You are on page 1of 40

Bab I

Pendahuluan
Seperti pada bidang-bidang lainnya, ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala
dan leher juga memiliki kasus-kasus yang merupakan kasus kegawatdaruratan yang harus
ditangani dengan segera. Kondisi emergensi pada THT-KL adalah hal yang sering ditemukan
pada praktik sehari-hari. Diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan mengurangi
morbiditas dan juga mortalitas. Menejemen dari emergensi THT-KL tidak jarang memerlukan
terapi pembedahan. Kegawatdaruratan dalam bidang THT-KL meliputi, trauma pada telinga,
Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL), epistaksis, epiglottitis, Laryngotrakeobronkitis
(LTB), abses leher dalam, obstruksi saluran napas atas (OSNA), dan trauma maksilofasial.
Karena letak dari kasus emergensi THT-KL dekat dengan otak dan organ-organ lainnya, oleh
karena itu penanganan yang terlambat dapat menyebabkan dampak yang berat pada organ-organ
tersebut. Pada kasus-kasus kegawatdaruratan tersebut, diagnosis dan penanganan yang cepat dan
tepat sangatlah diperlukan agar tidak menimbulkan komplikasi yang mengancam fungsi organ
tersebut atau bahkan mengancam nyawa.
Tujuan dari referat ini dibuat adalah untuk membantu mengenali kasus-kasus mana yang
merupakan emergensi dan penanganan awalnya sebelum di rujuk ke spesialis.

Bab II
Kegawatdaruratan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher
2.1 Trauma cidera dan trauma termal Telinga
Posisi pinna/daun telinga yang terekspos membuat daun telinga menjadi lokasi yang
paling sering mengalami trauma. Cidera yang terjadi dapat dibagi dalam 4 kategori: trauma tajam
atau laserasi, avulsi, trauma tumpul, dan trauma termal. Laserasi sederhana tragus dapat

melibatkan laserasi pada nervus fasialis. Hematoma aurikuler akibat cidera tongkat bisbol dapat
menunjukkan Battle sign yang mengindikasikan fraktur dasar tengkorak yang lebih dalam.
2.1.1. Laserasi dan avulsi
Laserasi daun telinga

seringkali

menjadi

tantangan

tersendiri

dalam

usaha

memperbaikinya. Prinsip pembedahan yang sudah dianut untuk kasus ini ialah segala tepi yang
terluka harus dibersihkan dan di-debridement agar kembali menjadi jaringan yang sehat dan
bersih. Pada laserasi daun telinga, bagaimanapun, debridement yang berlebihan dapat berakibat
hilangnya terlalu banyak jaringan, yang mungkin saja menyebabkan tekanan yang lebih besar
saat penutupan dan risiko kosmetika yang buruk. Walau begitu, tepi-tepi luka sebaiknya
dibersihkan secara agresif untuk menghilangkan bakteri apapun termasuk kotoran atau debris.1
Penutupan laserasi yang cukup tebal harus dipikirkan agar perbaikan dapat menunjang
segi kosmetika dan segi durabilitas. Kartilagonya sebaiknya diperkirakan untuk diperbaiki
dengan jahitan monofilamen permanen yang sangat halus melalui perikondrium dan kartilago.
Perawatan sebaiknya dilakukan pada setiap lapisan jaringan, mencakup jaringan yang lebih
dalam dan lebih luar dari kulit. Bahkan kulit daun telinga yang bersih sebaiknya diberikan
antibiotik untuk mencegah perikondritis. Bila laserasinya terjadi akibat gigitan manusia atau
hewan, hal ini juga akan mempengaruhi pilihan antibiotik yang diberikan.
Laserasi akan menjadi lebih bermasalah bila bagian daun telinga ada yang sudah
mengalami avulsi secara komplit. Bila tersedia, bagian yang teravulsi sebaiknya dipasang
kembali, secara esensial membuatnya menjadi graft komposit dengan ketebalan yang baik.
Inhibitor platelet, antikoagulan, oksigen hiperbarik, telah digunakan untuk menambah
kemampuan survival dari potongan yang dipasang kembali ini. Bila seluruh daun telinga
teravulsi, re-anastomosis mikrovaskuler biasanya dibutuhkan. Bila bagian yang teravulsi tidak
tersedia untuk reimplantasi, luka dapat ditutup secara primer atau dibiarkan menutup secara
sekunder, dengan rekonstruksi dilakukan ketika lukanya sudah stabil.1
2.1.2. Hematoma aurikuler
Trauma tumpul yang mengenai daun telinga dapat berakibat pembentukan hematoma
daun telinga. Ini adalah cidera yang umum terjadi, pada bidang olahraga, khususnya pada petinju
dan pegulat dan inilah yang menjadi alasan utama penggunaan penutup kepala. Cidera yang
mengenai pembuluh darah perikondrial akan menyebabkan akumulasi darah di ruang
subperikondrial, yang menyebabkan perikondrium terangkat dari kartilagonya. Bila tidak didrain, pemisahan kartilago dari suplai darahnya akan menyebabkan nekrosis kartilago. Darah
2

yang

terperangkap

dan

perikondrium

yang

cidera

akan

membentuk

suatu

massa

fibrokartilaginosa, yang selanjutnya akan menyebabkan deformitas yang diketahui sebagai


cauliflower ear. Sekali cauliflower ear sudah terbentuk, maka sedikit hal yang dapat dilakukan
untuk mengembalikan telinga ke bentuknya semula. Karena itu, hematom aurikuler sebaiknya
dievaluasi dan diberikan perawatan secepat mungkin, disarankan dalam 72 jam.
Perawatan yang direkomendasikan sejak lama melibatkan evakuasi dari hematoma dan
pengaplikasian balut tekan untuk mencegah reakumulasi darah. Insisi lebar dengan skalpel ialah
cara yang dapat saja dilakukan untuk mendrainase. Insisi sebaiknya dilakukan secara paralel di
helix

di

dalam

scapha.

Setelah

drainase

dan

pembuangan

bekuan

darah

dan

fibroneokartilaginosa, bolster ditempelkan. Biasanya dapat dilakukan dengan rol dental yang
diaplikasikan di kedua sisi aurikel dan diamankan dengan jahitan permanen. Bolster ini biasanya
ditempatkan selama 7 hingga 10 hari.
Beberapa merasakan bahwa insisi dan bolstering tidak dibutuhkan dan hematoma
aurikuler dapat diatasi dengan aspirasi jarum. Banyak seri publikasi yang menyarankan aspirasi
jarum, hanya dengan menggunakan insisi dan bolstering untuk kasus yang rekuren. Cochrane
Database Systematic Review masih belum bisa mendapatkan data yang cukup untuk
mendefinisikan terapi yang paling baik sehingga studi lebih jauh dibutuhkan.1

2.2 Sudden Sensorineural Hearing Loss


Definisi
Beberapa ahli mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan pendengaran
sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan
audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Oleh karena kerusakannya terutama
di koklea dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini dimasukkan ke dalam keadaan darurat
otology.2,3
Etiologi
Etiologi dari tuli mendadak dapat dibagi menjadi kategori yang luas: (1) virus dan
infeksi, (2) autoimun, (3) ruptur membran labirin/ trauma, (4) vaskular, (5) neurologik, dan (6)
Neoplastik.
Penyebab utama masih belum diketahui secara pasti atau bisa dikatakan masih idiopatik.
Namun para ahli percaya penyebab utamanya adalah iskemik dari koklea.

