Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai
ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan operasi
dengan segera. Dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memeiliki prinsip awal,
dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma
yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya. Kegawatdaruratan medis adalah
keadaan tiba-tiba atau tidak terduga yang membutuhkan bantuan segera. Keadaan yang dimaksud
seperti perdarahan, syok dan lainnya.
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks
yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi
petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Setiap keadaan yang
mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena suplainya yang
kurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok.
Syok adalah kolapsnya tekanan arteri sistemik. Pada penurunan tekanan darah yang berat,
aliran darah tidak dapat secara adekuat memenuhi kebutuhan energi jaringan dan organ. Selain
itu, tubuh berespons dengan mengalihkan darah menjauhi sebagian besar jaringan dan organ agar
organ-organ vital yaitu jantung, otak, dan paru menerima cukup darah. Jaringan dan organ yang
terpaksa kekurangan darah tersebut dapat mengalami gangguan, terutama ginjal, saluran cerna,
dan kulit. Apabila individu yang bersangkutan dapat selamat dari syok tersebut, sering terjadi
gagal ginjal, ulkus saluran cerna, dan kerusakan kulit.
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh) yaitu tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya.
Gejala tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat
normal. Tahap dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh) yaitu tubuh tidak mampu
lagi mempertahankan fungsi-fungsinya, tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital dengan
mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung
dan paru. Jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin maka aliran darah akan mengalir
sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organorgan vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin
ventilasi yang adekuat. Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi
kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Kegawatdaruratan
pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat yakni
sekitar 4-6 menit.
Henti jantung dan henti nafas merupakan kejadian yang sering terjadi di
kegawatdaruratan. Angka mortalitas henti napas dan henti jantung tergolong tinggi. Pada banyak
kasus sebenarnya kematian mendadak sebagai akibat stroke, infark miokard, kelebihan dosis
obat dan trauma hebat dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat.
Henti jantung adalah bila jantung berhenti berkontraksi dan memompa darah. Henti
jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut yang dihadapi oleh staf medik yang
sering tidak menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya. Henti nafas terjadi bila nafas berhenti
(apnea). Kedua keadaan ini saling terkait.
Chain of Survival dari resusitasi terdiri dari empat mata rantai yakni segera menjangkau
pelayanan gawat darurat, segera bantuan hidup dasar, segera defibrilasi dan segera bantuan hidup
lanjut. Bantuan hidup dasar yang diberikan dini terbukti bermanfaat meningkatkan kualitas dan
kuantitas survival. Jika henti jantung disebabkan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel, kunci
keberhasilan utama adalah defibrilasi dini. Bantuan hidup lanjut sangat penting jika defibrilasi
gagal mengembalikan sirkulasi. Hasil penelitian Bresus menunjukkan fibrilasi ventrikel
merupakan irama yang ditemui pada hampir 50% pasien henti jantung. Survival dini sesudah
henti jantung di dalam rumah sakit adalah 40%. Penelitian dari Gwinott atas 1500 henti jantung
tahun 1997, menunjukkan kejadian fibrilasi ventrikel sebagai irama awal telah menurun hingga
37% dimana 40% diantaranya pulang hidup. Survival keseluruhan adalah 17,6%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kebelakang
2) Chin lift
Jari-jemari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang, yang kemudian dengan
Kedua tangan pada mandibular, jari kelingking dan manis kanan dan kiri
berada pada angulus mandibul, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
pada ramus mandibula, sedangkan ibu jari
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma. Oleh karena itu penting
melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengn menilai
tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
1) Tingkat kesadaran, bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
2) Warna kulit, wajah yang keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.
3) Nadi, pemeriksaan nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri),
untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi:
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol.
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol.
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotis, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GCS
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis.
