You are on page 1of 32

PANCASILA

SEBAGAI PEDOMAN HIDUP


SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA

Dosen Pengampu :
Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma.

Nama
NPM
Kelompok

: Muhammad Ade Rifki Kurniawan


: 11.11.5546
:F

PENDIDIKAN PANCASILA
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA
2011

PANCASILA
SEBAGAI PEDOMAN HIDUP
SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA
Oleh :
Muhammad Ade Rifki Kurinawan
11.11.5546
ABSTRAK
Tujuan pembuatan makalah ini untuk melihat perkembangan jaman dan
budaya membuat Pancasila sebagai pedoman hidup Berbangsa semakin hilang
dalam peradaban.
Dalam pembuatan makalah ini menggunakan pendekatan secara Historis,
Sosiologis dan Yuridis pada Pancasila. Subyek penelitian ini mengacu pada
perkembangan zaman dan kultur budaya masyarakat dalam kehidupan berbangsa.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik
observasi dan teknik dokumentasi .
Hasil dari pembuatan makalah ini bisa menjadikan tolok ukur sejauh
mana masyarakat berpedoman hidup pada Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Yaitu peranan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
sudah semakin menghilang dengan masuknya kultur budaya barat yang
menggantikan kultur budaya Indonesia sebagai bangsa timur, dan melihat dari
kepentingan umum yang mencakup masyarakat luas dikesampikan untuk
memenuhi kepentingan hidup individu atau kelompok tertentu untuk memperoleh
keuntungan. Serta dapat dilihat pada sistem pemerintahan yang sudah tidak
memihak kepada rakyat yang dalam hal ini bertolak belakang pada Pancasila.
Kata kunci

: Pancasila, Pedoman, Penerapan, Kepentingan

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah SWT, karena atas
ridho-Nya penulis dapat

menyelesaikan penulisan makalah dengan judul

PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP SEMAKIN HILANG DI


KEHIDUPAN BERBANGSA
Pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir pada program studi
Pendidikan Pancasila jurusan Teknik Informatika STMIK AMIKOM Yogyakarta.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan sumbangsih
dan saran yang telah diberikan kepada penulis sampai selesainya penulisan
makalah ini. Semoga dalam pembuatan makalah ini dapat bermanfaat sebagai
bahan belajar bagi penulis dan pembaca.
Penulis,

Muhammad Ade Rifki

DAFTAR ISI

KATA HALAMAN JUDUL

ABSTRAK

ii

PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iv

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

C. PENDEKATAN
1. Pendekatan Historis

2. Pendekatan Sosiologis

3. Pendekatan Yuridis

BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Pancasila sebagai Pandangan Hidup

10

B. Hakikat Pancasila sebagai Dasar Negara

11

C. Bagaimana orang Indonesia tidak lagi peduli dengan Pancasila

12

D. Apakah sebagai Pengikat Pancasila Masih Diandalkan

21

E. Upaya Menjaga Nilai-Nilai Luhur Pancasila

26

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

PANCASILA
SEBAGAI PEDOMAN HIDUP
SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di jaman yang penuh dengan persaingan ini makna Pancasila seolaholah terlupakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal sejarah
perumusannya melalui proses yang sangat panjang oleh para pendiri negara
ini. Pengorbanan tersebut akan sia-sia apabila kita tidak menjalankan amanat
para pendiri negara yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD
1945 alenia ke-4.
Pancasila merupakan rangkaian kesatuan dan kebulatan yang tidak
terpisahkan karena setiap sila dalam pancasila mengandung empat sila
lainnya dan kedudukan dari masing-masing sila tersebut tidak dapat ditukar
tempatnya atau dipindah-pindahkan. Hal ini sesuai dengan susunan sila yang
bersifat sistematis-hierarkis, yang berarti bahwa kelima sila pancasila itu
menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat-tingkat, dimana
tiap-tiap sila mempunyai tempatnya sendiri di dalam rangkaian susunan
kesatuan itu sehingga tidak dapat dipindahkan.
Bagi bangsa Indonesia hakikat yang sesungguhnya dari pancasila
adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara. Kedua
pengertian tersebut sudah selayaknya kita fahami akan hakikatnya. Selain dari
pengertian tersebut, pancasila memiliki beberapa sebutan berbeda, seperti : 1)
Pancasila sebagai jiwa bangsa, 2) Pancasila sebagai kepribadian bangsa, 3)
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dll.
Walaupun begitu, banyaknya sebutan untuk Pancasila bukanlah
merupakan suatu kesalahan atau pelanggaran melainkan dapat dijadikan
sebagai suatu kekayaan akan makna dari Pancasila bagi bangsa Indonesia.
Karena hal yang terpenting adalah perbedaan penyebutan itu tidak
mengaburkan hakikat pancasila yang sesungguhnya yaitu sebagai dasar
negara. Tetapi pengertian pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh sembarang

orang karena akan dapat mengaturkan maknanya dan pada akhirnya


merongrong dasar negara.
Untuk itu kita sebagai generasi penerus, sudah merupakan kewajiban
bersama untuk senantiasa menjaga kelestarian nilai-nilai pancasila sehingga
apa yang pernah terjadi di masa lalu tidak akan teredam di masa yang akan
datang.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Hakikat pancasila sebagai pandangan hidup.
2. Hakikat pancasila sebagai dasar negara.
3. Bagaimana bisa orang Indonesia tidak lagi peduli dengan dasar
Indonesia (Pancasila)?
4. Ke depan apakah sebagai pengikat Pancasila masih bisa diandalkan?
5. Bagaimana cara yang harus di lakukan untuk menanamkan
pemahaman itu?

