You are on page 1of 38

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1

I.2

Identitas Pasien
Nama
Umur
Tanggal Lahir
Jenis kelamin
Alamat

: An. D
: 9 tahun 10 bulan
: 07 Oktober 2005
: Laki-laki
: Jl. Kramat Sentiong E 57 RT 01/006 Kramat,

Agama
Pekerjaan
Tanggal masuk
No.RM
Kelompok pasien

Senen, Jakarta Pusat


: Islam
: Pelajar
: 01 Desember 2014
: 447582
: BPJS KJS

Anamnesis (Subyektif)
Berdasarkan Allo dan autoanamnesis pada tanggal 2 Desember 2014,

pukul 10.00 WIB :


Keluhan utama

: Nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 4
hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di bagian ulu hati, yang kemudian berpindah
ke perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Nyeri dirasakan mendadak dan terus
menerus. Nyeri diperberat dengan berjalan dan membaik bila tiduran.
Pasien juga mengeluh demam (+) disertai menggigil sejak 4 hari SMRS,
hilang timbul, hilang bila diberi obat penurun panas. Mual (+), muntah (+) 1x
berisi cairan dan sisa makanan berwarna putih. BAB (+) cair sejak 2 hari SMRS,
berwarna kuning kehijauan, ampas (+), lendir (-), darah (-), frekuensi 3-4x sehari.
Perut dirasakan semakin lama semakin membesar sejak 4 hari terakhir disertai
nafsu makan menurun. Pusing (-), batuk (-), pilek (-), BAK dalam batas normal.

Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas 4 hari SMRS, di periksa darah


dan diberi antibiotik, analgetik, dan obat penurun panas, namun keluhan tidak
membaik.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma

: (+) 1 bulan yang lalu. Pasien ditendang di bagian

perut ulu hati oleh temannya ketika sedang bermain di sekolah. Saat itu temannya
sedang berlari dan menendang perut di bagian ulu hati pasien sehingga membuat
pasien terdorong ke belakang. Terdapat nyeri perut di daerah tendangan namun
keluhan hilang sendiri.
Riwayat penyakit maag

: (+)

Riwayat batuk lama

: Disangkal

Riwayat alergi

: Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga dan Disekitar


Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas 4 hari SMRS, diberi antibiotik,
analgetik, dan obat penurun panas, namun keluhan tidak membaik.
Habits
Riwayat makan

I.3

: Makan teratur 3x sehari. Pasien jarang memakan sayuran

Pemeriksaan Fisik (Obyektif)


1. Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. BB : 30 kg, TB : 125 cm.
Status gizi berdasarkan Z score WHO 2010 :
IMT / U - 2 SD 2 SD = kesan normal
4. Vital sign
Tekanan Darah
: 110 / 60 mmHg
Nadi
: 110 x/menit
2

Respiration Rate
: 20 x/menit
Suhu
: 37,5 0C
5. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Kepala dan Wajah
Kepala normocephal. Warna rambut hitam, tidak mudah rontok,
dan terdistribusi merata.
2) Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi Trakhea (-), KGB membesar (-), Nyeri Tekan (-), Pembesaran
Tiroid (-).
c. Pemeriksaan thoraks
Pulmo : dekstra-sinistra
I : Normochest, dinding dada simetris
P : ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris (kanan-kiri)
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
I : Tidak tampak ictus cordis
P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS V antara linea midclavicula dan axilaris

anterior
Batas kanan bawah ICS V linea stemalis dextra
A : S1>S2 reguler, Gallop -/-, Murmur -/-.

d. Pemeriksaan abdomen
I : Perut cembung, warna kulit seperti sekitar.
A : Bising usus (+) normal, 4x/menit
P : Distensi (+), Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans
muskular (+) di regio kuadran kanan bawah. Rovsing sign (+),

psoas sign (+), undulasi (+). Hepar dan lien tidak teraba.
P : redup (+), nyeri ketok (+), shifting dullnes (+)

e. Pemeriksaan ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai (-/-), sianosis (-), pitting edema (-),
capilary refill < 2 detik.
3

I.4

Status Lokalis
Regio a/r RUQ abdomen
I : Perut cembung, warna kulit seperti sekitar.
A : Bising usus (+) normal, 4x/menit
P : Distensi (+), Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muskular (+)..
Rovsing sign (+), psoas sign (+), undulasi (+). Hepar dan lien tidak teraba.
P : redup (+), nyeri ketok (+), shifting dullnes (+).

