Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
I.1
I.2
Identitas Pasien
Nama
Umur
Tanggal Lahir
Jenis kelamin
Alamat
: An. D
: 9 tahun 10 bulan
: 07 Oktober 2005
: Laki-laki
: Jl. Kramat Sentiong E 57 RT 01/006 Kramat,
Agama
Pekerjaan
Tanggal masuk
No.RM
Kelompok pasien
Anamnesis (Subyektif)
Berdasarkan Allo dan autoanamnesis pada tanggal 2 Desember 2014,
perut ulu hati oleh temannya ketika sedang bermain di sekolah. Saat itu temannya
sedang berlari dan menendang perut di bagian ulu hati pasien sehingga membuat
pasien terdorong ke belakang. Terdapat nyeri perut di daerah tendangan namun
keluhan hilang sendiri.
Riwayat penyakit maag
: (+)
: Disangkal
Riwayat alergi
: Disangkal
I.3
Respiration Rate
: 20 x/menit
Suhu
: 37,5 0C
5. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Kepala dan Wajah
Kepala normocephal. Warna rambut hitam, tidak mudah rontok,
dan terdistribusi merata.
2) Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi Trakhea (-), KGB membesar (-), Nyeri Tekan (-), Pembesaran
Tiroid (-).
c. Pemeriksaan thoraks
Pulmo : dekstra-sinistra
I : Normochest, dinding dada simetris
P : ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris (kanan-kiri)
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
I : Tidak tampak ictus cordis
P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS V antara linea midclavicula dan axilaris
anterior
Batas kanan bawah ICS V linea stemalis dextra
A : S1>S2 reguler, Gallop -/-, Murmur -/-.
d. Pemeriksaan abdomen
I : Perut cembung, warna kulit seperti sekitar.
A : Bising usus (+) normal, 4x/menit
P : Distensi (+), Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans
muskular (+) di regio kuadran kanan bawah. Rovsing sign (+),
psoas sign (+), undulasi (+). Hepar dan lien tidak teraba.
P : redup (+), nyeri ketok (+), shifting dullnes (+)
e. Pemeriksaan ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai (-/-), sianosis (-), pitting edema (-),
capilary refill < 2 detik.
3
I.4
Status Lokalis
Regio a/r RUQ abdomen
I : Perut cembung, warna kulit seperti sekitar.
A : Bising usus (+) normal, 4x/menit
P : Distensi (+), Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muskular (+)..
Rovsing sign (+), psoas sign (+), undulasi (+). Hepar dan lien tidak teraba.
P : redup (+), nyeri ketok (+), shifting dullnes (+).
I.5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
27 November 2014, di Puskesmas
Hematologi
Hb
Leukosit
Trombosit
Ht
Hasil
10.7
10.400
260.000
31
Nilai Normal
13 16 gr/dL
4.000 10.000 mm3
160 450 ribu/l
40 48 %
Hasil
Nilai Rujukan
Hb
12.6
13 18 g/dL
Ht
35
40 52%
Eritrosit
5.0
Leukosit
8,500
4,800 10,800 / uL
320,000
150,000 400,000/uL
MCV
71
80 96 fL
MCH
25
27 32 fL
MCHC
36
32 35 fL
PT
11.8
APTT
40.4
SGOT
32
< 35 U/L
SGPT
28
< 40 U/L
Ureum
11
20 50 mg/dL
Kreatinin
0.6
GDS
94
Na
136
3.73
Cl
92
95 105 mmol/L
Trombosit
Ultrasonografi (USG)
Tanggal : 1 Desember 2014
USG abdomen :
Hepar
I.6
Assesment
-
1.7
Planning
I.8
Puasa
IVFD KaEN 3B 1700 cc/24 jam
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Farmadol 3 x 100 mg
Diagnostik laparoscopy
Laporan Pembedahan
A dan antisepsis
Perdarahan : 5 cc
Inf. RL : D5% = 1 : 1
Ceftriaxone 1 x 1 gr
Amikasin 2 x 200 mg
Ketorolac 3 x 10 mg
Ranitidin 2 x amp
I.9
I.10 Prognosis
Ad vitam
: Bonam
Ad functionam
: Malam
Ad sanationam
: Bonam
I.11 Follow Up
S : perut kembung (+), nyeri perut umbilicus (+), mual (+), demam (+).
O : Ku : compos mentis, tampak lemas.