C. PENDEKATAN PANCASILA
1. Pendekatan secara Historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap
perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai
dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan
ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
a. Tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29
Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
b. Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan
pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah
tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum
terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal

ini,

pencabutan

Ketetapan

MPR

No.II/MPR/1978

(Ekaprasetia

Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan


pengamalan Pancasila secara lebih alamiah. Tentu kita menyadari juga
bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta
mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya
cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan
dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu
dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada
rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang
selalu merupakan satu kebulatan yang utuh.
Dan berikut adalah proses dan dinamika Pancasila dari awal
sampai keputusan Presiden :
a. Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr.
Muhammad Yamin telah menyampaikan pertama tentang dasar negara
Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri
Kemanusiaan;

3)

Peri

Ketuhanan;

4)

Peri

Kerakyatan;

5)

Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap


lima azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir.
Soekarno juga mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut:
1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau
Demokrasi;

4)

Kesejahteraan

Sosial;

5)

Ketuhanan

Yang

Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu,


ia mengatakan: saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman
kita ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila (Anjar Any,
1982:26).

b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945


Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian
dikembangkan oleh Panitia 9 yang lazim disebut demikian karena
beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari
golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso,
Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H.
Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar
negara oleh Panitia 9 itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah
yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, yaitu: 1) KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, Piagam
Jakarta diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar
(konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut
khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) pada tanggal 18
Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha
Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945.

c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)


Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD
1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara lebih singkat menjadi: 1)
Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3)
Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara

itu

di

kalangan

masyarakat

pun

terjadi

kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/


pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai
berikut: 1) Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan
atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan
dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung
pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
d. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan
bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran
individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara,
ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968,
pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Pendekatan secara Sosiologis


Pancasila merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pancasila pun harus diwariskan kepada
generasi muda bangsa Indonesia berikutnya melalui pendidikan. Setiap
bangsa memiliki kepedulian kepada pewarisan budaya luhur bangsanya.
Oleh karena itu, perlu ada upaya pewarisan budaya penting tersebut
melalui pendidikan Pancasila yang dilaksanakan dalam pendidikan formal
(sekolah). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat
secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan dengan
Pancasila sebagai kaidah yuridis-konstitusional pada dasarnya tidak
berlaku dan harus dicabut. Dengan demikian penetapan Pancasila sebagai
dasar falsafah negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral
negara (Dipoyudo: 1984). Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah
menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukumnya, serta jiwa
seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan (A. T. Soegito,
dkk, 2009: 6).
Pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi cenderung meredup
dan tidak adanya istilah penggunaan Pancasila sebagai propoganda praktik
penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh
adanya globalisasi yang melanda Indonesia dewasa ini. Masyarakat terbius
akan kenikmatan hedonisme yang dibawa oleh paham baru yang masuk
sehingga lupa dari mana, di mana, dan untuk siapa sebenarnya mereka
hidup. Seakan-akan mereka melupakan bangsanya sendiri yang dibangun
dengan semangat juang yang gigih dan tanpa memandang perbedaan.
Dalam perkembangan masyarakat yang secara kultur, masyarakat lebih
cenderung menggunakan Pancasila sebagai dasar pembentukan dan
penggunakan setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peran Pancasila dalam
hal ini sebenarnya adalah untuk menciptakan masyarakat kerakyatan,
artinya masyarakat Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat
mempunyai kedudukan dan hak yang sama. Dalam menggunakan hakhaknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan negara
dan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban

10

harus seimbang dan tidak memihak ataupun memaksakan kehendak


kepada orang lain. Dalam pokok-pokok kerakyatan, masyarakat dituntut
untuk saling menghargai dan hidup bersama dalam lingkungan yang saling
membaur dan bisa membentuk sebuah kepercayaan (trust) sebagai modal
untuk membangun bangsa yang berjiwa besar dan bermoral sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila.
Pancasila disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila
mampu memberikan satu pertanda atau ciri khas yang melekat dalam
tubuh masyarakat. Hal ini yang mendorong bagaimana statement
masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
tersebut. Sebagai contoh nilai keadilan yang bermakna sangat luas dan
tidak memihak terhadap satu golongan ataupun individu tertentu. Unsur
pembentukan Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Sejarah
Indonesia membuktikan bahwa nilai luhur bangsa yang tercipta merupakan
sebuah kekayaan yang dimiliki dan tidak bisa tertandingi. Di Indonesia
tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, hal tersebut
terbukti dengan adanya tempat peribadatan yang dianggap suci, kitap suci
dari berbagai

ajaran

agamanya, upacara

keagamaan,

pendidikan

keagamaan, dan lain-lain merupakan salah satu wujud nilai luhur dari
Pancasila khususnya sila ke-1.
Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah, sopan santun, lemah
lembut terhadap sesama mampu memberikan sumbangan terhadap
pelaksanaan Pancasila, hal ini terbukti dengan adanya pondok-pondok atau
padepokan yang dibangun mencerminkan kebersamaan dan sifat manusia
yang beradab. Pandangan hidup masyarakat yang terdiri dari kesatuan
rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang
menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi
sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun
dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dalam

praktik

kehidupan

bernegara,

berbangsa

dan

bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur


seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di dalam dimensi

11

budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem


nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian
disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu
yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa
yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003). Masyarakat Indonesia sekarang ini
tidak hanya mendambakan adanya penegakan peraturan hukum, akan
tetapi masalah yang muncul ke permukaan adalah apakah masih ada
keadilan dalam penegakan hukum tersebut. Hukum berdiri diatas ideologi
Pancasila yang berperan sebagai pengatur dan pondasi norma masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Pendekatan secara Yuridis-Konstitusional


