You are on page 1of 14

MAKALAH SOSIOLOGI

POLA INTERAKSI SOSIAL DI KAJANG

Oleh:
Kelompok
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas
hubungan interaksi (sosiologi).
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu
bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.

Bone,

Tim penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..
DAFTAR ISI .
BAB 1 PENDAHULUAN: ..
A. LATAR BELAKANG ..
B. RUMUSAN MASALAH ..
C. TUJUAN PENELITIAN ...
D. MANFAAT ...
BAB 2 ISI :
A. KOMUNITAS KAJANG DI TENGAH PERGULATAN ZAMAN
B. SOSIAL BUDAYA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) SUKU AMMATOA DI
DESA TANATOWA DISTRIBUSI .
C. MENOLONG ADALAH SALAH SATU POLA INTERKSI DI KAJANG ...
Faktor-Faktor yang Mmpengaruhi Perilaku Menolong
Munculnya Perilaku Menolong Masyarakat Suku Kajang
D. PROSES INTERAKSI SOSIAL ...
BAB 3 :
A. KESIMPULAN .
B. SARAN .
DAFTAR PUSTAKA ...

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman
Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di
Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu
dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa.
Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan
Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di
Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng.
Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan
segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat.
Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh
pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga
keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas menuturkan bahwa ,
masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di
dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah
tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan
satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka
menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan
para leluhur.
"Di dalam tidak ada kursi. Tidak ada kasur. Tidak ada kemoderan yang bisa
kita liat. Tidak ada lambang yang sifatnya elektronik dan segala macamnya.
Tidak ada elektronik, seperti radio dan televisi. Ini mengapa? Demi untuk
menjaga kelestarian lingkungan dengan alam lingkungan untuk tetap
terjalin. Terjalin hubungan komunikasi batin dengan paar leluhur, para
pendahulu. Yang paling utama hubungan dengan Tuhan."
Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh
pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang
harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Meskipun kini masyarakat Kajang sedikit terbuka terhadap pengaruh
budaya dari luar, hukum adat dan ajaran para leluhur tetap mereka pegang
teguh. Setiap pendatang yang ingin berkunjung ke Tana Toa tetap harus
mematuhi semua aturan adat yang berlaku. Untuk masuk ke wilayah Tana
Toa, Anda tidak boleh menggunakan sarana transportasi modern. Di area
Tana Toa, Anda diharuskan untuk berjalan kaki. Sebagai alternatif, Anda
hanya boleh menunggang kuda untuk mengelilingi Tana Toa.
Keseragaman dan kesederhanaan tidak hanya terlihat dari bentuk rumahnya.
Setiap hari, suku Kajang juga mengenakan pakaian yang warnanya sama.
Mereka selalu mengenakan pakaian bewarna hitam. Bagi mereka, hitam
melambangkan kesederhanaan dan kesamaan antar sesama masyarakat
Kajang. Oleh masyarakat Kajang, warna hitam juga dijadikan simbol agar
mereka selalu ingat akan dunia akhir atau kematian. Untuk menghadapi
kematian, setiap masyarakat Kajang harus mempersiapkan diri sebaik
mungkin sejak mereka dilahirkan. Mereka harus selalu berbuat baik, menjaga
alam, patuh terhadap perintah Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran leluhur.

Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus mematuhi


beberapa aturan adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh
membangun rumah dari kayu. Rumah tidak boleh dari batu bata ataupun
tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang diapit tanah. Sementara
rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu bata ataupun tanah,
meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan dianggap mati oleh
seluruh masyarakat Kajang.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu
pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan
berdasarkan tradisi leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu
mengikat setiap kegiatan mereka.

