Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Seperti pada bidang-bidang lainnya, ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala
dan leher juga memiliki kasus-kasus yang merupakan kasus kegawatdaruratan yang harus
ditangani dengan segera. Kondisi emergensi pada THT-KL adalah hal yang sering ditemukan
pada praktik sehari-hari. Diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan mengurangi
morbiditas dan juga mortalitas. Menejemen dari emergensi THT-KL tidak jarang memerlukan
terapi pembedahan. Kegawatdaruratan dalam bidang THT-KL meliputi, trauma pada telinga,
Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL), epistaksis, epiglottitis, Laryngotrakeobronkitis
(LTB), abses leher dalam, obstruksi saluran napas atas (OSNA), dan trauma maksilofasial.
Karena letak dari kasus emergensi THT-KL dekat dengan otak dan organ-organ lainnya, oleh
karena itu penanganan yang terlambat dapat menyebabkan dampak yang berat pada organ-organ
tersebut. Pada kasus-kasus kegawatdaruratan tersebut, diagnosis dan penanganan yang cepat dan
tepat sangatlah diperlukan agar tidak menimbulkan komplikasi yang mengancam fungsi organ
tersebut atau bahkan mengancam nyawa.
Tujuan dari referat ini dibuat adalah untuk membantu mengenali kasus-kasus mana yang
merupakan emergensi dan penanganan awalnya sebelum di rujuk ke spesialis.
Bab II
Kegawatdaruratan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher
2.1 Trauma cidera dan trauma termal Telinga
Posisi pinna/daun telinga yang terekspos membuat daun telinga menjadi lokasi yang
paling sering mengalami trauma. Cidera yang terjadi dapat dibagi dalam 4 kategori: trauma tajam
atau laserasi, avulsi, trauma tumpul, dan trauma termal. Laserasi sederhana tragus dapat
melibatkan laserasi pada nervus fasialis. Hematoma aurikuler akibat cidera tongkat bisbol dapat
menunjukkan Battle sign yang mengindikasikan fraktur dasar tengkorak yang lebih dalam.
2.1.1. Laserasi dan avulsi
Laserasi daun telinga
seringkali
menjadi
tantangan
tersendiri
dalam
usaha
memperbaikinya. Prinsip pembedahan yang sudah dianut untuk kasus ini ialah segala tepi yang
terluka harus dibersihkan dan di-debridement agar kembali menjadi jaringan yang sehat dan
bersih. Pada laserasi daun telinga, bagaimanapun, debridement yang berlebihan dapat berakibat
hilangnya terlalu banyak jaringan, yang mungkin saja menyebabkan tekanan yang lebih besar
saat penutupan dan risiko kosmetika yang buruk. Walau begitu, tepi-tepi luka sebaiknya
dibersihkan secara agresif untuk menghilangkan bakteri apapun termasuk kotoran atau debris.1
Penutupan laserasi yang cukup tebal harus dipikirkan agar perbaikan dapat menunjang
segi kosmetika dan segi durabilitas. Kartilagonya sebaiknya diperkirakan untuk diperbaiki
dengan jahitan monofilamen permanen yang sangat halus melalui perikondrium dan kartilago.
Perawatan sebaiknya dilakukan pada setiap lapisan jaringan, mencakup jaringan yang lebih
dalam dan lebih luar dari kulit. Bahkan kulit daun telinga yang bersih sebaiknya diberikan
antibiotik untuk mencegah perikondritis. Bila laserasinya terjadi akibat gigitan manusia atau
hewan, hal ini juga akan mempengaruhi pilihan antibiotik yang diberikan.
Laserasi akan menjadi lebih bermasalah bila bagian daun telinga ada yang sudah
mengalami avulsi secara komplit. Bila tersedia, bagian yang teravulsi sebaiknya dipasang
kembali, secara esensial membuatnya menjadi graft komposit dengan ketebalan yang baik.
Inhibitor platelet, antikoagulan, oksigen hiperbarik, telah digunakan untuk menambah
kemampuan survival dari potongan yang dipasang kembali ini. Bila seluruh daun telinga
teravulsi, re-anastomosis mikrovaskuler biasanya dibutuhkan. Bila bagian yang teravulsi tidak
tersedia untuk reimplantasi, luka dapat ditutup secara primer atau dibiarkan menutup secara
sekunder, dengan rekonstruksi dilakukan ketika lukanya sudah stabil.1
2.1.2. Hematoma aurikuler
Trauma tumpul yang mengenai daun telinga dapat berakibat pembentukan hematoma
daun telinga. Ini adalah cidera yang umum terjadi, pada bidang olahraga, khususnya pada petinju
dan pegulat dan inilah yang menjadi alasan utama penggunaan penutup kepala. Cidera yang
mengenai pembuluh darah perikondrial akan menyebabkan akumulasi darah di ruang
subperikondrial, yang menyebabkan perikondrium terangkat dari kartilagonya. Bila tidak didrain, pemisahan kartilago dari suplai darahnya akan menyebabkan nekrosis kartilago. Darah
2
yang
terperangkap
dan
perikondrium
yang
cidera
akan
membentuk
suatu
massa
di
dalam
scapha.