Meskipun nama Pancasila tidak secara eksplisit disebutkan
dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara
Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo pada
tahun 1984 bahwa secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah Dasar
Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur dan menyelenggarakan
pemerintahan negara. Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara,
maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara
mempunyai sifat imperatif/memaksa, artinya setiap warga negara
Indonesia harus tunduk/taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar
Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni
hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai
sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada
Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan
hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia tunduk kepada
Pancasila sebagai kekuasaan tertinggi.

12

Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman


untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturanperaturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaankebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan,
dengan peran serta aktif seluruh warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undangundang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang
mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): tetapi sejauh
mungkin juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya. Sedemikian
rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran,
pelaksanaan, penerapan Pancasila.
Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara
singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/
sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar
negara bersifat imperatif/memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapat
dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya
merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding
fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia
karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut
sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa
bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sedemikian rupa dengan meletakkan Pancasila
secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilainilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.

13

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Setiap bangsa di dunia yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui
dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan
pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan
memandang persoalan yang dihadapinya sehingga dapat memecahkannya
secara tepat. Tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan merasa
terombang-ambing dalam menghadapi persoalan yang timbul, baik persoalan
masyarakatnya sendiri maupun persoalan dunia.
Menurut Padmo Wahjono: Pandangan hidup adalah sebagai suatu
prinsip atau asas yang mendasari segala jawaban terhadap pertanyaan
dasar, untuk apa seseorang itu hidup. Jadi berdasarkan pengertian tersebut,
dalam pandangan hidup bangsa terkandung konsepsi dasar mengenai
kehidupan yang dicita-citakan, terkandung pula dasar pikiran terdalam dan
gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Pancasila sebagai pandangan hidup sering juga disebut way of life,
pegangan hidup, pedoman hidup, pandangan dunia atau petunjuk hidup.
Walaupun ada banyak istilah mengenai pengertian pandangan hidup tetapi
pada dasarnya memiliki makna yang sama. Lebih lanjut Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa dipergunakan sebagai petunjuk dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia baik dari segi sikap maupun prilaku
haruslah selalu dijiwai oleh nilai-nilai luhur pancasila.
Hal ini sangat penting karena dengan menerapkan nilai-nilai luhur
pancasila dalam kehidupan sehari-hari maka tata kehidupan yang harmonis
diantara masyarakat Indonesia dapat terwujud. Untuk dapat mewujudkan
semua itu maka masyarakat Indonesia tidak bisa hidup sendiri, mereka harus
tetap mengadakan hubungan dengan masyarakat lain. Dengan begitu masingmasing pandangan hidup dapat beradaftasi artinya pandangan hidup
perorangan/individu dapat beradaptasi dengan pandangan hidup kelompok

14

karena pada dasarnya pancasila mengakui adanya kehidupan individu


maupun kehidupan kelompok.

B. Hakikat Pancasila Sebagai Dasar Negara


Setiap negara di dunia ini mempunyai dasar negara yang dijadikan
landasan dalam menyelenggarakan pemerintah negara. Seperti Indonesia,
Pancasila dijadikan sebagai dasar negara atau ideologi negara untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pembukaan UUD
1945 alenia ke-4 yang berbunyi :

Maka disusunlah kemerdekaan

kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia yang berbentuk
dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada........dst.
Dengan demikian kedudukan pancasila sebagai dasar negara
termaktub secara yuridis konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, yang
merupakan cita-cita hukum dan norma hukum yang menguasai hukum dasar
negara RI dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan diatur dalam
peraturan perundangan.
Selain bersifat yuridis konstitusional, pancasila juga bersifat yuridis
ketatanegaraan yang artinya pancasila sebagai dasar negara, pada hakikatnya
adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya segala peraturan
perundangan secara material harus berdasar dan bersumber pada pancasila.
Apabila ada peraturan (termasuk di dalamnya UUD 1945) yang bertentangan
dengan nilai-nilai luhur pancasila, maka sudah sepatutnya peraturan tersebut
dicabut.
Berdasarkan uaraian tersebut pancasila sebagai dasar negara
mempunyai sifat imperatif atau memaksa, artinya mengikat dan memaksa
setiap warga negara untuk tunduk kepada pancasila dan bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran harus ditindak sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia

serta

bagi

pelanggar

dikenakan

sanksi-sanksi

hukum.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila memiliki sifat obyektifsubyektif. Sifat subyektif maksudnya pancasila merupakan hasil perenungan
dan pemikiran bangsa Indonesia, sedangkan bersifat obyektif artinya nilai