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang dengan gangguan pendengaran


sensorineural (sensori neural hearing impairment) memiliki resiko lebih tinggi terkena SSHL.
Tanda dan Gejala
Pada umumnya terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba. Kadang bersifat
sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya bersifat menetap. Tuli yang bersifat
sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama. Kemungkinan sebagai pegangan
harus diingat bahwa perubahan yang menetap akan terjadi sangat cepat. Ketulian paling banyak
bersifat unilateral dan hanya sekitar 4% yang bilateral, dan biasanya disertai dengan tinnitus dan
vertigo.3
Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun secara tidak
jelas. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai
dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus seperti parotis
varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus tersebut.2
Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop, tidak ditemukan kelainan pada telinga yang
sakit. Sementara dengan pemeriksaan pendengaran didapatkan hasil sebagai berikut:2,3,4

Tes penala : Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach

memendek. Kesan : Tuli sensorieural


Audiometri nada murni : Tuli sensorineural ringan sampai berat.

Pemeriksaan Penunjang

Audiometri khusus 2
o Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor : 100% atau kurang dari
70%
o Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif. Kesan : Bukan tuli retrokoklea
o Audiometri tutur (speech audiometry)2
SDS (speech discrimination score): kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
o Audiometri impedans2
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif atau positif
sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
o BERA ( Brainstem Evolved Responce Audiometry)
Menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai berat

Radiologi, pemeriksaan CT can dan MRI dengan kontras diperlukan untuk


menyingkirkan diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang temporal
Arteriografi, dilakukan untuk kasus yang diduga akibat trombosis
Penatalaksanaan
Pengobatan untuk tuli mendadak sampai saat ini merupakan suatu hal yang kontroversi,
tingginya angka perbaikan secara spontan ke arah normal maupun mendekati normal
menyulitkan evaluasi pengobatan untuk tuli mendadak. Tak ada studi terkontrol yang dilakukan
yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara bermakna menyembuhkan tuli mendadak.
Seperti diketahui angka penyembuhan secara spontan tuli mendadak terjadi antara 40-70% kasus.
Ada pendapat ahli menyatakan bahwa sebagian besar kasus tuli mendadak mengalami proses
penyembuhan secara partial terutama selama 14 hari pertama setelah onset penyakit.2
Terapi untuk tuli mendadak adalah: 2

Tirah baring sempurna(total bed rest) istirahat fisik dan mental selama 2 minggu untuk
menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan

neovaskular.
Vasodilatansia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian Complamin injeksi.
o 3x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
o 3x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
o 3x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
o 3x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari
Disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari.
Prednison 4x 10 mg (2 tablet), tappering off tiap 3 hari (hati hati pada penderita DM).
Diit rendah garam dan rendah kolesterol
Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit), obat antivirus sesuai dengan virus penyebab
Hipertonik oksigen terapi
Pada pasien diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan kortikosteroid injeksi dan

bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara rutin setiap hari serta konsultasi ahli penyakit
dalam. Apabila hasil konsultasi dengan Sub Bagian hematologi Penyakit Dalam dan Bagian
kardiologi ditemukan kelainan, terapi ditambah sesuai dengan nasehat bagian tersebut.2
Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu: kecepatan pemberian
obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan adanya faktor- faktor
predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
5

sembuh, bila telah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan
dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh. Prognosis tuli mendadak tidak
sejelek yang diperkirakan. Hampir 1/3 penderita dapat sembuh sampai normal kembali, 1/3
masih ada sisa 40-80 SRT (Speech Recognition Threshold) dan 1/3 lainnya mengalami tuli total.
3

2.3. Epistaksis
Perdarahan hidung merupakan masalah yang sering ditemukan. Kunci penatalaksanaan
yang tepat adalah aplikasi penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Epistaksis dibagi atas
dua bagian berdasarkan letaknya, yakni Epistaksis anterior dan posterior. Sekitar 90% kasus
epistaksis anterior dapat berhenti dengan tekanan yang kuat dalam posisi duduk tegak. Hidung
diperdarahi oleh aliran darah yang berasal dari a. Ethmoidalis anterior dan posterior yang
menyuplai bagian superior hidung. A.sfenopalatina membawa darah membawa darah untuk
separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah
diatas akan beranastomosis, suatu pleksus di sepanjang bagian anterior septum kartilagenosa
menggabungkan sebagian anastomosis ini disebut plexus kisselbach. Daerah ini merupakan
lokasi Epistaksis tersering.5
Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat.
Hal-hal yang perlu ditanyakan adalah: (1)Riwayat perdarahan sebelumnya, (2)lokasi perdarahan,
(3)darah mengalir terutama ke hidung depan bila pasien duduk tegak atau kebelakang ke
tenggorok, (4)lama perdarahan dan frekuensinya, (5)kecenderungan perdarahan, (6)riwayat
gangguan perdarahan dan frekuensinya, (7)hipertensi, (8)diabetes mellitus, (9)penggunaan
antikoagulan, (10)Trauma hidung yang belum lama.5
Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, namun terkadang jelas
penyebabnya oleh karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung
atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokalm benda asing, tumor, kelainan kardiovaskular, perubahan tekanan atmosfir.6
Sumber perdarahan
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior.
Epistaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau
dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan pada bagian anterior biasanya ringan dan dapat

