You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
ADMINISTRASI PERTANAHAN MASA DEPAN

A. Administrasi Pertanahan Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan


Sistem administrasi pertanahan (land administration Systems) dibuat untuk
menangani masalah pertanahan dengan cara menyediakan suatu infrastrukur dasar
untuk menerapkan kebijakan pertanahan dan strategi manajemen pertanahan untuk
menjamin persamaan sosial
mencapai pertumbuhan ekonomi
membangun perlindungan lingkungan
Fokus utama membangun kapasitas administrasi pertanahan modern adalah
membangun sumber daya manusia dan lembaga pengelola admiistrasi pertanahan.
Sistem administrasi yang sukses dan mendorong agar informasi pertanahan
bekerja demi manajemen emerjensi, perlindungan lingkungan, pembuatan
keputusan ekonomi,dan lain sebagainya.

langkah-langkah untuk
memperbaiki administrasi pertanahan harus diambil
1. Memperjelas dasar hukum atas kepemilikan tanah. Ada banyak peluang
bagi Indonesia untuk memecahkan berbagai hambatan yang menyebabkan
para pelaku ekonomi tidak dapat memperoleh hak yang pasti atas tanah
mereka. Penyelesaian masalah ini akan membuat masyarakat dapat
memanfaatkan secara penuh keuntungan dari tanah yang mereka miliki, dan
memberikan insentif atas penggunaan tanah secara berkelanjutan.
Memperkenalkan pengakuan hukum atas kepemilikan, serta
memperbolehkan bukti non-dokumenter sebagai basisnya. Masyarakat yang
telah mengelola suatu lahan dalam waktu yang lama, umumnya telah
menginvestasikan waktu dan sumber daya mereka pada tanah tersebut. Tetapi,
hanya pemilik tanah yang mempunyai bukti kepemilikan yang dapat
menerima perlidungan hukum, walaupun sertifikasi pertanahan Indonesia
hanya mencakup 20% dari lahan yang ada. Pengakuan atas kepemilikan
berdasar penempatan lahan, serta berbagai bukti informal lainnya, seperti
bukti pembayaran pajak ditambah dengan pengakuan dari para tetangga,
misalnya, dapat meningkatkan jaminan terhadap kepemilikan oleh
masyarakat miskin.
Hal ini juga dapat menjadi dasar untuk memformalisasikan jutaan pengalihan
lahan secara informal, sehingga dapat mengurangi sumber konflik dan
meningkatkan insentif dalam mendukung investasi pada sumber daya tanah
yang tersedia. Jika dijalankan, program ini akan memberikan hasil yang jauh
lebih tinggi daripada program pendataan tanah secara formal yang
berlangsung saat ini.
Memperbolehkan kepemilikan lahan oleh komunitas. Dalam banyak kejadian,
aturan adat dalam penggunaan tanah adat tidak lagi mencukupi dalam
memecahkan masalah pertanahan. Saat ini, satu-satunya cara untuk menjamin
status kepemilikan atas tanah adat adalah dengan merubahnya menjadi
kepemilikan pribadi, yang biaya surveynya sering tidak terjangkau oleh
kebanyakan orang. Bahkan di Meksiko, yang pendapatan per kapitanya
mencapai 8 kali Indonesia, 50% dari keseluruhan lahan masih dimiliki oleh
komunitas, walaupun banyak yang juga mempunyai status hak penggunaan
oleh individual sebelum kemudian diproses menjadi hak kepemilikan.
Mengakui kepemilikan tanah oleh komunitas dapat memberikan
perlindungan dari pihak luar, meningkatkan insentif investasi dan dapat

menjadi mekanisme yang tepat untuk peralihan kepada hak milik individual
jika diperlukan.
Memberikan kesempatan untuk memiliki lahan bekas hutan. Sekitar 70%
area tanah di Indonesia merupakan lahan hutan yang tidak dapat dimiliki
oleh perorangan. Diperkirakan banyak lahan hutan tersebut yang kualitasnya
telah menurun. Untuk memperbaikinya dibutuhkan investasi dan
pengelolaan. Walaupun pemberian kepemilikan atas lahan tersebut bukan
merupakan solusi ajaib (terutama dalam kondisi dimana alokasi awal tidaklah
merata), hal tersebut dapat menjadi basis bagi pengelolaan yang lebih
bertanggung jawab. Pemberian kepemilikan juga dapat menanggulangi
masalah kurang jelasnya deskripsi mengenai area kehutanan yang dalam
banyak kasus semakin membuat rumit masalah, dan bersamaan dengan
terpisahnya tanggung jawab BPN dan Departemen Kehutanan, akan
membawa bahaya duplikasi.
2. Menciptakan sistem pertanahan yang lebih memenuhi kebutuhan
masyarakat ekonomi modern. Bersamaan dengan pembangunan ekonomi
di Indonesia, banyak tuntutan yang tidak lagi dapat dipenuhi oleh sistem
pengelolaan pertanahan yang ada.
Memisahkan pemberian hak atas tanah dengan penggunaan lahan.
Penggunaan tanah di Indonesia harus sesuai dengan izin yang ditetapkan
pada hak atas tanah yang diberikan. Perubahan penggunaan lahan
membutuhkan pengurusan hak baru yang melibatkan proses birokratis yang
panjang dan dapat menjadi sumber korupsi dan salah kelola. Untuk
menanggulangi masalah ini, diperlukan pemisahan fungsi-fungsi teknis,
seperti pencatatan, dari aspek politis seperti alokasi pertanahan. Perubahan
terhadap masalah ini juga harus memasukan provisi yang memperbolehkan
perusahaan untuk memiliki tanah, sehingga dapat membantu pengembangan
pasar untuk pinjaman dan surat berharga lainnya, seperti hipotek.
Memperkuat fasilitas hipotik dan berbagai macam fasilitas surat berharga
lainnya. Di Indonesia, kreditor sulit mendapatkan kembali tanah dan jaminan
lainnya apabila mengalami gagal bayar, tanpa adanya intervensi dari
pengadilan, yang biayanya tinggi dan sulit didapat mengingat pengadilan
biasanya lebih memihak debitor. Sehingga tidak mengherankan kalau biaya
pinjaman di Indonesia menjadi tinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Memperbaiki fasilitas hipotek dan surat berharga lainnya, seperti dengan
cara menampilkan suku bunga hipotek pada sertifikat tanah serta
memperbarui praktik pelaksanaanya, akan membantu perubahan budaya
pembayaran tanah, menjadi basis untuk pemberian fasilitas hipotek sekunder
dan berbagai jenis hak pemilikan lainnya yang lebih komplek. Pada akhirnya
perkembangan tersebut akan memperbaiki kinerja sistem keuangan, yang
akan membuat penanam modal lebih mudah dalam mengakses modal yang
lebih murah.
Memperbaiki efisiensi sistem registrasi dan mengurangi biaya yang tidak
perlu. Jika biaya pendaftaran tanah menjadi terlalu tinggi, biasanya pemilik
lahan akan merujuk pada cara-cara informal, yang dapat menurunkan tujuan
dari pendaftaran tersebut, yaitu memberikan informasi yang otoritatif dan
tersedia untuk umum. Prosedur yang tidak efiesien dan berulang, seperti
tidak digunakannya informasi yang dikumpulkan oleh badan pengelola PBB,
telah menaikkan biaya pendaftaran dan menghambat keberlangsungan
administrasi pertanahan. Untuk memecahkan hal ini, penetapan standar
pelayanan dalam pengelolaan pertanahan menjadi penting. Begitu pula
tersedianya informasi yang terbuka mengenai skema biaya pelayanan dan
kinerja kantor-kantor pertanahan, diterapkannya audit independen, serta
dimungkinkannya partisipasi sektor swasta, akan dapat meningkatkan
efisiensi pelayanan.