I.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
27 November 2014, di Puskesmas
Hematologi
Hb
Leukosit
Trombosit
Ht

Hasil
10.7
10.400
260.000
31

Nilai Normal
13 16 gr/dL
4.000 10.000 mm3
160 450 ribu/l
40 48 %

Tanggal : 1 Desember 2014


Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hb

12.6

13 18 g/dL

Ht

35

40 52%

Eritrosit

5.0

4.3 6.0 juta/uL

Leukosit

8,500

4,800 10,800 / uL

320,000

150,000 400,000/uL

MCV

71

80 96 fL

MCH

25

27 32 fL

MCHC

36

32 35 fL

PT

11.8

10.2 12.2 detik

APTT

40.4

29.0 40.2 detik

SGOT

32

< 35 U/L

SGPT

28

< 40 U/L

Ureum

11

20 50 mg/dL

Kreatinin

0.6

0.5 1.5 mg/dL

GDS

94

< 140 mg/dL

Na

136

137 147 mmol/L

3.73

3.5 5.0 mmol/L

Cl

92

95 105 mmol/L

Trombosit

Ultrasonografi (USG)
Tanggal : 1 Desember 2014

USG abdomen :
Hepar

: besar dan bentuk normal


Parenkhim homogen
Tak tampak lesi fokal

Kd. Empedu : besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal.


Tak tampak batu ataupun sludge.
Pancreas

: besar dan bentuk normal.


6

Tidak tampak lesi fokal


Lien

: besar dan bentuk normal


Tidak tampak lesi patologis

Kedua ginjal : besar dan bentuk normal


Echostructure parenkhim normal
Tak tampak batu ataupun lesi fokal
Tak tampak dilatasi pelvio calyces
Tampak fluid collection di vena perihepatik, perilienalis, dan paracotic bilateral.
Regio Mc Burney

: Tidak tampak jelas gambaran appendicitis

Kesan : Fluid collection perihepatik, perilienalis, dan paracolica bilateral


serta rongga pelvis, sugestif inflamasi kronis.

I.6

Assesment
-

1.7

Planning

I.8

Peritonitis e.c appendicitis akut dengan riwayat trauma tumpul abdomen

Puasa
IVFD KaEN 3B 1700 cc/24 jam
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Farmadol 3 x 100 mg
Diagnostik laparoscopy

Laporan Pembedahan

Diagnosis pra bedah : trauma tumpul abdomen


7

Tindakan pembedahan : laparoscopi diagnostik, appendiktomi


Diagnostik pasca bedah : appendicitis akut dengan peritonitis generalisata
Uraian pembedahan :

Pasien di meja operasi dengan GA

A dan antisepsis

Masuk periumbilikal pasang trokar 5 cc

Cairan masuk, gas masuk cairan seropus

Pasang trokar 5 cc suction cairan 500 cc

Ruang abdomen dicuci

Evaluasi : hepar : tidak ada perdarahan


Lien : tidak ada perdarahan
Cairan berbusa dalam usus halus
Pancreatitis ?

Usus dan rongga peritoneum radang keseluruhan

Appendik merah + fibrin appendiktomi

Perdarahan : 5 cc

Jaringan appendiks dikirim ke patologi

Instruksi Post Operasi

awasi tanda vital

Inf. RL : D5% = 1 : 1

Ceftriaxone 1 x 1 gr

Amikasin 2 x 200 mg

Ketorolac 3 x 10 mg

Ranitidin 2 x amp

Bila BU (+) dan pasien sadar boleh minum

Hitung jumlah urine 40 cc/jam


9

I.9

Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Makroskopik : Jaringan appendiks warna cokelat, pembuluh darah nyata,


panjang 5,5 cm, pada pemotongan diameter 0,5 cm, lumen sempit.
Mikroskopik : sediaan dari operasi appendiks tampak mukosa ulceratif luas
dengan lapisan sel-sel epitel silindris selapis menyusun tubuler, inti
sel dalam batas normal.
Lamina propia jaringan ikat sembab bersebukan sel-sel limfosit,
beberapa sel plasma, sel histiosit, dan sel PMN. Submukosa
jaringan ikat dan jaringan otot pada beberapa bagian juga
bersebukan sel-sel radang tersebut diatas.
Tidak tampak tanda ganas.
Kesimpulan : histopatologis sesuai appendicitis kronis eksaserbasi akut.