berhenti sendiri. Perdarahan ini terjadi karena mukosa septum hidung yang kering, ataupun
kebiasaan mengorek hidung yang berlebihan. Epistaksis posterior berasal dari pleksus woodruff.
Perdarahan ini jarang berhenti sendiri dan biasanya memiliki gejala lebih hebat.5
Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,
perhatikan keadaan umumnya, kemudian stabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Penatalaksanaan dibagi berdasarkan lokasi perdarahan: (1)Perdarahan anterior terkadang tidak
perlu dilakukan tindakan karena dapat berhenti sendiri, namun apabila tidak berhenti dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan
dapat terlihat maka bisa menggunakan kauter. Bila perdarahan terus berlangsung maka dapat
digunakan tampon anterior yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tambon disusun 24 buah, dan diganti dengan jangka waktu 2x24 jam bila perdarahan masih berlangsung.
(2)perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa
padat dengan bentuk kubus dengan diameter 3cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah
satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. 6
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena epistaksis atau karena usaha penanggulan epistaksis.
Akibat epistaksis dapat terjadi perdarahan masif sehingga dapat menyebabkan syok hipovolemik,
iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai miokard infark. Pada proses penghentian perdarahan
komplikasi yang dapat terjadi adalah saat pemasangan tampon menyebabkan rino-sinusitis, otitis
media, septikemia, atau toksik shock syndrome. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
tampon harus diganti setiap 2 hari. Pemasangan tampon bellocq dapat menyebabkan laserasi
palatum mole atau sudut bibir.6
2.4. Epiglottitis
Definisi
Epiglotitis atau supraglotitis ialah peradangan pada epiglotis yang umumnya menyerang
anak-anak, yang dapat mengancam nyawa karena dapat menimbulkan obstruksi jalan napas.
Epiglotis yang membengkak dapat tertarik ke glotis, yang seperti sumbat akan mengobstruksi
aliran udara. Insiden puncak terjadi pada anak usia 3 dan 7 tahun, tapi tidak menutup
kemungkinan dapat menyerang bayi maupun orang dewasa. Namun saat ini, kasus epiglotitis
menjadi kasus yang jarang ditemui semenjak ditemukan vaksin HiB.7
7

Etiologi
infeksi bakterial pada epiglotis dan struktur sekitarnya. Sebab lain namun lebih jarang, yaitu
trauma akibat cidera termal pada epigloti yang dapat menyebabkan edema. Umumnya epiglottitis
disebabkan oleh streptokokus grup A.7
Gejala dan Tanda
Epiglotitis memiliki onset yang mendadak, hanya kurang lebih 6 jam sampai munculnya
gejala. Umumnya, orang tua akan menemukan anak pertama-tama demam, lalu mulai mengalami
stridor dan kesulitan untuk bernapas. Makin lama epiglottitis akan mengganggu kemampuan
untuk menelan sekret, sehingga akan menetes air liat dari mulut.
Pada pemeriksaan fisik, anak akan tampak gelisah akibat kesulitan bernapas bahkan bisa
saja sampai terjadi sianosis. Anak akan takikardi, suhu tubuh bisa mencapai 40oC. Walaupun
pasien takipneu, namun frekuensi napas jarang mencapai 40x/menit. Mukosa faring tampak
eritem, dan epiglottis yang bengkak dan kemerahan umumnya dapat terlihat sekitar dasar lidah
tanpa bantuan alat. Retraksi dapat terlihat jelas pada suprasternal dan subcostal. Stridor dapat
didengar tanpa menggunakan stetoskop.
Untuk memaksimalkan tempat masuknya udara, anak-anak ini akan ditempatkan pada
posisi duduk dengan jaw-thrush ke depan.7
Pemeriksaan Penunjang7

Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah perifer: Leukositosis antara 15.000-25.000/mm3
o Kultur darah
Radiografi leher lateral
Merupakan pemeriksaan yang patognomonik untuk epiglottitis. Terdapat 3
gambaran khas, yaitu (1) epiglotis yang membengkak, (2) lipatan ariepiglotis yang
menebal, dan (3) obliterasi valekula. Karena edema, epiglotis membengkak dan akan
nampak cembung pada kedua sisinya. Oleh karena itu sering disebut sebagai thumb-sign.
Pengumpulan spesimen lab biasa ditunda hingga jalur napas sudah diamankan. Hitung sel
darah putih meningkat pada sebagian besar anak dengan epiglotitis. Laporan yang terdapat pada
literatur, yang mengalamatkan anak-anak dengan infeksi akibat H.influenzae tipe B, dikatakan
memiliki leukositosis dengan rentang antara 15.000 hingga 25.000/mm3 dan kultur darah yang
positif pada 80-90% kasus.
8

Terapi
Secara singkat, tatalaksana segera untuk kasus epiglotitis mencakup memastikan
pemberian ventilasi yang adekuat, mendapatkan akses vena perifer bila dapat ditoleransi anak.
Melakukan intubasi endotrakeal (atau trakeostomi), bila perlu sediakan ventilasi bag-mask.
Pemeriksaan lab sebaiknya ditunda hingga jalan napas dapat diamankan.7
Seftriakson (100 mg per kg per hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis) dan sefotaksim (200 mg
per kg per hari terbagi dalam 4 dosis) dapat memberikan coverage antibakterial yang cukup.
Vankomisin (45 mg per kg per hari terbagi 3 dosis) dan aztreonam (120 mg per kg per hari
terbagi dalam 3 dosis) dapat dijadikan alternatif untuk pasien yang alergi penisilin atau
sefalosporin. Steroid belum dibuktikan memiliki efek untuk epiglotitis.7
Komplikasi
Komplikasi paling serius dari epiglotitis ialah obstruksi napas mendadak. Hal ini dapat
terjadi tanpa diprediksi pada setiap tingkat penyakit, bahkan sebelum sempat mencari
pertolongan medis, atau pada saat di unit gawat darurat atau setelah dirawat di rumah sakit.
Walaupun anak dengan distres pernapasan yang minimal umumnya akan mengalami obstruksi
total, retraksi yang jelas dan kesulitan bernapas sebaiknya sudah dipikirkan sebagai peringatan
masalah jalan napas yang masih tertunda. Komplikasi tambahan dari penyakit ini ialah
penyebaran infeksi ekstraepiglotis. Selama fase bakteremia, perbenihan kuman dapat melibatkan
meninges, paru, perikardium, membran sinovial, dan jaringan lunak. Sehingga, pemeriksaan
awal sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di lokasi lain.7
Prognosis
Sebuah kajian mengenai statistik mortalitas epiglotitis menekankan pentingnya
pemberian jalan napas buatan dalam menatalaksana kasus ini. Rapkin mendeskripsikan hasil
yang fatal pada 20% anak yang ditatalaksana dengan antibiotik dan diobservasi saja. Di tahun
1978, Cantrell et al merangkumkan 749 kasus epiglotitis. Mortalitasnya bervariasi, sesuai dengan
metode manajemen jalan napas sebagai berikut: trakeostomi, 3 kematian dari 348 anak (0,86%);
intubasi endotrakeal, 2 dari 216 anak (0,92%); tanpa jalan napas buatan, 13 dari 214 (6,1%).7
2.5. Laringotrakeobronkitis (LTB)
Definisi
Laringotrakeobronkitis (LTB) juga merujuk pada croup, adalah sebab paling umum dari
obstruksi jalan napas atas infeksius pada anak-anak di antara usia 6 bulan dan 3 tahun. Penyakit

