Professional Documents
Culture Documents
HERNIA IREPONIBEL
Pembimbing :
dr. H. Abdullah Djalaludin M, Sp.B
Disusun Oleh :
Stella Gracia Octarica
G4A014127
2017
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
HERNIA IRREPONOIBLE
Disusun oleh:
Telah disetujui
Pada tanggal Januari 2017
Pembimbing:
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hernia adalah prostrusi atau penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia dapat terjadi secara kongenital
maupun didapat (akuisita). Pada bayi atau anak-anak, hernia lebih sering disebabkan
karena prosesus vaginalis yang tidak menutup dengan sempurna, sedangkan pada orang
dewasa, kegemukan, beban berat, batuk kronis, kebiasaan mengejan saat buang air serta
riwayat keluarga dapat menjadi faktor pencetus terjadinya hernia (Sjamsuhidajat dkk.,
2010; Stead et al., 2003).
Kasus Hernia merupakan kasus bedah yang banyak terjadi disamping apendisitis
akut dan sering menimbulkan masalah-masalah penyerta. Hernia dapat terjadi akibat
kelainan kongenital maupun didapat. Dari hasil penelitian pada populasi hernia
ditemukan sekitar 10% yang menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya pada
pria. Hernia inguinalis lateralis merupakan hernia yang paling sering ditemukan yaitu
sekitar 50%, sedangkan hernia ingunal medialis 25% dan hernia femoralis sekitar 15%
(McLatchie dkk, 2013; .Oetomo, 2013).
Faktor resiko terjadinya hernia dikarenakan oleh kenaikan tekanan intra abdomen,
seperti: kerja berat, batuk kronis, dan konstipasi. Kondisi ini diperparah dengan krisis
ekonomi Indonesia, yang berakibat pada tingginya jumlah penduduk miskin Indonesia
hingga mencapai 35,7%, dimana sebagian besar merupakan pekerja berat. Hal ini
memperbesar kerentanan penduduk miskin menderita hernia (McLatchie, 2013).
Pertambahan usia juga berbanding lurus dengan tingkat kejadian hernia. Hernia
inguinalis lateralis dapat terjadi pada semua umur, namun paling banyak terjadi pada
usia antara 45 sampai 75 tahun (McLatchie, 2013).
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Isi
hernia dapat tertahan dalam kantong, pada hernia ireponibel ini dapat terjadi kalau isi
hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas omentum, organ ekstraperitonial. Disini tidak
timbul gejala klinis kecuali berupa benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh
cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata yang menimbulkan gejala obstruksi
usus. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia dan
selanjutnya dapat menyebabkan nekrosis.
3
Diagnosis penyakit Hernia Ireponible yang dapat berujung pada perforasi usus
harus ditegakkan secara cepat guna menghindari komplikasinya. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk menyusun tugas referat mengenai Hernia Ireponibel untuk
menambah pengetahun mengenai penyakit tersebut.
B. Tujuan
1 Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang definisi, penegakkan diagnosis, dan tatalaksana hernia
2 Tujuan khusus
Untuk mengetahui diagnosis dan tatalaksana hernia ireponibel
C. Manfaat
1 Manfaat teoritis
Menambah ilmu pengetahuan mengenai definisi, penegakkan diagnosis, dan
tatalaksana hernia, terutama hernia ireponibel.
2 Manfaat praktis
a Memberikan pengetahuan kepada tenaga kesehatan mengenai definisi,
klasifikasi diagnosis, dan tatalaksana hernia, terutama hernia ireponibel.
b Memberikan informasi kepada masyarakat tentang definisi, klasifikasi
diagnosis, dan tatalaksana hernia, terutama hernia ireponibel.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Secara umum hernia merupakan penonjolan (protrusi) isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Definisi yang banyak
dianut menyatakan hernia ialah penonjolan dari suatu struktur / bentuk, viscus atau
organ dari tempat yang seharusnya; protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia terdiri atas cincin,
kantong, dan isi hernia (McLatchie, 2013).