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan pokok masalah penelitian tersebut di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah
1. Untuk memahami karakteristik informan, dalam hal ini Komunitas Adat
Terpencil (KAT) Suku Ammatoa di Desa Tanatowa Kecamatan Kajang
Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Menggambarkan bentuk interaksi dalam kehidupan sehari-hari (keagamaan/
adat, pertanian dan kemasyarakatan) masyarakat Adat Ammatoa dengan
masyarakat luar.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dialami masyarakat Adat
Ammatoa dalam melakukan interaksi dengan masyarakat luar dan upaya
untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KOMUNITAS KAJANG DI TENGAH PERGULATAN ZAMAN


Interaksi sosial bagi komunitas lokal Kajang memang diketahui sejak dari
dulu mereka mengasingkan diri dari komunitas luar. Keteguhan mereka
untuk tetap mempertahankan tradisi dan falsafah hidup yang merupakan
warisan dari nenek moyang mereka masih tetap mereka pertahankan
sampai hari ini. Akibatnya mereka selalu distigma negatif oleh kalangan
masyarakat modern sebagai komunitas yang tidak berperadaban dan
tertinggal.
Kehadiran modernisasi telah membawa dampak ketidakberuntungan bagi
komunitas lokal Kajang. Modernisasi telah menjadi tolak ukur dalam menilai
kebudayaan masyarakat. Budaya lokal kajang dalam kaca mata modernisasi
dianggap dan dinilai sebagai budaya rendah, kolot, dan rigit. akibatnya
diskriminasi dan marjinalisasi mereka alami dikarenakan masyarakat lokal
Kajang dinilai terisolasi dari keramaian dan hiruk-pikuk kemajuan zaman. Apa
yang diistilahkan sebagai budaya rendah dan budaya tinggi yang merupakan
hasil kontruksi dari modernisasi juga telah berdampak pada komunitas Tana
Toa Kajang.
Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh dan cara pandang orang
Barat terhadap kebudayaan. Konsep Barat dalam melihat kebudayaan
sebagai keberadaban, sementara keberadaban dihubungkan dengan
modernitas, maka baginya komunitas yang beradab adalah komunitas yang
maju secara modern, sementara konsep budaya Sulawesi selatan lebih
mengarah pada adat-istiadat. Dalam peradaban modern adat istiadat
dianggap sesuatu yang bersifat kalasik bahkan primitive sehingga cenderung
untuk dijauhi, khususnya bagi kaum muda karena dianggap kontra
modernisasi. (Ahyar Anwar, 2010)
Seiring dengan perjalanan waktu, sikap hidup yang selama ini di jungjung
tinggi oleh komunitas adat Tana Toa Kajang tak luput dari gempuran
modernisasi, sejumlah toleransi dan kompromi terhadap masyarakat luar
yang modern telah mereka lakukan, interaksi antar komunitas adat dan
nonadat tak bisa terelakkan lagi, hal ini terjadi ketika pranata adat istiadat
dikerdilkan oleh nasionalisasi struktur pemerintah. Tak satupun wilahyah dan
komunitas di Tanah Air ini bebas dari relasi dan intervensi kekuasaan
pemerintah termasuk Tana Toa Kajang. Gurita Kekuasaan dan Kapitalisasi
Dalam kacamata modernisasi, prinsip hidup masyarakat Kajang
untuk tetap komitmen dalam hidup kamase-mase (keserderhanaan)
dianggap tidak sejalan dengan pola hidup modernisasi (baca: pembangunan
materil). Hidup kamase-mase bermula dari seorang pemimpin yang lebih
dikenal dengan sebutan Ammatoa, ketika ia sudah dinobatkan sebagai
pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual Tana Toa Kajang.
Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa
adanya tanpa harus mengejar materi.
Kamase-mase merupakan salah-satu prinsip hidup yang terkandung
dalam pasang ri Kajang, sebuah pesan yang sifatnya transendental dan
menurut keyakinan masyarakat Tana Toa Kajang datang dari To Rie Arana
(penguasa alam semesta). Pasang ri Kajang tersebutlah yang menjadi
pedoman dan prilaku hidup masyarakat Kajang dan juga didalamya
mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada
pemimpinnya. Kalau misalnya terjadi gagal panen atau musim paceklik,
maka orang yang pertama merasakan lapar adalah Ammatoa. Sebaliknya,
jika panen berhasil, maka para wargalah yang harus lebih dahulu
dipersilahkan untuk menikmatinya, Ammatoa kemudian belakangan.
Sikap kepemimpinan yang dicontohkan oleh komunitas di daerah
terpencil tersebut tentunya berbangding terbalik dengan sikap pemimpin
masyarakat pada umumnya. Jangankan para pemimipin, wakil rakyat saja
tidak sudi hidup jika rakyat lebih bersahaja dari pada dirinya,
Dalam dunia global, Kebudayaan local hanya dilestarikan oleh
pemerintah tapi dalam bentuk material dan hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan asing. dan dalam tatanan kehidupan tersebutlah,
sehingga komunitas Kajang didekati oleh komunitas luar, khususnya
kalangan wisatawan karena budaya mereka dianggap sebagai sesuatu yang
unik dan menarik untuk dikomersialkan dan juga bagi kalangan pemerintah,
keunikan budaya Kajang dan kehidupannya bisa menjadi sumber dan aset
APBD. Inilah sekelumit gambaran hidup komunitas Kajang ditengan arus
pergerakan zaman.