15

pancasila sesuai dengan kenyataan dan bersifat universal yang diterima oleh
bangsa-bangsa beradab. Oleh karena memiliki nilai obyektif-universal dan
diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia maka pancasila selalu
dipertahankan sebagai dasar negara.
Jadi berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pancasila sebagai dasar negara memiliki peranan yang sangat penting
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita para
pendiri bangsa Indonesi dapat terwujud.
Istilah Pancasila selalu berkumandang pada masa Orde Baru di
bawah kepemimpinan HM Soeharto. Apa saja selalu dikaitkan dengan
Pancasila. Begitu pula dengan Undang-Undang Dasar 1945 selalu
dibicarakan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua istilah sangat popular,
bahkan selalu menjadi slogan Orde Baru.
Sama halnya dengan Pancasila, istilah UUD 1945 juga selalu
ditekankan oleh para elit Orde Baru. Mereka kala itu selalu menyebut-nyebut
UUD 1945, terlebih ketika hendak menyusun atau membuat berbagai
peraturan dan perundang-undangan. Pidato para pejabat selalu mengaitkannya
kepada konstitusi tersebut.
Tak pelak lagi, Pak Harto sebagai Presiden, mandataris MPR
(Majelis

Permusyawaratan

Rakyat)

merupakan

tokoh

utama

dalam

mensosialisasikan Pancasila dan UUD 1945. Boleh disebut, Pak Hartolah


yang secara tegas menyatakan bahwa pedoman, pegangan, landasan, acuan
utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila
dan UUD 1945. Kita harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, ucap Pak Harto dalam tiap kesempatan.

C. Bagaimana orang Indonesia tidak lagi peduli dengan Pancasila


Pada masa Orde Baru menginginkan pemerintahan yang ditandai
dengan keinginan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Penanaman nilai-nilai Pancasila pada masa Orde Baru dilakukan
secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila
yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi kemunafikan yang

16

tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin


mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta
tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa
dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai
makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang
dilakukan

melalui

metode

indoktrinasi

dan

unilateral,

yang

tidak

memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, semakin mempertumpul


pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan
pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal.
Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan
yang disebut penataran P4 atau PMP ( Pendidikan Moral Pancasila), atau
nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda
terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama
disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang
mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk
bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup
bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk
orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Selain
itu Pancasila digunakan sebagai asas tunggal bago organisasi masyarakat
maupun organisasi politik (Djohermansyah Djohan: 2007).
Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman
sejarah pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru
pada akhir 1998-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan
peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama
bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan
falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata dalam kehidupan
sehari-hari (Djohermansyah Djohan: 2007). Berakhirnya kekuasaan Orde
Baru menandai adanya Pemerintahan Reformasi yang diharapkan mampu

17

memberikan koreksi

dan perubahan terhadap penyimpangan dalam

mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan


bernegara yang dilakukan pada masa Orde Baru. Namun dalam praktik pada
masa reformasi yang terjadi adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) dan fundamentalism. Hal inilah yang menandai bahwa pada masa
itulah masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis identitas bangsa.
Modal sosial (social capital) bisa dikatakan sebagai kelompok
individu atau grup yang digunakan untuk merealisasi kepentingan manusia.
Kalau mau didefinisikan sebagai satu kata maka trust (kepercayaan) adalah
kata yang bisa mempresentasikan kondisi tersebut (Konioko dan Woller,
1999). Sedangkan James Coleman sebagaimana yang dikutip oleh Francis
Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social and Creation of Prosperity
(1995) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok organisasi.
Trust (kepercayaan) sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, hal
ini dikarenakan kepercayaan bersifat fundamental. Bahkan dapat dikatakan
kualitas relasi sosial terletak pada sejauh mana nilai fundamental itu
mendapat perhatian. Ketika sebuah nilai kepercayaan itu hilang maka yang
timbul adalah perpecahan yang sifatnya mendarah daging. Sangat jelas bahwa
kepercayaan menyentuh sendi kehidupan yang paling mendasar dari sisi
kemanusiaan baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai bahan analisis yang menjadikan kepercayaan itu merupakan
sebuah faktor utama dari pelaksanaan Pancasila, sebut saja 4 (empat) pilar
kehidupan berbangsa. Antara lain Pancasila, UUD NRI 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar
tersebut ibaratkan sebuah kepercayaan untuk mewujudkan kehidupan
berbangsa yang rukun dan tanpa adanya sebuah keganjalan seperti konflik
dan sebagainya. Namun sebuah fenomena dan kelangsungan dari perjalanan
reformasi memberikan ruang bagi para masyarakat yang tidak mengerti akan
hal tersebut, sehingga disini rawan terjadinya konflik di dalam masyarakat itu
sendiri.