Setelah
drainase
dan
pembuangan
bekuan
darah
dan
fibroneokartilaginosa, bolster ditempelkan. Biasanya dapat dilakukan dengan rol dental yang
diaplikasikan di kedua sisi aurikel dan diamankan dengan jahitan permanen. Bolster ini biasanya
ditempatkan selama 7 hingga 10 hari.
Beberapa merasakan bahwa insisi dan bolstering tidak dibutuhkan dan hematoma
aurikuler dapat diatasi dengan aspirasi jarum. Banyak seri publikasi yang menyarankan aspirasi
jarum, hanya dengan menggunakan insisi dan bolstering untuk kasus yang rekuren. Cochrane
Database Systematic Review masih belum bisa mendapatkan data yang cukup untuk
mendefinisikan terapi yang paling baik sehingga studi lebih jauh dibutuhkan.1
Tes penala : Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach
Pemeriksaan Penunjang
Audiometri khusus 2
o Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor : 100% atau kurang dari
70%
o Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif. Kesan : Bukan tuli retrokoklea
o Audiometri tutur (speech audiometry)2
SDS (speech discrimination score): kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
o Audiometri impedans2
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif atau positif
sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
o BERA ( Brainstem Evolved Responce Audiometry)
Menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai berat
Tirah baring sempurna(total bed rest) istirahat fisik dan mental selama 2 minggu untuk
menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan
neovaskular.
Vasodilatansia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian Complamin injeksi.
o 3x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
o 3x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
o 3x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
o 3x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari
Disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari.
Prednison 4x 10 mg (2 tablet), tappering off tiap 3 hari (hati hati pada penderita DM).
Diit rendah garam dan rendah kolesterol
Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit), obat antivirus sesuai dengan virus penyebab
Hipertonik oksigen terapi
Pada pasien diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan kortikosteroid injeksi dan
bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara rutin setiap hari serta konsultasi ahli penyakit
dalam. Apabila hasil konsultasi dengan Sub Bagian hematologi Penyakit Dalam dan Bagian
kardiologi ditemukan kelainan, terapi ditambah sesuai dengan nasehat bagian tersebut.2
Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu: kecepatan pemberian
obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan adanya faktor- faktor
predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
5
sembuh, bila telah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan
dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh. Prognosis tuli mendadak tidak
sejelek yang diperkirakan. Hampir 1/3 penderita dapat sembuh sampai normal kembali, 1/3
masih ada sisa 40-80 SRT (Speech Recognition Threshold) dan 1/3 lainnya mengalami tuli total.
3
2.3. Epistaksis
Perdarahan hidung merupakan masalah yang sering ditemukan. Kunci penatalaksanaan
yang tepat adalah aplikasi penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Epistaksis dibagi atas
dua bagian berdasarkan letaknya, yakni Epistaksis anterior dan posterior. Sekitar 90% kasus
epistaksis anterior dapat berhenti dengan tekanan yang kuat dalam posisi duduk tegak. Hidung
diperdarahi oleh aliran darah yang berasal dari a. Ethmoidalis anterior dan posterior yang
menyuplai bagian superior hidung. A.sfenopalatina membawa darah membawa darah untuk
separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah
diatas akan beranastomosis, suatu pleksus di sepanjang bagian anterior septum kartilagenosa
menggabungkan sebagian anastomosis ini disebut plexus kisselbach. Daerah ini merupakan
lokasi Epistaksis tersering.5
Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat.
Hal-hal yang perlu ditanyakan adalah: (1)Riwayat perdarahan sebelumnya, (2)lokasi perdarahan,
(3)darah mengalir terutama ke hidung depan bila pasien duduk tegak atau kebelakang ke
tenggorok, (4)lama perdarahan dan frekuensinya, (5)kecenderungan perdarahan, (6)riwayat
gangguan perdarahan dan frekuensinya, (7)hipertensi, (8)diabetes mellitus, (9)penggunaan
antikoagulan, (10)Trauma hidung yang belum lama.5
Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, namun terkadang jelas
penyebabnya oleh karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung
atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokalm benda asing, tumor, kelainan kardiovaskular, perubahan tekanan atmosfir.6
Sumber perdarahan
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior.
Epistaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau
dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan pada bagian anterior biasanya ringan dan dapat
berhenti sendiri. Perdarahan ini terjadi karena mukosa septum hidung yang kering, ataupun
kebiasaan mengorek hidung yang berlebihan. Epistaksis posterior berasal dari pleksus woodruff.
Perdarahan ini jarang berhenti sendiri dan biasanya memiliki gejala lebih hebat.5
Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,
perhatikan keadaan umumnya, kemudian stabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Penatalaksanaan dibagi berdasarkan lokasi perdarahan: (1)Perdarahan anterior terkadang tidak
perlu dilakukan tindakan karena dapat berhenti sendiri, namun apabila tidak berhenti dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan
dapat terlihat maka bisa menggunakan kauter. Bila perdarahan terus berlangsung maka dapat
digunakan tampon anterior yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tambon disusun 24 buah, dan diganti dengan jangka waktu 2x24 jam bila perdarahan masih berlangsung.
(2)perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa
padat dengan bentuk kubus dengan diameter 3cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah
satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. 6
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena epistaksis atau karena usaha penanggulan epistaksis.
Akibat epistaksis dapat terjadi perdarahan masif sehingga dapat menyebabkan syok hipovolemik,
iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai miokard infark. Pada proses penghentian perdarahan
komplikasi yang dapat terjadi adalah saat pemasangan tampon menyebabkan rino-sinusitis, otitis
media, septikemia, atau toksik shock syndrome. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
tampon harus diganti setiap 2 hari. Pemasangan tampon bellocq dapat menyebabkan laserasi
palatum mole atau sudut bibir.6
2.4. Epiglottitis
Definisi
Epiglotitis atau supraglotitis ialah peradangan pada epiglotis yang umumnya menyerang
anak-anak, yang dapat mengancam nyawa karena dapat menimbulkan obstruksi jalan napas.
Epiglotis yang membengkak dapat tertarik ke glotis, yang seperti sumbat akan mengobstruksi
aliran udara. Insiden puncak terjadi pada anak usia 3 dan 7 tahun, tapi tidak menutup
kemungkinan dapat menyerang bayi maupun orang dewasa. Namun saat ini, kasus epiglotitis
menjadi kasus yang jarang ditemui semenjak ditemukan vaksin HiB.7
7
Etiologi
infeksi bakterial pada epiglotis dan struktur sekitarnya. Sebab lain namun lebih jarang, yaitu
trauma akibat cidera termal pada epigloti yang dapat menyebabkan edema. Umumnya epiglottitis
disebabkan oleh streptokokus grup A.7
Gejala dan Tanda
Epiglotitis memiliki onset yang mendadak, hanya kurang lebih 6 jam sampai munculnya
gejala. Umumnya, orang tua akan menemukan anak pertama-tama demam, lalu mulai mengalami
stridor dan kesulitan untuk bernapas. Makin lama epiglottitis akan mengganggu kemampuan
untuk menelan sekret, sehingga akan menetes air liat dari mulut.
Pada pemeriksaan fisik, anak akan tampak gelisah akibat kesulitan bernapas bahkan bisa
saja sampai terjadi sianosis. Anak akan takikardi, suhu tubuh bisa mencapai 40oC. Walaupun
pasien takipneu, namun frekuensi napas jarang mencapai 40x/menit. Mukosa faring tampak
eritem, dan epiglottis yang bengkak dan kemerahan umumnya dapat terlihat sekitar dasar lidah
tanpa bantuan alat. Retraksi dapat terlihat jelas pada suprasternal dan subcostal. Stridor dapat
didengar tanpa menggunakan stetoskop.
Untuk memaksimalkan tempat masuknya udara, anak-anak ini akan ditempatkan pada
posisi duduk dengan jaw-thrush ke depan.7
Pemeriksaan Penunjang7
Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah perifer: Leukositosis antara 15.000-25.000/mm3
o Kultur darah
Radiografi leher lateral
Merupakan pemeriksaan yang patognomonik untuk epiglottitis. Terdapat 3
gambaran khas, yaitu (1) epiglotis yang membengkak, (2) lipatan ariepiglotis yang
menebal, dan (3) obliterasi valekula. Karena edema, epiglotis membengkak dan akan
nampak cembung pada kedua sisinya. Oleh karena itu sering disebut sebagai thumb-sign.
