You are on page 1of 34

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Halusinasi

2.1.1 Definisi Halusinasi

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan

sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu pencerapan panca indera tanpa ada

rangsangan dari luar (Maramis, 2005). Pengertian yang hampir sama, yaitu

menurut Varcarolis (Yosep, 2009), halusinasi didefinisikan sebagai terganggunya

persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus, dan menurut Kusuma

(1997), halusinasi adalah persepsi sensoris yang palsu yang terjadi tanpa adanya

stimulus eksternal, dimana keadaan tersebut dibedakan dari ilusi, yang merupakan

kekeliruan persepsi terhadap stimuli yang nyata. Definisi lebih lengkap

dikemukakan oleh Townsend (1998), dimana halusinasi merupakan gangguan

persepsi sensori, yaitu suatu keadaan seseorang mengalami perubahan dalam

jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat diprakarsai secara internal atau

eksternal disertai dengan suatu pengurangan, berlebih-lebihan, distorsi, atau

kelainan berespon terhadap setiap stimulus.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi

adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui

panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi,

dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi

pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus

internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.

8
2

2.1.2 Rentang Respon Neurobiologis

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada

dalam rentang respon neurobiologi (Stuart dan Laraia, 2001). Ini merupakan

respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat,

mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi

yang diterima melalui panca indera, klien dengan halusinasi mempersepsikan

suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.

Diantara kedua respon tersebut adalah ilusi, yaitu respon individu yang salah

mempersepsikan stimulus yang diterimanya. Adapun rentang respon

neurobiologis, adalah sebagai berikut :

RENTANG RESPON NEUROBIOLOGIS

Respons adaptif Respons Maladatif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikir/delusi


Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi Sulit berespon emosi
dengan pengalaman berlebihan atau kurang
Perilaku sesuai Perilaku aneh/tidak Perilaku disorganisasi
biasa
Berhubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial

Gambar 2.1 Rentang Respon Neurobiologis (Sumber : Stuart, 2006)

2.1.3 Faktor Penyebab Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2001), faktor-faktor yang menyebabkan klien

gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :


3

2.1.3.1 Faktor Predisposisi

2.1.3.1.1 Faktor genetis

Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom

tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu

gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik

memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya

mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang

anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15%

mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka

peluangnya menjadi 35%.

2.1.3.1.2 Faktor neurobiologis

Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang

abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,

serotonin, dan glutamat.

2.1.3.1.3 Studi neurotransmitter

Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan

neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin.

2.1.3.1.4 Teori virus

Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi

faktor predisposisi skizofrenia.

2.1.3.1.5 Psikologis

Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia

antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi,
4

dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan

anaknya.

2.1.3.2 Faktor Presipitasi

1. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan

memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

2. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.

3. Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,

ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem

syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan.

4. Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah

tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola

aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi

social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam

bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat pekerjaan.

5. Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus asa,

tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya

kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari

segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku

agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.

2.1.4 Jenis Halusinasi

Stuart dan Laraia (2001), membagi halusinasi menjadi tujuh jenis,

meliputi: halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual),


5

halusinasi penghidu (olfactory), halusinasi pengecapan (gustatory), halusinasi

perabaan (tactile), halusinasi cenesthetic, dan halusinasi kinesthetic. Karakteristik

masing-masing jenis halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Halusinasi pendengaran, seperti mendengar suara-suara atau kebisingan,

paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas

sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai ke

percakapan lengkap antara dua orang atau lebih tentang orang yang

mengalarni halusinasi. Pikiran yang terdengar di mana klien mendengar

perkataan bahwa pasien disuruh untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang

dapat membahayakan.

2. Halusinasi penglihatan, stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,

gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks.

Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

3. Halusinasi penghidu, klien membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah,

urin, atau feses, umumnya bau-bauan yang tidak rnenyenangkan. Halusinasi

penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang atau demensia.

4. Halusinasi pengecapan, klien merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin

atau feses.

5. Halusinasi perabaan, dimana klien mengalami nyeri atau ketidaknyamanan

tanpa stimulus yang jelas, seperti rasa tersetrum listrik yang datang dari

tanah, benda mati, atau orang lain.

6. Halusinasi cenesthetic, yaitu merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di

vena atau arteri, pencernaan makanan, atau pembentukan urin.