18

Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan konflik yang


sebagian besar disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Era globalisasi yang
sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua identitas
menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang untuk
makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada
problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini
didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi
perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai
masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas,
yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis
identitas yang mulai tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya perbedaan
diantara golongan dan berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan.
Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan
berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), terancam, ucap
Gus Dur, selanjutnya beliau menjelaskan sejarah Indonesia sejak abad ke-18
telah menunjukkan kultur bangsa dan semangat yang berkobar, antara lain
adanya konflik yang berbau SARA dan lain sebagainya. Meskipun demikian
bangsa Indonesia pada tataran selanjutnya masih banyak terjadi konflik yang
berbau SARA, seperti konflik yang terjadi antara Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dengan Ahmadiyah. Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural,
artinya konflik tersebut berlanjut dan dengan adanya tindakan nyata dari
kedua belah pihak untuk saling memenangkan argumen mereka. Menurut
MUI, pemerintah kurang tegas dalam menangani masalah tersebut sehingga
menimbulkan masalah baru yang bersifat struktural dan berkelanjutan.
Faktor yang mendorong krisis identitas dalam mewujudkan
kehidupan berbangsa dan bernegara terdiri dari dua faktor yang mendasar,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor
yang terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut,
yaitu ketika masa Orde Baru Pancasila dijadikan sebagai supported regime
dan pada masa sekarang menjadi favourable dalam kekuasaan. Selain itu
lengsernya kekuasaan Soeharto yang menandakan jatuhnya Orde Baru

19

sebagai bentuk kekuasaan yang otoritarian. Sedangkan faktor eksternal


merupakan faktor pendorong krisis identitas dari luar substansi, salah satunya
yaitu setelah kehancuran Perang Dingin (1947-1991) antara Uni Soviet
dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat pertahanan keamanan di
Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut sebagai polisi dunia.
Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika Serikat tidak
bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat menjadi polisi
dunia maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk melindungi
semua negara di dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak
lepas dari dampaknya yaitu adanya krisis identitas bangsa, dimana pahampaham yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Ketika itu, banyak paham yang masuk seperti globalisasi dan fundamentalis.
Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa dekade
menyebabkan mentalitas

bangsa menjadi

tergerus dan

menurunnya

kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam


Pancasila. Ketika krisis kepercayaan itu terjadi, pada masa kini masyarakat
hanya menjadikan Pancasila sebagai buah bibir saja tanpa bisa menghayati
dan mengamalkannya secara utuh. Munculnya paham fundamentalis dan
kapitalis sebagai kenyataan akan hal tersebut. Sebagai contoh adalah kasus
korupsi ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak korupsi tersebut
hanya memihak dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan masyarakat
sebagai korban dari korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya moral
individu, di samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti
tindak pidana korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke depan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945
yang memiliki dasar negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang
konsepsi sistem hukum di Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada
Pembukaan UUD 1945 alenia IV dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004
disebutkan bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum,
kedudukan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang dalam tata hukum
global disebut ground norm atau staat fundamental norm mengingat sesuai

20

kenyataan sejarah (legal history) selama 60 tahun tidak goyah sebagai


ideologi dan dasar negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD
1945 berada pada tingkat tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa
Pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai
sumber dari segala sumber hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD
1945. Penyimpangan dan implementasi dari sistem hukum yang berlapis
seperti dijelaskan pada gambar di atas adalah ketidakkonsistenan dalam
interaksi dan penerapan dari pasal tersebut yang dapat menjadi akar masalah
korupsi di Indonesia.
Perbuatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional
karena telah ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004:
40). Praktik penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa
keadilan masyarakat sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan
sebagai modal sosial bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat
Perintah Pemberhentian Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan
dibandingkan kasus-kasus pencurian ayam bahkan sering kali korban
penganiayaan yang dihakimi oleh masa. Kondisi seperti ini sangat
bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu nilai ideologi yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan peran
Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan WCC,
Bareskrim Polri mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak
1.824 kasus, dan mampu diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp 9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi
tersebut jika di lihat dari aspek sosial politik sangat berkaitan dengan masalah
kekuasaan yang diperoleh dengan aktivitas kegiatan dalam kepentingan
politik. Ini menunjukkan adanya nilai ideologi Pancasila sudah tidak
dihiraukan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai modal sosial,
tentunya Pancasila memberikan nilai tersendiri, artinya Pancasila mempunyai
nilai dan peran implementasinya dalam penyelenggaraan negara. Ketika
kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam terhadap nilai dan makna
Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya krisis identitas yang

21

menyebabkan seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan dan


mempertahanlan kekuasaan dengan tidak menghiraukan lagi nilai-nilai
ideologi yang terkandung dalam Pancasila itu. Selain krisis identitas yang
bersifat moralitas dan kekuasaan, muncul kasus fundamentalis agama dalam
hal tindak pidana korupsi. Faktor pendidikan dikalangan keagamaan menjadi
sangat penting dan strategis dalam membangun moral, mental, dan karakter
bangsa yang peka dan anti korupsi.
Fundamentalisme Agama sebagai akibat Lemahnya Pengamalan
Nilai Ideologi Pancasila
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya
agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang
meyakini keberadaan agama sebagai hal tersebut, ada 6 keyakinan yang
terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan mempunyai dasar
ataupun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke1 menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah jelas dan tidak
diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa
Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda
kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya.
Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan
multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru
mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut
sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan
sulit untuk menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama
masing-masing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
Dalam perjalanannya, mengingat begitu kuatnya penekanan tentang
pentingnya Pancasila dan UUD 1945 masa Orde Baru, banyak orang merasa
bosan, jenuh atau bahkan menjadi antipati. Terlebih lagi memang upaya
mensosialisasikan dasar Negara dan konstitusi tersebut oleh elit Orde Baru
kala itu seolah tidak ada jemu-jemunya, bahkan cenderung seolah seperti