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan kejadiannya, hernia dibagi atas :
a. Hernia bawaan atau kongenital
Pada hernia kongenital, sebelumnya telah terbentuk kantong yang
terjadi sebagai akibat dari gangguan proses perkembangan intrauterine dan
paten prosesus vaginalis adalah salah satu contohnya (Sjamsuhidajat R. &
Wim de Jong 2010).
5
b. Hernia dapatan atau akuisita (L.: aquisitus: didapat), terdapat dua tipe hernia
akuisita yaitu:
a. Hernia reponibel
Bila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya menetap. Isinya
tidak serta merta mengalami protusi secara spontan, namun terjadi bila
disokong gaya gravitasi atau tekanan intraabdominal yang meningkat. Usus
keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau
didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus
(Sjamsuhidajat R. & Wim de Jong 2010).
Gambar 1. Hernia reponibilis, dimana isi kantong hernia tidak terjepit pada cincin
hernia.
b. Hernia Ireponibel
Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut.
Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum
kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta. Dapat juga terjadi karena
leher yang sempit dengan tepi yang kaku (misalnya pada: femoral dan,
umbilical). Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun sumbatan usus. Hernia
6
inkarserata adalah hernia ireponibel yang isinya terjepit oleh cincin hernia
dan terjadi gangguan pasase sehingga memberikan tanda-tanda ileus
obstruktif, sedangkan hernia strangulata adalah hernia ireponibel yang
disertai gangguan vaskularisasi. Gangguan vaskularisasi pada hernia
strangulata telah terjadi pada saat jepitan dimulai, dengan berbagai
tingkatan gangguan mulai dari bendungan, iskemia, hingga nekrosis. Pada
kondisi ini benjolan akan terasa nyeri, tegang, edema, bahkan
menunjukkan tanda infeksi (Sjamsuhidajat R. & Wim de Jong 2010).
7
Pada hernia strangulata vaskularisasi telah mengalami gangguan. Kejadian
patologis pertama yakni oklusi vena dan limfe. Oklusi vena menyebabkan
akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan pembengkakan lebih lanjut
dan terjadi perdarahan vena yang berkembang menjadi lingkaran setan, akhirnya
mengganggu aliran arteri. Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi
hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat
steril, tetapi strangulasi usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan
nekrosis yang terinfeksi (gangren). Mukosa usus yang terlibat dan dinding usus
menjadi permeabel terhadap bakteri, yang bertranslokasi dan masuk ke dalam
kantong dan dari sana menuju pembuluh darah. Usus yang infark dan rentan,
mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong hernia) dan cairan
lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritoneal menyebabkan
peritonitis. Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan kematian. Bila
strangulasi hanya menjepit sebagian dinding usus, hernianya disebut hernia
Richter. (Sabiston, 1995; Sjamsuhidajat R. & Wim de Jong 2010).
8
Gambar 5. Letak Hernia
b. Hernia Interna
Hernia Interna terjadi bila isi hernia masuk ke dalam rongga lain
(cavum thorax, cavum abdomen). Definisi lain menyatakan hernia sebagai
penonjolan organ intra abdominal melalui fossa atau lubang yang ada di
dalam rongga abdomen. Misalnya hernia epiploici winslowi (herniasi
viscera abdomen melalui foramen omentale), hernia bursa omentalis, hernia
mesenterica, hernia retroperitonealis, hernia diafragmatica. Diagnosis
ditegakkan dengan roentgen foto (Sjamsuhidajat R. & Wim de Jong 2010).
.
4. Berdasarkan Letaknya
a. Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis adalah prolaps sebagian usus ke dalam anulus
inguinalis di atas kantong skrotum, disebabkan oleh kelemahan atau
kegagalan menutup yang bersifat kongenital. Faktor yang dipandang
berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan
di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik,
hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan, sering
mengangkat benda berat, atau mengedan (Sabiston, 1995).