AVPU yaitu:
A : Alert
V : Verbal
P : Pain
U : Unrespon
GCS (Glasgow Coma Scale)
1) Menilai eye opening penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita:
1. Membuka mata spontan
2. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
3. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri
4. Tidak memberikan respon
2) Menilai best verbal response penderita (skor 5-1)
6
3. Keadaan Kegawatdaruratan
a. Bradikardi
7
Alternatif obat
1) Dopamine
Merupakan katekolamin yang bekerja pada reseptor dan adrenergic, dapat
dititrasi pada dosis rendah sebagai inotropic dan meningkatkan denyut jantung
dan pada dosis yang lebih tinggi >10 mcg/kgBB/menit menyebabkan
vasokontriksi. Jadi baik untuk bradikardi yang diikuti dengan tekanan darah yang
rendah. Dosis dapat dititrasi mulai dari 2-10 mcg/kgBB/menit.
2) Epinefrin
Merupakan ketokolamin yang bekerja pada reseptor dan adrenergic, dapat
dititrasi 2-10 mcg/menit sampai denyut jantung meningkat. Baik untuk bradikardi
yang diikuti dengan tekanan darah yang rendah.
3) Isoproterenol
Ketokolamin yang bekerja pada 1 dan 2 adrenergik. Dapat meningkatkan
denyut jantung dan vasodilatasi. Dapat dititrasi 2-10 mcg/kgBB/menit sampai
denyut jantung meningkat.
b. Takikardi
100 mmHg.
2. Tindakan kedua
Jika respon baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka tidak diperlukan
pemeriksaan tambahan. Dilanjutkan pemberian nitrogliserin IV 10-20
mcg/menit dengan tetap memantau tekanan darah. Nitroprusside IV 0,5-5
mcg/kgBB/menit diberikan bila edem paru disertai tekanan darah tinggi
Dopamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV bila TD 70-100 mmHg dengan syok
Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok
3. Tindakan ketiga
Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberikan hasil yang
2.2 SYOK
Definisi Syok
11
Syok adalah suatu kondisi dimana tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel
tubuh yang mengakibatkan tidak adekuatnya oksigen dan nutrisi ke sel. Syok juga
merupakan kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti perfusi
jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibatnya terjadi gangguan metabolik seluler.
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel, karena hipoksia pada syok terjadi gangguan
metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan ireversibel pada jaringan organ vital.
Etiologi Syok
Syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat. Oleh karena itu,
setiap keadaan yang menurunkan curah jantung di bawah normal, akan mungkin
menyebabkan syok. Ada dua macam faktor yang dapat memperberat penurunan curah
jantung, yaitu:
1. Kelainan jantung yang menurunkan kemampuan jantung untuk memompa darah.
Kelainan ini meliputi khususnya infark miokard tetapi juga keadaan toksik, disfungsi
katup jantung yang berat, aritmia jantung, dan keadaan lainnya.
2. Faktor-faktor yang menurunkan aliran balik vena juga menurunkan curah jantung karena
jantung tidak dapat memompa darah yang tidak mengalir ke dalamnya. Penyebab paling
sering penurunan aliran balik vena adalah penurunan volume darah, tetapi aliran balik
vena juga dapat berkurang sebagai akibat penurunan tonus vaskular, terutama pada
saluran penampung darah vena, atau obstruksi aliran darah pada beberapa tempat di
sirkulasi, terutama di lintasan aliran balik vena ke jantung.
Tahap-Tahap Syok
Karena sifat-sifat khas syok dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, syok dibagi
dalam tiga tahap utama berikut:
1. Tahap nonprogressif (kadang-kadang disebut tahap kompensasi). Pada tahap ini,
mekanisme kompensasi sirkulasi yang normal pada akhirnya akan menimbulkan
pemulihan tanpa terapi dari luar.
2. Tahap progressif. Pada tahap ini, tanpa terapi, syok menjadi semakin buruk sampai
timbul kematian.
12
3. Tahap ireversibel. Pada tahap ini, syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga
semua bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong pasien, meskipun, pada
saat itu, orang tersebut masih hidup.
Klasifikasi Syok
a. Syok Hipovolemik
1. Definisi
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
2. Etiologi
Syok hipovolemik terjadi karena terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume
darah dalam pembuluh darah berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang
masif atau kehilangan plasma darah. Perdarahan (perdarahan gastrointestinal,
kehilangan plasma (misal pada luka bakar), kehilangan cairan ekstraseluler
(dehidrasi, misal karena puasa lama, diare,muntah, obstruksi usus).
3. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi
bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan
denyut
jantung,
meningkatkan
kontraktilitas
miokard,
dan
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab
pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
4. Diagnosis
Syok hipovolemik didignosa ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Kehilangan plasma ditandai
dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia.
Gejala Klinik Syok Hipovolemik.
Kulit dingin, pucat dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler
-
Pemeriksaan Laboratorium
14
15
sekunder terhadap hiperglikemia, preparat anti diare untuk diare dan anti emetic
untuk muntah-muntah.
b. Syok Kardiogenik
1. Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung
sistemik pada keadaan volume intravaskuler yang cukup dan dapat menyebabkan
hipoksia jaringan.
2. Etiologi
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Penyebab
syok kardiogenik mempunyai etiologi koroner dan non koroner. Koroner disebabkan
oleh infark miokardium sedangkan non-koroner disebabkan oleh kardiomiopati,
kerusakan katup, tamponade jantung, dan disritmia.
3. Patofisiologi
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan penurunan curah jantung, tekanan darah
rendah, insufisiensi koroner dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan
curah jantung. Paradigma klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik
berkompensasi dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai
respon dari penurunan curah jantung.
4. Diagnosis
- Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infark miokard akut dengan keluhan tipikal nyeri dada
yang akut dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner
sebelumnya. Pasien dengan aritmia akan mengeluh adanya palpitasi, presinkop,
sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak, kemudian pasien akan
merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang
menurun sampai < 90 mmHg, bahkan dapat turun sampai < 80 mmHg pada pasien
yang tidak memperoleh pengobatan yang adekuat. Denyut jantung biasanya
16
menit.
Mengontrol nyeri dada
Jika pasien mengalami nyeri dada, morfin sulfat diberikan melalui intravena untuk
menghilangkan nyeri. Pemberian posisi semi fowler, dapat membantu untuk
Jika
18
Gambaran Klinis
Sistem
Umum
Prodormal
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Kulit
Mata
SSP
Penatalaksanaan :
Pemberian obat-obat yang akan memulihkan tonus vaskuler, dan mendukung kedaruratan
fungsi hidup dasar. Contoh : epinefrin, aminofilin. Epinefrin diberikan mendapatkan efek
vasokonstriktifnya. Dosis 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan
dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah
buruk.5 Difenhidramin diberikan secara intavena untuk melawan efek histamin dengan
begitu mengurangi efek permeabilitas kapiler. Aminofilin diberikan secara intravena
untuk melawan bronkospasme akibat histamin. Jika terdapat ancaman atau terjadi henti
jantung dan henti napas, dilakukan resusitasi jantung paru (RJP).
e. Syok Septik
19
1. Definisi
Syok septik adalah syok yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas. Insiden
syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi,
melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debriden luka untuk membuang
jaringan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci
tangan secara menyeluruh.
Mikroorganisme penyebab syok septik adalah bakteri gram negatif. Ketika
mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien akan menunjukkan suatu respon
imun. Respon imun ini membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi yang
mempunyai berbagai efek yang mengarah pada syok. Peningkatan permeabilitas
kapiler, yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler dan vasodilatasi adalah
dua efek tersebut.
2. Gambaran Klinis
Syok septik terjadi dalam 2 fase utama yaitu :
Fase reversible
- Fase panas
Gejalanya : hipotensi, takikardi, pireksia, dan menggigil, kulit kelihatan merah
-
dan panas. Pasien masih sadar dan leukositosis terjadi dalam beberapa jam.
Fase dingin
Gejalanya : kulit dingin, mengeriput, sianosis, purpura, jaundice, penurunan
kesadaran yang progresif, dan koma.