22

tidak ada kata henti. Kesan pemaksaan sering dijadikan alasan untuk menolak
Pancasila. Sementara, banyak pula yang melihat berbagai prilaku, tindakan
atau perbuatan, baik oleh pejabat maupun anggota masyarakat, dinilai
menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila yang disosialisasikan dan
dilestarikan itu.
Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lantas apakah dengan kita
melengserkan Pancasila dan UUD 1945, kehidupan kita bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara kini menjadi jauh lebih baik dibandingkan masa
Orde Baru, Apakah berbagai krisis ekonomi, krisis multi dimensi
sebagaimana terjadi pada penghujung masa Orde Baru sudah teratasi? Tentu
jawabannya tidak dapat dinyatakan secara hitam putih. Hal yang pasti,
permasalahan yang dihadapi masa sekarang tampaknya tidak banyak beranjak
jauh, terutama yang dirasakan oleh rakyat kalangan menengah ke bawah.
Sementara untuk di kalangan sebagian elit secara pribadi-pribadi, kelompok
atau golongan tentu saja menilai banyak jauh meningkat pada kondisi saat ini.
Terlebih bila kita memang total melupakan Pancasila dan UUD 1945. Dari
kondisi saat ini yang dinilai masih gonjang ganjing itulah, sementara pihak
melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan kita. Mereka melihat kita
selama ini ternyata ibarat buruk rupa cermin dibelah. Maksudnya, wajah
kita yang buruk tapi malah yang kita rusak adalah cermin, alat bagi kita untuk
dapat melihat siapa kita.
Kenyataan tersebut membuat ada penilaian yang menyebutkan kita
kini dalam kondisi memprihatinkan. Rakyat Indonesia mengalami degradasi
wawasan nasional bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar
Negara Pancasila, sebagai sistem ideology nasional karenanya, elit reformasi
mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-liberalisme
dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jati
diri nasional. Kalau kita melihat masalah Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila. Ketiganya terlihat sepakat bahwa saat ini kita sudah melenceng
atua bahkan cenderung sudah mengabaikan penerapan substansi dari
konstitusi dan ideologi Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh para
founding father, bapak bangsa. Penyelenggaraan kehidupan bermasyarkaat,

23

berbangsa dan bernegara saat ini tidak lagi memakai acuan UUD 1945 dan
Pancasila.
Masa Orde Baru sudah memulai menanamkan Pancasila dan UUD
1945 dalam pikiran kita. Selanjutnya sudah pula terus diucap-ucapkan dan
banyak pula dicoba diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dasar Negara dan konstitusi warisan founding fathers itu tidak
disosialisasikan dalam waktu singkat tapi makan waktu cukup lama, lewat
proses dialog yang panjang. Lewat musyawarah mufakat yang tidak langsung
begitu saja disetujui.
Bayangkan, penerimaan Pancasila sebagia satu-satunya asas buat
organisasi sosial politik dan kemasyarakatan baru disepakati pada Sidang
Umum MPR 1983, sekitar 15 tahun setelah Orde Baru. Itu pun tidak langsung
diterapkan karena dibuat dulu undang-undangnya. Sementara sampai
berakhirnya Orde Baru, sebenarnya upaya sosialisasi dan pelestariannya
masih terus dilakukan.
Sungguh sayang, euphoria reformasi telah membuat kita lupa, mana
yang harus tetap dipertahankan dan mana yang harus dibuang. Kita terlalu
emosional sehingga semua produk Orde Baru dianggap keliru. Padahal yang
keliru adalah dalam tararan operasional yang memang dimungkinkan dapat
saja belum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Bukankah hal ini sangat
naf jika kita seharusnya mau menjunjung tinggi warisan para founding
father.
Untuk bisa melihat Pancasila sebagai lebih jernih kita perlu melihat
sejarah awalnya Pancasila. Pancasila adalah sebuah istilah yang diciptakan
Bung Karno dalam pidatonya di siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,
sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sedikit dari kita yang masih
mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan
Pancasila yang kita kenal sekarang.

24

D. Ke depan apakah sebagai pengikat Pancasila masih bisa diandalkan


Tergantung bagaimana orang Indonesia menanggapinya sekarang.
Secara jujur sangat mengkhawatirkan. Orang sekarang malas berbicara soal
Pancasila. Mungkin hanya segelintir Universitas atau bahkan Jurusan
Pancasila saja yang mendalami dan mempelajari Pancasila. Sebagai warga
negara, justru hal seperti itu sangat mengkhawatirkan. Tidak ada sebuah
negara yang tidak tegak di atas sebuah ideologi. Selonggar apa pun
pengertian ideologi itu. Amerika punya ideologi, ideologi demokrasi. Kita
punya apa? Angkatan pergerakan nasional sudah memberikannya kepada kita,
yakni Pancasila. Sayangnya, dalam upaya penerapannya, Pancasila selalu
ditawarkan dalam bahasa cuci otak. Dipaksakan dengan cara indoktrinasi.
Dunia berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan
yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental.
Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil
memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah
Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa:
The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa
lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan
itu.
New time call for new: organizations, dengan tantangan yang berbeda
diperlukan bentuk organisasi yang berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi.
Where do we go next; dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap
organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah
yang ingin dituju.
Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi
perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexity yang membuat
interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan
tidak menentu.
Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan
akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya
setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C,
yaitu concept, competence, connection, danconfidence.