I.10 Prognosis

Ad vitam

: Bonam

Ad functionam

: Malam

Ad sanationam

: Bonam

I.11 Follow Up
S : perut kembung (+), nyeri perut umbilicus (+), mual (+), demam (+).
O : Ku : compos mentis, tampak lemas.

10

Status lokalis a/r abdomen :


I : cembung (+)
A : BU (+) 4x/menit
P : supel, nyeri tekan umbilicus (+), undulasi (+)
P : redup (+), shifting dullnes (+).
A : post appendiktomi
P : USG ulang, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan urine.

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 08 Desember 2014
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin

11.0 L

13 18 g/dL

Hematokrit

32 L

40 52 %

Eritrosit

4.4

4.3 6.0 juta/L

Leukosit

8360

4,800 10,800 /L

136.000 L

150,000 400,000 /L

Hematologi
Hematologi Lengkap

Trombosit
Hitung jenis :

Basofil

01%

Eosinofil

13%

Batang

26%

Segmen

65

50 70 %

Limfosit

18 L

20 40 %

11

10 H

28%

MCV

74 L

80 96 fL

MCH

25 L

27 32 pg

34

32 36 g/dL

14.70

11.5 14.5 %

SGOT (AST)

30

< 35 U/L

SGPT (ALT)

18

< 40 U/L

Albumin

2.3 L

3.5 5.0 g/dL

Amilase

26

< 65 U/L

Lipase

22

3 32 U/L

CRP semi kuantitatif

24

< 6 mg/L

Glukosa darah sewaktu

101

< 140 mg/dL

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin

9.4 L

13 18 g/dL

Hematokrit

27 L

40 52 %

Eritrosit

3.9 L

4.3 6.0 juta/L

Leukosit

8,300

4,800 10,800 /L

275,000

150,000 400,000 /L

MCV

71 L

80 96 fL

MCH

24 L

27 32 pg

Monosit

MCHC
RDW
Kimia Klinik

Tanggal 10 Desember 2014


Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hematologi Rutin

Trombosit

12

MCHC

35

32 36 g/dL

3.1 L

3.5 5.0 g/dL

24

< 6 mg/L

Kimia Klinik
Albumin
CRP Semi Kuantitatif
Urinalisis
Urine Lengkap

Warna

Kuning

Kuning

Kejernihan

Jernih

Jernih

pH

7.0

4.6 8.0

Berat jenis

1.020

1.010 1.030

Protein

- / Negatif

Negatif

Glukosa

- / Negatif

Negatif

Bilirubin

- / Negatif

Negatif

Nitrit

- / Negatif

Negatif

Keton

- / Negatif

Negatif

Urobilinogen

- / Negatif

Negatif Positif 1

Eritrosit

121

< 2 / LBP

Leukosit

323

< 5 / LBP

Silinder

- / Negatif

Negatif / LPK

Kristal

- / Negatif

Negatif

Epitel

+ / Positif 1

Positif

Lain - lain

- / Negatif

Negatif

Tanggal : 11 Desember 2014


Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

13

Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin

9.3 L

13 18 g/dL

Hematokrit

27 L

40 52 %

Eritrosit

3.8 L

4.3 6.0 juta/L

Leukosit

10,600

4,800 10,800 /L

Trombosit

323,000

150,000 400,000 /L

MCV

71 L

80 96 fL

MCH

25 L

27 32 pg

MCHC

34

32 36 g/dL

PT

11.7

9.3 11.6 detik

APTT

34.2

31 47 detik

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Tanggal : 11 Desember 2014

14

USG abdomen :
Hepar : ukuran membesar, echo parenkim, homogen
Tidak tampak lesi fokal
Sistem bilier tidak melebar
Kd. Empedu : besar dan ukuran normal, dinding tidak menebal
Tidak tampak batu. Tidak tampak sludge.
Pancreas

: besar dan bentuk normal, echostructure homogen. Tidak tampak


lesi fokal. Duktus pancreatikus tidak melebar.

Lien

: membesar
Tidak tampak lesi fokal

Kedua ginjal : besar dan bentuk normal, struktur cortex medulla dalam batas
normal.
Tidak tampak lesi fokal. Tidak tampak batu.
Tidak tampak dilatasi pelvia calyces
Buli buli

: besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal. Tidak tampak


batu.