Pengumpulan spesimen lab biasa ditunda hingga jalur napas sudah diamankan. Hitung sel
darah putih meningkat pada sebagian besar anak dengan epiglotitis. Laporan yang terdapat pada
literatur, yang mengalamatkan anak-anak dengan infeksi akibat H.influenzae tipe B, dikatakan
memiliki leukositosis dengan rentang antara 15.000 hingga 25.000/mm3 dan kultur darah yang
positif pada 80-90% kasus.
8
Terapi
Secara singkat, tatalaksana segera untuk kasus epiglotitis mencakup memastikan
pemberian ventilasi yang adekuat, mendapatkan akses vena perifer bila dapat ditoleransi anak.
Melakukan intubasi endotrakeal (atau trakeostomi), bila perlu sediakan ventilasi bag-mask.
Pemeriksaan lab sebaiknya ditunda hingga jalan napas dapat diamankan.7
Seftriakson (100 mg per kg per hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis) dan sefotaksim (200 mg
per kg per hari terbagi dalam 4 dosis) dapat memberikan coverage antibakterial yang cukup.
Vankomisin (45 mg per kg per hari terbagi 3 dosis) dan aztreonam (120 mg per kg per hari
terbagi dalam 3 dosis) dapat dijadikan alternatif untuk pasien yang alergi penisilin atau
sefalosporin. Steroid belum dibuktikan memiliki efek untuk epiglotitis.7
Komplikasi
Komplikasi paling serius dari epiglotitis ialah obstruksi napas mendadak. Hal ini dapat
terjadi tanpa diprediksi pada setiap tingkat penyakit, bahkan sebelum sempat mencari
pertolongan medis, atau pada saat di unit gawat darurat atau setelah dirawat di rumah sakit.
Walaupun anak dengan distres pernapasan yang minimal umumnya akan mengalami obstruksi
total, retraksi yang jelas dan kesulitan bernapas sebaiknya sudah dipikirkan sebagai peringatan
masalah jalan napas yang masih tertunda. Komplikasi tambahan dari penyakit ini ialah
penyebaran infeksi ekstraepiglotis. Selama fase bakteremia, perbenihan kuman dapat melibatkan
meninges, paru, perikardium, membran sinovial, dan jaringan lunak. Sehingga, pemeriksaan
awal sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di lokasi lain.7
Prognosis
Sebuah kajian mengenai statistik mortalitas epiglotitis menekankan pentingnya
pemberian jalan napas buatan dalam menatalaksana kasus ini. Rapkin mendeskripsikan hasil
yang fatal pada 20% anak yang ditatalaksana dengan antibiotik dan diobservasi saja. Di tahun
1978, Cantrell et al merangkumkan 749 kasus epiglotitis. Mortalitasnya bervariasi, sesuai dengan
metode manajemen jalan napas sebagai berikut: trakeostomi, 3 kematian dari 348 anak (0,86%);
intubasi endotrakeal, 2 dari 216 anak (0,92%); tanpa jalan napas buatan, 13 dari 214 (6,1%).7
2.5. Laringotrakeobronkitis (LTB)
Definisi
Laringotrakeobronkitis (LTB) juga merujuk pada croup, adalah sebab paling umum dari
obstruksi jalan napas atas infeksius pada anak-anak di antara usia 6 bulan dan 3 tahun. Penyakit
ini jarang terjadi pada anak-anak yang lebih muda, yaitu kurang dari 1 tahun atau anak yang
lebih tua, yaitu lebih dari 6 tahun dan lebih prevalen pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sekitar 15% anak yang mengalami penyakit ini, memiliki riwayat keluarga dengan
LTB. Penyakit ini epidemis sesuai dengan alam dan terjadi paling sering antara awal musim
gugur dan di akhir musim semi.8
Etiologi
Biasanya penyakit ini disebabkan oleh invasi viral, khususnya oleh karena parainfluenzae
tipe 1 dan 2. Walaupun ada pula sejumlah jenis virus lainnya yang
dilaporkan dapat
menyebabkan penyakit ini, seperti influenzae tipe A dan B, adenovirus, rinovirus, eneterovirus,
RSV, HSV-1, measles dan varisella.8
Gejala dan Tanda
Spektrum keparahan penyakit ini cukup luas. Seorang anak secara khas akan memiliki
riwayat beberapa hari mengalami gejala saluran napas atas, seperti low-grade fever, rinorea, sakit
tenggorokan, dan batuk ringan. Lebih dari 2 hingga 3 hari selanjutya, gejala akan mengalami
progresi hingga akan terdengar hoarseness dan barking-seal cough yang menjadi karakteristik
LTB. Batuk seringkali dimulai mendadak tengah malam, dan dapat pula terjadi saat spasme.