25

Kesadaran Berbangsa Sebenarnya, proses reformasi selama enam


tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan
secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara
kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk
melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi
ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain
sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul
ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa
ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat
Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu
hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum
semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh
karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas
yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan
konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang
sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan
melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara
Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan. Oleh
karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan
demokrasi.
Mahasiswa Tak Minati Pancasila Melemahnya kekuatan Pancasila
sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa juga terjadi kepada kelompok
mahasiswa. Kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan
bangsa ternyata abai dengan Pancasila. Mengutip survei yang dilakukan
aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen mahasiswa memilih
syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5
persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai
acuan hidup. Hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila
tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

26

Penelitian itu dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi


Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas
Brawijaya. Perguruan-perguruan tinggi tersebut selama ini dikenal sebagai
basis gerakan politik di Indonesia. Survei tersebut menunjukkan kondisi riil
di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Kondisi ini menunjukkan
semakin rendahnya semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus
bangsa. "Banyak generasi muda yang lupa isi harfiah Pancasila. Apalagi
mengerti Pancasila secara maknawi?
Pasca bergulirnya gerakan reformasi, Pancasila dilalaikan oleh
banyak pihak. Pancasila tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan politik
dan tak lagi digunakan sebagai kerangka penyelesaian masalah nasional.
Bahkan, banyak orang bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara
tentang Pancasila. Pancasila tak lagi menjadi acuan, baik dalam pengambilan
keputusan maupun penyusunan perundang-undangan. Jarang pula masalah
nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa direfleksikan atau
dipertanyakan kembali dalam kerangka dasar negara, Pancasila.
Masalah itu, antara lain terlihat dalam meningkatnya jumlah
penduduk miskin dan penganggur, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat
miskin, konflik etnis dan antarumat beragama, serta meluasnya sikap ekstrem
dan fundamentalis. Itu semua jauh dari Pancasila.Kebebasan yang diperoleh
melalui reformasi, lanjutnya, dipahami dalam kerangka logika konsumerisme
dan tumbuhnya sikap tak peduli akan nilai empati, compassion, cinta kasih,
solidaritas, dan nilai kemanusiaan yang menjembatani privat dengan publik.
Terkait dengan hal itu, kata Sastrapratedja, Pendidikan Pancasila
perlu diperhatikan kembali. Pascareformasi, Pendidikan Pancasila menjadi
kurang penting dalam lembaga pendidikan. Hal itu bisa jadi merupakan
akibat atau ekses Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang
selama Orde Baru sangat ditekankan. Pendidikan Pancasila harus
ditumbuhkan lagi menjadi bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan dengan
cara yang menarik.Maftuh Basyuni juga mengajak semua pihak untuk
menegaskan komitmen pada Pancasila. Beberapa langkah yang bisa
dikategorikan sebagai pengamalan Pancasila adalah memperbaiki kualitas

27

keberagaman masyarakat secara berimbang, memperbaiki kualitas ketahanan


keluarga, dan memperbaiki persaudaraan antarsesama kelompok.
Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida
menilai, Kebangkitan Nasional telah berusia satu abad, tetapi hingga saat ini
belum ada pemimpin yang mampu membangkitkan rakyat dari kemelaratan,
kebodohan, dan ketertinggalan. Pemimpin seperti ini yang dibutuhkan
Indonesia ke depan. Soalnya, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda
dengan 100 tahun lalu.
Sekarang tidak lagi butuh pemimpin yang mempersatukan kelompok
etnik, raja seperti 100 tahun lalu, karena terorganisir dalam negara. Yang
dihadapi rakyat sekarang adalah ketiadaan pemimpin yang bisa membuat
mereka bangkit dari kemelaratan, kebodohan, ketertinggalan saat ini masih
banyak warga Indonesia yang belum menikmati listrik, akses jalan dan
transportasi dari satu tempat ke tempat lain, bahkan mati karena kelaparan.
Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mau bersungguh-sungguh
memperjuangkan apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa Pancasila
sebagai ideologi nasional dan dasar negara Republik Indonesia sudah final.
Karena itu Presiden Yudhoyono mengajak seluruh masyarakat Indonesia
untuk menghidupkan, mengamalkan dan memegang teguh Pancasila sebagai
dasar negara. "Memang, kita tidak ingin Pancasila dan UUD 1945 disakralkan
karena tidak perlu disakralkan. Namun pemikiran untuk mengganti Pancasila
dengan idelogi dan dasar negara lain atau pun mengubah Pembukaan UUD
1945 yang merupakah ruh dan jiwa konstitusi kita, tentulah tidak akan kita
berikan tempat dalam kehidupan bernegara.
Dikatakan ada empat pilar utama yang menjadi nilai dan consensus
dasar yang menopang tegaknya Republik Indonesia selama ini yakni :
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip
4. Bhineka Tunggal Ika