6

7. Halusinasi kinesthetic, yaitu merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa

bergerak.

2.1.5 Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan

keparahannya. Stuart dan Laraia (dalam Stuart dan Sundeen, 2006), membagi fase

halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan

kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien

semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Tabel 2.1 Fase-Fase Halusinasi

Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien


1 2 3
7

Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan Menyeringai atau


ansietas tingkat emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk bibir tanpa
bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali danmenunjukkan ansietas,
berat, secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
(Psikotik ringan) sensori dan kehilangan
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling-ansietas perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
tingkat berat, halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
pengalaman sensori halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
menjadi berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
1 2 3
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
Panik, umumnya mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
halusinasi menjadi jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
lebih rumit, melebur perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
8

dalam halusinasinya berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang


jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
(Psikotik Berat) halusinasi seperti amuk,
agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.
Sumber : Stuart, 2006

2.1.6 Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut Keliat (2005), tindakan keperawatan untuk membantu klien

mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya

dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum

mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk

merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi

tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif.

Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan

klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien.

Perawat juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif

mendengar ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan

menyalahkan klien atau menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi

yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa

mengendalikan diri agar tetap terapeutik.

Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan

selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi


9

halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan

munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien

menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus diatasi,

maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa dilakukan dan

terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji

pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien

lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara

tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara yang

dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.

Menurut Keliat (2005), ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada

klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :

2.1.6.1 Menghardik halusinasi.

Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus

berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih

untuk mengatakan, tidak mau dengar...., tidak mau lihat. Ini dianjurkan untuk

dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat.

2.1.6.2 Berinteraksi dengan orang lain.

Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan

meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi

persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus

eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus

perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber halusinasinya.

2.1.6.3 Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.


10

Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak

dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya.

Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun

pagi sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat

harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul

tidak ada waktu lagi untuk melamun tak terarah.

2.1.6.4 Menggunakan obat.

Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat

ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu,

klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi,

serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan

tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi

yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan

secara tuntas dan teratur.

Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan

klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini

penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana

klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa

klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak

didukung secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa

kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa

berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih

mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan


11

halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke

rumah.
12

2.2 Konsep Dasar Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

Halusinasi

2.2.1 Pengertian

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas

yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah

keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok

digunakan sebagai target asuhan, didalam kelompok diharapkan dapat terjadi

dinamika interaksi yang saling tergantung, saling membutuhkan dan menjadi

laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki

perilaku lama yang maladaptif (Keliat, 2004). TAK merupakan terapi kelompok

yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien seperti : stimulasi persepsi,

stimulasi sensori, orientasi realita, dan sosialisasi. Menurut Wilson dan Kneisl

(1992), TAK adalah manual, rekreasi, dan tehnik kreatif untuk memfasilitasi

pengalaman seseorang serta meningkatkan respon sosial dan harga diri.

Menurut Keliat (2004), kegiatan TAK ini dibagi menjadi empat macam,

yaitu TAK Stimulasi Kognitif/Persepsi, TAK Stimulasi Sensori, TAK Orientasi

Realitas, dan TAK Sosialisasi. Namun, pada kajian teori penelitian ini, peneliti

hanya akan menjelaskan tentang TAK Stimulasi Persepsi. TAK Stimulasi Persepsi

adalah terapi yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami kemunduran

orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif

serta mengurangi perilaku maladaptif. Klien dilatih mempersepsikan stimulus

yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami (Purwaningsih, 2009)


13

2.2.2 Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok

Menurut Purwaningsih (2009), Terapi Aktivitas Kelompok mempunyai

beberapa manfaat, yaitu :

2.2.2.1 Terapeutik

2.2.2.1.1 Umum

1. Meningkatkan kemampuan uji realitas (reality testing) melalui komunikasi

dan umpan balik dengan atau dari orang lain.

2. Melakukan sosialisasi.

3. Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif.

2.2.2.1.2 Khusus

1. Meningkatkan identitas diri.

2. Menyalurkan emosi secara konstruktif.

3. Meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal atau sosial.

2.2.2.2 Rehabilitasi

1. Meningkatkan keterampilan ekspresi diri.

2. Meningkatkan keterampilan sosial.

3. Meningkatkan kemampuan empati.

4. Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah.