Stridor terutama terdengar saat inspirasi, secara khas terjadi ketika anak rewel atau menangis.
Dengan penyempitan jalur napas yang lebih signifikan, suara napasnya ini akan terdengar
bahkan ketika anak sedang beristirahat dengan tenang dan baik selama inspirasi dan ekspirasi,
yang selanjutya akan disebut sebagai stridor bifasik.
Pemeriksaan fisik akan mengungkap kondisi anak dengan demam ringan, takipnea,
takikardia, retraksi suprasternal dan substernal, dan suara napas sebagian besar menjadi semakin
jelas.8
Diagnosis
Diagnosis dari viral LTB seringkali didasarkan pada presentasi klinis yang khas. Pada
anak dengan riwayat yang khas dan gejala ringan yang berespon secara efektif terhadap
perawatan, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan pemeriksaan radiografi.8
Foto leher lateral akan menunjukkan adanya epiglotis dan struktur supraglotis yang
normal, dengan hipofaring yang teroverdistensi, dan perselubungan pada subglotis dengan
penyempitan subglotis yang lebih terlihat saat inspirasi. Foto ini akan berguna untuk membantu
10
11
membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam dapat terbentuk sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher. Kebanyakan kuman penyebab
adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring,
abses submandibula dan angina ludovici.
2.6.1. Abses Peritonsil
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil
palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi
parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen. 9,10
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsillitis.
Gejala dan Tanda
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia) karena sistem persarafan
yang saling berhubungan, mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), pembengkakan mengganggu artikulasi dan suara terdengar gumam
(hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar getah bening submandibula dengan nyeri tekan. Pasien mungkin mengalami malaise,
kelelahan, dan sakit kepala. Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke
dasar mulut, ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut
mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang
mungkin terjadi.
Pada pemeriksaan fisik, umumnya didapatkan suhu tubuh febris dengan suhu 38 oC.
Terkadang memeriksa tonsil menjadi sulit karena trismus yang terjadi. Mungkin hasil bervariasi
dari tonsilitis akut dengan faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis. Pemeriksaan
rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris tampak membengkak
dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, eksudasi tonsil, dan uvula bengkak dan disposisi
12
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah,
depan dan bawah. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang
terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan
mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel
dianjurkan untuk pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.9,11,12
secara
signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus
dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik
o
parenteral.22
Pasien perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan
segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada
pasien dengan obstruksi jalan napas.
Inform consent merupakan hal yang penting terhadap pasien yang akan mendapat
tindakan bedah. Tempat insisi dan aspirasi dilakukan pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
15
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh dalam
beberapa hari. Sebagian kecil pasien yang mengalami abses rekuren, membutuhkan tonsilektomi.
Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan
drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan.10
2.6.2. Abses retrofaring
Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
retrofaring. Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 25 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.11,12,13
Gejala dan Tanda
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa
nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama di
hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang
kurang disertai letargi.11,12,13
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium 13
o Darah perifer lengkap
Pemeriksaan radiologi 13
o Foto x-ray jaringan lunak leher lateral
Tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan
dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22
mm pada orang dewasa.
Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan
mediastinitis.
o CT scan leher
CT scan leher dengan kontras intravena sangat berguna untuk diagnosis
dan manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi
hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer.
Diagnosis
17
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau
trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher
lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak
dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada
orang dewasa.11,12
Terapi11
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Medika Mentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi
pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat
inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
Gambar 4.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi pada abses
peritonsil.
11,13
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut: 1)penjalaran ke ruang parafaring,
ruang vaskuler visera; 2)mediastinitis; 3)obstruksi jalan napas sampai asfiksia; 4)bila pecah
spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru; 5)dislokasi atlantooksipital;
6)abses epidural; 7)sepsis; 8)erosi vertebra servikal 2 dan 3; 9)defisit nervus kranialis (nervus
18
IX-XII ada di dalam fasia servikalis); 10)trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri
karotid; 11)kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna; 12)palsi nervus fasialis
Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani secara
agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien
mengalami komplikasi serius.13
2.6.3. Abses Parafaring
Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring.
Ruang parafaring dibagi menjadi dua oleh prosesus stiloideus. Ruang anterior merupakan bagian
yang lebih besar dan pada bagian inilah dapat terkena proses supuratif sebagai akibat tonsil yang
terinfeksi. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena jugularis, n.X,
dan saraf simpatis.9,12,14
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi akibat: 1) tusukan saat tonsilektomi;
2)limfogen dan hematogen; 3)penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibula.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. 9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.14
Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi
tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di
dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru,
pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan
CT Scan dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan
19
adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan
edema jaringan lunak disekitar abses. 14
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau
CT scan. 14
Terapi
Medika Mentosa
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob.