3. Meningkatkan kualitas dan kredibilitas pencatatan pertanahan. Pencatatan
pertanahan merupakan sesuatu yang patut dilaksanakan hanya jika proses
itu dapat memberikan informasi yang berharga dan terpercaya, sehingga
dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan investasi dan pengalihan
lahan yang mendorong produktifitas.
Menciptakan mekanisme yang efisien dan terdesentralisasi bagi pengalihan
lahan. Biaya pengalihan lahan di Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di
kawasan ini, sehingga berbagai aktifitas pemanfaatan lahan yang berguna
menjadi terhambat atau proses pengalihan mengambil bentuk informal,
dengan berbagai konsekuensi negatifnya.
Aturan perundangan yang jelas dapat membantu masalah ini dan menjadikan
proses pencatatan sebagai aktifitas yang berdasarkan hukum, dengan
menetapkan standar dan aturan yang harus dijalankan di dalam proses
transaksi, dengan mengendalikan pemalsuan dan dengan mengurangi

kesempatan untuk melakukan korupsi. Peraturan tersebut harus


memungkinkan terbentuknya prosedur yang sederhana dan cepat dalam
berbagai urusan seperti masalah pewarisan dan pembagian lahan. Juga harus
memungkinkan tersedianya informasi pencatatan dan transaksi atas lahan,
seperti mengharuskan adanya saksi untuk mengesahkan pengalihan lahan
dan menjadikan hasil survey sebagai bagian dari catatan publik, serta secara
terbuka menjelaskan bahwa pemalsuan pencatatan akan dibatalkan dan
pencatatan hak kepemilikan palsu secara formal tidak dapat diterima.
Memperluas cakupan pencatatan dengan berbagai mekanisme. Lebih dari
50% sertifikat pertanahan di Indonesia diperkirakan bermasalah dalam satu
dan lain aspek, yang dapat menjadi sumber konflik. Mengurusi permasalahan
ini secara terpusat tampaknya merupakan suatu hal yang mustahil. Sebaliknya
menerapkan proses yang dapat mengurangi kesalahan seiring dengan waktu
merupakan pilihan yang lebih memungkinkan. Cara yang banyak diterapkan
adalah menetapkan kualifikasi tertentu untuk berbagai lahan yang bermasalah
secara hukum atau belum disurvey, dan mengembangkan mekanisme yang
memungkinkan kualifikasi tersebut dapat diperbaiki, baik dengan seiring
waktu maupun dengan melengkapi survey yang diperlukan.
Ini dapat dilengkapi dengan meningkatkan proses pendaftaran secara
sistematik di sisi penawaran, maupun dengan meningkatkan insentif di sisi
permintaan. Berbagai mekanisme tersebut dapat memperbaiki kondisi
masyarakat miskin dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada proses
pencatatan, dan insentif untuk melakukan pencatatan.
4. Perencanaan penggunaan lahan yang transparan dan partisipatif. Cara yang
saat ini digunakan pemerintah dalam menyusun rencana penggunaan
ataupun pengelolaan tanah, sering tidak mendukung tercapainya tujuan yang
ditetapkan. Bahkan lahan yang bernilai tinggi sering tidak digunakan atau
hanya menjadi elemen spekulasi yang tidak produktif. Pemecahan masalah
ini membutuhkan pendekatan bottom-up.
Mendefinisikan status tanah milik pemerintah dan mengusahakan pendataan
lahan-lahan tersebut. Meskipun negara pada prinsipnya memiliki seluruh
tanah yang ada, lingkup dari klaim tersebut maupun hak dan kewajiban dalam
masalah yang berkaitan tidaklah terdefinisikan dengan baik. Langkah pertama
adalah memperbolehkan pemerintah di berbagai tingkatan untuk memiliki
dan mendapatkan lahan serta mendefinisikan tanggung jawab masing-masing
pemerintah untuk mengelola lahan-lahan tersebut, termasuk kewajiban untuk
melindungi, merawat dan melestarikan sumber daya alam dan infrastruktur
publik di daerah tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
melakukan pendataan dan pencatatan lahan-lahan milik pemerintah, serta
memperkenalkan proses administrasi yang transparan dalam pemberian,
penjualan serta pemberian hak guna untuk lahan tersebut. Dengan begitu
perlidungan, pengelolaan dan pendayagunaan dapat ditingkatkan, dalam
rangka memisahkan proses pencatatan dan alokasi lahan.
Mengusahakan perencanaan tata guna lahan secara transparan dan
dilaksanakan pada tingkatan lokal. Tingginya intervensi dan kontrol terhadap
tanah yang dilakukan oleh negara telah menyebabkan berbagai ketidakpuasan
di antara masyarakat lokal. Untuk mengatasi masalah ini, sangatlah penting
untuk mengakui wewenang seluruh pemilik untuk menggunakan lahan
mereka berdasarkan peraturan tata guna tanah yang berlaku dan menjamin
konsultasi kepada masyarakat, serta menyebarluaskan informasi mengenai
rencana tersebut hingga tingkat kecamatan. Hal ini akan membantu
pelaksanaan undang-undang otonomi, memperbaiki proses dan akuntabilitas
alokasi lahan.
Mengembangkan pendekatan perencanaan nasional dan mengkoordinasi
rencana tata ruang yang ada. Hirarki yang ada dalam perencanaan tata guna
lahan menyebabkan proses tersebut menjadi berbiaya tinggi atau tidak dapat
dijalankan. Dengan memusatkan aktifitas pemerintah pusat pada usaha
mendefinisikan kriteria yang jelas atas penggunaan tanah, sementara
perencanaan secara terinci dilakukan pada tingkat pemerintah lokal, dapat
menciptakan sistem perencanaan yang terkoordinasi dan terkonsolidasi yang
lebih efisien dan efektif. Ini juga dapat diiringi dengan memperkenalkan
sistem zoning, di berbagai lokasi dimana peta pertanahan kadastral belum
tersedia dan tidak akan tersedia di waktu dekat.
5. Pengelolaan lahan di area kehutanan secara berkesinambungan.
Ketidakmampuan dalam memberikan hak penggunaan ataupun kepemilikan,
seperti dijabarkan pada UU Kehutanan 1967, membatasi besarnya modal
yang dapat dikumpulkan oleh industri kehutanan, serta membuat pemegang
konsesi tidak memperhatikan keberlangsungan dalam jangka panjang dan
membuat komunitas lokal tidak dapat turut merasakan pendapatan yang
didapatkan dari sumber daya kehutanan.