ini jarang terjadi pada anak-anak yang lebih muda, yaitu kurang dari 1 tahun atau anak yang
lebih tua, yaitu lebih dari 6 tahun dan lebih prevalen pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sekitar 15% anak yang mengalami penyakit ini, memiliki riwayat keluarga dengan
LTB. Penyakit ini epidemis sesuai dengan alam dan terjadi paling sering antara awal musim
gugur dan di akhir musim semi.8
Etiologi
Biasanya penyakit ini disebabkan oleh invasi viral, khususnya oleh karena parainfluenzae
tipe 1 dan 2. Walaupun ada pula sejumlah jenis virus lainnya yang

dilaporkan dapat

menyebabkan penyakit ini, seperti influenzae tipe A dan B, adenovirus, rinovirus, eneterovirus,
RSV, HSV-1, measles dan varisella.8
Gejala dan Tanda
Spektrum keparahan penyakit ini cukup luas. Seorang anak secara khas akan memiliki
riwayat beberapa hari mengalami gejala saluran napas atas, seperti low-grade fever, rinorea, sakit
tenggorokan, dan batuk ringan. Lebih dari 2 hingga 3 hari selanjutya, gejala akan mengalami
progresi hingga akan terdengar hoarseness dan barking-seal cough yang menjadi karakteristik
LTB. Batuk seringkali dimulai mendadak tengah malam, dan dapat pula terjadi saat spasme.
Stridor terutama terdengar saat inspirasi, secara khas terjadi ketika anak rewel atau menangis.
Dengan penyempitan jalur napas yang lebih signifikan, suara napasnya ini akan terdengar
bahkan ketika anak sedang beristirahat dengan tenang dan baik selama inspirasi dan ekspirasi,
yang selanjutya akan disebut sebagai stridor bifasik.
Pemeriksaan fisik akan mengungkap kondisi anak dengan demam ringan, takipnea,
takikardia, retraksi suprasternal dan substernal, dan suara napas sebagian besar menjadi semakin
jelas.8
Diagnosis
Diagnosis dari viral LTB seringkali didasarkan pada presentasi klinis yang khas. Pada
anak dengan riwayat yang khas dan gejala ringan yang berespon secara efektif terhadap
perawatan, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan pemeriksaan radiografi.8
Foto leher lateral akan menunjukkan adanya epiglotis dan struktur supraglotis yang
normal, dengan hipofaring yang teroverdistensi, dan perselubungan pada subglotis dengan
penyempitan subglotis yang lebih terlihat saat inspirasi. Foto ini akan berguna untuk membantu

10

mengkonfirmasi diagnosis LTB dan menyingkirkan diagnosis lain, seperti epiglotitis,


hemangioma, dan abnormalitas kongenital seperti tracheal web atau cincin vaskuler.8
Penampakan AP dari leher akan menunjukkan adanya penyempitan di bawah pita suara
dengan area subglotis yang menyempit biasa disebut dengan steeple sign atau pencil-point sign.
Terapi
Mayoritas anak-anak dengan LTB akan sembuh sendiri dan hanya membutuhkan
perawatan suportif.
Namun apabila dinilai cukup berat, dapat diberikan kortikosteroid Deksametason yang
diberikan secara oral 0,6 mg/kg karena memberikan berkurangnya gejala secara cepat, dengan
efek yang bertahan paling tidak selama 3 jam. Apabila diperlukan, terutama bila anak berada di
unit gawat darurat, dapat diberikan epinefrin aerosol 0,5-1,0 mg 2,25% yang diencerkan dengan
air salin normal hingga volume total 3,0mL. Epinefrin memiliki efek -adrenergik
vasokonstriktif terhadap mukosa vaskulatur yang secara cepat akan mengurangi edema jalur
napas atas.8
Karena LTB biasanya disebabkan oleh virus, antibiotik tidak diindikasikan kecuali anak
memiliki kutur yang sugetif untuk infeksi bakterial.
Pada kasus-kasus yang jarang, dapat terjadi kegagalam terhadap intervensi medis dan
membutuhkan intubasi endotrakeal. Karena edema subglotis dan jalan napas yang menyempit,
intubasi sebaiknya dilakukan dengan sebuah pipa endotrakeal yang kurang lebih 1 mm lebih
kecil daripada estimasi normalnya. Seiring dengan edema jalan napas dan peradangan yang
berkurang, kebocoran udara akan terjadi di sekitar pipa endotrakeal, dan usaha ekstubasi
biasanya berhasil pada saat itu. Monitoring ketat untuk mencegah kembalinya stridor dan distres
pernapasan dibutuhkan dalam 12 jam pertama setelah ekstubasi.8
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat LTB seringkali jarang namun dapat mencakup
dehidrasi sebagai hasil dari takipnea dan peningkatan distres pernapasan atau infeksi sekunder
berup otitis media dan pneumonia. LTB biasanya sembuh dalam 72 jam setelah onset, walaupun
pada beberapa kasus dapat bertahan hingga 7 hari, dengan resolusi yang baik tanpa komplikasi.
Beberapa anak dapat mengalami episode LTB ulang.8
2.6. Abses Leher Dalam
Abses Leher dalam adalah abses yang terjadi pada ruang-ruang potensial yang terdapat
diantara fasia leher dalam. Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan

11

membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam dapat terbentuk sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher. Kebanyakan kuman penyebab
adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring,
abses submandibula dan angina ludovici.
2.6.1. Abses Peritonsil
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil
palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi
parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen. 9,10
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsillitis.
Gejala dan Tanda
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia) karena sistem persarafan
yang saling berhubungan, mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), pembengkakan mengganggu artikulasi dan suara terdengar gumam
(hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar getah bening submandibula dengan nyeri tekan. Pasien mungkin mengalami malaise,
kelelahan, dan sakit kepala. Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke
dasar mulut, ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut
mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang
mungkin terjadi.
Pada pemeriksaan fisik, umumnya didapatkan suhu tubuh febris dengan suhu 38 oC.
Terkadang memeriksa tonsil menjadi sulit karena trismus yang terjadi. Mungkin hasil bervariasi
dari tonsilitis akut dengan faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis. Pemeriksaan
rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris tampak membengkak
dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, eksudasi tonsil, dan uvula bengkak dan disposisi
12

kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah,
depan dan bawah. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang
terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan
mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel
dianjurkan untuk pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.9,11,12

Gambar 1. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.