9
Gambar 6. Hernia Inguinalis
10
Hubungan dengan Lateral Medial
pembuluh darah
epigastric inferior
11
1) Terbukanya prosessus vaginalis pada anak. Insidensi pada anak
sebersar 1-2% dengan 10% kasus mengalami komplikasi
inkarserasi (Amanollahi et al., 2014).
2) Tekanan intraabdomen yang meningkat dapat karena batuk kronis,
konstipasi, asites, angkat beban berat, ataupun keganasan
abdomen.
3) Kelemahan otot dinding perut pada usia tua, kehamilan,
prematuritas, pembedahan insisi yang mengakibatkan hernia
insisional, overweight dan obesitas.
i. Pada orang sehat ada tiga mekanisme yang dapat mencegah
terjadinya hernia inguinalis, yaitu (Sjamsuhidajat dkk., 2010):
4) Kanalis inguinalis yang berjalan miring
5) Adanya struktur m. Obliquus internus abdominis yang menutup
annulus inguinalis internus ketika berkontraksi
6) Adanya fasia transversa yang menutupi segitiga Hesselbach yang
umumnya hampir tidak berotot
b. Hernia Femoralis
Hernia Femoralis terjadi bila kantong dan isi hernia masuk ke dalam
kanalis femoralis melalui annulus femoralis yang berbentuk corong sejajar
dengan vena femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada fossa
ovalis di lipat paha. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan benjolan lunak di
lipat paha di bawah ligamentum inguinale di medial vena femoralis dan
lateral tuberkulum pubikum (Sjamsuhidajat dkk., 2010).
Faktor penyebab hernia femoralis diantaranya peningkatan tekanan
intraabdomen, kehamilan, multipara, serta dapat pula dikarenakan
degenerasi jaringan ikat pada usia lanjut (Sjamsuhidajat dkk., 2010).
Berbeda dengan hernia inguinalis, hernia femoralis lebih banyak terjadi
pada perempuan (Janicki, 2006)
Secara patofisiologi peninggian tekanan intraabdomen akan
mendorong lemak preperitoneal ke dalam kanalis femoralis yang akan
menjadi pembuka jalan terjadinya hernia. Faktor penyebab lainnya adalah
kehamilan multipara, obesitas, dan degenerasi jaringan ikat karena usia
lanjut. Hernia femoralis sekunder dapat terjadi sebagai komplikasi
herniorafi pada hernia inguinallis, terutama yang memakai teknik Bassini
atau Shouldice yang menyebabkan fasia transversa dan ligamentum
12
inguinale tergeser ke ventrokranial sehingga kanalis femoralis lebih luas
(Sabiston, 1995).
13
Gambar 8. Hernia Femoralis
c. Hernia Umbilikalis
Hernia umbilikalis adalah hernia kongenital pada umbilikus yang
hanya tertutup peritoneum dan kulit akibat penutupan inkomplet dan tidak
adanya fasia umbilikalis. Angka kejadian hernia umbilikalis kira-kira
sebesar 20% pada bayi. Rata-rata hernia umbilikalis terjadi sebelum usia 6
bulan dan hilang dengan sendirinya sebelum usia 1 tahun. Bahkan diketahui
bahwa hernia yang berukuran besar (5-6cm) dapat menutup dengan
sendirinya saat usia 5 hingga 6 tahun (Sjamsuhidajat dkk., 2010; Janicki,
2006).
Hernia umbilikalis paling sering berisi omentum, tapi dapat pula
berisi usus. Umumnya hernia umbilikus jarang menjadi inkaserasi
(Sjamsuhidajat dk., 2010). Awalnya benjolan mungkin akan nampak kurang
jelas, peregangan akibat pertambahan usia membuat hernia semakin
membesar (Janicki, 2006).