Memperkuat adat. Selain diberlakukannya hukum tradisional sebagai bukti
untuk klaim atas lahan, perlu pula diakui pola penggunaan dan pemukiman
lahan (seperti adat sebelum dan sesudah konsesi diberikan, ketika aktifitas
pemotongan hutan selesai, dalam proses konversi kehutanan, dan lain-lain)
sebagai bukti alternatif untuk memperkuat peran adat. Hal ini akan
memperkuat basis atas peraturan mengenai penggunaan tanah, misalnya
dengan mengharuskan lahan tertentu tetap menjadi lahan hutan, dengan
menghubungkan hak kepemilikan dan tanggung jawab bagi pengelolaan
pertanahan dan kehutanan yang berkesinambungan, serta dengan
mendefinisikan hak kepemilikan lahan bagi sumber daya perkayuan ketika
konsesi yang diberikan berakhir. Pemegang konsesi juga mendapat
kesempatan untuk menjadi pemilik lahan, melalui pembelian tanah dimana
tidak terdapat hak penggunaan atas lahan tersebut. Perjanjian standar antara
pemegang konsesi dan komunitas lokal akan memberikan kesempatan bagi
komunitas tersebut dalam mendapatkan bagian yang lebih besar atas
pendapatan dari sumber daya kehutanan tersebut.
Mengganti pemberian izin dengan hak penggunaan atas lahan hutan negara,
swasta dan komunal. Pada satu sisi pemberian hak ini akan memberikan
penduduk dan komunitas lokal di wilayah hutan kepastian yang lebih tinggi
dibandingkan pemberian konsesi yang tidak memperhitungkan para penduduk
lokal tersebut. Di sisi yang lain, dengan mengurangi prosedur formal dalam
pengurusan konsesi maka akan lebih banyak modal yang ditanamkan untuk
menggiatkan proses sekuritisasi. Untuk itu, hak swasta atas penggunaan lahan
hutan dapat diperkenalkan ketika konsesi yang diberikan telah habis dan
didasarkan atas kajian dalam penggunaan konsesi sebelumnya.
Memperbaiki pengelolaan konflik dan meningkatkan proses kesinambungan
di daerah kehutanan. Tingginya tingkat ketidakpastian akan menyuburkan
perselisihan, yang ditambah dengan tidak tersedianya fasilitas pengadilan
secara cukup, akan membuat proses peradilan tidak dapat merespon dengan
cepat dan efektif. Ini akan menghambat investasi. Sementara konflik yang
ada dapat dipercepat dengan mengusahakan berbagai sarana alternatif
penyelesaian konflik, kemungkinan terciptanya konflik baru juga dapat
Indonesia Policy Briefs - Gagasan untuk Masa Depan
diturunkan dengan memetakan sumber daya dengan melibatkan partisipasi
komunitas dan staf teknis pada berbagai dinas di tingkat kecamatan dan
pemerintahan lokal. Informasi tersebut dapat diintegrasikan dengan rencana
tata ruang di tingkat kabupaten untuk mengidentifikasi berbagai wilayah
dimana dapat terjadi konflik dan perlu mendapat perhatian.
6. Memperkuat berbagai lembaga independen dan memberikan insentif fiskal
dalam pelaksanaan aturan pertanahan. Mendayagunakan pajak pertanahan
untuk meningkatkan pelayanan pertanahan. Dengan basis pajak yang begitu
besar, sekitar 75 juta lahan pertanahan, maka pendayagunaan pajak
pertanahan yang progresif dapat menunjang aktifitas pemerintahan lokal.
Hal ini dapat dilakukan dengan menaikan pajak pertanahan ke tingkat yang
lebih realistis, ditetapkan oleh pemerintahan lokal, berdasarkan biaya
pelayanan pertanahan dan kebutuhan pajak lokal. Pajak yang lebih tinggi
dapat ditetapkan pada lahan yang tidak digunakan, sementara keringan pajak
diberikan pada pemilik lahan kecil dan miskin. Pada saat bersamaan
pemerintah pusat dapat menentukan tingkat pajak maksimum dan minimum,
mengurangi beban pajak dari pemerintah lokal dan mengelola
redistribusi horizontal. Pajak atas proses konversi tanah serta pajak
keuntungan penjualan juga dapat diberlakukan.
Memberikan hukuman atas tindakan penipuan dan pemalsuan, serta
memperkenalkan sistem penanganan berbagai keluhan. Meskipun bukan
merupakan hal yang spesifik terjadi atas pertanahan, jumlah pelanggaran yang
besar dalam kasus-kasus pertanahan, membuat pemberian hukuman atas
penipuan dalam masalah petanahan menjadi penting. Begitu pula sikap
menghormati hak dari si korban untuk melakukan tuntutan balik atas kerugian
yang ditimbulkan oleh si pelaku, serta mengumumkan aktifitas pencatatan
yang tidak sah dan penipuan tersebut. Disamping itu juga diperlukan tindakan
tegas, termasuk kemungkinan pemecatan, terhadap para pegawai pemerintah
atas kesalahan dan penipuan yang terjadi di depan mata mereka. Hasil dari
usaha ini dapat disebarluaskan secara terbuka untuk menurunkan biaya
transaksi, perselisihan dan ketegangan atas berbagai masalah pertanahan.
Menciptakan sistem administrasi pertanahan nasional dalam satu atap. Dalam
jangka panjang, mengelola administrasi pertanahan di bawah satu atap,
termasuk untuk lahan milik pemerintah, lahan hutan, pertambangan dan
lahan bukan hutan, merupakan suatu rencana yang patut dipertimbangkan.
Dengan begitu duplikasi dapat dikurangi serta meningkatkan skala ekonomis
dengan menggabungkan administrasi pertanahan dan pajak pertanahan. Ini
juga dapat menghilangkan permasalah antara BPN dengan Departemen
Kehutanan dan membuat aktifitas monitoring dan pemberlakuan peraturan
menjadi lebih mudah.
Kesimpulan
Masalah pertanahan bukanlah masalah kecil dan dapat diabaikan. Hanya
karena tidak terlihat secara nyata, tidaklah berarti bahwa kebijakan pertanahan
yang kurang tepat tidak akan menimbulkan permasalahan yang cukup parah.
Bahkan permasalahan tersebut dapat menjadi masalah sistemik dan
mempengaruhi berbagai aspek lainnya, seperti tingginya biaya kredit dalam
sistem keuangan, aksesibilitas sistem peradilan serta apresiasi dan
penghargaan publik terhadap sistem hukum. Hal-hal tersebut membuat
agenda pemecahan masalah pertanahan menjadi lebih penting lagi.
Reformasi tidak berarti zero-sum game. Contoh-contoh yang dibahas dalam
tulisan ini menjabarkan bahwa reformasi kebijakan pertanahan bukan
merupakan zero-sum game, dimana satu pihak mendapatkan keuntungan
dan pihak lain menderita kerugian, meskipun lahan yang tersedia sangat
terbatas. Sebaliknya ada berbagai pilihan kebijakan yang dapat memberikan
manfaat kepada hampir semua pihak, kecuali tentu saja untuk mereka yang
memperoleh tanah melalui cara penipuan dan pemalsuan. Meskipun akan
ada hambatan dari berbagai pihak yang berkepentingan, berbagai pilihan
kebijakan yang dibahas di sini memberikan solusi yang menguntungkan
semua pihak, bahkan dalam jangka pendek dan memberikan manfaat bagi
semua orang dengan cara membantu Indonesia mewujudkan segala potensi
yang ada dan menjadikannya sebagai tempat yang menarik untuk melakukan
aktifitas ekonomi dan usaha.
Tidak diperlukan sebuah cetak biru yang sempurna untuk memulainya.