28

Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, selalu ada saja ujian


terhadap pilar-pilar utama kehidupan bernegara. Dalam era globalisasi dan
transformasi nasional dewasa ini, kembali kita menghadapi tantangan empat
pilar utama itu. Terhadap rongrongan itu, pertama-tama kita harus
menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah dan
pandangan hidup bangsa sudah final, Pancasila tetap harus dite- gakan
sebagai falsafah bangsa, pandangan hidup bangsa (way of life) serta
perangkat pemersatu bangsa. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No XVIII/MPR/1998 yang
mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila yang sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila
sebagai dasar negara.
Pembukaan UUD 1945 juga harus dipertahankan karena memuat
cita-cita, tujuan nasional, dan dasar negara. Selain itu NKRI juga sudah final
dan tidak dapat diganggu gugat. Keutuhan dan kedaulatannya tidak dapat
dikompromikan. Penegakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
mengedepankan pendekatan keadilan dan kesejahteraan. Di tengah-tengah
keragaman bangsa kita yang majemuk, lanjutnya, slogan Bhineka Tunggal
Ika harus terus diaktualisasikan, sebagai keniscayaan kehidupan bangsa yang
beragam suku, agama, bahasa dan budaya. Untuk itu, dia mengajak untuk
bersatu dan bertekad bulat guna mengukuhkan persatuan dan kesatuan
bangsa. Demokrasi Pada bagian lain Presiden Yudhoyono mengemukakan
bahwa demokrasi di Indonesia saat ini bertumbuh mekar. Tantangannya
bagaimana menggunakan kebebasan itu secara tepat, bermanfaat, penuh
tanggung jawab, dan disertai akhlak yang baik. Marilah kita abdikan
demokrasi dan kebebasan ini untuk mengatasi permasalahan dan membangun
kesejahteraan rakyat

29

E. Upaya Menjaga Nilai-nilai Luhur Pancasila


Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan suatu
cerminan dari kehidupan masyarakat Indonesia (nenek moyang kita) dan
secara tetap telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa
Indonesia. Untuk itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus mampu
menjaga nilai nilai tersebut. Untuk dapat hal tersebut maka perlu adanya
berbagai upaya yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Upaya-uapaya tersebut antara lain :
1. Melalui dunia pendidikan, dengan menambahkan mata pelajaran khusus
pancasila pada setiap satuan pendidikan bahkan sampai ke perguruan
tinggi
2. Lebih memasyarakatkan pancasila.
3. Menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari
4. Memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap pancasila.
5. Menolak dengan tegas faham-faham yang bertentangan dengan pancasila.
Demikianlah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menjaga
nilai-nilai luhur pancasila sehingga masyarakat yang aman dan sejahtera
dapat terwujud.

30

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pancasila sebagai ideologi negara yanng telah direncanakan oleh
para pendiri bangsa, pada era Orde Baru sampai masuknya era Reformasi
sekarang ini belum begitu terwujud dengan apa yang diinginkan. Hal ini
terlihat dari bagaimana cara pemerintah maupun masyarakat Indonesia dalam
memahami dan melaksanakan pancasila sebagai pedoman hidup maupun
sebagai landasan hukum tertinggi.
Bahkan pada jaman sekarang ini Pancasilan seolah telah terlupakan
oleh bangsa Indonesia baik itu sebagai Pedoman hidup maupun landasan
hukum berbangsa Indonesia. Dan apa yang terjadi dalam negara ini tidak lain
adalah akibat dari terlupakannya nilai arti yang terkandung dalam Pancasila
dan bangsa ini tidak lagi menanamkan Budaya Berpancasila sebagai ideologi.

B. SARAN
Kita sebagai bangsa yang besar yang telah dari setengah abad
mengaku merdeka hendaklah berbenah dan kembali pada jati diri bangsa
yang berpedoman pada Pancasila. Lebih memahami nilai dari kandungan
Pancasila dan melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan hidup
berbagsa, sebagai bangsa yang besar. Untuk memwujudkan negara yang
maju disegani negara lain dengan berpegang teguh pada Pancasila.

31

DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Dardji Darmodiharjo, dkk. (1981). Santi Aji Pancasila. Surabaya : Usaha
Nasional
Dhont, Frank, dkk. 2010. Pancasilas Contemporary Appeal: Re-legitimizing
Indonesias Founding Ethos. Yogyakarta: Sanata Dharma University
Press.
Douglas, Stephen. 1974. Student Activism in Indonesia. Boston: The Litle, Brown
and Company.
Fukuyama, Francis. 1995. Trust, The Social Virtues and The Creation of
Prosperity. New York: Free Press.
Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno (Penyunting:
Floriberta Aning). Yogyakarta: Media Pressindo.
Koentjaraningrat.1980.Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta: PT.
Gramedia.
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta:
Pancoran Tujuh.
Notonagoro.1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta:
Pantjoran Tujuh.p
S, Ubed Abdilah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesiatera.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta
Soegito, A. T, dkk. 2009. Pendidikan Pancasila. Semarang: Pusat Pengembangan
MKU-MKDK Unnes.
Suwarno, P. J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Rahma, Srijanti A dan Purwanto S. K. 2008. Etika Berwarga Negara: Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat.
Winataputra, Udin. S. dkk. (2008). Materi dan Pembelajaran PKN SD. Jakarta:
Universitas Terbuka

32

You might also like