B. SOSIAL BUDAYA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) SUKU


AMMATOA DI DESA TANATOWA DISTRIBUSI
Terlihat Desa Tanatowa mempunyai penduduk yang relatif banyak.
Desa ini merupakan Desa yang sangat erat kaitannya dengan dengan
komunitas adat Ammatoa karena perkampungan pemimpin tertinggi adat
tinggal di Desa ini. Mata pencaharian masyarakat adat Ammatoa, pada
umumnya petani, peternak, sebagian kecil pedagang, pertukangan dan
pegawai. Lokasi sawah dan ladang mereka cukup jauh dari tempat
tinggalnya sekitar 1-7 km. Petani umumnya mengerjakan sendiri sawah
ladang mereka. Kaum perempuan pekerjaannya menenun kain (sarung dan
selendang) dengan bahan tenunnya berasal dari tanaman Tarum yang
mereka tanam sendiri. Alat tenun dan alat setrika dibuat dengan teknologi
yang sangat sederhana. Hasil tenun ini dapat dipasarkan langsung kepada
pembeli yang datang terutama turis asing dengan harga sekitar Rp. 250.00.
Mata pencaharian lainnya dari sektor pertanian adalah menanam komoditas
jangka panjang seperti kayu jati dan tanaman semusim seperti coklat, kopi,
merica, kelapa, durian, kapok, langsat, jambu mente, jambu putih, cengkeh.
Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang
berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini
terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau
arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka.
Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka menganggap,
persamaan itu sebagai simbol kebersamaan. Secara fisik tidak jauh beda
dengan rumah adat masyarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan
masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya.
Tanatowa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi di masa lampau. Seluruh
kehidupan di dunia termasuk manusia pada waktu itu masih dalam keadaan
liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang untuk membentuk sebuah
komunitas berikut segala aturan yang ada di dalamnya yang sampai saat ini
masih bertahan dan tetap dilestarikan oleh masyarakat adat.
Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo.
Bahasa Konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang
berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh Pasanga
Ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Dari
pesan inilah lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi diantara
mereka. Lebih dari itu adalah bentuk kasih sayang terhadap lingkungan
mereka. Implementasinya dapat kita lihat dengan adanya hukum adat yang
melarang mengambil hasil hutan dan isinya secara sembarangan.
Masyarakat adat Tanatowa sangat peduli terhadap lingkungannya terutama
pada kelestarian hutan yang harus tetap dijaga.
Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Tanatowa terikat oleh adat
yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat.
Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi
pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang
berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu lainnya adalah memasukkan
barang-barang buatan manusia yang tinggal di luar kawasan adat serta
pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya ke dalam kawasan adat Tanatowa.
Kehidupan masyarakat adat Tanatowa sangat sederhana, bahkan rumah
mereka pun sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga
berikut pintu masuk di bagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar,
yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di
sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung
filosofis bahwa Orang Kajang sangat memuliakan dapur sebagai sumber
kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang
ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.