10
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 08 Desember 2014
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
11.0 L
13 18 g/dL
Hematokrit
32 L
40 52 %
Eritrosit
4.4
Leukosit
8360
4,800 10,800 /L
136.000 L
150,000 400,000 /L
Hematologi
Hematologi Lengkap
Trombosit
Hitung jenis :
Basofil
01%
Eosinofil
13%
Batang
26%
Segmen
65
50 70 %
Limfosit
18 L
20 40 %
11
10 H
28%
MCV
74 L
80 96 fL
MCH
25 L
27 32 pg
34
32 36 g/dL
14.70
11.5 14.5 %
SGOT (AST)
30
< 35 U/L
SGPT (ALT)
18
< 40 U/L
Albumin
2.3 L
Amilase
26
< 65 U/L
Lipase
22
3 32 U/L
24
< 6 mg/L
101
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
9.4 L
13 18 g/dL
Hematokrit
27 L
40 52 %
Eritrosit
3.9 L
Leukosit
8,300
4,800 10,800 /L
275,000
150,000 400,000 /L
MCV
71 L
80 96 fL
MCH
24 L
27 32 pg
Monosit
MCHC
RDW
Kimia Klinik
Trombosit
12
MCHC
35
32 36 g/dL
3.1 L
24
< 6 mg/L
Kimia Klinik
Albumin
CRP Semi Kuantitatif
Urinalisis
Urine Lengkap
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
pH
7.0
4.6 8.0
Berat jenis
1.020
1.010 1.030
Protein
- / Negatif
Negatif
Glukosa
- / Negatif
Negatif
Bilirubin
- / Negatif
Negatif
Nitrit
- / Negatif
Negatif
Keton
- / Negatif
Negatif
Urobilinogen
- / Negatif
Negatif Positif 1
Eritrosit
121
< 2 / LBP
Leukosit
323
< 5 / LBP
Silinder
- / Negatif
Negatif / LPK
Kristal
- / Negatif
Negatif
Epitel
+ / Positif 1
Positif
Lain - lain
- / Negatif
Negatif
Hasil
Nilai Rujukan
13
Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin
9.3 L
13 18 g/dL
Hematokrit
27 L
40 52 %
Eritrosit
3.8 L
Leukosit
10,600
4,800 10,800 /L
Trombosit
323,000
150,000 400,000 /L
MCV
71 L
80 96 fL
MCH
25 L
27 32 pg
MCHC
34
32 36 g/dL
PT
11.7
APTT
34.2
31 47 detik
14
USG abdomen :
Hepar : ukuran membesar, echo parenkim, homogen
Tidak tampak lesi fokal
Sistem bilier tidak melebar
Kd. Empedu : besar dan ukuran normal, dinding tidak menebal
Tidak tampak batu. Tidak tampak sludge.
Pancreas
Lien
: membesar
Tidak tampak lesi fokal
Kedua ginjal : besar dan bentuk normal, struktur cortex medulla dalam batas
normal.
Tidak tampak lesi fokal. Tidak tampak batu.
Tidak tampak dilatasi pelvia calyces
Buli buli
Ascites
: (+)
Efusi pleura
: normal
15
KESAN
: - Hepatosplenomegali
-
Ascites
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Appendisitis
II.I.1 Definisi
16
dan
keterlambatan
penatalaksanaannya
akan
menyebabkan
II.1.2 Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang
akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira kira 10
cm (kisaran 3 15 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya, dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi penyebab rendahnya insidensi appendisitis pada usia itu. Pada
65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya pada mesenterium bagian akhir ileum.
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada
1/3 atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan
umbilicus (titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam
dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis
miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik
17
II.1.4 Epidemiologi
a. Faktor host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada
dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis
tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate
19
II.1.5 Etiologi
2 faktor utama penyebab appendicitis : obstruksi (80%) dan infeksi
hematogen.
a. Obstruksi :
1. Sumbatan pada lumen, jenisnya : fecalith, corpus allenum (biji-bijian :
biji cabe), parasit (cacing, terutama askaris), mengerasnya bubur
barium dalam lumen pada bekas pemeriksaan Ba in loop.
2. Bengkokan atau tekkukan appendiks (kingking), karena mesoappendiks yang pendek dan adhesi sekitarnya.
3. Hipertrofi jaringan limfoid di tunika mukosa
20
II.1.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, invasi
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna. Tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan
21
22
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
b. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.
c. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
subcaecal, dan pelvic.
d. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme
dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen.
Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil
pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.
23
24
25
atau pendek
c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri. Leukosit yang lebih dari > 18.000
26
bawah.