14
Gambar 9. Hernia Umbilicalis
d. Hernia Epigastrik
Hernia epigastrika atau hernia alba adalah hernia yang keluar melalui
defek di linea alba antara umbilikus dan processus xiphoideus. Isi hernia
terdiri atas penonjolan jaringan lemak preperitoneal dengan atau tanpa
kantong peritoneum. Hernia ini biasanya kecil dan kebanyakan terjadi pada
bagian paling lebar dari linea alba antara processus xiphoideus dan
umbilicus. Hernia ini kebanyakan terjadi pada pekerja manual usia
pertengahan (Sabiston, 1995).
e. Hernia Lumbalis
Hernia ini dapat terjadi secara kongenital, didapat primer maupun
didapat sekunder dari insisi bedah. Hernia didapat melalui insisi pada
pendekatan lumbal menuju ginjal adalah hal yang tidak jarang terjadi;
15
bagaimanapun juga, dengan bedah ginjal terbuka, hal ini menjadi
berkurang. Hernia lumbalis yang terjadi melalui titik anatomis yang lemah
pada regio lumbalis (segitiga lumbal superior dan inferior) adalah jarang
(Sabiston, 1995).
Hernia lumbalis menempati dinding perut bagian lateral, contohnya
hernia sikatriks pada bekas luka operasi ginjal, hernia di trigonum lumbale
inferior Petit, dan trigonum lumbale superior Grijnfelt. Hernia di trigonum
lumbale jarang ditemukan (Sabiston, 1995).
f. Hernia Obturatoria
Hernia obturatoria ialah hernia melalui foramen obturatorium. Kanalis
obturatorium merupakan saluran yang berjalan miring ke kaudal yang
dibatasi di kranial dan lateral oleh sulkus obturatorius os pubis, di kaudal
oleh tepi bebas membran obturatoria, m.obturatorius internus dan eksternus.
Di dalam kanalis obturatorius berjalan saraf, arteri, dan vena obturatoria.
Pada kondisi ini, herniasi terjadi sepanjang kanalis obturatorium, yang
membawa Nervus obturatorium dan pembuluh darah keluar dari pelvis. Ini
paling sering terjadi pada perempuan tua yang frail. Hernia bermula sebagai
sumbat pre-peritonium dan secara bertahap memebesar, membawa serta
sakus peritonium bersamanya. Loop usus dapat masuk ke dalam sakus
peritoneum bersamanya (Sabiston, 1995).
16
Hernia obturatoria dapat berlangsung dalam empat tahap. Mula-mula
tonjolan lemak retroperitoneal masuk ke dalam kanalis obturatorius (tahap
1), disusul oleh tonjolan peritoneum parietale (tahap 2). Kantong hernia ini
mungkin dibatasi oleh lekuk usus (tahap 3) yang dapat mengalami
inkarserasi parsial atau total (Sabiston, 1995).
17
aponeuresis m. transversus abdominis tepat di lateral dari pinggir lateral
vagina m. recti abdominis. Letaknya biasanya tepat di bawah umbilicus.
Biasanya dijumpai pada usia 40-70 tahun, tanpa perbedaan antara lelaki dan
perempuan, biasanya terjadi di kanan, dan jarang bilateral. Tidak ada faktor
patogenesis yang spesisfik (Sabiston, 1995).
h. Hernia Perinealis
Hernia perinealis merupakan tonjolan hernia pada perineum melalui
defek dasar panggul yang dapat terjadi secara primer pada perempuan
multipara, atau sekunder setelah operasi melalui perineum seperti
prostatektomi atau reseksi rektum secara abdominoperineal. Hernia keluar
melalui dasar panggul yang terdiri atas m.levator anus dan
m.sakrokoksigeus beserta fasianya dan dapat terjadi pada semua daerah
dasar panggul. Hernia perinealis biasanya dibagi atas hernia anterior dan
hernia posterior. Hernia labialis yang bukan merupakan hernia inguinalis
lateralis, hernia pudendalis, dan hernia vaginolabialis, termasuk hernia
perinealis anterior, sedangkan hernia isiorektalis dan hernia retrorektalis
termasuk hernia perinealis posterior (Sabiston, 1995).