Pemeriksaan penunjang 10,11
Pemeriksaan laboratorium
o Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah
Untuk mengetahui apakah pasien mengalami septik dan menilai derajat
dehidrasi akibat intake oral yang berkurang.
o Tes Monospot
Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal
bilateral, tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan. Jika hasil tes
positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali.
o Kultur swab tenggorok
Untuk membantu identifikasi organisme infeksiu. Hasil dapat membantu
seleksi antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, membatasi
resiko resitensi antibiotik.
Pemeriksaan radiologi
o Foto x-ray jaringan lunak polos
Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring,
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.
o CT scan
Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex
tonsil yang terkena, dengan penebalan pinggiran. Temuan lain dapat
termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di sekitarnya.
o Ultrasonografi
13

Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat

membantu membedakan selulitis dan abses.


USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil

sebelum penanganan bedah definitif.


Aspirasi jarum
o Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi
lokasi abses di ruang peritonsil.
o Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran
16-18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi
lokal untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.
o Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan
dilakukan.
o Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

Gambar 2. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.


Diagnosis
Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai
berikut:10
1.
Pembengkakan unilateral area peritonsil.
2.
Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral.
3.
Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.
Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil adalah trismus,
deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena.
Terapi 9,10
Medikamentosa
o
Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang
o

dan pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.


Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak
nyaman.
14

Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses.


Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi
empiris untuk abses peritonsil. Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus
mikrobial, obat yang mengobati kopatogen dan tahan terhadap beta laktamase

juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.


Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya
merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain: (1)cefuroxime atau
cefodoxime (dengan atau tanpa metronidazol), (2)klindamisin, (3)trovafloxacin,
atau (4)amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien
dapat diberi resep antibiotik oral jika intake oral sudah terpenuhi; lama

pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.


Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis
tunggal dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan

secara

signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus
dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik
o

parenteral.22
Pasien perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan
segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada
pasien dengan obstruksi jalan napas.
Inform consent merupakan hal yang penting terhadap pasien yang akan mendapat
tindakan bedah. Tempat insisi dan aspirasi dilakukan pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

15

Gambar 3. Insisi dan drainase pada abses peritonsil


Tonsilektomi
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah drainase abses.
Untuk mencegah operasi yang kurang bersih dalam pengangkatan jaringan tonsil. Pada
situasi dimana abses terletak di lokasi yang susah untuk dijangkau, tonsilektomi mungkin
satu-satunya jalan untuk drainase abses.9
Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Penanganan dan pencegahan segera penting.9,10,11
a. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
b. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila
terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,
meningitis, dan abses otak. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan
sublingual di dasar mulut (Angina Ludovici).
c. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya
terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.
d. Thrombophlebitis vena jugularis interna merupakan komplikasi vaskular tersering. Dapat
mengakibatkan adanya emboli septik yang sering melibatkan paru dan sistem
muskuloskeletal.
Prognosis
16

Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh dalam
beberapa hari. Sebagian kecil pasien yang mengalami abses rekuren, membutuhkan tonsilektomi.
Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan
drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan.10
2.6.2. Abses retrofaring
Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah
retrofaring. Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 25 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.11,12,13
Gejala dan Tanda
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa
nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama di
hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang
kurang disertai letargi.11,12,13
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium 13
o Darah perifer lengkap
Pemeriksaan radiologi 13
o Foto x-ray jaringan lunak leher lateral
Tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan
dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22
mm pada orang dewasa.
Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan
mediastinitis.
o CT scan leher
CT scan leher dengan kontras intravena sangat berguna untuk diagnosis
dan manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi
hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer.
Diagnosis
17

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau
trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher
lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak
dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada
orang dewasa.11,12
Terapi11
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Medika Mentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi
pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat
inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Gambar 4.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi pada abses
peritonsil.
11,13

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut: 1)penjalaran ke ruang parafaring,
ruang vaskuler visera; 2)mediastinitis; 3)obstruksi jalan napas sampai asfiksia; 4)bila pecah
spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru; 5)dislokasi atlantooksipital;
6)abses epidural; 7)sepsis; 8)erosi vertebra servikal 2 dan 3; 9)defisit nervus kranialis (nervus

18

IX-XII ada di dalam fasia servikalis); 10)trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri
karotid; 11)kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna; 12)palsi nervus fasialis
Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani secara
agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien
mengalami komplikasi serius.13
2.6.3. Abses Parafaring
Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring.
Ruang parafaring dibagi menjadi dua oleh prosesus stiloideus. Ruang anterior merupakan bagian
yang lebih besar dan pada bagian inilah dapat terkena proses supuratif sebagai akibat tonsil yang
terinfeksi. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena jugularis, n.X,
dan saraf simpatis.9,12,14
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi akibat: 1) tusukan saat tonsilektomi;
2)limfogen dan hematogen; 3)penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibula.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. 9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.14
Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi
tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di
dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru,
pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan
CT Scan dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan
19

adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan
edema jaringan lunak disekitar abses. 14
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau
CT scan. 14
Terapi
Medika Mentosa
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob.
Bedah
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar
dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 5. Insisi Mosher.


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang

20

parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. 9,14
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, gejala awal adalah perdarahan yang tersamar, namun bila berlanjut
dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis atau septikemia. 14
2.6.4. Abses Submandibula
Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula. Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula
sudah semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan
kesehatan mulut yang meningkat.9,15

Etiologi
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari
gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari
ruang leher dalam lain.,9
Gejala dan Tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di
bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan m. pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah
yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan
material yang bernanah atau purulen (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.
Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.15
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
21

Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang


bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
Radiologi
o Foto x-ray
Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibula

berasal dari gigi.


Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum,
empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat

aspirasi abses.
o CT-scan
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada abses
leher dalam. Berdasarkan suatu penelitian bahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level.16
Terapi
Medika Mentosa
o Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,
uji sensitifitas perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram
negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya dapat merupakan
campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.16
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas
tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.16
22

Bedah
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat
inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.17

Gambar 6. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses
submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus
diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu
dipertimbangkan.17
Komplikasi
Komplikasi utama berupa sumbatan jalan napas yang perlu mendapat perhatian dan
penanganan secara serius dan segera. Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen,
limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.
Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus
medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.17
Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara dini
dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses masih
kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan
23

penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 4050% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas
20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.17
2.6.5. Angina Ludovici (Ludwigs Angina)
Definisi
Angina Ludovici merupakan peradangan selulitis atau phlegmon dari bagian superior
ruang suprahioid. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang
hioid dan otot milohioideus, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan
submandibula. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici dari infeksi oral lainnya
ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis
dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral). 9,12,18
Etiologi
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.
Gejala dan Tanda
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan
nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut,
berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan
bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala klinis umum
angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat
menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema,
pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher
dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi. Gejala klinis intra oral meliputi
pembengkakan lidah ke atas dan kebelakang sehingga terjadi sumbatan jalan nafas, kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas.
Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting
seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan

24

segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya
asupan makanan dan minuman. 9,18
Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:18

pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.

kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan

membatasi penyebaran infeksi.


ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Trakeostomi harus dipersiapkan karena ketidakmampuan untuk melakukan teknik


intubasi pada pasien oeh karena lidah yang mengobstruksi pandangan laring, dan lidah tidak
dapat ditekan oleh laringoskop.12
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan. Awalnya
pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam) merupakan lini
pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya prevalensi bakteri resisten
antibiotik golongan beta-laktam, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilintazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu
mengoptimalkan regimen terapi.18
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan)
dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan
nekrosis.18
Komplikasi
Komplikasi utama yang paling ditakutkan adalah obstruksi jalan napas. Infeksi angina
Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ke ruang pharingeal
lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi
jalan napas yang berat. Infeksi juga dapat menyebar secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia
retropharingeal, bahkan hingga mediastinum menyebebkan mediastinitis dan ruang subphrenik.
Komplikasi dapat juga berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi,
dan pembentukan abses subphrenik.18

Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar 45%
25

65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan
pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari
individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.18
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang
segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU,
penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat
menurun hingga kurang dari 5%.19
2.7. Benda asing
2.7.1.Benda asing di hidung
Gejala dan tanda
Gejala yang sering timbul adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental
dan berbau, kadang demam, nyeri, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan akan tampak benda
asing tersebut di dalam cavum nasi. Bisa saja mukosa tampak edema dengan inflamasi mukosa
hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.
Penatalaksanaan
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung adalah dengan memakai pengaik
(hook) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara
ini, benda asing ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau wire loop.
Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya jika kasus benda asing hidung yang
telah menimbulkan infeksi.

2.7.2. Benda asing di orofaring dan hipofaring


Gejala dan Tanda
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di tonsil, dasar lidah,
valekula, dan sinus piriformis yang akan menimbulkan rasa nyeri menelan (odinofagia) baik saat
makan maupun meludah, terutama benda asing tajam seperti tulang ikan dan ayam.
Pemeriksaan dasar lidah, valekula, dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorokan besar.
Benda asing di sinus piriformins dapat menunjukkan tanda Jackson (Jacksons sign) yaitu
terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.

26

Bila benda asing menyumbat intoitus esofagus, maka tampak ludah tergenang di kedua
sinus piriformis. Biasanya yang tersangkut di tonsil adalah benda tajam, seperti tulang ikan,
jarum, atau kail. Benda asing di dasar lidah dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar.9
Penatalaksanaan
Benda asing di tonsil dapat diambil dengan memakai pinset. Jika benda asing lebih dalam
lagi, kita dapat menggunakan bantuan kaca tenggorok agar benda asing tersebut dapat terlihat
lebih jelas. Bila pasien sangat sensitif sehingga mempersulit tindakan, maka sebelumnya dapat
disemprotkan obat anestesi seperti xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing di
valekula dan sinus piriformis kadang untuk mengeluarkannya dilakukan dengan cara
laringoskopi langsung.9
2.7.3. Benda asing di laring
Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Juka benda asing di laring
menutupi secara total merupakan kegawatdaruratan.
Gejala dan Tanda
Benda asing pada laring akan menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apneu,
dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala suara parau, disfonia
sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasa
subyektif dari benda asing (pasien akan menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu
tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi.9
Penatalaksanaan
Pada kasus sumbatan subtotal, tidak menggunakan perasat Heimlich, pasien masih dapat
dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau
bronkoskop atau jika alat tersebut tidak tersedia, maka dapat dilakukan trakeostomi, dengan
pasien tidur dengan posisi Trendelenburg (kepala lebih rendah dari badan) agar benda asing tidak
turun ke trakea.
Namun apabila terjadi sumbatan total, pertolongan pertama harus segera dilakukan karena
asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit. Tekhnik yang dilakukan berupa
Heimlich maneuver. Menurut teori Heimlich, benda asing masuk ke dalam laring adalah pada
waktu inspirasi. Dengan demikian, paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang
tertutup dengan menekan botol itu, maka sumbatan akan terlempar keluar.

27

Gambar 7. Heimlich maneuver (diunduh dari: https://geasy.wordpress.com/2013/11/20/atasitersedak-dengan-heimlich-maneuver/ tanggal 18 April 2015)


2.8. Obstruksi Saluran Napas Atas
OSNA adalah penyebab umum kegagalan pernapasan pada bayi dan anak-anak. Keadaan
ini dapat mencerminkan frekuensi pernapasan, keadaan saluran udara yang sempit, dan keadaan
dinding dada. Manajemen yang tidak benar dapat menyebabkan kematian.

Gejala dan Tanda20


Gejala dan tanda sumbatan laring antara lain:

Suara serak (disfoni) sampai afoni


Sesak napas (dispnea)
Stridor (napas berbunyi) yang terdengar waktu inspirasi disebabkan aliran udara turbulen.
Suara yang dihasilkan dapat juga berguna. Obstruksi orofaring dapat menyebabkan hot
potato voice. Obstruksi supraglotik ditandai dengan suara teredam. Anak dengan lesi

glotik mungkin serak atau afoni.


Cekungan yang terdapat waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula, dan
interkostal. Cekungan ini terjadi sebagai usaha otot pernapasan untuk mendapatkan

oksigen yang adekuat.


Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).
Warna muka pucat hingga sianosis karena hipoksia.
28

Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi jalan napas menurut Jackson:20
Stadium
1

Tanda
Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu

inspirasi, dan pasien masih tenang.


Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal semakin dalam, ditambah
timbulnya cekungan di epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah dan stridor

terdengar saat inspirasi.


Cekungan terdapat di daerah suprasternal, epigastrium, infraklavikula, dan sela

iga. Pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor saat inspirasi dan ekspirasi.
Cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak ketakutan,
serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka pasien akan kehabisan
tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan
tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia

2.9. Penanggulangan Obstruksi Jalan Napas


Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan agar jalan napas
lancar kembali.
Tindakan penanggulangan dapat berupa tindakan konservatif dengan pemberian anti
inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta permberian oksigen intermiten. Tindakan operatif atau
resusitasi untuk membesarkan saluran napas dapat dilakukan dengan memasukkan pipa
endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea),
membuat trakeostomi atau krikotirotomi. 20
Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan

analisa gas darah

(pemeriksaan Astrup). Bila fasilitas tersedia, intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama,
sedangkan jika ruang perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi.
Stadium
1