Ascites

: (+)

Efusi pleura

: normal

15

KESAN

: - Hepatosplenomegali
-

Ascites

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Appendisitis

II.I.1 Definisi
16

Appendisitis adalah peradangan dari appendiks atau appendiks


vermiformis, yang lebih dikenal dengan usus buntu atau umbai cacing. Fungsi
appendiks belum diketahui tapi sering menimbulkan masalah kesehatan.
Perdangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
kompikasi yang umumnya berbahaya. Appendisitis akut dapat menyebabkan
kematian karena peritonitis dan syok.
Appendisitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang
progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosis

dan

keterlambatan

penatalaksanaannya

akan

menyebabkan

peningkatan morbiditas dan mortalitas.

II.1.2 Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang
akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira kira 10
cm (kisaran 3 15 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya, dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi penyebab rendahnya insidensi appendisitis pada usia itu. Pada
65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya pada mesenterium bagian akhir ileum.
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada
1/3 atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan
umbilicus (titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam
dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis
miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik

17

McBurney). Posisi ujung appendix yang bebas sangat berbeda-beda. Letak


appendix vermiformis berubah-ubah, tetapi biasanya appendix vermiformis
terletak retrosekal namun sering juga di temukan pada posisi lain
Pada kasus selebihnya, posisi appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di
bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di
belakang usus halus) 0,4%. Gejala klinis appendikitis ditentukan oleh letaknya
appendiks.

Gambar 1 : Posisi appendiks


Perdarahan caecum terjadi melalui arteri ileocolica, cabang arteri
mecenterica superior. Perdarahan appendix vermiformis di pasok oleh arteri
appendicularis, cabang arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri.
Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.
Vena ileocolica, anak cabang vena mesenterica superior, mengantar balik
darah dari caecum dan appendix vermiformis.
Pembuluh limfe dari caecum dan appendix menuju ke kelenjar limfe
dalam meso-appendix dan ke nodi lymphoidei ileocilici yang teratur sepanjang
arteri ileocolica. Pembuluh limfe eferen di tampung oleh nodi lymphoidei
mesenterici superiores.
18

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di
sekitar umbilicus.
II.1.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid
Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan
limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.
Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan limfoid yang
berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendiks
bermanfaat tetapi tidak diperlukan

II.1.4 Epidemiologi
a. Faktor host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada
dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis
tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate
19

(ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk. Hal ini berhubungan dengan


hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada
usia pubertas. Jarang terjadi pada bayi dan anak karena appendiks yang
berbentuk kerucut pada usia ini sehingga tidak mudah mengalami
obstruksi. Resiko perforasi terbanyak pada usia 1-4 tahun (70-75%) dan
terendah pada remaja (30-40%) yang insiden tertinggi menurut umur
adalah pada masa anak.
2. Jenis kelamin
Perbandingan appendisitis sebelum pubertaas laki-laki : wanita = 1 : 1,
pada pubertas 2 : 1, setelahnya sama lagi.
b. Faktor agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada
di usus besar, seperti infeksi dari bakteri E. Coli dan Streptokokus. Bakteri
penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%. Penyebab
lain yang diduga dapat menikmbulkan appendisitis adalah erosi mukos
appendiks karena E. histolytica.
c. Faktor Environment
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki
risiko appendicitis yang lebih tinggi.

II.1.5 Etiologi
2 faktor utama penyebab appendicitis : obstruksi (80%) dan infeksi
hematogen.
a. Obstruksi :
1. Sumbatan pada lumen, jenisnya : fecalith, corpus allenum (biji-bijian :
biji cabe), parasit (cacing, terutama askaris), mengerasnya bubur
barium dalam lumen pada bekas pemeriksaan Ba in loop.
2. Bengkokan atau tekkukan appendiks (kingking), karena mesoappendiks yang pendek dan adhesi sekitarnya.
3. Hipertrofi jaringan limfoid di tunika mukosa

20

b. Infeksi hematogen 10 20 % kasus, penyebaran secara hematogen dari


tempat lain.

II.1.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, invasi
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna. Tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan
21

sekitarnya. Perlekatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan


bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut.