18
Gambar 14. Hernia Bochdalek, Morgagni, Diaframatika
C. Penegakkan Diagnosa
Diagnosis hernia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan pada saat
pemeriksaan fisik (Leblanc et al., 2013). Pasien biasanya mengeluhkan adanya benjolan
di regio tertentu sesuai tempat terjadinya yang dapat disertai dengan rasa tidak nyaman.
Pada hernia inguinalis lateralis benjolan berada di regio inguinalis yang berjalan dari
lateral ke medial, biasanya tonjolan berbentuk lonjong, sedangkan pada hernia
inguinalis medialis, tonjolan biasanya terjadi bilateral berbentuk bulat. Apabila benjolan
terlihat sampai skrotum dan terlihan seperti tonjolan lanjutan dari hernia inguinalis
lateralis, disebut hernia skrotalis. Benjolan juga dapat ditemukan di bawah ligamentum
inguinal pada hernia femoralis, di linea alba pada hernia epigastrika, dan di umbilikal
pada hernia umbilikalis (Ellis and P-Brown, 2006; Burhitt and Quick, 2003).
Nyeri yang disertai mual atau muntah dapat dirasakan apabila hernia telah
mengalami inkarserasi dan strangulasi. Pada beberapa kasus, pasien dapat merasakan
parestesia, gejala yang ditimbulkan akibat penekanan atau iritasi nervus inguinal
(Janicki, 2006).
19
Tabel 2. Gejala komplikasi Hernia
20
Gambar 11. Finger Test
2. Siemen test
Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan
tuberculum pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian
medialis dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien
diminta mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau
annulus inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis (Grace dan Borley,
2006).
21
Diagnosa hernia secara dini sangatlah penting untuk dilakukan tindakan
pembedahan sehingga dapat mencegah terjadinya hernia inkarserata ataupun hernia
strangulata. Angka kemungkinan terjadinya hernia strangulata adalah 2,8% setelah tiga
bulan muncul dan 4,5% setelah dua tahun (Anon, 2007; Scwartz et al., 2000).
22
Tabel 3. Penegakkan Diagnosis Hernia Jenis Lainnya
Jenis Hernia Anamnesis Pemeriksaan fisik
Hernia Benjolan di lipat paha (dibawah Benjolan lunak di lipat paha di
Femoralis ligamentum inguinal) muncul saat bawah ligamentum inguinale di
tekanan intraabdomen seperti medial v. Femoralis dan lateral
mengangkat barang atau batuk. tuberkulum pubikum.
Benjolan ini hilang pada waktu
berbaring
Hernia Penonjolan yang mengandung isi
Umbilikalis rongga perut melalui cincin umbilikus
akibat peninggian tekanan
intraabdomen, biasanya ketika bayi
menangis. Hernia umumnya tidak
menimbulkan nyeri dan sangat jarang
terjadi inkarserasi
Hernia Perut kurang enak dan mual. Saat Hernia dapat dilihat jika pasien
Epigastrika adanya gejala, terjadi dua tipe : diletakkan dalam posisi sedikit
- Nyeri lokal sering dicetuskan oleh oblik. Teraba pembengakakan pada
aktivitas fisik yang berlebihan daerah garis tengah dan biasanya
- Rasa sakit yang dapat didefinisikan lunak dan ireponibel.
berlokasi di epigastrium, sering
memburuk setelah makan (tegangan
pada perut dapat menstrangulasi
isinya), dan gambaran klinis dapat
menyerupai ulkus peptikum.
Hernia Pembengkakan di daerah lumbal, Tampak dan teraba benjolan di
Lumbalis yang berhubungan dengan rasa sakit pinggang dan tepi bawah tulang
yang tidak nyaman. Biasanya ada rusuk XII atau di tepi kranial
rangasangan dari batuk dan massa panggul dorsal. Hernia lumbalis
yang reponibel. menempati dinding perut bagian
lateral, contohnya hernia sikatriks
pada bekas luka operasi ginjal,
hernia di trigonum lumbale inferior
Petit, dan trigonum lumbale
superior Grijnfelt.