Bedah
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar
dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
20
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. 9,14
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, gejala awal adalah perdarahan yang tersamar, namun bila berlanjut
dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis atau septikemia. 14
2.6.4. Abses Submandibula
Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula. Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula
sudah semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan
kesehatan mulut yang meningkat.9,15
Etiologi
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari
gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari
ruang leher dalam lain.,9
Gejala dan Tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di
bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan m. pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah
yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan
material yang bernanah atau purulen (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.
Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.15
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
21
aspirasi abses.
o CT-scan
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada abses
leher dalam. Berdasarkan suatu penelitian bahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level.16
Terapi
Medika Mentosa
o Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,
uji sensitifitas perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram
negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya dapat merupakan
campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.16
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas
tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.16
22
Bedah
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat
inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.17
Gambar 6. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses
submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus
diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu
dipertimbangkan.17
Komplikasi
Komplikasi utama berupa sumbatan jalan napas yang perlu mendapat perhatian dan
penanganan secara serius dan segera. Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen,
limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.
Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus
medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.17
Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara dini
dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses masih
kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan
23
penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 4050% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas
20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.17
2.6.5. Angina Ludovici (Ludwigs Angina)
Definisi
Angina Ludovici merupakan peradangan selulitis atau phlegmon dari bagian superior
ruang suprahioid. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang
hioid dan otot milohioideus, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibula. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici dari infeksi oral lainnya
ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis
dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral). 9,12,18
Etiologi
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.
Gejala dan Tanda
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan
nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut,
berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan
bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala klinis umum
angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat
menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema,
pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher
dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi. Gejala klinis intra oral meliputi
pembengkakan lidah ke atas dan kebelakang sehingga terjadi sumbatan jalan nafas, kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas.
Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting
seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan
24
segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya
asupan makanan dan minuman. 9,18
Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:18
Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar 45%
25
65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan
pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari
individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.18
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang
segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU,
penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat
menurun hingga kurang dari 5%.19
2.7. Benda asing
2.7.1.Benda asing di hidung
Gejala dan tanda
Gejala yang sering timbul adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental
dan berbau, kadang demam, nyeri, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan akan tampak benda
asing tersebut di dalam cavum nasi. Bisa saja mukosa tampak edema dengan inflamasi mukosa
hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.
Penatalaksanaan
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung adalah dengan memakai pengaik
(hook) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara
ini, benda asing ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau wire loop.
Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya jika kasus benda asing hidung yang
telah menimbulkan infeksi.
26
Bila benda asing menyumbat intoitus esofagus, maka tampak ludah tergenang di kedua
sinus piriformis. Biasanya yang tersangkut di tonsil adalah benda tajam, seperti tulang ikan,
jarum, atau kail. Benda asing di dasar lidah dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar.9
Penatalaksanaan
Benda asing di tonsil dapat diambil dengan memakai pinset. Jika benda asing lebih dalam
lagi, kita dapat menggunakan bantuan kaca tenggorok agar benda asing tersebut dapat terlihat
lebih jelas. Bila pasien sangat sensitif sehingga mempersulit tindakan, maka sebelumnya dapat
disemprotkan obat anestesi seperti xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing di
valekula dan sinus piriformis kadang untuk mengeluarkannya dilakukan dengan cara
laringoskopi langsung.9
2.7.3. Benda asing di laring
Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Juka benda asing di laring
menutupi secara total merupakan kegawatdaruratan.
Gejala dan Tanda
Benda asing pada laring akan menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apneu,
dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala suara parau, disfonia
sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasa
subyektif dari benda asing (pasien akan menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu
tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi.9
Penatalaksanaan
Pada kasus sumbatan subtotal, tidak menggunakan perasat Heimlich, pasien masih dapat
dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau
bronkoskop atau jika alat tersebut tidak tersedia, maka dapat dilakukan trakeostomi, dengan
pasien tidur dengan posisi Trendelenburg (kepala lebih rendah dari badan) agar benda asing tidak
turun ke trakea.
Namun apabila terjadi sumbatan total, pertolongan pertama harus segera dilakukan karena
asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit. Tekhnik yang dilakukan berupa
Heimlich maneuver. Menurut teori Heimlich, benda asing masuk ke dalam laring adalah pada
waktu inspirasi. Dengan demikian, paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang
tertutup dengan menekan botol itu, maka sumbatan akan terlempar keluar.
