You are on page 1of 3

AFEKTIF

Hasil kuisioner evaluasi afektif pada 25 lansia menunjukkan bahwa terdapat perubahan
sikap setelah sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan terkait dengan
Hipertensi. Secara keseluruhan menunjukkan perubahan positif pada afektif pada lansia.
Sebelum diberikan pendidikan kesehatan, 24% lansia menunjukkan afektif yang positif
dan setelah diberikan pendidikan kesehatan afektif positif lansia meningkat hingga 76%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lansia bersedia untuk memeriksakan
diri ke pelayanan kesehatan secara rutin, melakukan aktivitas fisik, dan melakukan diet
pada hipertensi. Bersedianya lansia untuk merubah perilaku sesuai dengan beberapa
model perubahan perilaku (Sudarma, 2008), yaitu:
a. Model Keyakinan Sehat
Dalam model ini dikatakan bahwa terdapat empat keyakinan utama dalam
perubahan perilaku, yaitu keyakinan tentang kerentanan terhadap keadaan sakit,
keyakinan tentang keseriusan atau keganasan penyakit, keyakinan tentang
kemungkinan biaya, dan keyakinan tentang efektivitas tindakan ini sehubungan
dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif. Edukasi yang telah diberikan
sebelumnya mengenai hipertensi dapat membuat lansia memahami kerentanan
dirinya

terhadap

penyakit

sehingga

muncullah

keingginan

untuk

merubah

perilakunya.
b. Model Kurt Lewin
Pada model ini, dikatakan bahwa terdapat 4 variabel yang dapat merubah perilaku,
yaitu kerentanan yang dirasakan, keseriusan yang dirasakan, manfaat, dan isyarat
atau tanda-tanda. Pemahaman yang didapat mengenai hipertensi membuat lansia
sadar akan keseriusan dari penyakit yang dideritanya.

PEMBAHASAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF


Terjadi penurunan TD 15 mmHg pada pre intervensi dan penurunan TD 10 mmhg
pada post intervensi. Menurut Pretella (1998) dalam Sapna (2014) penderita hipertensi yang
melakukan teknik kombinasi relaksasi progresif dengan nafas dalam memiliki penurunan
sekitar 13/18 mmHg.
Penurunan TD tersebut sesuai dengan Konsep yang diungkapkan Ramadhani
(2009), yang mengatakan bahwa relaksasi progresif merupakan metode untuk membantu
menurunkan tegangan sehingga otot tubuh menjadi rileks. Otot yang rileks dipacu oleh
system saraf parasimpatis. System saraf parasimpatis menurunkan denyut jantung,
pernafasan, dan mendilatasi pembuluh darah perifer dan menurunkan tahanan perifer
sehingga TD turun. (Bluerufi, 2009).

Penurunan TD dengan otot progresif ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Suratini (2009). Ketika melakukan latihan tehnik relaksasi progresif dengan keadaan tenang,
rileks dan konsetrasi penuh terhadap tegangan dan rileks otot yang dilatih selama 15 menit,
sekresi CRH (Corticotropin Reasing Hormone) dan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) di
hipotalamus menurun. Penurunan sekresi hormon ini menyebabkan aktifitas kerja syaraf
simpatik menurun, sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin berkurang. Penurunan
adrenalin dan noradrenalin mengakibatkan terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh
darah melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa jantung
sehingga tekanan darah arterial jantung menurun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hanya 1 orang lansia dari 25 lansia di RW 5
yang memilih untuk melakukan terapi kombinasi relaksasi otot progresif dan nafas dalam
dan 60% prosedur dilakukan sesuai dengan SOP. Lansia tersebut bersedia untuk
melakukan relaksasi otot progresif setiap hari dan mau melakukan sesuai SOP sesuai
dengan model perubahan perilaku keyakinan sehat setelah diedukasi tentang manfaat dan
diberikan demonstrasi selama kurang lebih 15 menit (Sudarma, 2008) .Dalam model ini
dikatakan bahwa terdapat empat keyakinan utama dalam perubahan perilaku, yaitu
keyakinan tentang kerentanan terhadap keadaan sakit, keyakinan tentang keseriusan atau
keganasan penyakit, keyakinan tentang kemungkinan biaya, dan keyakinan tentang
efektivitas tindakan ini sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif.
Edukasi yang telah diberikan sebelumnya mengenai hipertensi dapat membuat lansia
memahami kerentanan dirinya terhadap penyakit sehingga muncullah keingginan untuk
merubah perilakunya.

PEMBAHASAN TERAPI JUS MENTIMUN


Terapi paling banyak yang dipilih untuk mengontrol tekanan darah yaitu terapi jus
mentimun. Sebanyak 13 Lansia di RW 5 mempercayai terapi ini mampu menurunkan
tekanan darah. Secara keseluruhan sebelum dan sesudah diberikan terapi jus timun ini,
rata-rata penurunan tekanan darah sistole sebesar16.93 mmHg dan rata rata penurunan
tekanan darah diastole sebesar 2.31 mmHg. Alasan beberapa lansia memilih terapi ini
dikarenakan timun merupakan buah yang terjangkau, aman, dan mudah untuk didapat.
Selain itu kebanyakan lansia mengkonsumsinya dengan berbagai cara, yaitu dengan
mengkonsumsi dengan diparut terlebih dahulu, langsung dikonsumsi atau di lalap, dan di
jus.

Berdasarkan hasil penelitian, jus timun dapat menjadi alternatif terapi nonfarmakologis yang cukup efektif yang dapat diterapkan di Desa Kalisongo. Buah mentimun
sangat baik di konsumsi untuk pembuluh darah dan jantung, dimana kandungan pada
mentimun yang mampu membantu menurunkan tekanan darah, kandungan pada mentimun
diantaranya kalium (potassium), magnesium, dan fosfor efektif mengobati hipertensi (Dewi.
S & Familia.D, 2010, dalam Kusnul & Munir, 2013). Kalium merupakan elektrolit intraseluler
yang utama, dalam kenyataan, 98% kalium tubuh berada di dalam sel, 2% sisanya berada
di luar sel, yang penting adalah 2% ini untuk fungsi neuromuskuler, kalium mempengaruhi
aktivitas baik otot skelet maupun otot jantung (Brunner & Suddarth 2001, dalam Kusnul &
Munir, 2013). Selain itu mentimun juga mempunya sifat diuretik yang terdiri dari 90% air
mampu mengeluarkan kandungan garam dari dalam tubuh. Mineral yang kaya dalam buah
mentimun memang mampu mengikat garam dan dikeluarkan melalui urin (Kholish 2001,
dalam Marbun, Marpaung & Samosir, 2012).

DAFTRAR PUSTAKA
-

Kusnul, Zauhani & Muhir, Zainal.(2014). Efek Pemberian Jus Mentimun Terhadap
Penurunan Tekanan Darah. Stikes Bahrul Ulum. Diperoleh tanggal 30 September
2014 diakses dari situs http://www.academia.edu.

Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Gupta, Sapna S. (2014). Effect of Progressive Muscle Relaxation Combined with


Deep Breathing Technique Immediately after Aerobic Exercises on Essential
Hypertension. Journal Of Indian Physiotherapy and Occupational Theraphy. Vol 8,
No1. Diunduh pada tanggal 20 Juni 2016 dari: www.proquest.com

Smeltzer C. Suzanne, dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

You might also like