Rumitnya permasalahan dan kurangnya basis untuk perubahan, sering
menjadi alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Meskipun dibutuhkan adanya
arahan dan tujuan yang jelas dalam proses reformasi, tidak berarti seluruh
aspek harus dibahas sejak awal proses tersebut. Daripada mempermasalahkan
pembuatan cetak biru yang lengkap sebelum langkah awal dilakukan,
berbagai permasalahan yang dijabarkan di sini lebih tepat diselesaikan melalui
cara pembelajaran, percontohan dan berbagai penyesuaian selama proses
berlangsung dan mulai dirasakan hasilnya. Kesepakatan antar berbagai pihak
terkait dapat dicapai dengan memusatkan perhatian pada hasil yang kongkrit
dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang abstrak.
Beberapa langkah dapat dilakukan secepatnya. Meskipun permasalahan yang
ada begitu rumit dan melewati batas-batas birokrasi tradisional, Indonesia
telah mengambil beberapa langkah dalam memperbaiki struktur hukum dan
memperoleh konsensus publik. Sementara dibutuhkan penjabaran yang jelas
dalam menterjemahkan prinsip menjadi aksi, imbalan yang didapatkan dari
segi efisiensi dan keadilan begitu tinggi dan dapat menjadi dasar dalam proses
perubahan untuk menciptakan berbagai lembaga pertanahan yang lebih
transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan.

Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 1


ISSN 0215-9511
1) Nuraini Aisiyah : adalah Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
2) Teguh Tri Erawanta : adalah Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
SISTEM INFORMASI PERTANAHAN
SEBAGAI ALAT UNTUK PENGEMBANGAN
Oleh : Nuraini Aisiyah1) dan Teguh Tri Erawanta2)
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada seluruh pertumbuhan dunia, informasi
pertanahan merupakan suatu basis untuk perencanaan,
pengembangan, dan sebagai kontrol penggunaan
sumber daya tanah. Hal ini sebagai akibat dari terus
berkembangannya dunia industri yang terus menekan
sumber daya alam. Tekanan ini sama seperti
pertumbuhan penduduk yang tidak terbendung
terhadap sumber daya alam pada dunia ketiga. Tanah,
sebagai salah satu kakayaan sumber daya alam, sangat
penting dan memerlukan suatu sistem manajemen
yang efektif.
Masalah pertanahan ini umumnya muncul pada
negara-negara yang sedang berkembang. Umumnya
pula negara berkembang ini merupakan negara-negara
agraris yang dapat dilihat dari penggunaan lahan
terhadap tingkat kekeringannya, kelaparan dan erosi.
Penggunaan lahan yang kurang tepat dapat disebabkan
oleh penerapan pola pertanian yang salah dan sistem
kebijakan yang kadaluarsa dimana tidak memadai
dalam kebijakan hak. Lahan hutan diekploitasi dengan
tidak terkontrol yang dapat menyebabkan adanya
masalah konservasi tanah dan pendeknya umur hutan.
Pencegahan masalah penggunaan lahan selalu
berhadapan dengan wilayah penduduk dan hal ini
dapat ditelusuri pada daerah yang urbanisasinya
meningkat dengan cepat. Di negara dunia ketiga
hampir semua perkampungannya tumbuh secara tidak
teratur, tidak terkontrol, dan kumuh. Banyak negara
yang perencanaan wilayahnya tidak berjalan dengan
baik.
Konsekuensinya terdapat sektor publik yang
mengawasi penggunaan lahan dan pembangunan yang
lebih baik. Tetapi bagaimana kita dapat merencanakan
dan mengawasinya tanpa adanya informasi dan
pengetahuan yang cukup tentang elemen dasar yaitu
tanah itu sendiri. Pengetahuan umum tidaklah
mencukupi, yang diperlukan adalah informasi yang
detail mengenai penggunaan lahan, pemilik tanah,
pengguna tanah, pola penggunaan lahan dan lain-lain.
Karena alasan tersebutlah maka pentingnya sistem
informasi pertanahan menjadi sesuatu yang sangat
penting. Banyak terjadi perdebatan mengenai jalan
yang terbaik dan metoda yang digunakan untuk
membangun sistem tersebut.
KONSEP SISTEM INFORMASI PERTANAHAN
Terdapat beberapa definisi dari sistem
Informasi Pertanahan, salah satunya adalah yang
diadopsi dari FIG (Federation Internationale des
Geometres) : Sistem Informasi Pertanahan adalah
suatu alat yang digunakan untuk pengambilan
keputusan yang sah terhadap masalah administrasi dan
ekonomi dan sebagai alat bantu dalam perencanaan
dan pengembangan yang terdiri dari basis data yang
mengandung informasi lahan spasial tereferensi dan
data-data yang terkait dengan hal tersebut, pada satu
pihak dan prosedur dan teknik dalam pengambilan
data tersistematik, updating, pengolahan dan distribusi
data pada pihak lain. Sistem Informasi Pertanahan
didasarkan kepada sistem referensi sapatial yang
seragam untuk data-data yang terdapat pada sistem
2 Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
tersebut, dan juga fasilitas penghubung antara data
tersebut dengan data-data pertanahan lainnya yang
masih berkaitan.
Bagaimanapun terdapat perbedaan mengenai
pengertian yang tepat tentang Sistem Infomasi
Pertanahan tersebut, menurut Hamillton dan
Williamson (1984), satu faktor yang masih membuat
adanya salah pengertian adalah hubungan antara
Sistem Informasi Pertanahan, sistem geografik,
kartografi, sumber daya, lingkungan, dan informasi
sosial-ekonomi. Definisi dari FIG memasukkan
referensi spasial, data pertanahan yang terkait dari
sistem informasi ini dibawah satu naungan Sistem
Informasi Pertanahan, sementara pihak lain
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan apa yang
dinamakan dengan Sistem Informasi Geografis. Hal
ini digambarkan pada figur 3.
Pembahasan secara mendalam mengenai
definisi Sistem Informasi Pertanahan bukanlah tujuan
dari studi ini. Kita hanya dapat mengamati bahwa
konsep dari Sistem Informasi Pertanahan masih terus
berkembang dan karena itu banyak pendapat-pendapat
yang berbeda antara hubungan dari Sistem Informasi
Pertanahan ini dengan Sistem Informasi Geografis.
Hal yang lebih penting adalah mengasaskan kenyataan
bahwa adanya kebutuhan terhadap pengambilan data
sistematik, updating, pemrosesan, dan distribusi dari
data spasial tereferensi yang mendukung pengambilan
keputusan yang sah terhadap perencanaan
pembangunan dan untuk mengevaluasi konsekuensi
tindakan alternatif yang dijalankan.
Informasi yang terkait dengan lahan menjadi
sangat penting dalam pengembangan lahan tersebut
secara rapi, adil dan penggunaan yang tepat. Pada
masa lampau, informasi yang terkait dengan lahan
dikumpulkan, disimpan, diperbaharui, dan di
distribusi secara manual pada buku, peta dan suratsurat.