2.2.3 Komponen dalam Terapi Aktivitas Kelompok

Komponen kelompok terdiri dari beberapa aspek, antara lain :


14

2.2.3.1 Struktur Kelompok

Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan

keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga

stabiltas dan membantu pengaturan pola tingkah laku dan interaksi. Struktur

dalam dalam kelompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah

komunikasi dipantau oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara

bersama (Keliat, 2004).

2.2.3.2 Besar Kelompok

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang

angotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut

Stuart dan Laraia (2001) adalah 7-10 orang, sedangkan menurut Rawlins,

Williams, dan Beck (1993) adalah 5-10 orang. Jika angggota kelompok terlalu

besar akibatnya tidak semua anggota kelompok mendapat kesempatan untuk

mengungkapkan perasaan, pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak

cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.

2.2.3.3 Lamanya Sesi

Menurut Stuart dan Laraia (dalam Keliat, 2004), waktu optimal untuk satu

sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi

fungsi kelompok yang tinggi.

2.2.3.4 Komunikasi

Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberikan kesadaran pada

anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi (Keliat, 2004).


15

2.2.3.5 Norma Kelompok

Norma adalah suatu standar tingkah laku yang ada dalam kelompok.

Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya

terhadap kemampuan komunikasi dan interaksi dalam kelompok.

2.2.3.6 Kekohesifan

Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerjasama dalam

mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok, untuk tetap betah

dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas

terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat

dipertahankan.

2.2.4 Tujuan TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi

2.2.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari pelaksanaan kegiatan TAK Stimulasi Persepsi

Halusinasi ini adalah agar klien mempunyai kemampuan untuk mengontrol

halusinasinya.

2.2.4.2 Tujuan Khusus

1. Klien dapat mengenal halusinasinya (isi halusinasi, waktu terjadinya, situasi

terjadinya, dan perasaan saat terjadinya halusinasi).

2. Klien dapat mengontrol halusinasi dengan menghardik.

3. Klien dapat mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan.

4. Klien dapat mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.

5. Klien dapat mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.


16

2.2.5 Indikasi TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi

Klien yang mempunyai indikasi diberikan TAK Stimulasi Persepsi

Halusinasi adalah klien dengan gangguan halusinasi.

2.2.6 Aktivitas TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi

Aktivitas TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi dilakukan lima sesi yang

melatih kemampuan klien dalam mengontrol halusinasinya. Kelima sesi tersebut

akan peneliti paparkan dalam pedoman pelaksanaan TAK Stimulasi Persepsi

Halusinasi sebagai berikut :

2.2.6.1 Sesi 1 Mengenal Halusinasi

2.2.6.1.1 Tujuan

1. Klien dapat mengenal halusinasi.

2. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi

3. Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi

4. Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi.

2.2.6.1.2 Setting

1. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.

2. Ruangan nyaman dan tenang.

2.2.6.1.3 Alat

1. Spidol

2. Papan tulis/whiteboard/flipchart
17

2.2.6.1.4 Metode

1. Diskusi dan tanya jawab

2. Bermain peran/simulasi

2.2.6.1.5 Langkah Kegiatan

1. Persiapan

a. Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan sensori

persepsi : halusinasi

b. Membuat kontrak dengan klien

c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terapeutik.

1) Salam dari terapis kepada klien

2) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama)

3) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama).

b. Evaluasi/validasi : Menanyakan perasaan klien saat ini

c. Kontrak

1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal

suara-suara yang didengar.

2) Terapis menjelaskan aturan main berikut :

a) Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada

terapis.

b) Lama kegiatan 45 menit.

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.


18

3. Tahap kerja

a. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal suara-

suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi

terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.

b. Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi

yang membuat terjadi, dan perasaan klien pada saat terjadi halusinasi. Mulai

dari klien yang sebelah kanan, secara berurutan sampai semua klien mendapat

giliran. Hasilnya ditulis di whiteboard.

c. Beri pujian pada klien yang melakukan dengan baik.

d. Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari suara yang

biasa didengar.

4. Tahap terminasi

a. Evaluasi

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

2) Terapis memberi pujian atas keberhasilan kelompok.

b. Tindak lanjut

Terapis meminta klien untuk melaporkan isi, waktu, situasi, dan perasaannya

jika terjadi halusinasi.

c. Kontrak yang akan datang

1) Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi.