II.1.7 Klasifikasi Appendicitis


Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah
sebagai berikut:
a. Appendicitis Akut
1. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan
demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks
terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
2. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Appendicitis Akut Gangrenosa

22

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
b. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.
c. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
subcaecal, dan pelvic.
d. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme
dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen.
Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil
pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.

23

II.1.8 Manifestasi Klinis


a. Anamnesa
Nyeri samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau

umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia.


Nyeri kemudian berpindah ke perut daerah kanan bawah di titik
Mc Burney yang dirasakan lebih tajam dan jelas yaitu nyeri tekan,

nyeri lepas dan nyeri ketok.


Konstipasi
Demam (biasanya subfebris, yaitu antara 37,5-38,5 C).
Leukositas
b. Pemeriksaan Fisik
Tampak kesakitan, membungkuk, memegang perut kanan bawah
Demam
Status lokalis :
Abdomen kuadran kanan bawah :

Mc Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok

(+) karena rangsang peritoneum


Defans muskuler (+) mm. Rectus abdominis
Rovsing sign (+) bila perut sebelah kiri bawah (kontra
Mc Burney) ditekan dan didirong ke kanan akan terasa
nyeri pada perut kanan bawah. Penekanan dan pendorongan
perut ke kanan menyebabkan organ di dalamnya ikut
terdorong ke kanan, menekan appendiks, menyentuh
peritoneum, dan menyimbulkan nyeri di titik Mc Burney.

24

Gambar 2. Rovings Sign

Psoas sign (+) untuk appendisitos retro[eritoneal, ada 2


cara pemeriksaan :
o Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan
oleh pemeriksa. Pasien disuruh aktif memfleksikan
articulatio coxae kanan, akan terasa nyeri di perut
kanan bawah (cara aktif).
o Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperektensi
oleh pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan
bawah (cara pasif).

Gambar 3. Psoas Sign

Obrurator sign (+) dengan gerakan fleksi dan endorotasi


articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan
nyeri. Bila nyeri berarti terjadi kontak dengan m. obrurator
internus, artinya appendiks terletak di pelvis.

25

Gambar 4. Obturator Sign

Peritonitis umum (perforasi) : nyeri di seluruh abdomen,

pekak hati menghilang, bising usus menghilang.


Rectal Touche : nyeri tekan pada jam 9-12. Pada anak-anak
tidak diperlukan colok dubur karena appendiksnya konus

atau pendek
c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri. Leukosit yang lebih dari > 18.000

menandakan bahwa terjadi perforasi


LED meningkat (pada appendisitis infiltrat)
Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan
Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan
USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan
dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%

26

Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan


kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut

bawah.
Pengukur an enzim hati dan tingkatan amilase membantu

mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.


Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk

memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.


Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan

Barium

enema

dan

Colonoscopymerupakan

pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.


Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

II.1.9 Diagnosis Banding


Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding, meliputi :

Gastroenteritis mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit


pada perut, hiperperistaltik.

Demam dengue sakit perut mirip peritonitis, rumple leed positif,


trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

Limfadenitis mesenterika didahului enteritis dan gastroenteritis,


nyeri tekan perut samar.

Intususepsi nyeri kolik, muntah berwarna hijau, feses terdapat


darah dan lender.

27

Infark omentum teraba massa pada abdomen, nyeri tidak


berpindah.

Divertikulitis nyeri di periumbilikal atau kuadran kiri bawah,


demam, dan leukositosis.

Infeksi panggul salpingitis ditandai keputihan, dan infeksi urin.

Kista ovarium terpuntir nyeri mendadak dan tajam, teraba


massa dalam rongga pelvis, tidak ada demam.

Urolitiasis nyeri kolik dari pinggang ke perut menjalar ke


inguinal kanan, nyeri costovertebral.

II.1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka maupun dengan
cara laparoskopi. Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4
sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak
terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan
pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional
operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah
di atas daerah apendiks.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan
appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut

28

diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter
sehingga secara kosmetik lebih baik.
Penundaan

appendektomi

dengan

pemberian

antibiotik

dapat

mengakibatkan abses dan perforasi.


II.1.11 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 38 C
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,
obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.

II.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.