Dengan adanya teknologi modern, kegiatan
tersebut dapat dilakukan dengan komputer dan secara
otomatis di seluruh dunia. Transisi ke komputer ini
mendapat perhatian yang besar dari kalangan swasta,
industri, dan pemerintah di seluruh dunia. Variasi dari
sistem ini sangatlah banyak dan termasuk sistem
pendanaan, sistem pendaftaran tanah, sistem kontrol
pembangunan, sistem manajemen fasilitas, sistem
jaringan sarana, sistem informasi perencanaan
perkotaan dan pedesaan, sistem sumber daya lahan,
sistem demografi dan data sosial, dan sistem geografi
atau sistem koordinat. Hal yang sangat penting dalam
melakukan pembangunan Sistem Informasi
Pertanahan yang efektif, efisien, dan kompatibel
adalah :
* Adanya kerangka referensi bersama yang dapat
diakses dengan mudah
* Tindakan yang membangun dari pihak
pemerintah dalam melakukan koordinasi
terhadap pengadaan fungsi yang terkait dengan
lahan.
* Standarisasi dari terminologi dan prosedur.
KOORDINASI STRUKTUR
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
perhatian terhadap sistem yang berbasis komputer
mendapat tanggapan yang sangat baik, dan begitu pula
dengan berbagai veriasi dari sistem tersebut. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa dalam waktu dekat
ini akan terdapat banyak sekali sistem yang akan
dibuat baik oleh pihak swasta, daerah maupun
pemerintah. Tanpa adanya koordinasi, sistem tersebut
hanya akan cocok dan saling berhubungan dalam
tingkat yang terbatas. Sehingga sistem tersebut hanya
dapat melayani keperluan internal dari masing-masing
penyedia informasi, yang nantinya tidak akan
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 3
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
memungkinkan dalam penggabungan informasi
kedalam satu sistem yang dipakai secara umum.
Terutama nantinya akan sangat menyulitkan dalam
memperbaiki informasi. Kondisi tersebut dijelaskan
oleh Morgan (1985), sebagai berikut :
Kesulitan yang semakin meningkat dari
perencanaan dan pengelolaan sumber tanah, telah
menimbulkan persepsi bahwa pendekatan yang telah
dilakukan untuk ukuran, penyimpanan, maupun
penyebaran dari data tanah sangat tidak mencukupi.
Strategi tradisional telah mendukukung pertumbuhan
secara bebas dari pihak swasta, daerah dan kebijakan
pemerintah, dalam mengatur, mengumpulkan,
maupun menyimpan data perkembangan terakhir. Dan
hal tersebut sudah jelas akan membuat pendekatan
tersebut menjadi kabur. Hasilnya akan menjadi
berlebih, tidak fleksibel, dan tidak produktif.
Keadaan diatas akan sangat merugikan karena
akan membuat informasi yang diproduksi akan
menjadi sangat spesfik untuk sektor yang terbatas,
dan hanya segelintir pengguna saja yang dapat
mengkoordinasi serta menggabungkan informasi dari
berbagai sumber yang ada. Resiko penyalinan akan
semakin besar, dan untuk menghindari hal tersebut
untuk membangun sebuah kerangka bersama yang
dapat dengan mudah diakses. Dalam Sistem Informasi
Pertanahan dapat diartikan memiliki sistem referensi
spasial yagn dinyatakan dalam koordinat atau dengan
yang lainnya. Selain itu juga dapat diartikan bahwa
informasi tersebut dapat terintegrasi dengan peta skala
besar contoh untuk persil tanah, skala menegah atau
skala kecil untuk administrasi, jenis dan wilayah
regional. Tanpa hal ini penggabungan data dari
sumber yang berbeda akan semakin memudahkan.
Selain itu diperlukan pula tindakan nyata dari
pemerintah untnk mengkoordinasi sistem informasi
pertanahan. Koordinasi dan integrasi tidak datang
secara otomatis namun dibutuhkan kinerja yang
berkesinambungan. Upaya ini tidak hanya terbatas
pada kerangka kerja maupun sisi teknik dari sistem
tersebut. Pemerintah juga harus menentukan
fungsinya, sehingga didapat kondisi dimana setiap
departemen bertanggung jawab terhadap informasi
yang dimiliki, serta bagaimana pertukaran informasi
antar departemen dapat diatur, dan bagaimana
meghasilkan informasi yang sangat baik untuk
keperluan perencanaan dan penataan. Dukungan
pemerintah akan sangat dibutuhkan untuk mencapai
standardisasi dari suatu produksi.
Aspek integrasi harus dipelajari secara
mendalam. Banyaknya data tanah dan kebutuhan
untuk berbagai informasi sehingga tidak
memungkinkan jika hanya ditanggulangi oleh sedikit
basis data. Sehingga untuk lebih jauhnya sistem
tersebut harus dibangun dalam tahapan dan cukup
fleksibel untuk menerima berbagai jenis data
tambahan yang baru. Sistem tersebut dikembangkan
secara berkala untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Langkah mendasar yang dilakukan untuk
mengatur data manajemen adalah dengan
menggunakan pendekatan nodal (lihat Sedunary
1984). Sistem tersebut memiliki karakteristik yang
tediri dari data utama yang merupakan node utama
didalam jaringan kerja SIP, sehingga menciptakan
suatu sistem sentral yang memiliki hubungan yang
sangat erat dengan komponen lainnya. Node utama
ini bertindak sebagai penghubung bagi node kedua,
tergantung dari sistem yang digunakan apakah
bertujuan untuk melayani permintaan individu maka
akan ditempatkan pada basis data yang ada
disekelilingnya. Sebagai contoh node legal/fiscal
dapat berhubungan dengan basis data yang memiliki
informasi mengenai kepemilikan, registrasi nama,
4 Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
nilai dan pajak tanah. Fungsi selanjutnya dapat
ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.. Sistem ini
sangat fleksibel dan sangat memudahkan untuk
pengembangan lebih lanjut. Dalam kebanyakan kasus,
pengembangan dan pemeliharaan dari node utama
menjadi tanggung jawab pemerintah. Banyak
Departemen dan perwakilan yang terlibat, yang tetap
memberikan keuntungan kepada perwakilan yang
paling kompeten untuk mengatur kumpulan data dan
data retrieval dalam areanya masing-masing. Namun
koordinasi tetap diperlukan untuk integrasi dan
pengembangan data struktur secara keseluruhan
Basis data yang kedua akan ditangani dan
dikembangkan oleh pemerintah daerah maupun
organisasi swasta. Mereka dapat merupakan bagian
dari data utama dalam penambahan data yang
dikumpulkan oleh organisasi yang sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing.
Bagian ini dapat didesain untuk keperluan
yag semakin spesifik namun tetap mengacu pada
kerangka bersama, dan tetap menggunakan identitas
yang sama sebagai blok bangunan. Hal ini merupakan
perbedaan utama diantara pendekatan nodal dengan
beberapa basis data yang terisolasi. Rencana nodal
dapat memungkinkan terjadinya keseimbangan
diantara elemen sentral dan desentral dalam sistem
tersebut. Sekarang ini sistem yang digunakan memiliki
karakteristik yang tersentralisasi dan dipercayakan
secara luas kepada jaringan utama komputer seperti
sistem yang cukup efisien namun tidak user friendly,
seingga akan sulit untuk diaplikasikan kepada para
pengguna. Pengembangan yang baru memungkinkan
untuk dilakukan penggabungan basis utama sentral
dengan basis kedua bersumber kepada keinginan
pengguna individu, yang juga menghasilkan
kesempatan yang berlimpah untuk inter komunikasi.
Anggapan sebelumnya yang menyatakan
mengenai sistem informasi yang berbasis komputer,
akan menjadi masalah khususnya bagi negara
berkembang, namun hal tersebut hanya merupakan
masalah waktu. Karena untuk masa yang panjang
maka informasi dasar akan ditangani oleh komputer,
dan nantinya sangat diperlukan untuk menciptakan
suatu sistem yang terintegrasi dan komprehensif.
