You are on page 1of 8

A.

CONTOH KASUS

TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menerima laporan kekerasan terhadap anak di


Depok, Jawa Barat. MH, 8 tahun, dilaporkan sering dianiaya kedua orang tuanya dan
memutuskan untuk kabur dari rumah, pekan lalu.

"Sudah diterima laporannya di Polres Depok Jumat kemarin," ujar juru bicara Polda
Metro Jaya, Kombes Rikwanto, Senin, 26 Agustus 2013. Rikwanto menyatakan, laporan
diterima polisi setelah beberapa saksi melihat korban linglung usai dianiaya kedua orang
tuanya.

Saksi yang menemukan korban di sebuah pusat perbelanjaan di Depok, mendapat cerita
korban sering dipukul menggunakan bambu oleh ayahnya. Polisi bergerak cepat. Mereka
mendatangi rumah korban dan menyita bambu yang diduga digunakan untuk memukul
korban.

Dari tubuh korban terlihat bekas kekerasan, seperti memar di punggung akibat pukulan
dan luka ringan di telinga akibat sering mendapat jeweran.

Namun, hingga kini kedua pelaku, SA (40 tahun) dan D (38 tahun), tidak ditahan.
Alasannya, pelaku masih memiliki tanggungan anak yang lain. "Ada empat anak, paling
besar 12 tahun," ujar Rikwanto.

Proses hukum kasus ini masih berjalan. Korban MH kini tinggal di tempat perlindungan
kasus kekerasan anak. Bila terbukti bermasalah, kedua orang tua korban terancam pidana
tiga setengah tahun karena melanggar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.

Melihat permasalahan diatas maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan tersebut :

- Melanggar hak asasi manusia karena korban dalam keadaan tidak berdaya dan
adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
- Merupakan penganiayaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
- Merupakan pelanggaran etis dalam hal nilai-nilai moral.
- Merupakan kelalaian orang tua dalam mendidik moral dan mental anak.

B. PEMECAHAN MASALAH
- Pandangan Islam Terhadap Kekerasan pada Anak

Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan


kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak
identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak
karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin
Basr al-Mazni ra. yang berkata, Aku pernah diutus ibuku dengan membawa
beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku
memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi
Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, Wahai Penipu.
Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya
kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik.
Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-
standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya
dapat bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.
Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan
kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses.
Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal
karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang
harmonis dengan anak.
Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman
merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa
lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun
suri teladan.
Islam membolehkan melakukan tindakan fisik sebagai tadb (tindakan
mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-Ash menuturkan bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda:

Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia


tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap
enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk
anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun.
Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak
diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam
masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang
berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan
ancaman.
Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud
pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas bersyarat, yaitu:
pukulan yang dilakukan dalam rangka tadb (mendidik, yakni agar tidak
terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan
dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak
sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian
tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali,
diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang
berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul
kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya
serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah saw. pernah
bersabda, Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai.
Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul)
untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada
Allah. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-
Mufrad).

- Pandangan Hukum Terhadap Kekerasan pada Anak

Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejateraan Anak


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ini
secara keseluruhan mengatur tentang anak, khususnya di bidang
kesejahteraan. Undang-undang ini terdiri 5 (lima) BAB dan 6 (enam pasal).[2]
Ada beberapa pasal yang dapat dikaitkan dengan anak dalam hubunganya
dengan pelindungan anak dalam keluarga meskipun tidak secara langsung,
yaitu berkaitan dengan anak yang mengalami tindak kekerasan dalam
keluarga. Ketentuannya terdapat dalam:
BAB I: Ketentuan Umum
1. Pasal 1 ayat (2):
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum pernah kawin.

Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan
pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan
sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada
umur tersebut.
Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainya, dan tidak pula mengurangi
kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia menpunyai kemampuan
untuk itu berdasarkan hkum yang berlaku.
2. Pasal 1 ayat (7):
Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orangtuanya melalaikan
kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar
baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap


anak dalam keluarga. Penelantaran anak merupakan sikap dan perlakuan
orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses
tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga,
atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan
sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau
masyarakat. Contohnya, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi
kepentingan ekonomi, sosial atau politik, tanpa memperhatikan hak-hak anak
untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis,
dan status sosialnya.