II.2

Peritonitis

II.2.1 Pendahuluan
Peritonitis adalah peradangan lapisan rongga perut bisa akibat infeksi,
autoimun, dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer (spontan) atau
sekunder. Peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di

29

ruang peritoneum lewat hematogen atau limfogen. Peritonitis sekunder muncul


dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari atau robekan viskus intra-abdomen
atau abses dalam organ.
Peritonitis pada masa neonatus bisa berasal dari transplasenta pada infeksi
dalam rahim lebih sering merupakan akibat infeksi didapat selama atau segera
setelah lahir. Peritonitis mungkin manifestasi septikemia, perluasan langsung dari
infeksi umbilikus atau dari perforasi usus atau enterokolitis nekrotikan, atau
kadang-kadang sekuele dari appendiks yang terobek atau divertikulum Meckeli.

II.2.2 Anatomi Dinding Abdomen dan Peritoneum


A. Dinding Abdomen
Abdomen adalah sebagai daerah tubuh yang terletak di antara diaphragm
di bagian atas dan opertura pelvis superior di bagian bawah. Dinding abdomen
dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum parietale.
Struktur dinding abdomen dibagi menjadi 4 bagian:
a. Bagian superior : di bentuk oleh diapraghma yang memisahkan cavitas
abdominalis dari cavitas thoracis.
b. Bagian inferior : cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi cavitas pelvis
melalui aperture pelvi superior
c. Bagian anterior : dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea
thoracis dan di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus
externus abdominis, musculus obliquus internus abdomini, dan musculus
tranversus abdominis serta fascianya.
d. Bagian posterior : dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh kelima
vertebrae lumbales dan discus intervertebralis, bagian lateran dibentuk oleh 12
costae, bagian atas oleh os coxae, musculus psoas major, musculus quadratus
lumborum dan aponeurosis origo musculus transverses abdominis.

Musculus

iliacus terletak pada bagian atas os coxae.


Struktur dinding anterior abdomen dibentuk oleh :
a. Kulit : garis-garis lipatan kulit alami berjalan konstan dan hampir horizontal di
sekitar tubuh.
b. Fascia superficialis : lapisan ini dibagi menjadi lapisan luar, panniculus adiposus
(fascia Camperi) dan lapisan dalam, stratum membranosum (fascia Scarpae)

30

c. Fascia Profunda : pada dinding anterior abdomen hanya merupakan lapisan tipis
jaringan ikat yang menutupi otot-otot. Fascia profunda tepat di sebelah profunda
stratum membranosum fascia superficialis.
d. Otot dinding anterior abdomen : terdiri atas tiga lapisan otot lebar, tipis dan di
depan berubah menjadi aponeurosis. Otot tersebut dari luar ke dalam yaitu
musculus obliqus externus abdominis, musculum obliqus internus abdominis dan
musculum transverses abdominis, pada masing-masing sisi garis tengah bagian
anterior terdapat sebuah otot vertical yang lebar, musculus rectus abdominis. Oleh
karena ketiga lapisan aponeurosis berjalan ke depan sehingga membungkus
musculus rectus abdominis dan membentuk vagina musculi recti abdominis.
Bagian bawah vagina musculi recti abdominis terdapat sebuah otot yaitu musculus
pyramidalis.
Musculus cremaster dari serabut-serabut bagian bawah musculus obliqus internus
abdominis berjalan ke inferior sebagai pembungkus funiculus spermaticus dan
masuk ke scrotum.
e. Fascia transversalis : merupakan lapisan fascia tipis yang membatasi musculus
transverses abdominis dan melanjutkan diri sebagai lapisan sama yang melapisi
diaphragm dan musculus iliacus.
f. Lemak ekstraperitoneal : selapis tipis jaringan ikat yang mengandung lemak
dalam jumlah yang bervariasi dan terletak diantara fascia transversalis dan
peritoneum parietale.
g. Peritoneum parietale : merupakan membrane serosa tipis dan melanjutkan diri ke
bawah dengan peritoneum parietale yang melapisi rongga pelvis.
B. Peritoneum
Peritoneum merupakan membrane serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis.
Peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara peritoneum
parietale dan peritoneum visceral disebut cavitas peritonealis. Cavitas peritonealis
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu cavitas peritonealis yang merupakan ruang
utama cavitas peritonealis yang terbentang dari diaphragm ke bawah sampai
pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang
gaster dan, kantong besar dan kantong kecil berhubungan bebas satu sama lain