Fase ireversibel
Terjadi hipoksia sel yang berkepanjangan yang menyebabkan gejala asidosis
metabolik, gagal ginjal akut, gagal jantung, edema pulmonum, gagal adrenal, dan
kematian
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari penatalaksanaan sepsis yang
komprehensif, mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, eliminasi sumber
infeksi dengan tindakan drainase, terapi antimikroba yang sesuai, reusitasi bila terjadi
kegagalan
organ
atau
rejatan,
vasopresor
dan
inotropik,
terapi
suportif
mempertahankan tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang rendah
(<2g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan.
Vasopresor diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan
secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Dapat digunakan
dopamin dengan dosis > 8mcg/menit, norepineprin 0.03-1.5 mcg/menit. Sebagai
inotropik digunakan dobutamin dosis 2-28 mcg/menit, dopamin 3-8 mcg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/mnt.
Nutrisi (protein, kalori, asam lemak, cairan, vitamin dan mineral) merupakan terapi
suportif yang penting dan harus diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis.
Penatalaksanaan Syok
a. Terapi Penggantian.
- Transfusi Darah dan Plasma
Jika seseorang berada dalam keadaan syok akibat perdarahan, terapi terbaik yang
mungkin dilakukan biasanya adalah transfusi darah lengkap. Jika syok disebabkan
oleh hilangnya plasma, terapi terbaik adalah pemberian plasma, bila dehidrasi sebagai
penyebabnya, pemberian larutan elektrolit yang tepat dapat memulihkan syok.
Jika darah lengkap tidak tersedia, plasma biasanya dapat menggantikan darah lengkap
karena plasma meningkatkan volume darah dan mengembalikan hemodinamika
normal. Plasma tidak dapat memulihkan hematokrit normal, tetapi tubuh manusia
biasanya dapat bertahan pada penurunan hematokrit sampai kira-kira separuh normal
sebelum menimbulkan akibat serius jika curah jantung mencukupi. Karena itu, pada
keadaan gawat darurat, cukup beralasan untuk menggunakan plasma dalam
menggantikan darah lengkap guna mengobati syok hemoragik atau sebagian besar
-
koloid. Sejauh ini salah satu bahan yang paling memuaskan untuk tujuan tersebut
adalah dekstran, suatu polimer polisakarida glukosa yang besar.
b. Terapi lain.
- Pengobatan dengan posisi kepala di bawah.
Bila tekanan turun terlalu rendah pada sebagian besar syok hemoragik dan syok
meurogenik, dengan menempatkan kepala pasien setidaknya 12 inci lebih rendah
daripada kaki akan sangat membantu dalam meningkatkan aliran balik vena, dengan
demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah ini adalah tindakan dasar
-
banyak
keadaan. Walaupun demikian, manfaatnya seringkali jauh dari yang kita harapkan
karena masalah pada sebagian syok bukanlah oksigenasi darah yang tidak adekuat
-
oleh paru-paru, melainkan tidak adekuatnya transport darah yang telah dioksigenasi.
Terapi dengan Glukokortikoid (Hormon Korteks Adrenal yang Mengatur
Metabolisme Glukosa)
Glukokortikoid sering diberikan pada pasien syok berat karena beberapa alasan:
1. Percobaan telah memperlihatkan secara empiris bahwa glukokortikoid sering
meningkatkan kekuatan jantung pada syok tahap lanjut.
2. Glukokortikoid menstabilkan lisosom di dalam sel jaringan dan dengan demikian
mencegah pembebasan enzim lisosom ke dalam sitoplasma sel, jadi mencegah
kerusakan dari sumber ini.
3. Glukokortikoid dapat membantu metabolisme glukosa oleh sel yang mengalami
kerusakan.
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau
denyut jantung. Dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan
dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah
fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.