Hernia Keluhan nyeri seperti ditusuk-tusuk Pada colok dubur atau pemeriksaan
Obturatoria dan parestesia di daerah panggul, vaginal dapat ditemukan tonjolan
lutut, dan bagian medial paha akibat hernia yang nyeri yang merupakan
penekanan pada n.obturatorius (tanda tanda Howship-Romberg
Howship-Romberg) yang
patognomonik.
Hernia Biasanya ada pembengkakan Tampak dan teraba benjolan di
Perinealis perineum dan rasa tidak nyaman saat perineum yang mudah keluar
duduk. Massa yang lunak ditemukan masuk dan jarang mengalami
pada perineum, yang biasanya inkarserasi. Pintu hernia dapat
reponibel diraba secara bimanual dengan
pemeriksaan rektovaginal. Dalam
keadaan ragu-ragu dapat dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi
23
D. Penatalaksanaan Hernia Ireponibel
Penatalaksaan hernia secara umum yang dapat dilakukan berupa tindakan
konservatif dan operatif. Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan
reposisi dan pemakaian alat penyangga, tindakan ini dapat dilakukan sebagai
pengelolaan sementara, misalnya pemakaian korset pada hernia ventralis. Sementara
itu, pada hernia inguinalis pemakaian korset tidak dianjurkan karena selain tidak dapat
menyembuhkan, alat ini dapat melemahkan otot dinding perut (Sjamsuhidajat dkk.,
2010).
Reposisi tidak dilakukan pada hernia strangulata kecuali pada anak-anak.
Reposisi dilakukan secara bimanual dimana tangan kiri memegang isi hernia dengan
membentuk corong dan tangan kanan mendorong isi hernia ke arah cincin hernia
dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi. Pada anak-anak
reposisi spontan lebih sering terjadi dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang
terjadi dibanding orang dewasa, hal ini dikarenakan cincin hernia pada anak-anak
masih elastis dibanding dewasa. Reposisi dilakukan dengan cara menidurkan anak
dengan pemberian sedatif dan kompres es di atas hernia. Bila usaha reposisi ini berhasil
maka anak akan dipersiapkan untuk operasi berikutnya. Jika reposisi tidak berhasil
dalam waktu enam jam maka harus dilakukan operasi sesegera mungkin (Sjamsuhidajat
dkk., 2010).
Meskipun indikasi operasi telah ada sejak diagnosis ditegakkan, tidak seluruh
kasus hernia mengharuskan tindakan operatif. Pasien yang telah menunjukkan tanda
dan gejala inkarserata ataupun strangulata, hernia berukuran besar, atau hernia yang
bersifat rekuren sebaiknya dilakukan operasi untuk perbaikan hernia, sebaliknya hernia
yang pertama kali terjadi, bersifat asimtomatik, dan berukuran kecil tidak memerlukan
tindakan operatif (Leblanc et al., 2013).
Menurut Agency for Healthcare Research and Quality (2013), tujuan utama
dilakukannya tindakan pembedahan atau operasi pada hernia yaitu untuk mencegah
strangulasi, memperbaiki hernia, meminimalisasi kemungkinan terjadinya hernia
rekuren, mengembalikan pasien untuk dapat beraktivitas normal dengan segera serta
meningkatkan kualitas hidup.
Menurut Vincent and Singh (2000), terdapat dua macam teknik operasi perbaikan
hernia yaitu operasi konvensional dan operasi modern (laparoskopi). Secara umum
24
tindakan operatif yang dapat dilakukan pada hernia yaitu, terhadap kantong hernia
dapat dilakukan herniotomi dan herniektomi, terhadap cincin dan lokus minoris hernia
dapat dilakukan hernioplasti dan herniorafi, sedangkan terhadap isi hernia apabila isi
hernia masih baik dapat dilakukan reposisi dan apabila isi hernia telah mengalami
nekrosis dapat dilakukan reseksi.