BAB II: Hak Anak


Pasal 2
Ayat (1): anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbimngan
berdasarkan kasih saying baik dalam keluarga maupun di dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

Ayat (2): anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk
menjadi warga negara yang baik dan berguna.

Ayat (3): anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.

Ayat (4): anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar.

BAB III: Kewjiban Orang Tua Terhadap Kesejahteraan Anak


Pasal 9
Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani ataupun sosial.
Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini
mengatur tentang Hak Asasi Manusia termasuk hak-hask asasi anak.Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini terdiri dari XI
(sebelas) BAB, dan 106 (seratus enam) Pasal.
Pada bab II, tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia,
bagian ke sepuluh berisi ketentuan mengenai hak anak. Hak anak dalam
Undang-undang ini diatur dari pasal 52 sampai dengan 66. Berkenaan dengan
perlindungan hukum terhadap anak dalam Undang-undang ini diatur beberapa
pasal, yaitu:
Pada bab I: Ketentuan Umum.
Pasal 1:
Ayat (5): Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Batas umur 18 (delapan belas) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan
pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan
sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada
umur tersebut.
Batas umur 18 (delapan belas) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainya, dan tidak pula mengurangi
kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia menpunyai kemampuan
untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.
Pada bab III: Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia.
Bagian Kesepuluh, mengenai Hak Anak
1. Pasal 52
Ayat (1): setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga,
masyarakat, dan negara.

Ayat (2): hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak
anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik atau mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupanya dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa,
dalam bernegara.
Pasal 58
Ayat (1): setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan
segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelentaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau
pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut.
Ayat (2): dalam hal orangtua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bruk, dan
pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap
anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan
tanggungjawab orangtua, keluarga dan masyarakat, pemerintah, dan Negara
untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu Undang-
undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab tersebut. Dengan demikian,
pembentukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala
aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan bangsa dan bernegara.

- Pandangan Etis Terhadap Kekerasan pada Anak

Kekerasan dapat diartikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri


pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan ketika kekerasan
dilakukan terdapat unsur dominasi suatu pihak kepada pihak lain. Dominasi
ini muncul dalam berbagai bentuk seperti fisik, moral, psikologis, hingga
gambar.

Kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang
memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan
entah dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan
menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan
yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai kejahatan yang diderita
manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain.
Kekerasan pada anak termasuk perbuatan yang disebabkan banyak faktor
seperti adanya media masa, pertengkaran atau permasalahan orang tua.
Kekerasan pada anak juga dapat mengakibatkan gangguan mental pada anak.
Perilaku tersebut juga tidak patut untuk diperlihatkan oleh anak kecil karena
dapat ditiru. Kekerasan dapat dihindari dengan tidak melihat acara atau
membaca dan melihat gambar yang mengandung unsur kekerasan pada media
apapun. Sebagai orangtua juga harus memperbanyak pengetahuan bahaya dari
kekerasan terhadap anak.
C. KESIMPULAN

Kekerasan dapat diartikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada
kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Kekerasan pada anak
dapat menganggu mental anak. Kekerasan terhadap anak juga dilarang dalam segi
agama,hukum dan etis.

D. SARAN

Maraknya kekerasan pada anak usia dini di Indonesia telah menjadi penyebab
semakin rendahnya moral bangsa ini. Terutama untuk orang tua yang telah
menganiaya anaknya.Sebagai orangtua harus menambah wawasan tentang
bagaimana mendidik anaknya dengan baik dan jugapengaruh buruk jika
melakukan kekerasan pada anak.
PEMECAHAN MASALAH ETIS TENTANG
KASUS KEKERASAN PADA ANAK USIA DINI

Nama : Hana Muzdalifah


NIM : P1337420614014
Prodi : DIV Keperawatan
Semarang

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN AJARAN 2014/2015

You might also like