27
Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi jalan napas menurut Jackson:20
Stadium
1
Tanda
Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu
iga. Pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor saat inspirasi dan ekspirasi.
Cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak ketakutan,
serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka pasien akan kehabisan
tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan
tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia
(pemeriksaan Astrup). Bila fasilitas tersedia, intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama,
sedangkan jika ruang perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi.
Stadium
1
Tindakan
Tindakan konservatif dengan pemberian anti
inflamasi,
2 dan 3
4
anti
alergi,
antibiotika,
serta
29
30
Indikasi intubasi endotrakea adalah untuk mengatasi sumbatan saluran napas, membantu
ventulasi, dan memudahkan mengisap sekret dari traktur trakeo-bronkial, mencegah aspirasi
sekret yang ada di rongga mulut atau dari lambung. Tidak ada kontraindikasi yang absolut,
namun edema jalan napas bagian atas yang buruk dan fraktur dari wajah dan leher dapat
memungkinkan dilakukannya intubasi.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah memar, laserasi, abrasi, perdarangan hidung
(dengan intubasi nasotrakeal), obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku), sinusitis
(dengan nasotrakeal tube), fistula trakeoesofageal, muntah dengan aspirasi gigi copot atau rusak,
dan disaritmia jantung.
Teknik20
Teknik trakeostomi adalah pasien tidur telentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil
sehingga memudahkan kepala untuk diestensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan
posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher.
Kulit daerah leher dibersihkan secara asepsis dan anti sepsis dan ditutup dengan kain steril.
Obat anestesi (novokain) disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai
fosa suprasternal atau juka membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara
kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kurang lebih 2 jari di bawah krikoid orang
dewasa. Sayatan jagnan terlalu sempit, dibuat kurang lebih 5 cm.
Dengan gunting panjang yang tumpul, kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis
demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea yang berupa pipa
dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan kulit dan jaringan di
bawahnya di ubka tepat di tengah maka trakea mudah ditemukan.
Pembuluh darah vena jugularis anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid yang
ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismus tiroid di
klem pada dua tempat dan dipotong di tengahnya. Sebelum klem ini dilepas, ismus tiroid diikat
kedua tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan
aspirasi dengan menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan terasa
memotong cincin trakea ketiga dan gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan
ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup
dengan kassa.
Hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat lubang pada trakea, perlu dibuktikan
apakah yang akan dipotong benar trakea dengan cara mengaspirasi dengan semprit berisi
novokain. Bila yang ditusuk itu adalah trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasa ringan
dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara. Untuk mengurangi refleks batuk
dapat disuntikkan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu
pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Ukuran kanul
harus sesuai dengan diameter lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akan menyebabkan kanul
bergerak sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea dan mudah terlepas keluar. Bila kanul
terlalu besar, sulit untuk memasukannya ke dalam lumen dan ujung kanula akan menekan
32
mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding trakea. Panjang kanul harus sesuai juga. Bila
terlalu pendek akan mudah keluar dari lumen trakea dan amsuk ke dalam jaringan subkutis
sehingga timbul emfisema kulit dan lumen kanul akan tertutup sehingga menimbulkan asfiksia.
Bila kanul terlalu panjang, maka mukosa trakea akannteriritasi dan mudah timbul jaringan
granulasi.
Perawatan paska trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat sehingga akan
terjadi asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap keluar, dan kanul
dalam dicuci sekurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien
dapat dirawat di raung perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangat penting.
Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu yang lama, maka kanul luar harus
dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kassa di bawah kanul harus diganti setiap basah untuk
menghindari terjadinya dermatitis.
Indikasi20
Indikasi trakeostomi antara lain:
Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru yang kapasitas vitalnya berkurang.
Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
2.9.3. Krikotirotomi
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.
Dengan cara membelah membran krikotiroid. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat.
Teknik
Teknik krikotirotomi adalah pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi
atlanto oksipitasli. Puncak tulang rawan tiroid (adams apple) mudah diidentifikasi difiksasi
dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah
sampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak diantara kedua tulang rawan
ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestesi kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit.
Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid
terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika
tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara.20
Kontra-indikasi
Krikotirotomi merupakan kontra indikasi pada anak di bawah 12 tahun, tumor laring
yang sudah meluas ke subglotik, dan terdapat laringitis.
Komplikasi
Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama karena kanul yang
letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan di sekitar subglotik sehingga terbentuk jaringan
granulasi dan sebaiknya segera diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.20
35
a. Airway
Menjaga kelancaran jalan napas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea. Untuk membebaskan
jalan napas kita dapat melakukan triple air maneuver, yang meliputi headtilt, chin lift dan
jaw thrust. Namun kita harus berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan cedera servikal.