1 Herniotomi
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, mamasukkan
kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan memotong
kantong hernia. Tujuannya adalah untuk memutus hubungan antara kavitas
abdomen dengan area benjolan. Herniotomi banyak dilakukan pada bayi dan
anak-anak. Berbeda dengan orang dewasa, pada anak-anak biasanya tidak
dibutuhkan tindakan untuk memperbaiki kelemahan dinding abdomen (Javid and
Brooks, 2007; Holland, 2012).
Teknik operasi herniotomi adalah sebagai berikut (Zumaro, 2009):
a. Penderita dalam posisi supine dalam anestesi umum, spinal, atau lokal
anestesi
b. Dilakukan aseptik dan antiseptik pada lapangan operasi
c. Lapangan operasi ditutup dengan duk steril
d. Dilakukan insisi oblique atau skin crease sejajar ligamentum inguinal
e. Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis Muskulus Obliqus Externus
(MOE)
f. Aponeurosis MOE dibuka secara tajam
g. Funikulus spermatikus diluksir dan kantong hernia diidentifikasi
h. Isi hernia dimasukkan ke dalam cavum abdomen, kantong hernia dipotong
secara transversal
i. Kantong hernia diligasi setinggi lemak preperitonium
j. Luka kemudian ditutup dan dilakukan penjahitan
2 Herniektomi
Herniektomi merupakan tindakan operatif yang dilakukan dengan cara
memotong kantong hernia hingga ke lehernya serta membuang kantong hernia
tersebut.
3 Hernioplasti
Menurut Sjamsuhidajat dkk. (2010), hernioplasti merupakan tindakan
memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan
memperkuat fasia transversa, atau menjahitkan pertemuan otot transversus
internus abdominis dan otot oblikus internus abdominis atau conjoint tendon.
Menurut Roy (2011), hernioplasti merupakan tindakan herniektomi yang diikuti
dengan rekonstruksi kanalis inguinalis menggunakan mesh. Sehingga herniorafi
25
merupakan tindakan memperkecil cincin hernia yang dapat dilakukan dengan
jahitan langsung ataupun menggunakan mesh.
Telah banyak uji klinik random yang menggambarkan keunggulan hasil
yang dapat diperoleh dengan berbagai teknik mesh, dan meta-analisis secara jelas
menunjukkan bahwa pemakaian mesh mengurangi kekambuhan antara 30%
sampai 50%, tanpa memperhatikan cara pemasangannya (apakah terbuka atau
teknik laparaskopi). Penggunaan mesh juga mengurangi waktu operasi dan lama
rawat inap serta telah menjadi standar praktis diseluruh dunia (Hung, 2007).
Namun penggunaan mesh untuk operasi bersih terkontaminasi seperti herniorafi
pada kasus hernia inguinalis inkarserata masih diragukan keamanannya (Klinge
et al., 2002).
4 Herniorafi
Menurut Javid and Brooks (2007), herniorafi merupakan tindakan yang
terdiri dari herniektomi dan hernioplasti. Pada herniorafi dilakukan tindakan
mamasukkan kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta memotong
dan membuang kantong hernia dan dikuti oleh tindakan mempersempit cincin
inguinal interna dan memperkuat dinding posterior kanalis inguinalis (Javid and
Brooks, 2007; Shouldice, 2003).
26
BAB III
KESIMPULAN
1. Hernia merupakan penonjolan (protrusi) isi suatu rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan.
2. Klasifikasi hernia dibagi berdasarkan kejadian, sifat, arah, dan letak.
3. Menurut sifatnya, hernia dibagi menjadi hernia reponibel dan ireponibel. Dimana pada
hernia ireponibel isi hernia tidak dapat direposisi kembali masuk ke dalam rongga perut.