Resusitasi jantung paru otak (RJPO) bertujuan untuk membuat suatu sirkulasi buatan
pada penderita yang mengalami henti nafas/henti jantung. Henti jantung akan
mengakibatkan berhentinya aliran/sirkulasi darah yang membawa oksigen ke organ-organ
vital. Otak adalah organ terpenting yang paling rentan terhadap hipoksemia (berkurangnya
oksigen di dalam darah). Resusitasi jantung paru otak tidak dianjurkan pada penderita
dengan penyakit kronik stadium terminal yang mengalami henti nafas atau henti sirkulasi
2. Indikasi
a. Henti jantung
Henti jantung adalah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal jika
dilakukan tidakan yang tepat atau dapat menyebabkan kematian atau kerusakan otak.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak
sadar.
b. Henti napas
Ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban
atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan bantuan hidup
dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti tenggela atau lemas, stroke,
obstruksi jalan nafas, epiglottitis, overdosis obat-obatan, tersengat listrik, infark
miokard, tersambar petir, dan lainnya. Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat
masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan
darah ke otak dan organ vital lainnya, bantuan resusitasi sangat diperlukan pada keadaan
ini.
3. Resusitasi Jantung Paru Otak
Pada dasarnya prosedur RJP terdiri dari 2 elemen, yaitu kompresi dada dan mulut-kemulut (mouth-to-mouth) nafas buatan. Sebelum melakukan pertolongan pada korban,
hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih dahulu, seperti:
Apakah korban dalam keadaan sadar?
23
Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban dan
Posis badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban dengan tenaga
dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalam penekanan 2-2,4
sama.
Tangan tidak boleh berubah posisi
Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan anafas 30:2 detik oleh satu penolong. Kecepatan
kompresi adalah 100 kali permenit.
Komponen
Pengenalan awal
Urutan BHD
Frekuensi kompresi
Kedalaman kompresi
Dewasa
Anak
Bayi
Tidak sadarkan diri
Tidak ada nafas atau bernafas Tidak bernafas atau gasping
tidak normal (misal gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik
CAB
CAB
CAB
Minimal 100x/menit
Minimal 5 cm
Minimal
Minimal
diameter
anterior diameter
anterior
posterior
dinding posterior
dinding
2 menit
Interupsi kompresi seminimal mungkin. Interupsi terhadap
Kompresi
Ventilasi
jaw thrust)
30:2 (1 atau 2 30:2 (1 penolong)
30:2 (1 penolong)
15:2 (2 penolong)
15:2 (2 penolong)
penolong)
Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja
Pada penolong terlatih tanpa alat bantu jalan nafas lanjutan
berikan 2 kali nafas buatan setelah 30 kompresi.
Bila terpasang alat bantu jalan nafas lanjutan berikan nafas
Defibrilasi
2. FASE II : Bantuan Hidup Lanjutan (Advance Life Support): yaitu bantuan hidup dasar
ditambah dengan:
a. D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan
1) Obat untuk mengoptimalkan curah jantung dan tekanan darah
a. Epinefrin
27
Indikasi
Henti jantung: fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel tanpa nadi,
asistole.
Bradikardia simtomatis: dapat dipertimbangkan setelah pemebrian
resusistasi
Dosis tinggi (0,2 mg.kg) digunakan untuk idikasi spesifik
Bradikardia/Hipotensi Berat
Infus : 2-10 mcg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.
b. Vasopresin
Indikasi: obat alternative selain epinefrin pada syok, VF refrakter,
asistole, PEA
Dosis
Henti jantung 40 IU dosis tunggal intravena
Syok: 0,02-0,04 IU/menit
c. Norepinefrin
Indikasi : syok kardiogenik berat dengan tekanan darah sistolik < 70
mmHg
Dosis
BB < 70 kg : 0,1 0,5 mcg/kg/menit
BB > 70 kg : 7 35 mcg/menit
Jangan diberikan bersamaan dengan larutan alkali
d. Sodium Nitroprusside
Indikasi
Hipertensi emergensi dengan target organ damage non kardiak
28
Dosis
Pada henti jantung 300 mg IV cepat (diencerkan dengan 20-30 ml
dektrose 5%), pertimbangkan pemberian berikutnya sebanyak 150
ml saline normal.