2) Menyepakati waktu dan tempat


19

2.2.6.1.6 Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada

tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan

tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Persepsi : Halusinasi sesi 1, kemampuan

yang diharapkan adalah mengenal isi halusinasi, waktu terjadinya

halusinasi, situasi terjadinya halusinasi, dan perasaan saat terjadi halusinasi.

Formulir evaluasi tersedia pada lampiran berikutnya.

2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 1. Klien mampu menyebutkan isi

halusinasi (menyuruh memukul), waktu (pukul 9 malam), situasi (jika

sedang sendiri), perasaan (kesal dan geram). Anjurkan klien

mengidentifikasi halusinasi yang timbul dan menyampaikan kepada

perawat.

2.2.6.2 Sesi 2 Mengontrol Halusinasi dengan Menghardik.

2.2.6.2.1 Tujuan

1. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi

halusinasi.

2. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi.

3. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi.

2.2.6.2.2 Setting

1. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.

2. Ruangan nyaman dan tenang.


20

2.2.6.2.3 Alat

1. Spidol dan papan tulis/whiteboard/flipchart

2. Jadwal kegiatan klien

2.2.6.2.4 Metoda

1. Diskusi dan tanya jawab.

2. Bermain peran/simulasi.

2.2.6.2.5 Langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi sesi 1.

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi

a. Salam terpaeutik

1) Salam dari terapis kepada klien.

2) Klien dan terapis memakai papan nama.

b. Evaluasi/validasi.

1) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini.

2) Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi : isi, waktu, situasi,

dan perasaan.

c. Kontrak.

1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol

halusinasi.
21

2) Menjelaskan aturan main berikut :

a) Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada

terapis.

b) Lama kegiatan 45 menit.

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3. Tahap kerja :

1) Terapis meminta klien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami

halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua klien mendapat

giliran.

2) Berikan pujian setiap klien selesai bercerita.

3) Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik halusinasi

saat halusinasi muncul.

4) Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu : Pergi, jangan

ganggu saya, Saya mau bercakap-cakap dengan.

5) Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara menghardik

halusinasi dimulai dari klien di sebelah kiri terapis berurutan searah jarum

jam sampai semua peserta mendapatkan giliran.

6) Terapis memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan saat

setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.

4. Tahap terminasi

a. Evaluasi.

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.


22

b. Rencana tindak lanjut.

1) Terapis menganjurkan tiap anggota kelompok untuk menerapkan cara yang

telah dipelajari jika halusinasi muncul.

2) Memasukkan kegiatan menghardik pada jadwal kegiatan harian klien.

c. Kontrak yang akan datang.

1) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK yang berikutnya, yaitu

belajar cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan.

2) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK berikutnya.

2.2.6.2.6 Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan

TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 2, dievaluasi

kemampuan klien mengatasi halusinasi dengan menghardik menggunakan

formulir evaluasi.

2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melaksanakan TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Misalnya, klien mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 2. Klien mampu memperagakan cara

menghardik halusinasi. Anjurkan klien menggunakannya jika halusinasi

muncul, khusus pada malam hari (buat jadwal).

2.2.6.3 Sesi 3 Mengontrol Halusinasi dengan Melakukan Kegiatan.

2.2.6.3.1 Tujuan

1. Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah

munculnya halusinasi.
23

2. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.

2.2.6.3.2 Setting

1. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.

2. Ruangan nyaman dan tenang.

2.2.6.3.3 Alat

1. Buku catatan dan pulpen.

2. Jadwal kegiatan harian klien.

3. Spidol dan papan tulis/whiteboard/flipchart

2.2.6.3.4 Metode

1. Diskusi dan tanya jawab.

2. Bermain peran/simulasi dan latihan.

2.2.6.3.5 Langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi sesi 2.

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi

a. Salam terapeutik

1) Salam dari terapis kepada klien.

2) Peserta dan terapis memakai papan nama.

b. Evaluasi/validasi.

1) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini.

2) Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.


24

3) Terapis menanyakan pengalaman klien menerapkan cara menghardik

halusinasi.

c. Kontrak:

1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi

dengan melakukan kegiatan.

2) Menjelaskan aturan main berikut :

a) Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada

terapis.

b) Lama kegiatan 45 menit.

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3. Tahap kerja

a. Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan sehari-hari.

Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah

munculnya halusinasi.

b. Terapis meminta tiap klien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan

sehari-hari, dan ditulis di whiteboard.

c. Terapis membagikan formulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulis

formulir yang sama di whiteboard.

d. Terapis membimbing satu per satu klien untuk membuat jadwal kegiatan

harian, dari bangun pagi sampai tidur malam. Klien menggunakan formulir,

terapis menggunakan whiteboard.

e. Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah disusun.


25

f. Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang sudah selesai

membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.

4. Tahap terminasi

a. Evaluasi.

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun jadwal kegiatan

dan memperagakannya.

2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.

b. Rencana tindak lanjut.

Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol halusinasi,

yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.

c. Kontrak yang akan datang.

1) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya, yaitu

belajar cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.

2) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat.

2.2.6.3.6 Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan

TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi halusinasi sesi 3 dievaluasi kemampuan

klien mencegah timbulnya halusinasi dengan melakukan kegiatan harian,

dengan menggunakan formulir evaluasi.

2. Dokumentasikan kemampuan yang klien miliki ketika TAK pada catatan

proses keperawatan tiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK stimulasi

persepsi : halusinasi sesi 3. Klien mampu memperagakan kegiatan harian dan


26

menyusun jadwal. Anjurkan klien melakukan kegiatan untuk mencegah

halusinasi.

2.2.6.4 Sesi 4 Mengontrol Halusinasi dengan Bercakap-cakap.

2.2.6.4.1 Tujuan

1. Klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk

mencegah munculnya halusinasi.

2. Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya

halusinasi.

2.2.6.4.2 Setting

1. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.

2. Ruangan nyaman dan tenang.

2.2.6.4.3 Alat

1. Jadwal kegiatan harian klien dan pulpen.

2. Fliphchart/Whiteboard dan spidol.

2.2.6.4.4 Metoda

1. Diskusi dan tanya jawab

2. Bermain peran/simulasi

2.2.6.4.5 Langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi sesi 3.

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.


27

2. Orientasi

a. Salam terpaeutik:

1) Salam dari terapis kepada klien.

2) Peserta dan terapis memakai papan nama.

b. Evaluasi/validasi

1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

2) Menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan dua cara yang telah

dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah) untuk

mencegah halusinasi.

c. Kontrak

1) Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengfan bercakap-

cakap.

2) Terapis menjelaskan aturan main berikut :

a) Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada

terapis.

b) Lama kegiatan 45 menit.

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal samapai selesai.

3 Tahap kerja

a. Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk

mengontrol dan mencegah halusinasi.

b. Terapis meminta tiap klien menyebutkan orang yang biasa dan bisa diajak

bercakap-cakap.
28

c. Terapis meminta tiap klien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan

bisa dilakukan.

d. Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul, Suster,

ada suara di telingan, saya mau ngobrol saja dengan suster atau Suster, saya

mau ngobrol tentang kapan saya boleh pulang.

e. Terapis meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan orang di

sebelahnya.

f. Berikan pujian atas keberhasilan klien.

g. Ulangi kegiatan no. 5 dan 6 sampai semua klien mendapat giliran.

4 Tahap terminasi

a. Evaluasi

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

2) Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasi yang sudah dilatih.

3) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.

b. Rencana tindak lanjut

Menganjurkan klien menggunakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu

menghardik, melakukan kegiatan harian, dan bercakap-cakap.

c. Kontrak yang akan datang

1) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya, yaitu

belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.

2) Terapis menyepakati waktu dan tempat


29

2.2.6.4.6 Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan

TAK. Untuk TAK Stimulasi persepsi halusinasi sesi 4, dievaluasi kemampuan

mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap, yaitu dengan menggunakan

formulir evaluasi.

2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi sesi 4. Klien belum mampu secara lancar

bercakap-cakap dengan orang lain. Anjurkan klien bercakap-cakap dengan

perawat dan klien lain di ruang rawat.

2.2.6.5 Sesi 5 Mengontrol Halusinasi dengan Patuh Minum Obat.

2.2.6.5.1 Tujuan

1. Klien memahami pentingnya patuh minum obat.

2. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat.

3. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.