Tindakan
Tindakan konservatif dengan pemberian anti
inflamasi,

2 dan 3
4

anti

alergi,

antibiotika,

serta

permberian oksigen intermiten


Intubasi endotrakea dan trakeostomi
Krikotirotomi

29

2.9.1. Intubasi endotrakeal


Alat dan Bahan
Pipa endoktrakeal yang dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan balon (cuff) pada
ujungnya yang dapat diisi dengan udara. Diperkenalkan oleh Magill pertama kali tahun 1964 dan
sampai sekarang masih sering dipakai untuk intubasi. Ukuran pipa endotrakea harus sesuai
dengan ukuran trakea pasien.
Teknik20
Pipa endotrakea dimasukkan melalui hidung, dapat dipertahankan beberapa hari namun
jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya dilakukan trakeostomi. Komplikasi yang dapat
timbul adalah stenosis laring atau trakea.
Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving procedure) dan dapat
dilakukan tanpa atau dengan alangesia topikal dengan xylocain 10%. Posisi asien tidur telentang,
leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan
tangan kiri, dinasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel
diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita
suara dapat terlihat. Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus
melalui celah antara kedua pita suata ke dalam trakea. Pipa endotrakea dapat juga dimasukkan
melalui salah satu lubang hidung sampai rongga mulut dengan cunam Magill ujung pipa
endotrakea dimasukkan ke dalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudian
balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Apabila menggunakan spatel
laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang, pundaknya harus diganjal dengan
bantal pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal. Laringoskop dengan spatel yang
lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan
epiglotis diangkat horizontal ke atas bersama sehingga laring terlihat jelas. Pipa endotrakea
dipeganng dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di trakea.
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester. Memasukkan pipa
endotrakea harus hati-hati karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara
timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.
Indikasi

30

Indikasi intubasi endotrakea adalah untuk mengatasi sumbatan saluran napas, membantu
ventulasi, dan memudahkan mengisap sekret dari traktur trakeo-bronkial, mencegah aspirasi
sekret yang ada di rongga mulut atau dari lambung. Tidak ada kontraindikasi yang absolut,
namun edema jalan napas bagian atas yang buruk dan fraktur dari wajah dan leher dapat
memungkinkan dilakukannya intubasi.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah memar, laserasi, abrasi, perdarangan hidung
(dengan intubasi nasotrakeal), obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku), sinusitis
(dengan nasotrakeal tube), fistula trakeoesofageal, muntah dengan aspirasi gigi copot atau rusak,
dan disaritmia jantung.

Gambar 8. Intubasi endotrakea


(Endotracheal Intubation. Netter Images. C 2010. [ tidak diperbaharui; diunduh 9 April 2015].
Diunduh dari: www.netterimages.com/image/75.htm)
2.9.2. Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior trakea untuk bernapas.
Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan rendah, dan batas letak ini
adalah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan makan trakeostomi
dibagi dalam trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang, trakeostomi
berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege artis). 20
Alat dan Bahan
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit dengan obat
analgesik (novokain), pisau (skalpel), pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul, sepasang
pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok
untuk pasien.
31

Teknik20
Teknik trakeostomi adalah pasien tidur telentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil
sehingga memudahkan kepala untuk diestensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan
posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher.
Kulit daerah leher dibersihkan secara asepsis dan anti sepsis dan ditutup dengan kain steril.
Obat anestesi (novokain) disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai
fosa suprasternal atau juka membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara
kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kurang lebih 2 jari di bawah krikoid orang
dewasa. Sayatan jagnan terlalu sempit, dibuat kurang lebih 5 cm.
Dengan gunting panjang yang tumpul, kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis
demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea yang berupa pipa
dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan kulit dan jaringan di
bawahnya di ubka tepat di tengah maka trakea mudah ditemukan.
Pembuluh darah vena jugularis anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid yang
ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismus tiroid di
klem pada dua tempat dan dipotong di tengahnya. Sebelum klem ini dilepas, ismus tiroid diikat
kedua tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan
aspirasi dengan menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan terasa
memotong cincin trakea ketiga dan gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan
ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup
dengan kassa.
Hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat lubang pada trakea, perlu dibuktikan
apakah yang akan dipotong benar trakea dengan cara mengaspirasi dengan semprit berisi
novokain. Bila yang ditusuk itu adalah trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasa ringan
dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara. Untuk mengurangi refleks batuk
dapat disuntikkan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu
pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Ukuran kanul
harus sesuai dengan diameter lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akan menyebabkan kanul
bergerak sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea dan mudah terlepas keluar. Bila kanul
terlalu besar, sulit untuk memasukannya ke dalam lumen dan ujung kanula akan menekan

32

mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding trakea. Panjang kanul harus sesuai juga. Bila
terlalu pendek akan mudah keluar dari lumen trakea dan amsuk ke dalam jaringan subkutis
sehingga timbul emfisema kulit dan lumen kanul akan tertutup sehingga menimbulkan asfiksia.
Bila kanul terlalu panjang, maka mukosa trakea akannteriritasi dan mudah timbul jaringan
granulasi.
Perawatan paska trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat sehingga akan
terjadi asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap keluar, dan kanul
dalam dicuci sekurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien
dapat dirawat di raung perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangat penting.
Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu yang lama, maka kanul luar harus
dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kassa di bawah kanul harus diganti setiap basah untuk
menghindari terjadinya dermatitis.
Indikasi20
Indikasi trakeostomi antara lain:

Mengatasi obstruksi laring


Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang
dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi tersebut.

Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru yang kapasitas vitalnya berkurang.
Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien koma.


Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
Untuk mengambil benda asing dari subglotik apabila tidak mempunya fasilitas utuk
bronkoskopi.

Gambar 9. Teknik trakeostomi dan letak trakeostomi


33

(Tracheostomy Procedure. Nucleus Medical Media. C 2011. [ tidak diperbaharui; diunduh 9


April 2015]. Diunduh dari: http://catalog.nucleusinc.com/generateexhibit.php?ID=7833)

2.9.3. Krikotirotomi
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.
Dengan cara membelah membran krikotiroid. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat.
Teknik
Teknik krikotirotomi adalah pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi
atlanto oksipitasli. Puncak tulang rawan tiroid (adams apple) mudah diidentifikasi difiksasi
dengan jari tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah
sampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak diantara kedua tulang rawan
ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestesi kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit.
Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid
terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika
tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara.20
Kontra-indikasi
Krikotirotomi merupakan kontra indikasi pada anak di bawah 12 tahun, tumor laring
yang sudah meluas ke subglotik, dan terdapat laringitis.
Komplikasi
Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama karena kanul yang
letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan di sekitar subglotik sehingga terbentuk jaringan
granulasi dan sebaiknya segera diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.20

