatanya.

Undang-undang

dibuat

dan

diumumkan;

pemerintah melakukan undang-undang itu; tapi rakyat berbuat


semau-maunya sendiri. Malahan kadang-kadang, menjadi peristiwa
yang ajaib, seperti pepatah Jawa, rujak sentul, kowe ngalor aku
ngidul. Tegasnya, kalau pemerintah mengomando jalan, rakyat
berhenti; begitulah seterusnya. Laksana air dalam muara; air asin
dari laut yang di atas mengalir mudik, maka air tawar yang di bawah
mengalir milir. Selalu berbalikan arah dan tujuan, sikap dan haluan,
antara rakyat dengan pemerintah.
Di zaman jajahan, hal yang sedemikian itu memang sudah seharus
dan

semestinyasuatu

bukti

bahwa

rakyat Indonesia tidak

suka

dijajah dan tidak mengakui adanya pemerintah jajahan. Bahkan


sewaktu-waktu (pernahed)

keadaan seperti itu memuncak hingga

timbul berbagai-bagai pemberontakan rakyat, yang pertumpahan dan


pencurahan darah rakyat itu menjadi tinta emas yang menghiasi
riwayat Indonesia.
merdeka.

Sekarang, Indonesia

Rakyatnya

menjadi

rakyat

sudah
yang

menjadi

merdeka

negara

juga,

dan

pemerintahan pun pemerintahan rakyat yang merdeka.


Hukum dan undang-undang dibuat oleh rakyat (kedaulatan rakyat),
pemerintahnya dipilih oleh rakyat (pemerintahan rakyat), sedang
pemerintahan dilakukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk
kepentingan pemerintah. Begitulah kiranya keadaan kita pada waktu
yang mendatang, jika kemerdakaan Indonesia sudah bulat 100%.

Tetapi, kalau rakyat belum sadar dalam politik, semua teori itu akan
sia-sia belaka, ibarat pohon yang berkembang tapi tidak berbuah.
Oleh sebab itu, di zaman merdeka, rakyat harus diberi pendidikan atau
pengajaran, dituntun dan dipimpin, hingga sadar dalam politik
(politik bewust), sampai ia insaf bahwa ia menjadi rakyat atau bangsa
yang merdeka; mempunyai negara yang merdeka; mempunyai tanah
air yang merdeka; mempunyai pemerintah yang wajib ia taati.
Gemblengan seperti ini tidak cukup dengan cerita dan berita saja,
melainkan harus disertai dengan bukti yang nyata, sehingga tiap-tiap
warga negara, terutama rakyat murba, sungguh-sungguh mengisap
hawa yang merdeka dan hidup dalam suasana merdeka. Dengan tidak
bosan-bosan kami mengulangi kalimat, Bukti! Sekali lagi: Bukti!
Rakyat menuntut bukti!
Kalau demikian halnya, In syaa Allah dengan sadar atau tidak sadar
rakyat akan mengikuti perintah dan seruan serta komando dari
pemimpin dan pemerintah.
D. Selain itu, kita sebagai Ummat Islam masih pula menanggung beban
dan

kewajiban

terhadap

khalayak

ramai,

yaitu

menuntut

dan

mendidik, mencerdaskan, serta mempercakap Ummat Islam agar


pandai dan kuasa melakukan hukum-hukum Allah dan sunnah Nabi
Penutup, Muhammad Saw. Dengan cara yang demikian, jika semuanya
itu dilakukan dengan amal yang nyata (praktijk), akan terjadilah ikatan
kehidupan Islam, yang merupakan benih pertama dari CITA-CITA
kita, DARUL ISLAM!
Misalnya, seseorang hanya cakap untuk melakukan hukum Islam untuk
dirinya

dan

kepada

dirinya

sendiri,

maka

mulaikanlah

pembangunan Darul Islam dalam diri seseorang! Jika kekuatan itu


sudah

meluas,

bangunkanlah Darul

cukup
Islam di

untuk

sekampung

kampung atau

desa

atau
itu!

sedesa,
Begitulah

selanjutnya, sehingga Revolusi Sosial yang kita lakukan sebagai


persiapan untuk masa depan (setelah Indonesia merdeka bulat 100%)
dari lapisan rakyat murba sendiri kita mulaikan sebagai Revolusi Sosial
Islam, atau diringkas Revolusi Islam.