2.2.6.5.2 Setting

1. Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran

2. Ruangan nyaman dan tenang

2.2.6.5.3 Alat

1. Jadwal kegiatan harian klien

2. Flipchart/whiteboard dan spidol.

3. Beberapa contoh obat.


30

2.2.6.5.4 Metoda

1. Diskusi dan tanya jawab

2. Melengkapi jadwal harian.

2.2.6.5.5 Langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi sesi 4.

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terpaeutik

1) Salam dari terapis kepada klien.

2) Peserta dan terapis memakai papan nama

b. Evaluasi/validasi

1) Menanyakan perasaan klien saat ini

2) Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah

menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri

dengan kegiatan, dan bercakap-cakap).

c. Kontrak

1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan dengan anggota kelompok, yaitu

mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.

2) Menjelaskan aturan main berikut :

a) Jika klien akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis.

b) Lama kegiatan 45 menit.


31

c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3. Tahap kerja

a. Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh,

karena obat member perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.

b. Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab

kambuh.

c. Terapis meminta tiap klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu

memakannya. Buat daftar di whiteboard.

d. Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum

obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, benar dosis obat.

e. Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran.

f. Berikan pujian pada klien yang benar.

g. Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard).

h. Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di

whiteboard).

i. Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah

halusinasi/kambuh.

j. Menjelaskan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian

halusinasi/kambuh.

k. Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan

kerugian tidak patuh minum obat.

l. Memberi pujian tiap kali klien benar.

4. Tahap terminasi
32

a. Evaluasi

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

2) Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah

dipelajari.

3) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.

b. Rencana tindak lanjut

Menganjurkan klien menggunakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu

menghardik, melakukan kegiatan, bercakap-cakap, dan patuh minum obat.

c. Kontrak yang akan datang

1) Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.

2) Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.

2.2.6.5.6 Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan

TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 5, kemampuan klien

yang diharapkan adalah menyebutkan lima benar cara minum obat,

keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Formulir

evaluasi terdapat pada lampiran berikutnya.

2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK pada

catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK

stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 5. Klien mampu menyebutkan lima benar

cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat

(kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar.


33

DAFTAR PUSTAKA

Guze, Barry, 1997, Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.

Hidayat, A. A., 2002, Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah, Jakarta :
Penerbit Salemba Medika

Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., 1997, Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Pertama. Edisi Ketujuh.
Jakarta : Binarupa Aksara.

Keliat, B. A., kerja sama dengan Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK-UI,
Forum Komunikasi Keperawatan Jiwa Jakarta, Direktorat KesWaMas
Depkes RI, dan WHO, 2005, Modul BC-CMHN.

Keliat, B. A., Akemat, 2004, Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok.


Jakarta : EGC.

Kusuma, Widjaja., 1997, Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek. Jakarta :


Professional Books.

Maramis, W. F., 2005, Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan Kesembilan. Surabaya :


Airlangga University Pres.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta :


Rineka Cipta.

Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.

Purwaningsih, Wahyu., Karlina, Ina, 2009, Asuhan Keperawatan Jiwa :


Dilengkapi Terapi Modalitas dan Standard Operating Procedure (SOP).
Jogjakarta : Nuha Medika Press.

Rawlins, R.P., Williams, S. R., Beck, C. K., 1993, Mental Health Psychiatric: a
Holistic Life Cycle Approach. St. Louis : Mosby Year Book.

Riwidikdo, H., 2007, Statistik Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.

Setiadi, 2007, Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Yogyakarta : Graha


Ilmu.

Sunaryo, 2004, Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.


34

Supari, S. F., 2007, Psikososial, (online), available : http://depkes.go.id Diakses


28 September 2009.

Suryani, L. K., 2001, Skizofrenia, (online), available: http://www.gatra.com


Diakses 28 September 2009.

Stuart, G. W., Laraia, M. T., 2001, Principles and Practice of Psychiatric Nursing.
7th edition. St. Louis : Mosby Year Book.

Stuart, G. W., Sundeen, S. J., 2006, Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta:
EGC.

Townsend, Mary C., 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri : Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan. Edisi Ketiga.
Jakarta : EGC.

WHO, 2006, Kesehatan Jiwa, (online), available: http://www.mediaindonesia.com


Diakses 28 September 2009.

Wilson, H. S., Kneisl, C. R., 1992, Psychiatric Nursing. 4th edition. California :
Addison-Wesley.

Yosep, I., 2007, Keperawatan Jiwa Edisi I. Bandung: Refika Aditama.

You might also like