Dosis maksimal 3 mg
d. Verapamil
Indikasi
Obat pilihan setelah adenosine untuk menghentikan PSVT dengan
QRS sempit dan tekanan darah yang adekuat, dan fungsi ventrikel
Dosis
Dosis awal 1-1,5 mg/kgBB IV bolus
Untuk VF/VT refrakter: 0,5-0,75 mg/kgIV diulang 5-20 menit
kemudian, dosis maksimal 3 ml/kgBB
Dosis tunggal 1,5 mg/kgBB IV pada henti jantung
Pemberian melalui trakea 2-4 mg/kgBB
f. Isoproterenol
Indikasi
Untuk mengatasi bradikardi yang simtomatis
Torsades de pointes yang refrakter atau tidak respons dengan
pemberian magnesium sulfat
Keracunan terhadap obat penghambat beta
Dosis
2-1- mcg/menit/IV secara infu. Titrasi untuk mencapai denyut nadi
yang adekuat.
Cara pemberian dengan mencampurkan 1 mg dalam 250 ml salin
a. G (gauve) : pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terusmenerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
b. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat mencegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30-32C.
c. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu bantuan ventilasi
(trakheostomi), pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
RJPO dihentikan berdasarkan atas penilaian status otak dan status kardiovaskuler
penderita, seperit:
1) Cardiac death : disebut juga irreversible cardiac arrest
Yaitu tidak timbulnya kembali aktivitas EKG setelah 30-60 menit dilakukan
resusitasi jantung par uterus menerus secara optimal
2) Brain death : disebut dengan cerebral death
Ditadai dengan ketidak sadaran yang dalam, pupil melebar, tidak adnaya
pernafasan, dan pupil tidak respon terhadap cahaya.
3) Pada saat melakukan RJPO diketahui bahwa penderita dalam stadium terminal dari
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
4) Penolong kelelahan dan tidak mampu lagi meneruskan resusitasi.
Bantuan Hidup Dasar
Bantuan hidup dasar merupakan dasar dalam penyelamatan hidup setelah terjadinya henti
jantung. Aspek penting dari BHD pada usia dewasa meliputi identifikasi secara sepat henti
jantung mendadak, tindakan awal RJP yang berkualitas (kuat dan cepat), dan defibrilasi
secepatnya.25 Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ
vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan
jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi
mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Sirkulasi yang berhenti 3-4 menit
akan mengakibatkan kerusakan otak yang permanen. Jika pasien mengalami hipoksemia
sebelumnya, batas waktu menjadi lebih pendek.
Indikasi bantuan hidup dasar yakni :
1. Henti nafas (apnoe)
32
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit,
dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain.
Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah
henti jantung.22
2. Henti jantung (cardiac arrest)
Bila terjadi henti jantung primer, Oksigen tidak beredar dan oksigen uang tersisa dalam
organ vital akan habis dalam beberapa detik.
Bantuan hidup dasar untuk oksigenasi darurat terdiri dari :
1. Airway Control ( penguasaan jalan nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan
persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang. 2 Terdapat tiga cara yang
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu:
a. Metode ekstensi kepala dan angkat leher
Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang
lain menyangga bagian atas leher korban.
b. Metode ekstensi kepala angkat dagu
Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada
trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah,
tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas
dan epiglotis terbuka.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk
memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher.
34
satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut
korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing,
hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust, gerak heimlich) atau hentakan
dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, tekhnik ini sama
dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen,
buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan.
Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan
dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong
mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat
dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini belum
berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan
intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran krikotiroid dengan
jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G).
3. Circulation support
Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya denyut nadi dan
pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk
shock. Circulation support digambarkan melalui :
a. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah. Suatu keadaan hipotensi pada
penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemi sampai terbukti sebaliknya. Ada
tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai
keadaan hemodinamik yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
b. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran.
c. Warna kulit
36
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya
kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
d. Nadi
Pemeriksaan nadi besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan), untuk kekuatan
nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normo-volemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi
yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan
tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi segera.
e. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic
splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Sumber perdarahan
internal (tidak terlihat) adalah perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari
tulang panjang, retro-peritoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat daari luka tembus
dada/perut.