PARCEL-BASED LIS
Alasan utama yaitu banyak dari kehidupan
manusia, aktivitas manusia dan property manusia
mempunyai rantai yang sangat berarti dengan
sepotong tanah spesifik.. Hal ini sangat benar pada
kasus hak dari tanah kepunyaan, pendudukan, sewa ,
hipotek, dan lain-lain. Semuanya adalah pusat
terhadap semua kehidupan ekonomi, begitu juga
didalam negara berkembang. Tanah adalah sumber
yang paling penting untuk aktivitas
ekonomi.Pertanyaannya adalah siapa yang menyita
dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut, oleh
karena itu sangatlah penting. Terdapat hubungan yang
lain pula, sebagai contoh: Cara yang paling alami
menentukan dan mengalokasikan populasi dengan
cara mereferensikan letak bertempat tinggal dimana
dapat ditentukan angka persil. Perusahaan dapat
dilokasikan dengan cara yang sama. Pajak lebih
tergantung terhadap property tanah dan pendaftaran
pajak. Oleh karena itu sering kali tergantung terhadap
unit tanah. Persamaannya adalah kebenaran dari
perbedaan seperti bangunan dan lain-lain. Oleh karena
itu sering biasanya diikat bersama-sama data terhadap
tanah, bangunan, masyarakat, perusahaan, pajak,
perusahaan bangunan dan lain-lain dalam system yang
terintegrasi. Sebuah system harus mempunyai satu
atau lebih kunci identifikasi yang dapat melacak
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 5
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
semua data ke basis yang biasa. Salah satu kuncinya
adalah angka dan penentuan sebidang tanah.
Tambahan informasi lebih jauh biasanya
terkandung dalam rekaman persil dapat tumbuh besar
cakupannya maupun kegunaannya. Angka-angka dari
persil tidak menunjukkan lokasi dari property secara
langsung. Hal ini merupakan ide dari Geo codes. Hal
ini biasanya mengkoordinasi titik batas atau titik
tertentu seperti titik tengah atau prinsip bangunan bila
ada. Dalam Geocodes berhubungan langsung antara
informasi dan lokasi geografik. Dengan cara ini semua
informasi masuk dalam data dengan pertanyaan dapat
secara system automatik masuk ke dalam
peta.Informasi tak lagi terikat ke area administrasi,
tetapi dapat termasuk dalam yang terpilih dengan area
yang tertentu. Parcel-based system informasi
mempunyai fleksibilitas yang bagus.
SISTEM INFORMASI SPASIAL DI NEGARA
LAIN
Dari literatur diperoleh informasi, di beberapa
negara lain SIP ditangani oleh suatu institusi secara
terintegrasi. Kadaster Multiguna di negara-negara
eropa digunakan untuk berbagai keperluan
diantaranya, pajak, pendaftaran tanah, perencanaan
kota dan lain-lain. Di Italia Sistem Informasi Kadaster
Itali di kelola oleh Menteri Keuangan Departemen
Wilayah. Australia Barat, Penanganan SIP di tingkat
Pusat dan Daerah dipegang oleh Badan Perencanaan
dibawah Kementerian Perencanaan. Tetapi walaupun
pusatnya ada di Kantor Perencanaan semua instansi
dapat mengakses semua informasi yang ada dalam
sistem tersebut secara leluasa, karena instansi-instansi
tersebut sebagai anggota pengelola. Caranya melalui
jaringan Komputer.
SISTEM INFORMASI SPASIAL DI INDONESIA
SAAT INI
Pengelolaan Pembangunan Sistem Informasi
Pertanahan merupakan masalah yang sangat penting
bagi Indonesia. Sejak dimulainya pembangunan pada
Pelita I pada tahun 1969 pertumbuhan ekonomi telah
meningkat dengan pesat rata-rata 7 s.d 8 % per tahun
dan pembangunan telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat tersebut jelas telah terjadi
perubahan penggunaan lahan secara cepat. Dibawah
tekanan transformasi ekonomi tersebut masalah
pertanahan semakin banyak timbul dan pemerintah
terus berupaya untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut melalui perbaikan dan peningkatan
kemampuan dalam perencanaan dan manajemen
pertanahan. Untuk keperluan perencanaan seperti itu,
sistem informasi pertanahan adalah sangat penting
artinya untuk menunjang perencanaan pembangunan
dan pelaksanaannya.
Oleh karena itu diperlukan adanya
kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penanganan
sistem informasi spasial, seperti koordinasi antar
instansi pemerintah, tanggung, tanggung jawab dalam
mengumpulkan data untuk memudahkan arus
informasi dan juga koordinasi.
Di Indonesia sebagaimana yang ada sekarang
ini dimana masing-masing Departemen dan instansi
mengembangkan Sistem Informasi Pertanahan secara
tersendiri, dalam masalah perpajakan pihak Ditjen
Pajak dalam hal Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) mengembangkan Sistem
Informasi Manajemen Obyek Pajak (SISMIOP)
sebagai basis data atribut dan SIG PBB dengan
identifikasi Nomor Obyek Pajak (NOP) sebagai basis
data spasial. Pengelolaan kepemilikan tanah/ recht
6 Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
cadaster di kelola oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN) yang mengembangkan Sistem Informasi
Pertanahan dengan cara memanfaatkan data Nomor
Identifikasi Bidang (NIB) sebagai identitas dan
menggabungnya dengan data spasial.
1. Sistem Informasi Pertanahan Direktorat PBB
Untuk meletakkan kebijakan yang,
Direktorat Jenderal Pajak telah bertekad untuk
membangun Bank Data Pajak Nasional yang
bertumpu pada Basis Data PBB baik spasial,
atributik maupun image menuju terbentuknya
smart map, yaitu peta yang dapat
menggambarkan keseluruhan data terkait dari
kegiatan objek maupun subjek seluruh jenis pajak
sehingga dapat digunakan untuk menelusuri
distribusi sebagian pendapatan masyarakat.
Dijadikannya Basis Data PBB sebagai titik
tumpu pengembangan Bank Data Pajak Nasional,
karena:
a. Basis Data PBB telah berbasis teknologi
informasi dan memiliki informasi yang
lengkap baik data spasial, atributik
maupun image
Dengan penerapan Sistem Informasi
Geografis (SIG), Basis Data PBB telah dapat
dikembangkan dan menghasilkan Informasi
Rinci Objek Pajak (bentuk integrasi data
spasial, atributik dan image) dalam berbagai
bentuk.
b. Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG PBB adalah suatu sistem yang dirancang
terintegrasi dengan SISMIOP dengan
menekankan pada analisa secara spasial
(keruangan) yang selama ini tidak dapat
ditangani oleh aplikasi SISMIOP.
2. Pemanfaatan Basis Data PBB untuk Berbagai
Kepentingan (Multipurposes)
Sistem Informasi geografis yang
dikembangkan saat ini ditujukan untuk dapat
mengakomodir data atributik dan data spasial
secara terpadu, sehingga updating pada data
atributik secara otomatis dan real time juga
merubah data spasial demikian sebaliknya. Dari
sisi fungsi dan pemanfaatannya SIG
dikembangkan untuk kepentingan Multipurpose
yang memungkinkan sinergi kegunaan yang lebih
banyak, baik untuk manfaat perpajakan maupun
untuk dapat digunakan bagi dukungan data untuk
institusi lain.