31

melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen
epiploicum.
II.2.3 Fisiologi Dinding Abdomen dan Peritoneum
A. Dinding Abdomen
Dinding abdomen membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Integritas lapisan muskulo-aponeirosis dinding abdomen sangat penting
untuk mencegah terjadinya hernia. Fungsi lain otot dinding abdomen adalah pada
pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meningkatkan
tekanan intraabdomen.
B. Peritoneum
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental dan
mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin viscera
abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Peritoneum yang
meliputi usus cenderung saling melekat bila terdapat infeksi. Omentum majus
yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltik saluran penvernaan yang
ada di dekatnya dapat melekat pada permukaan peritoneum lainnya di sekitar
focus infeksi. Dengan cara ini banyak infeksi peritoneal ditutup dan tetap
terlokalisir. Lipatan peritoneum memegang peran penting untuk menggantungkan
berbagai organ di dalam cavitas peritonealis dan berperan sebagai tempat jalannya
pembuluh darah, limf dan saraf ke organ-organ tersebut. Sejumlah besar lemak
disimpan di dalam ligamentum peritoneale dan mesenteria dan pada omentum
majus mungkin dapat di temukan lemak dalam jumlah yang cukup besar.
II.2.4 Definisi
Peritonitis merupakan peradangan membrane serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen, yang merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Peritonitis adalah
peradangan lapisan rongga perut bisa akibat infeksi, autoimun, dan proses kimia.
Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritoneum tanpa dapat
memperagakan sumber intra-abdomen atau fokusnya berada di luar rongga
abdomen dan infeksi tersebut dibawa lewat darah dan limfe. Peritonitis sekunder
adalah infeksi yang disebabkan karena kerusakan organ-organ abdomen atau
fokusnya berada dalam rongga abdomen.
32

II.2.5 Epidemiologi
Pada peritonitis primer akut pada anak menurut jenis kelamin yang terkena
seimbang, dan kebanyakan kasus terjadi pada usia sebelum 6 tahun. Peritonitis
pada neonatus paling sering terjadi sebagai komplikasi enterokolitis nekrotikans
tetapi mungkin disertai dengan ileus mekonium atau robekan spontan lambung
atau usus.

II.2.6 Etiologi
Peritonitis biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen,
perforasi saluran pencernaan, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon. Peritonitis
mungkin manisfetasi septikemia, perluasan langsung dari infeksi umbilicus,
perforasi usus atau appendiks dan divertikulum Meckeli.
Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari
sindrom nefrotik atau sirosis. Paling sering bakteri murni termasuk pneumokokus,
streptokokus grup A, enterokokus, stafilokokus, dan bakteria enterik gram
negative, terutama Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia. Peritonitis pada
masa neonatus bisa berasal dari transplasenta pada infeksi dalam rahim, lebih
sering merupakan akibat infeksi didapat selama atau segera setelah lahir.

II.2.7 Klasifikasi
Peritonitis dibagi menjadi 2 yaitu peritonitis primer yang fokusnya berada
di luar rongga abdomen dan infeksi tersebut dibawa lewat darah dan limfe.
Peritonitis sekunder yaitu fokusnya berada dalam rongga abdomen.
33

Peritonitis terlokalisasi sekunder akut (abses peritonitis) dimana abses


intra abdomen bisa berkembang dalam organ visceral intra abdomen atau dalam
usus, periappendiks, subdiafragma, subhepatik, pelvis dan ruang retroperitoneum.
Paling sering abses perappendiks dan pelvis berasal dari perforasi appendiks.
Radang

tarnsmural

dengan

pembentukkan

fistula

bisa

mengakibatkan

pembentukkan abses intraabdomen pada anak-anak dengan penyakit crohn.

II.2.8 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa yang kemudian terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik usu kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan sapat mengganggu pulihnya
motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.

II.2.9 Gejala Klinis


Gejala dan tanda yang terjadi bergantung pada luas peritonitis, beratnya
peritonitis dan jenis organisme penyebab. Gejala yang terjadi biasanya adalah
demam, nyeri abdomen terus menerus sehingga jika menggerakan tubuh akan
lebih sakit menyebabkan penderita biasanya tidur dalam kadaan merengkuk atau
saat berjalan membungkuk agar perut tidak bergerak, muntah, buang air besar
34

dapat lancar sampai terganggu. Pada neonatus biasanya disertai rewel dan gelisah
yang sering terjadi.
Pada abses appendiks ada sakit tekan yang terlokalisasi dan massa yang
dapat diraba pada kuadran kanan bawah. Abses pelvis terkesan dari perut
kembung, tenesmus rektum dengan atau tanpa keluarnya sedikit tinja berlendir
dan iritabilitas kandung kemih. Pemeriksaan rektum bisa menunjukkan massa
yang keras di sebelah anterior.