Penilaian lain dapat dilihat juga pada tanda-tanda henti jantung, yakni kesadaran hilang
(dalam waktu 15 detik setelah henti jantung), tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan
karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi), henti nafas atau mengap-mengap
(gasping), terlihat seperti mati (death like appearance), warna kulit pucat sampai kelabu, pupil
dilatasi (45 detik setelah henti jantung). Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien
tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada
luar diperlukan pada keadaan sangat gawat ini.
Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korban hendaknya terlentang pada
permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping korban
dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum korban
sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari seafalad dari persambungan sifisternum.
Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan
lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan vertikal ke
37
bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5 cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi.2 Bila
ada satu penolong, 30 kompresi dada luar (laju : 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti
dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2-3 detik).
Perkembangan terbaru pada Guideline AHA untuk RJP dan perawatan kegawatan
kardiovaskular tahun 2010 adalah perubahan urutan langkah Bantuan Hidup Dasar dari ABC
menjadi CAB baik untuk pasien dewasa maupun anak-anak (anak dan balita kecuali bayi baru
lahir). Guideline AHA untuk RJP dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010
merekomendasikan perubahan ini karena:
1.
Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan angka keberhasilan tertinggi adalah henti
jantung yang terjadi pada pasien henti jantung dengan irama VF ( ventricular
fibrillation) atau VT (ventricular tachycardia) tanpa nadi. Pada pasien-pasien ini elemen
awal yang paling penting dari RJP adalah kompresi dada dan defibrilasi secepatnya.
2.
Pada urutan kompresi dada ABC seringkali terlambat ketika penolong membuka jalan nafas
untuk memberikan bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasukkan perlengkapan
ventilasi. Dengan merubah ke urutan CAB, kompresi dada dapat dimulai lebih cepat dan
ventilasi hanya akan sedikit memperlambat kompresi dada hingga selesai satu siklus
(kompresi 30 kali diselesaikan dalam waktu 18 detik).
Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan
oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung. 22
Bantuan hidup kardiovaskular lanjut meliputi intervensi untuk mencegah henti jantung,
menangani henti jantung, dan meningkatkan luaran pasien yang mencapai kembalinya sirkulasi
yang spontan setelah henti jantung.4 Setelah dilakukan CAB RJP dan belum timbul denyut
jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut :
1. Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukuran dan reaksi pupil. Satu cara sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.27
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
38
Human Mentation
Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru.
3. Intensive care
Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang diperlukan
pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak
mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya
memerlukan pantauan intensif dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi
39
otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem,
memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan resusitasi otak.22
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik selama henti
jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara
perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan-tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk
memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab
otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen tambahan
hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).
Teknik RJP dan Peralatannya
Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk memperbaiki perfusi
selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva harapan hidup.
Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan lebih membutuhkan
banyak orang, pelatihan dan alat-alat, atau teknik spesifik lainnya. Beberapa teknik dari RJP dan
peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka keselamatan jangka pendek jika digunakan
oleh penolong yang terlatih.
Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru.
Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC
(kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka pendek jika digunakan pada pasien
henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan berarti pada pasien yang berhasil
selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi klinisnya membaik.25
Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (CA-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan
mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulut ke mulut
atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi dada 30 kali
dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi pertama.25
Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan
yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan penekanan
dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan.
Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar. Kedalaman
40
kompresi yang direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari kedalaman 1,5-2 inci
menjadi setidaknya 2 inci.
Keputusan Untuk Mengakhiri Resusitasi
Keadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek muntah dan
dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak
kecuali pasien hipotermik atau dibwah efek barbiturat atau dalam anestesi umum. Akan tetapi,
tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan tanda-tanda klinis
kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung. Seseorang
dinyatakan mati jantung bila :
1. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversibel.
2. Telah terbukti terjadi kematian batang otak
Dalam keadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati batang otak.
Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika :
1. Terdapat tanda-tanda mati jantung
2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan dan
refleks muntah (gag reflex), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih,
kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.