Dengan penerapan Sistem Informasi
Geografis (SIG), Basis Data PBB telah dapat
dikembangkan dan menghasilkan Informasi Rinci
Objek Pajak (bentuk integrasi data spasial,
atributik dan image) dalam berbagai bentuk.
3. Pemanfaatan Informasi Rinci Objek Pajak
untuk pembentukan Sistem Informasi
Pertanahan Multi Guna (Multipurposes Land
Information System)
Berbagai informasi yang tersedia dalam
Informasi Rinci Objek Pajak Perumahan dan non
Perumahan dapat dimanfaatkan untuk
pembentukan Sistem Informasi Pertanahan Multi
Guna. Dalam 1 (satu) NOP atas bidang tanah
yang sama yang ditunjukkan secara spasial, dapat
memberikan informasi pertanahan (jenis dan
nomor hak pemilikan tanah), bangunan (nomor
IMB), perpajakan (NPWP), tagihan telpon dan
listrik, kendaraan dan lain-lain.
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 7
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
4. Pemanfaatan Nomor Objek Pajak (NOP)
PBB yang unik dan berkoordinat untuk
pembentukan Single Identity Number (SIN)
Karakteristik Nomor Objek Pajak (NOP)
PBB yang unik dan berkoordinat dapat
dimanfaatkan sebagai embrio untuk
pembentukan Single Identity Number sehingga
sistem kependudukan Indonesia akan lebih tertib
dan teratur.
SISTEM INFORMASI PERTANAHAN DI BPN
Walaupun telah ada upaya pengembangan LIS
pada Repelita IV yang dimulai tahun 1984, namun
kegiatan untuk mewujudkan LIS baru dimulai pada
Repelita V. Pada waktu itu telah dilaksanakan proyek
pemetaan perkotaan oleh Direktorat Jenderal Agraria
(sebelum dibentuknya BPN) yang menghasilkan petapeta
foto udara sekala besar di seratus buah kota
terpilih di seluruh wilayah Indonesia. Peta-peta sekala
1:1.000 ini telah dipakai sebagai peta dasar untuk
mengembangkan suatu Sistem Informasi Pertanahan
(Urban LIS)
Semenjak saat itu LIS telah dimanfaatkan bagi
berbagai program dan proyek. Program
pengembangan LIS ini dibiayai dari berbagai sumber,
yaitu dana pinjaman dari Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan pinjaman dari beberapa
negara asing dan hibah. Dana-dana ini sebagai dana
tambahan pemerintah Indonesia berupa investasi yang
sangat besar nilainya dalam menyelenggarakan sistem
managemen informasi modern di BPN.
Denganbegitu banyaknya proyek yang dibiayai
dari berbagai macam sumber tersebut, diperlukan
adanya koordinasi dan kerjasama semaksimal
mungkin baik antara proyek-proyek tersebut maupun
para pelaksana proyeknya. Hal ini dicapai melalui
pembentukan suatu tim komputerisasi di dalam
Kantor Menteri Negara Agraria. Tim komputerisasi
ini telah dibentuk dengan tugas untuk mengarahkan,
mengevaluasi dan mengkoordinasikan pengembanagn
sisitem komputerisasi di seluruh jajaran kerja BPN
dan melaporkan perkembangan secara berkala.
Beberapa program yang berkaitan dengan
pengembangan Sistem Informasi Pertanahan pada saat
ini :
Komputerisasi Kantor Pertanahan (Land Office
Computerisation / LOC)
Sistem Informasi Pertanahan Perkotaan (SIPP)
Proyek Administrasi Pertanahan (PAP)
Proyek-proyek lain yang berkaitan secara
langsung dengan penggunan teknologi
penginderaan jauh dan pemetaan digital
1. Komputerisasi Kantor Pertanahan / LOC
Pelayanan pertanahan oleh BPN terutama
dilaksanakan oleh kantor-kantor pertanahan
Kabupaten / kota di seluruh Indonesia. BPN
mulai mempertimbangkan komputerisasi pada
kantor-kantor pertanahan ini yang dilaksanakan
mulai tahun 1988 melalui beberapa proyek
dengan hasil yang bervariasi.
Titik berat dari upaya-upaya ini adalah
untuk menuju pada komputerisasi dari sistem
manual yang ada pada saat ini. Sementara
berbagai sistem yang ada terus dipacu untuk
disempurnakan dan dikembangkan menuju
kedalam suatu sistem dan standar yang baku
dalam lingkungan BPN dalam rangka
meningkatkan Manajemen Informasi Pertanahan.
8 Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010
ISSN 0215-9511
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
Komputerisasi Kantor Pertanahan (LOC)
merupakan proyek terbesar yang berkaitan
dengan perkembangan SIP di Indonesia. Tujuan
utama proyek LOC ini adalah untuk menata
kembali sistem informasi yang berkaitan dengan
pengukuran kadastral, pemetaan dan pendaftaran
tanah guna meningkatkan pelayanan pendaftaran
tanah serta untuk memperkokoh BPN sebagai
suatu instansi pemerintah yang bertanggung
jawab dalam pengembangan suatu sistem
informasi pertanahan.
Proyek LOC terdiri dari tiga komponen
utama yaitu :
Pengembangan sistem ; Komponen ini
merupakan bagian terbesar dari proyek LOC
termasuk pengembangan sistem
komputerisasi pada tingkat Nasional,
Propinsi dan kabupaten / Kota
Peningkatan Instansi ; Kegiatan ini meliputi
perbaikan / peningkatan kapasitas kantor
pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten /
kota dan peningkatan kemampuan staf
melalui program training jangka panjang dan
jangka pendek.
Kebijaksanaan pembangunan pengelolaan
pertanahan jangka panjang; Kegiatan ini
terutama diarahkan untukmenunjang kedua
komponene tersebut diatas.
2. Sistem Informasi Pertanahan Perkotaan
(Urband land Information System / ULIS)
Proyek Sistem Informasi Pertanahan
Perkotaan / ULIS adalah merupakan salah satu
program komputerisasi dari proyek
pembangunan perkotaan bagi kota-kota sekunder.
Proyek ini dibiayai oleh Bank Pembangunan
Asia. Ruang lingkupnya mencakup
pengembangan basis data kadastral dan
pendaftaran secara integral dalam rangka Sistem
Informasi Pertanahan. Proyek ini mencakup
konversi data pendaftaran tanah dan kadastral ke
dalam basis data, pengadaan perangkat keras dan
perangkat lunak dan mendidik tenaga
operasioanal dalam menggunakan basis data
tersebut.
5.3 Sistem Informasi Pertanahan Pemerintah
Daerah
LIS Kota Semarang merupakan proyek
percontohan pembangunan LIS perkotaan di
Indonesia. Proyek percontohan dimulai di
Kelurahan Lamper Lor (70 ha) pada tahun 1986
dan dilanjutkan pada tahun 1987-1989 hingga
mencakup keseluruhan kelurahan di Kecamatan
Semarang Timur (2 880 ha) atas bantuan grant
dari pemerintah Perancis. Setelah itu tidak ada
bantuan dari pihak luar dan tidak ada
perkembangan hingga tahun 1996 saat LIS ini
dibangun dan kembangkan ulang atas bantuan
loan Bank Dunia pada proyek Semarang
Surakarta Urban Development Project.