Gambar 10. Teknik krikotirotomi


34

2.10. Trauma Maksilofasial


Definisi dan Etiologi
Merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab
trauma maksilofasial bervariasi, bisa terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik,
kecelakaan kerja, terjatuh, olahraga dan lain-lain. Kasus fraktur maksilofasial lebih banyak
ditemukan pada laki-laki usia produktif yaitu usia 21-30 tahun dibandingkan dengan wanita.
Trauma pada wajah bisa saja sampai menimbulkan fraktur pada maksilofasial. Jenis-jenis
dari fraktur maksilofasial bermacam-macam dan dinamai berdasarkan tulang mana yang terlibat
fraktur, mulai dari fraktur os nasal, fraktur nasoorbitoetmoid kompleks, fraktur os orbita, fraktur
os zigomatikum, fraktur os maksila, fraktur os mandibula.21
Gejala dan Tanda
Untuk kasus trauma, umumnya kita dapat dengan mudah mengetahui atau
mengidentifikasinya bahkan hanya dengan inspeksi saja. Pada penderita trauma muka dapat
timbul beberapa kelainan seperti: kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi,
dan avulsi); emfisema subkutis; rasa nyeri; terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa
dengan palpasi; epistaksis (anterior maupun posterior); adanya obstruksi hidung yang disebabkan
hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum; gangguan pada mata
(gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi bola mata, abrasi kornea, ekimosis pada
konjungtiva); gangguan N.V, N.VII; krepitasi tulang hidung, maksila, mandibular; trismus;
maloklusi; terdapat fraktur gigi; kebocoran cairan otak; dan lain-lain.21
Terapi
Trauma pada maksilofasial umumnya terjadi multiple trauma, yang artinya melibatkan
lebih dari satu tulang sehingga dapat menimbulkan kelainan, berupa sumbatan jalan napas, shock
karena perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf
otak yang merupakan suatu kegawatdaruratan sehingga harus ditangani segera.21
Pada periode akut, setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur
muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi
darah dan cairan tubuh.
Prinsip utama penatalaksanaan pada pasien gawat darurat (emergency care) secara umum
adalah menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara
berurutan, primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABC:

35

a. Airway
Menjaga kelancaran jalan napas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea. Untuk membebaskan
jalan napas kita dapat melakukan triple air maneuver, yang meliputi headtilt, chin lift dan
jaw thrust. Namun kita harus berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan cedera servikal.
Pada pasien dengan cedera servikal, yang boleh kita lakukan hanyalah jaw thrust sambil
berhati-hati agar mencegah gerakan leher. Apabila didapati kecurigaan fraktur servikal,
harus dipakai alat imobilisasi berupa collar neck. Pada penderita dengan gangguan
kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif, berupa Endo Tracheal Tube, Orofaringeal Tube, atau LMA (Laryngeal Mask
Airway).
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Kita harus segera menilai apakah
pasien bernapas atau tidak dengan merasakan apakah terdapat udara yang keluar masuk
melalui hidung sambil melihat apakah terjadi pergerakan dada maupun perut yang
merupakan tanda terdapatnya pernapasan.
c. Circulation
Kita harus segera menilai apakah terdapat sirkulasi darah dalam tubuh pasien. Caranya
adalah dengan memeriksa apakah terdapat pulse pada arteri (Radialis, maupun carotis).
Jika tidak teraba pulse kita lakukan resusitasi jantung paru (RJP) dengan prinsip 30:2.
Hal di atas merupakan penanganan pada pasien gawat darurat secara umum. Sedangkan
pada kasus THT, terutama kasus trauma maksilofasial yang multiple trauma, sebagai dokter
umum, bila terjadi sumbatan jalan napas, harus dilakukan tindakan pembebasan sumbatan jalan
napas. Yang dapat kita lakukan untuk membebaskan jalan napas dengan segera adalah dengan
melakukan trakeostomi, atau jika fasilitas tidak memadai dapat dilakukan krikotiroidektomi.
Kemudian setelah mengamankan jalan napas pasien, harus segera dikonsulkan ke spesialis
THT.21

Bab III
Kesimpulan

36

Kondisi emergensi pada THT-KL adalah hal yang sering ditemukan pada praktik seharihari. Diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan mengurangi morbiditas dan juga
mortalitas. Pada kasus-kasus yang cukup mengancam nyawa seperti kasus yang mengakibatkan
sumbatan pada jalan napas diperlukan tindakan sesegera mungkin. Pada kasus-kasus
kegawatdaruratan tersebut, diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangatlah diperlukan
agar tidak menimbulkan komplikasi yang mengancam fungsi organ tersebut atau bahkan
mengancam nyawa.
Demikianlah referat ini dibuat, semoga bermanfaat bagi pembaca agar pembaca dapat
mengetahui macam-macam kasus serta penanganan yang tepat pada kasus emergensi pada
bidang THT-KL.

Daftar Pustaka
1. Snow JB, Vackym PA, Ballenger JJ. Ballengers otorhinolaryngology: head and neck
surgery. United States of America: Peoples Medical Publishing House; 2009.p.192-3.
2. Jenny B dan Indro S. Tuli mendadak. Dalam: Soepardi EF, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 46-48
3. Stachler JR, et al. Clinical Practice Guideline: Sudden Hearing Loss. Otolaryngology
Head and Neck Surgery 146(1S) S1S35 American Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery Foundation 2012: p.1-28

37

4. Foden N, Mehta N, Joseph T. Sudden onset hearing loss: Causes, investigations and
management. Australian Fa mily Physician Vol. 42, No. 9, September 2013: p.641-644
5. Adam G L, Boies L R, Higler P A (Alih bahasa : Wijaya C). Boeis buku ajar penyakit
THT edisi 6. Tonsilektomi. EGC:Jakarta; 2013. h. 224-35.
6. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal.
131-5.
7. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of pediatric emergency medicine. 6 th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.p.908-11.
8. Hess DR, MacIntyre NR, Mishoe SC, Galvin WF, Adams AB. Respiratory care:
principles and practice. 2nd ed. United States of America: Jones & Bartlett; 2012.p.101920.
9. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal.
204-8.
10. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses: 17 April 2015. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/ article/194863overview#showall.
11. Lalwani K A. Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery 2 nd
ed. United States of America: McGraw-Hill; 2008.p.353-5.
12. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333-48.
13. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui:

17

Juni

2010.

Diakses:

17

April

2015.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
14. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill. Diakses:
17

April

2015.

Terdapat

pada:

http://www.accessemergencymedicine

.com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&searchSo
urce=Images&ftbool=False.
15. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.

38

16. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat
pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHERDALA MRevisi.
17. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular region
secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
18. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/doc /
62080690/Angina-Ludwig.
19. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
20. Hadiwikarta Aswapi, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan sumbatan laring.
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.243-53.
21. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma muka. Dalam Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2008.h.199-207.

39

40

You might also like