Pengukur an enzim hati dan tingkatan amilase membantu
Barium
enema
dan
Colonoscopymerupakan
27
II.1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka maupun dengan
cara laparoskopi. Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4
sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak
terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan
pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional
operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah
di atas daerah apendiks.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan
appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut
28
diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter
sehingga secara kosmetik lebih baik.
Penundaan
appendektomi
dengan
pemberian
antibiotik
dapat
II.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.
II.2
Peritonitis
II.2.1 Pendahuluan
Peritonitis adalah peradangan lapisan rongga perut bisa akibat infeksi,
autoimun, dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer (spontan) atau
sekunder. Peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di
29
Musculus
30
c. Fascia Profunda : pada dinding anterior abdomen hanya merupakan lapisan tipis
jaringan ikat yang menutupi otot-otot. Fascia profunda tepat di sebelah profunda
stratum membranosum fascia superficialis.
d. Otot dinding anterior abdomen : terdiri atas tiga lapisan otot lebar, tipis dan di
depan berubah menjadi aponeurosis. Otot tersebut dari luar ke dalam yaitu
musculus obliqus externus abdominis, musculum obliqus internus abdominis dan
musculum transverses abdominis, pada masing-masing sisi garis tengah bagian
anterior terdapat sebuah otot vertical yang lebar, musculus rectus abdominis. Oleh
karena ketiga lapisan aponeurosis berjalan ke depan sehingga membungkus
musculus rectus abdominis dan membentuk vagina musculi recti abdominis.
Bagian bawah vagina musculi recti abdominis terdapat sebuah otot yaitu musculus
pyramidalis.
Musculus cremaster dari serabut-serabut bagian bawah musculus obliqus internus
abdominis berjalan ke inferior sebagai pembungkus funiculus spermaticus dan
masuk ke scrotum.
e. Fascia transversalis : merupakan lapisan fascia tipis yang membatasi musculus
transverses abdominis dan melanjutkan diri sebagai lapisan sama yang melapisi
diaphragm dan musculus iliacus.
f. Lemak ekstraperitoneal : selapis tipis jaringan ikat yang mengandung lemak
dalam jumlah yang bervariasi dan terletak diantara fascia transversalis dan
peritoneum parietale.
g. Peritoneum parietale : merupakan membrane serosa tipis dan melanjutkan diri ke
bawah dengan peritoneum parietale yang melapisi rongga pelvis.
B. Peritoneum
Peritoneum merupakan membrane serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis.
Peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara peritoneum
parietale dan peritoneum visceral disebut cavitas peritonealis. Cavitas peritonealis
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu cavitas peritonealis yang merupakan ruang
utama cavitas peritonealis yang terbentang dari diaphragm ke bawah sampai
pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang
gaster dan, kantong besar dan kantong kecil berhubungan bebas satu sama lain
31
melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen
epiploicum.
II.2.3 Fisiologi Dinding Abdomen dan Peritoneum
A. Dinding Abdomen
Dinding abdomen membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Integritas lapisan muskulo-aponeirosis dinding abdomen sangat penting
untuk mencegah terjadinya hernia. Fungsi lain otot dinding abdomen adalah pada
pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meningkatkan
tekanan intraabdomen.
B. Peritoneum
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental dan
mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin viscera
abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Peritoneum yang
meliputi usus cenderung saling melekat bila terdapat infeksi. Omentum majus
yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltik saluran penvernaan yang
ada di dekatnya dapat melekat pada permukaan peritoneum lainnya di sekitar
focus infeksi. Dengan cara ini banyak infeksi peritoneal ditutup dan tetap
terlokalisir. Lipatan peritoneum memegang peran penting untuk menggantungkan
berbagai organ di dalam cavitas peritonealis dan berperan sebagai tempat jalannya
pembuluh darah, limf dan saraf ke organ-organ tersebut. Sejumlah besar lemak
disimpan di dalam ligamentum peritoneale dan mesenteria dan pada omentum
majus mungkin dapat di temukan lemak dalam jumlah yang cukup besar.
II.2.4 Definisi
Peritonitis merupakan peradangan membrane serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen, yang merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Peritonitis adalah
peradangan lapisan rongga perut bisa akibat infeksi, autoimun, dan proses kimia.
Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritoneum tanpa dapat
memperagakan sumber intra-abdomen atau fokusnya berada di luar rongga
abdomen dan infeksi tersebut dibawa lewat darah dan limfe. Peritonitis sekunder
adalah infeksi yang disebabkan karena kerusakan organ-organ abdomen atau
fokusnya berada dalam rongga abdomen.