II.2.10 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam (39,5oC), hipotensi, takikardi,
napas cepat dan dangkal, nadi cepat atau lemah dan dangkal, defans muscular,
distensi abdomen, nyeri tekan, nyeri lepas, bising usus menurun atau dapat
menghilang, ascites dan dapat terjadi syok hingga distres pernapasan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat lebih dari
12.000/l dengan dominasi sel polimorfonuklear yang menonjol sekitar 85-90%,
adanya proteinuria pada penderita sindrom nefrotik, pH < 7,35 , kadar laktat
meningkat. Pada aspirasi ascites bila didapatkan kadar protein meningkat, leukosit
lebih dari 300/l dan PMN lebih dari 25% menandakan adanya infeksi.
Pemeriksaan foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan
usus besar, dengan peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan dinding
usus, dan udara bebas pada rongga peritoneum.

II.2.11 Penatalaksaan
Pemberian cairan dengan agresif dan mendukung fungsi kardiovaskuler
harus segera dimulai. Stabilisasi penderita sebelum dilakukan tindakan operasi
35

merupakan keharusan. Operasi harus dimulai dengan memperbaiki viskus yang


perforasi setelah penderita distabilkan dan dimulai terapi antibiotik. Terapi
antibiotik yang dapat digunakan adalah kombinasi ampisilin, aminoglikosida dan
metronidazol atau klindamisisn atau sefalosporin atau kombinasi ampisilin,
gentamisin, dan kloramfenikol. Terapi antibiotik harus dilanjutkan selama 10-14
hari.
Tindakan pembedahan laparotomi harus dilakukan sedini mungkin
terutama bila pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram negative atau bakteri
gram positif setelah pengobatan antibiotik parenteral selama 48 jam keadaan
klinis tidak membaik dan terdapat tanda-tanda lokalisasi.
Pada abses peritonitis abses harus dialirkan dan terapi antibiotik yang tepat
diberikan. Drainase bisa dilakukan di bawah pengawasan radiologi dan dipasang
drainase tetap dengan kateter. Pengobatan robekan appendiks yang terkomplikasi
oleh abses mungkin menjadi masalah karena pembentukkan flegmon usus
membuat reseksi bedah lebih sulit. Pengobatan antibiotik intensif selama 4-6
minggu diikuti dengan appendektomi interval sering menjadi pengobatan
berkelanjutan.

36

BAB III
PENUTUP

Resume

Seorang anak laki-laki, usia 9 tahun dengan keluhan nyeri kanan bawah
sejak 4 hari SMRS. Awalnya nyeri di ulu hati yang kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah. Nyeri dirasakan mendadak dan terus menerus.
Nyeri diperberat dengan berjalan dan membaik bila tiduran.

Demam (+) disertai menggigil . Mual (+), muntah (+) 1x. BAB (+) cair
sejak 2 hari SMRS, berwarna kuning kehijauan, ampas (+), lendir (-),
darah (-), frekuensi 3-4x sehari. Perut dirasakan semakin lama semakin
membesar sejak 4 hari terakhir disertai nafsu makan menurun.

Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas 4 hari SMRS, namun keluhan


tidak membaik.

Riwayat trauma (+) 1 bulan yang lalu, Riwayat penyakit maag (+).
Riwayat makan : jarang memakan sayuran

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut cembung, Distensi (+), Nyeri


tekan (+), nyeri lepas (+), defans muskular (+) di regio kuadran kanan
37

bawah. Rovsing sign (+), psoas sign (+), undulasi (+), redup (+), nyeri
ketok (+), shifting dullnes (+).

Pada pemeriksaan USG didapatkan ascites (+)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15, Jakarta : EGC
2. Richard S. Snell. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi 6, Jakarta : EGC
3. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC
4. Sylvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6, Jakarta : EGC
5. Prof. Sudaryat Suraatmaja, SpAK. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Denpasar : SMF IKA FK UNUD/RS Sanglah
6. dr. Adhita Dwi A. 2009. Appendicitis Acute, Cimahi : Universitas Jendral
Achmad Yani

38

You might also like