41
BAB III
KESIMPULAN
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikam sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan
operasi dengan segera. Penatalaksanaan awal pada kegawatdaruratan diberikan untuk
mempertahankan hidup, mencegah kondisi menjadi lebih buruk dan meningkatkan pemulihan.
Syok merupakan gangguan sistem sirkulasi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara volume darah dengan lumen pembuluh darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan
tidak adekuat.
Hal ini muncul akibat kejadian hemostatis tubuh yang serius seperti perdarahan massif,
trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru
(syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septic), tonus vasomotor yang
tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik).
Penanganan setiap jenis syok membutuhkan penghilangan penyebab utama syok tersebut.
Penanggulangan didasarkan pada diagnosis dini yang tepat. Langkah awal dalam mengelola syok
adalah dengan mengetahui tanda-tanda klinisnya. Langkah kedua dalam pengelolaan awal
42
terhadap syok adalah mencari penyebab syok. Terapi harus dimulai sambil kemungkinan mencari
penyebab dari syok tersebut.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan
organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan
menjamin ventilasi yang adekuatyang terdiri atas tiga fase yakni. Bantuan hidup dasar, bantuan
hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama. Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mengontrol
jalan nafas, breathing support dan circulation support. Bantuan hidup lanjut berhubungan
dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta
terapi gangguan irama utama selama henti jantung dengan mengantisipasi keadaan diability dan
exposure. Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari
Gauging, Human Mentation, Intensive care.
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons Commite On Trauma. Advance Trauma Life Support
Untuk Dokter. 2008. Jakarta: Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
2. American Heart Association (AHA). 2015. Fokus Utama untuk CPR dan ECC.
http://eccguidelines.heart.org/wp-content/uploads/2015/10/2015-AHA-GuidelinesHighlights-Indonesia.pdf.
3. Putranto, B.H dan Kosasih, A. 2014. ACLS (Advanced Cardiac Life Support). Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI).
4. Subagjo, A., Achyar., Ratnaningsih, E., Putranto, B.H.,Sugiman, T., Kosasih, A., dan
Agustinus, R. 2014. BCLS (Basic Cardiac Life Support). Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI).
5. Muhiman, Muhardi, dkk. Anestesiologi. 2004. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FKUI.
6. J. Corwin, Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. 2001. Jakarta: EGC.
7. Kathula, Bolla, Magann. (Last update: November 18, 2002). Shock and management of
shock. Southern Medical Journal. Available from: http://www.medscape.com. (accesed:
20 September 2013).
43
8. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi kedokteran Edisi 11. 2007. Jakarta: EGC.
9. Wijaya Prasetya Ika. Syok Hipovolemik. Editor : Sudoyo Aru, dkk. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 2006. Hal 180-1.
10. Eser B; Guven M; Unal A; Coskun R; Altuntas F; Sungur M; Serin IS; Sari I; Cetin M.
(2005). Hypovolemic shock. Available from: http://www.medscape.com. (accesed: 20
September 2013).
11. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, ed
4.1995. Jakarta: EGC.
12. Alwi Idrus. Syok Kardiogenik. Editor : Sudoyo Aru, dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI, 2006. Hal 182-6.
13. FH Feng, KM Fock. (2008) Neurogenic shock. Available from:
http://www.medscape.com. (accesed: 20 September 2013).
14. Rengganis Iris, Chen Khie, dkk. Rejatan Anafilaktik dan Penatalaksanaan Syok Septik.
Editor : Sudoyo Aru, dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006. Hal 187-190.
15. Solheim, Bernstein. (Last Update: March 18,2004). Anafilactic Shock. Available from:
http://www.medscape.com. (accesed: 20 September 2013).
16. Sanif E. Metode baru resusitasi jantung paru. www. Scribd.com.akses 8 Maret 2011.
17. Muhiman M, dkk. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. 2004.
18. Basket P, dkk. Buku panduan resusitasi jantung, paru, otak. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 1998.
19. Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for healthcare
provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
20. Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi edisi 2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002.
21. Comittee on Trauma Advanced Trauma Life Supportfor do
22. ctors 7th edition. Chicago. American College of Surgeon Committee on Trauma.
44
45