LIS Kota Semarang waktu itu dirancang
untuk meningkatkan dan membakukan kuantitas
dan kualitas data dan informasi pertanahan antara
PBB, BPN dan DTK.
Capaian utama dari proyek percontohan
LIS Semarang ini adalah [Bappeda Kota
Surakarta, 1996]:
1. Peta persil baku skala 1 : 1 000 yang sudah
mencakup sebagian besar wilayah kota
Semarang,
2. Terjalinnya kerja sama antara PBB, BPN dan
DTK dalam pengembangan LIS,
Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010 9
ISSN 0215-9511
3. Lembaga pengembangan LIS Semarang dan
tatalaksana kerja antar lembaga yang
ditetapkan dengan SK Walikota.
HAMBATAN-HAMBATAN PELAKSANAAN
SISTEM INFORMASI PERTANAHAN
Dari beberapa uraian diatas, berdasarkan
kenyataan yang ada belum ada upaya untuk
membangun suatu sistem informasi pertanahan yang
terpadu, masing-masing Departemen dan instansi
mengembangkan sistem informasi pertanahan sendirisendiri.
Hal ini akan meninmbulkan hambatanhambatan
dalam membangun sistem informasi
pertanahan yang efektif, efisisen dan kompatibel.
Hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia yang kapable mengelola
Sistem Informasi Pertanahan belum tersedia
secara mencukupi. Tenaga pelaksana yang
seharusnya melakukan tugas ini bahkan sudah
beralih tugas, meski bila kala diperlukan masih
bisa memberikan layanan.
2. Adanya perbedaan dalam sistem Proyeksi,
Dimana Badan Pertanahan Nasional
menggunakan sistem proyeksi TM3, sementara
Kantor Pelayanan Pajak bumi dan Bangunan
menggunakan sistem proyeksi UTM. Masingmasing
sistem proyeksi mempunyai karakteristik
yang berbeda, sehingga akan mempersulit proses
pertukaran data.
3. Adanya beberapa instansi yang melakukan
pengukuran terhadap bidang-bidang tanah, hal
ini menyebabkan terhadap bidang tanah yang
sama hasil ukurannya akan berbeda-beda, yang
pada akhirnya SIP yang dihasilkan belum
terjamin akurasi dan presisinya.
4. Belum adanya koordinasi yang baik antar
Departemen dan instansi pengelola Sistem
Informasi Pertanahan, format data yang
digunakan belum seragam, belum ada
standardisasi peta dasar yang digunakan sehingga
menyulitkan untuk saling berbagi data, tukar
menukar data.
5. Belum adanya Pengelola SIP di tingkat Pusat dan
daerah di bawah koordinator satu departemen,
hal ini menyebabkan besarnya alokasi biaya yang
diperlukan oleh masing-masing instansi.
Inefisiensi pengumpulan data akan terjadi, karena
setiap instansi pengelola SIP mengumpulkan data
yang saling duplikasi.
6. Perbedaan Hardware dan software yang di
gunakan oleh masing-masing Departemen dan
instansi berbeda-beda.
7. Sasaran rencana pengembangan SIP meleset jauh.
Karena kebutuhan data dasar tidak terpenuhi,
lembaga-lembaga peserta SIP cenderung bekerja
dengan cara pengelolaan dan sistem informasi
masing-masing. Sering ditemui permasalahan
pertanahan yang seharusnya tidak perlu terjadi
bila SIP sudah operasional. Sementara itu, tetap
diperlukan ongkos operasi pengelolaan dan
sistem informasi pertanahan untuk perencanaan,
perancangan dan pengambilan keputusan yang
sama mahal atau lebih mahal, cenderung lambat
dan tidak transparan.
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........
10 Magistra No. 72 Th. XXII Juni 2010
ISSN 0215-9511
KESIMPULAN
Informasi memegang peranan yang penting
sebagai masukan dalam proses pengambilan
keputusan yang rasional. Hal tersebut berlaku pula
dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut masalah pertanahan. Sistem Informasi
Pertanahan bisa dijadikan sebagai sarana yang handal
untuk pengembangan dan mengatasi berbagai
permasalahan-permasalah pertanahan yang timbul.
Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah perlunya
pemerintah untuk melakukan koordinasi dengan
berbagai instansi yang sekarang ini sudah
mengembangkan SIP. Perlunya keseriusan pemerintah
dalam menangani Sistem Informasi Pertanahan
dengan cara membentuk Departemen dan instansi
yang bertanggung jawab dalam membangun Sistem
Informasi Pertanahan. Diperlukan standarisasi dalam
hal skala, sistem proyeksi peta, definisi klasifikasi,
penggunaan peta dasar. Sehingga memungkinkan
penggabungan Sistem Informasi Pertanahan yang
integral yang dapat digunakan secara umum. Sistem
Informasi pertanahan yang dimaksud yang
mempunyai kerangka bersama yang dapat diakses
dengan mudah. Manajemen Sistem Informasi
Pertanahan dengan menggunakan pendekatan nodal
memiliki karakteristik yang terdiri dari data utama di
dalam jaringan SIP, sehingga menciptakan suatu
sistem sentral yang memiliki hubungan yang sangat
erat dengan komponen lainnya. Node utama ini akan
bertindak sebagai penghubung bagi node kedua.
Sehingga dengan dikembangkannya sistem terpadu
ini akan membantu pihak-pihak yang berkepentingan
untuk mendapatkan data induk yang sama yang bisa
dikembangkan untuk melayani keperluan internal dari
masing-masing penyedia informasi.
DAFTAR PUSTAKA
AUSTRALIAN SURVEY OFFICE, l985.
LANDSEARCH - Directory of Commonwealth
Land Related Data.. Commonwealth
Department of Local Government and
Administrative Services, Canberra
Dale, P., and McLaughlin, J., 1999, Land
Administration, Page: 9, Oxford University Press.
Demir, O., Atasoy, A., Aydin, C. C., Biyik, C., 2003,
A Case Study For Determining
Mardiyono, Y. dan G. Triwibawa. Basis Data
Kadastral Digital (Digital Cadastral Data Base).
2002. Dalam Prosiding Forum Ilmiah Tahunan
Ikatan Surveyor Indonesia. Ikatan Surveyor
Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.
Republik Indonesia, 1996, Badan Pertanahan
Nasional, Himpunan Pidato Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, 1997, Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 dan PMNA/Kepala BPN Nomor
3 Tahun 1997
Sistemi Temel Altliginin Olusturulmasi (Trabzon
Ornegi), KTU Fen Bilimleri Enstitusu, Doktora
Tezi, Trabzon.
Sitanggang, Anggiat, (2001), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sebaiknya Pajak daerah atau
Pajak Pusat, Policy Paper Series, Badan Analisa
Fiskal, Depkeu. RI
Subaryono, 1999, Pengantar Manajemen Informasi
Pertanahan, Jurusan Teknik Geodesi. Fakultas
Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Walijatun, D. 2002. Pendaftaran Tanah. Bahan Ajar
dan Bahan Diskusi Seri Administrasi Pertanahan.
LP-SDM Widyatatama. Jogjakarta, Indonesia.
Sistem Informasi Pertanahan Sebagai Alat Untuk ...........

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Sutedi, Adrian 2008, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.
http://agrarianresourcescenter.blogspot.co.id/2006/11/ketika-penyelenggaraan-
pemerintahan.html?m=1

You might also like