Pada pasien dengan cedera servikal, yang boleh kita lakukan hanyalah jaw thrust sambil
berhati-hati agar mencegah gerakan leher. Apabila didapati kecurigaan fraktur servikal,
harus dipakai alat imobilisasi berupa collar neck. Pada penderita dengan gangguan
kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif, berupa Endo Tracheal Tube, Orofaringeal Tube, atau LMA (Laryngeal Mask
Airway).
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Kita harus segera menilai apakah
pasien bernapas atau tidak dengan merasakan apakah terdapat udara yang keluar masuk
melalui hidung sambil melihat apakah terjadi pergerakan dada maupun perut yang
merupakan tanda terdapatnya pernapasan.
c. Circulation
Kita harus segera menilai apakah terdapat sirkulasi darah dalam tubuh pasien. Caranya
adalah dengan memeriksa apakah terdapat pulse pada arteri (Radialis, maupun carotis).
Jika tidak teraba pulse kita lakukan resusitasi jantung paru (RJP) dengan prinsip 30:2.
Hal di atas merupakan penanganan pada pasien gawat darurat secara umum. Sedangkan
pada kasus THT, terutama kasus trauma maksilofasial yang multiple trauma, sebagai dokter
umum, bila terjadi sumbatan jalan napas, harus dilakukan tindakan pembebasan sumbatan jalan
napas. Yang dapat kita lakukan untuk membebaskan jalan napas dengan segera adalah dengan
melakukan trakeostomi, atau jika fasilitas tidak memadai dapat dilakukan krikotiroidektomi.
Kemudian setelah mengamankan jalan napas pasien, harus segera dikonsulkan ke spesialis
THT.21
Bab III
Kesimpulan
36
Kondisi emergensi pada THT-KL adalah hal yang sering ditemukan pada praktik seharihari. Diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan mengurangi morbiditas dan juga
mortalitas. Pada kasus-kasus yang cukup mengancam nyawa seperti kasus yang mengakibatkan
sumbatan pada jalan napas diperlukan tindakan sesegera mungkin. Pada kasus-kasus
kegawatdaruratan tersebut, diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangatlah diperlukan
agar tidak menimbulkan komplikasi yang mengancam fungsi organ tersebut atau bahkan
mengancam nyawa.
Demikianlah referat ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca agar pembaca dapat
mengetahui macam-macam kasus serta penanganan yang tepat pada kasus emergensi pada
bidang THT-KL.
Daftar Pustaka
1. Snow JB, Vackym PA, Ballenger JJ. Ballengers otorhinolaryngology: head and neck
surgery. United States of America: Peoples Medical Publishing House; 2009.p.192-3.
2. Jenny B dan Indro S. Tuli mendadak. Dalam: Soepardi EF, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 46-48
3. Stachler JR, et al. Clinical Practice Guideline: Sudden Hearing Loss. Otolaryngology
Head and Neck Surgery 146(1S) S1S35 American Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery Foundation 2012: p.1-28
37
4. Foden N, Mehta N, Joseph T. Sudden onset hearing loss: Causes, investigations and
management. Australian Fa mily Physician Vol. 42, No. 9, September 2013: p.641-644
5. Adam G L, Boies L R, Higler P A (Alih bahasa : Wijaya C). Boeis buku ajar penyakit
THT edisi 6. Tonsilektomi. EGC:Jakarta; 2013. h. 224-35.
6. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal.
131-5.
7. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of pediatric emergency medicine. 6 th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.p.908-11.
8. Hess DR, MacIntyre NR, Mishoe SC, Galvin WF, Adams AB. Respiratory care:
principles and practice. 2nd ed. United States of America: Jones & Bartlett; 2012.p.101920.
9. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal.
204-8.
10. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses: 17 April 2015. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/ article/194863overview#showall.
11. Lalwani K A. Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery 2 nd
ed. United States of America: McGraw-Hill; 2008.p.353-5.
12. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333-48.
13. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui:
17
Juni
2010.
Diakses:
17
April
2015.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
14. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill. Diakses:
17
April
2015.
Terdapat
pada:
http://www.accessemergencymedicine
.com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&searchSo
urce=Images&ftbool=False.
15. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
38
16. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat
pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHERDALA MRevisi.
17. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular region
secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
18. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/doc /
62080690/Angina-Ludwig.
19. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
20. Hadiwikarta Aswapi, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan sumbatan laring.
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.243-53.
21. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma muka. Dalam Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2008.h.199-207.
39
40