32
II.2.5 Epidemiologi
Pada peritonitis primer akut pada anak menurut jenis kelamin yang terkena
seimbang, dan kebanyakan kasus terjadi pada usia sebelum 6 tahun. Peritonitis
pada neonatus paling sering terjadi sebagai komplikasi enterokolitis nekrotikans
tetapi mungkin disertai dengan ileus mekonium atau robekan spontan lambung
atau usus.
II.2.6 Etiologi
Peritonitis biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen,
perforasi saluran pencernaan, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon. Peritonitis
mungkin manisfetasi septikemia, perluasan langsung dari infeksi umbilicus,
perforasi usus atau appendiks dan divertikulum Meckeli.
Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari
sindrom nefrotik atau sirosis. Paling sering bakteri murni termasuk pneumokokus,
streptokokus grup A, enterokokus, stafilokokus, dan bakteria enterik gram
negative, terutama Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia. Peritonitis pada
masa neonatus bisa berasal dari transplasenta pada infeksi dalam rahim, lebih
sering merupakan akibat infeksi didapat selama atau segera setelah lahir.
II.2.7 Klasifikasi
Peritonitis dibagi menjadi 2 yaitu peritonitis primer yang fokusnya berada
di luar rongga abdomen dan infeksi tersebut dibawa lewat darah dan limfe.
Peritonitis sekunder yaitu fokusnya berada dalam rongga abdomen.
33
tarnsmural
dengan
pembentukkan
fistula
bisa
mengakibatkan
II.2.8 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa yang kemudian terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik usu kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan sapat mengganggu pulihnya
motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
dapat lancar sampai terganggu. Pada neonatus biasanya disertai rewel dan gelisah
yang sering terjadi.
Pada abses appendiks ada sakit tekan yang terlokalisasi dan massa yang
dapat diraba pada kuadran kanan bawah. Abses pelvis terkesan dari perut
kembung, tenesmus rektum dengan atau tanpa keluarnya sedikit tinja berlendir
dan iritabilitas kandung kemih. Pemeriksaan rektum bisa menunjukkan massa
yang keras di sebelah anterior.
II.2.10 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam (39,5oC), hipotensi, takikardi,
napas cepat dan dangkal, nadi cepat atau lemah dan dangkal, defans muscular,
distensi abdomen, nyeri tekan, nyeri lepas, bising usus menurun atau dapat
menghilang, ascites dan dapat terjadi syok hingga distres pernapasan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat lebih dari
12.000/l dengan dominasi sel polimorfonuklear yang menonjol sekitar 85-90%,
adanya proteinuria pada penderita sindrom nefrotik, pH < 7,35 , kadar laktat
meningkat. Pada aspirasi ascites bila didapatkan kadar protein meningkat, leukosit
lebih dari 300/l dan PMN lebih dari 25% menandakan adanya infeksi.
Pemeriksaan foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan
usus besar, dengan peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan dinding
usus, dan udara bebas pada rongga peritoneum.
II.2.11 Penatalaksaan
Pemberian cairan dengan agresif dan mendukung fungsi kardiovaskuler
harus segera dimulai. Stabilisasi penderita sebelum dilakukan tindakan operasi
35
36
BAB III
PENUTUP
Resume
Seorang anak laki-laki, usia 9 tahun dengan keluhan nyeri kanan bawah
sejak 4 hari SMRS. Awalnya nyeri di ulu hati yang kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah. Nyeri dirasakan mendadak dan terus menerus.
Nyeri diperberat dengan berjalan dan membaik bila tiduran.
Demam (+) disertai menggigil . Mual (+), muntah (+) 1x. BAB (+) cair
sejak 2 hari SMRS, berwarna kuning kehijauan, ampas (+), lendir (-),
darah (-), frekuensi 3-4x sehari. Perut dirasakan semakin lama semakin
membesar sejak 4 hari terakhir disertai nafsu makan menurun.
Riwayat trauma (+) 1 bulan yang lalu, Riwayat penyakit maag (+).
Riwayat makan : jarang memakan sayuran
bawah. Rovsing sign (+), psoas sign (+), undulasi (+), redup (+), nyeri
ketok (+), shifting dullnes (+).
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15, Jakarta : EGC
2. Richard S. Snell. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi 6, Jakarta : EGC
3. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC
4. Sylvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6, Jakarta : EGC
5. Prof. Sudaryat Suraatmaja, SpAK. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Denpasar : SMF IKA FK UNUD/RS Sanglah
6. dr. Adhita Dwi A. 2009. Appendicitis Acute, Cimahi : Universitas Jendral
Achmad Yani
38