Pendidikan rakyat yang serupa itu, yang natijahnya akan menjadi


Revolusi Rakyat, atau lebih tegasnya Revolusi Rakyat Islam, bukanlah
barang yang luar biasa yang menghendaki (membutuhkaned)
tenaga dan kekuatan yang luar biasa, pada zaman yang luar biasa.
Tidak! Sekali-kali tidak!
Karena pendidikan dan pengajaran seperti itu selaras dengan jiwa
rakyat, Revolusi Rakyat ini pada hakikatnya merupakan usaha
membangunkan dan mengatur kekuatan dan jiwa rakyat yang ghaib
dan masih terpendam (latent) itu! Yang ghaib dan terpendam
berabad-abad lamanya, sejak mula Indonesia dijajah oleh bangsa
asing!
Seperti gunung berapi yang padam pada tiap-tiap waktu yang tentu
atau tidak tentu terpaksa memuntahkan api dan lahar, begitu juga
kekuatan dan jiwa rakyat yang tertekan berabad-abad itu. Pada tiaptiap saat menghendaki, terjadilah peletupan dan letusan jiwa rakyat
berupa pemberontakan rakyat, pemboikotan, dan lain-lain. Satu tanda
bahwa jiwa rakyat Indonesiayang berabad-abad tampaknya macam
(sepertied) bangkaimasih tetap hidup. Terutama sekali setelah
Indonesia

merdeka,

dari

bangsa

yang

berabad-abad

lamanya

disangkanya mati itu, dari bangsa itulah timbul ksatria suci yang
sanggup mempertahankan dan menyentausakan Haq (kebenaran) dan
mengenyahkan segenap yang bathil (penjajahan dan penyakit dunia
lainnya)!
Alhamdulillah. Perlu pula agaknya di sini diterangkan bahwa semuanya itu
terjadi menurut (bergantung padaed) tempat dan waktu, mengingat
keadaan masyarakat pada masa itu, serta kesempatan dan jalan yang
dilapangkan untuk keperluan tersebut. Memperkosa hukum dan keadaan
bukanlah sifat dan tabiat muslim dan mumin. Oleh sebab itu, segala
kewajiban menyempurnakan Revolusi Islam atau Revolusi Rakyat Islam itu
hendaknya dilakukan dengan cara dan aturan yang sebaik-baiknya,
sampai kepada suatu tingkatan Ummat Islam menjadi cakap dan patut
menjadi contoh dan tauladan bagi warga negara yang lainnya.

Jika usaha kita dari atas ke bawah (bagian A dan B) dan dari bawah ke
atas (bagian C dan D) itu memang disertai dengan pertolongan dan
karunia Ilahi, In syaa Allah di dalam tempo yang secepat-cepatnya dunia
Islam akan terbentang di depan mata kita sekalian. Kiranya tiap-tiap
warga negara, terutama Ummat Islam, pandai, cakap, dan cukup untuk
menerima rahmat dan ridho Ilahi yang sebesar itu; satu karunia Allah
yang belum pernah dianugerahkan kepada Ummat Islam di Indonesia
sebelum zaman kita ini. In syaa Allah. Amin.
Adapun tentang Darul Islam, hal ini mutlak bergantung kepada karunia
Allah semata-mata. Tiada suatu mahluk, juga bangsa manusia yang
manapun juga, dapat ikut campur tangan di dalamnya. Hanyalah dari
ajaran agama Islam yang suci, kita mengetahui bahwa tiap-tiap jalan dan
usaha yang menuju ke Darul Islam, jalan dan usaha itu jugalah yang
menuju ke arah Darus Salam, alam yang diliputi oleh nikmat Allah selamalamanya. Mudah-mudahan Allah berkenan menyampaikan kita kepada
CITA-CITA Islam yang suci-murni itu, yaitu Darul Islam di dunia dan Darus
Salam di akhirat!
Aamiin! Yaa rabbal alamin.

Catatan kaki
[1] Nama kota di Perancis, tempat diadakannya perjanjian
antara Prussia (Jerman sebelum PD II) dengan Perancised.
[2] Kenyataaned.
[3] Analogied.
[4] Yang mengandung arti; sesuatu yang dikehendakied.

[5] Qital berarti peperangan (saling membunuh), sedangkan ghazwah


berarti penyerangan (peperangan di wilayah musuh)ed.
[6] Psikologed.
[7] Sosiologed.
[8] Hiduped.
[9] Diuraikaned.
[10] Jika tidak dipelihara/dijagaed.
[11] Dengan demikianed.
[12] Zated.
[13] Ketidaknormalaned.
[14] Otonomi administratif/kotamadyaed.
[15] Negara bagian persemakmuraned.
[16] Intelektualed.
[17] Sistem tatanan kemasyarakataned.

You might also like