4. Hernia ireponibel dapat dibagi menjadi hernia inkarserata dan hernia strangulata.
5. Diagnosa hernia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
6. Tindakan konservatif dengan reposisi tidak dapat dilakukan pada hernia strangulata,
kecuali pada anak-anak dengan pemberian sedatif.
7. Tindakan yang dapat dilakukan adalah tindakan operatif hernia dapat berupa herniotomi,
herniektomi, hernioplasti, dan herniorapi, yang dapat dilakukan secara konvensional
(operasi terbuka) maupun dengan laparoskopi.
DAFTAR PUSTAKA
27
Agency for Healthcare and Quality. 2013. Surgical Management of Inguinal Hernia. Effective
Health Care Program, 12(13): EH091-3.
Amanollahi, O., Diaz D.N., and Moetamedi V. 2014. New Technique for Herniotomy in
Children-Clinical Trial. Science Publishing Group, 2(1): 1-4.
Bullock, S., Hales, M. 2013. Principles of Pathophysiology. Australia : Pearson Grup
Burney, R., 2012. Inguinal Hernia. https://online.epocrates.com/u/2911723/ Inguinal+hernia
(diakses: 30 April 2013)
Courtney, M. 2004. Hernias. Sabiston Textbook of Surgery. 17th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Ellis, B.W. and S. P-Brown. 2006. Emergency Surgery XXIII ed. Hodder Arnold.
Grace, P. A., Borley, N. R. 2006. At Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Erlangga
Holland, A.J.A. 2012. Inguinal Herniotomy. North Shoe Paediatric Surgery.
Hung, L.A.U. 2007. Inguinal Hernia Repair: Which Operation for Your Patients?. CME
Bulletin The HongKong Medical Association, April: 2-8.
Javid, P.J. and D.C. Brooks. 2007. Maingots Abdominal Operation 11th ed. London: Prentice
Hall International.
Leblanc, K.E., Leblanc L.L., and Leblanc K.A. 2013. Inguinal Hernias: Diagnosis and
Management. American Academy of Family Physicians, 87(12): 844-848.
McLatchie, G., Borley, N., Chikwe, J. 2013. Oxford Handbook of Clinical Surgery. United
Kingdom : Oxford University Press
Oetomo, K. S. 2013. Hernia. Surabaya : RSU Haji Surabaya
Roy, Himansu. 2011. Short Textbook of Surgery. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers.
Schwartz et al. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah ed 6. Jakarta: EGC.
Shalaby, R., R. Ibrahem, M. Shahin, A. Yehya, M. Abdelrazek, I. Alsayaad, and M.A.
Shouker. 2012. Laparoscopic Hernia Repair versus Open Herniotomy in Children: A
Controlled Randomized Study. Hindawi Publishing Corporation. 484135.
Shouldice, B.E. 2003. The Shouldice Repair for Groin Hernias. Surgical Clinics of North
America, 83:1163-1187.
Simons, M.P., T. Aufenacker, M. Bay-Nielsen, J.L Bouillot, G. Campanelli, J. Conze, et al.
2009. European Hernia Society Guidelines on the Treatment of Inguinal Hernia in
Adult Patients. Springer, 13(July):343-403.
Sjamsuhidajat R. & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC.
28
Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja W., Prasetyono T.O.H. dan Rudiman R. 2010. Buku Ajar
Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC.
Tjandra, J. J., Clunie, G. J. A., Kaye, A H., Smith, J. A. 2006. Textbook of Surgery 3rd
Edition. United Kingdom : Blackwell Publishing
Vincent P.J. and Singh Y. 2000. Modern Management of Inguinal Hernia. Medical Journal
Armed Forces India, 56(4): 323-327.
Zumaro, A. 2009. Perbedaan Angka Kejadian Infeksi Luka Operai Herniorafi Teknik
Lichtenstein Menggunakan Mesh Monofilamen Makropori dengan Herniorafi Teknik
Shouldice pada Operasi Hernia Inkarserata. Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro.
29