C. MENOLONG ADALAH SALAH SATU POLA INTERKSI DI KAJANG


Perilaku menolong dapat dijelaskan dibeberapa macam teori yang
memandang dari mana timbulnya perilaku menolong itu.
a) Teori Psikoanalisis Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada
dasarnya agresif dan selfish (egois) secara instingtif. Dengan demikian,
beberapa tokoh psikoanalisis memandang altruisme sebagai pertahanan diri
terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri
sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang
lain.Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat
membuat kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), para tokoh psikoanalisis
tetap memandang pada dasarnya manusia bersifat selfish artinya manusia
itu makhluk yang egois, perilaku menolong itu muncul hanya karena suatu
defens mechanism untuk mempertahankan diri agar tetap eksis dan merasa
aman.
b) Teori BelajarKhususnya tokoh-tokoh aliran psikologi belajar yang
menekankan reinforcement seperti B.F. Skinner beranggapan bahwa kita
cenderung mengulangi atau memperkuat perilaku yang memiliki
konsekuensi positif bagi diri kita. Mengenai altruisme, mereka berpendapat,
bahwa di balik perilaku yang tampaknya altruisme sesungguhnya adalah
egoisme atau kepentingan diri sendiri. Hampir sama dengan pandangan
Psikoanalisa, Teori belajar juga mengganggap manusia adalah makhluk yang
selfish (egois). Hanya saja, menurut teori belajar, sifat altrusitik ataupun
selfish itu didapatkan dari lingkungan pembelajaran.
c) Teori norma sosial
Teori ini bersumber dari pola hubungan masyarakat yang dilihat dari
beberapa aspek, diantaranya:
Norma timbal balik, membalas pertolongan dengan pertolongan
Norma tanggung jawab sosial, menolong orang lain tanpa mengharapkan
balasan.
Norma keseimbangan, bahwa manusia memiliki perilaku menolong karena
untuk mempertahankan keseimbangan.
D. PROSES INTERAKSI SOSIAL
Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,
menganut atau bersandar pada Pasang (pesan). Pasang yang dimaksud
adalah pesan, amanat, perintah, yang bersifat memaksa dan mengikat
penganutnya. Oleh karena sifat itulah maka Pasang ini mempunyai sanksi
yang jelas dan tegas terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedudukan
Pasang jika coba diteliti lebih lanjut, maka akan tampak bahwa Pasang
-menurut penganutnya- setara kedudukannya dengan hadist dalam agama
Islam. Di mana diketahui bahwa hadist adalah ucapan dan perilaku nabi yang
dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, maka demikian pula halnya
dengan Pasang yang berlaku di masyarakat adat Kajang. Menurut
masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus
dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan
mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut hasil wawancara di kec.kajang kab.bulukumba kami dapat
menyimpulkan bahwa didesa ammatoa interaksi sosial sudah terjadi tetapi
hanya sesama orang desa saja karena untuk berinteraksi dengan warga desa
yang diluar kajang sedikit memiliki kesulitan, karena jika warga kajang dalam
ingin berinteraksi harus keluar desa terlebih dahulu. Karena budaya yang
dimiliki desa kajang dalam dengan desa kajang luar memilki kebudayaan
yang berbeda. Tetapi, menurut kami tidak menutup kemungkinan kalau
Budaya dari desa kajang dalam dapat berubah karena perkembangan zaman
serta pola interaksi masyarakat sekarang sudah dalam keadaan modernisasi.
Jadi, pola interaksi pun akan sangat berperan penting dalam proses ini. Pola
interaksi dari desa kajang hampir sama dengan pola interaksi di desa-desa
lainnya hanya yang membedakannya yaitu dari segi sanksi jika melanggar
aturan.

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
http://halilintar2011.blogspot.com/2011/01/komunitas-kajang-di-tengah-pergulatan.html
http://www.google.co.id/search?q=KAJANG&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
US:official&client=firefox-a&source=hp&channel=np#hl=id&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US%3Aofficial&channel=np&sclient=psy-
ab&q=komunitas+KAJANG&oq=komunitas+KAJANG&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=serp.3...11061
7l115179l5l116097l12l12l0l0l0l6l1074l6731l6-
5j2l7l0.frgbld.&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=677de01e954a280f&biw=1600
&bih=796
http://nayari-return.blogspot.com/2011/01/melihat-lebih-dekat-suku-kajang-di.html
http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/11/perilaku-menolong-altruisme-analisis-pada-
suku-kajang/
http://bambang-rustanto.blogspot.com/2010/04/komunitas-adat-ammatoa.html

You might also like