You are on page 1of 31

HUBUNGAN OBESITAS DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi Masyarakat Kelas C)

Oleh :
Eni Masrokhatin
142110101186

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul
Hubungan Obesitas dengan Penyakit Jantung Koroner. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi Masyarakat Kelas C dalam menempuh
pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya kerja sama dan
dukungan dari semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini,
kami sebagai penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1 Sulistiyani, S.KM., M.Kes selaku dosen mata kuliah Gizi Masyarakat yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis dalam menyusun
makalah ini.

2 Rekan-rekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember yang


telah memberikan saran dan kritik dan masukan yang konstruktif, serta
semua pihak yang terlibat dalam proses penyempurnaan makalah ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam


penyajian data dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi seluruh aktivitas akademik di
lingkungan Universitas Jember dan semoga makalah ini dapat menjadi media
untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang keilmuan khususnya
pada ilmu kesehatan masyarakat.

Jember, 14 Oktober 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................................2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Obesitas..................................................................................................3

2.1.1 Definisi Kegemukan atau Obesitas..............................................3

2.1.2 Epidemiologi obesitas..................................................................3

2.1.3 Etiologi Obesitas..........................................................................5

2.1.4 Klasifikasi Obesitas......................................................................7

2.2 Jantung Koroner.....................................................................................8

2.2.1 Definisi Jantung Koroner.............................................................8

2.2.2 Faktor Resiko Jantung Koroner...................................................8

2.2.3 Gejala Penyakit Jantung.............................................................15

BAB 3. PEMBAHASAN......................................................................................17

3.1 Hubungan Obesitas dan Penyakit Jantung Koroner.............................17

3.2 Penanggulangan...................................................................................19

3.2.1 Penaggulangan Obesitas.............................................................19

3.2.2 Pencegahan Jantung Koroner.....................................................20

BAB 4. PENUTUP................................................................................................23

3
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

4
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini obesitas menjadi masalah di berbagai negara, tidak hanya di negara-
negara maju tetapi juga di negara berkembang termasuk Indonesia. Obesitas atau
kelebihan berat badan merupakan salah satu masalah kesehatan. Kecenderungan
terjadinya obesitas pada umumnya berhubungan erat dengan pola makan, status
sosial, ketidakseimbangan antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan.
Obesitas tidak hanya berdampak pada medis, psikis maupun sosial, tetapi
juga erat hubungannya dengan kelangsungan hidup penderitanya. Obesitas dapat
diukur dengan berbagai cara seperti Body Mass Index (BMI), underwater weight,
BOD POD, DEXA (Dual Energy X-Ray Absorptiometry), jangka kulit, bioelectric
impedance analysis dan tabel berat badan-tinggi badan (Suryohudoyo, 2002 :
Anonim 2006).
Menurut WHO, seorang disebut Obesitas bila BMI (Body Mass Index) lebih
dari normal, atau disebut overwieght (Obesitas) bila BMI > 25.0. BMI adalah
suatu angka yang didapat dari hasil berat badan dalam kilogram dibagi tinggi
badan dalam meter kuadrat.
Obesitas dapat terjadi karena energi/kalori yang masuk (energy intake/food
consumption) lebih besar dau energi yang digunakan (energy expenditure).
Kelebihan energi yang terjadi akan disimpan terutama dalam bentuk triasilgliserol
dalam jaringan lemak, akibatnya massa jaringan lemak meningkat sehingga berat
badan bertambah. Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang dipengaruhi
oleh faktor genetik, lingkungan (perilaku/pola gaya hidup), psikis, penyakit
(hipotroidisme, sindroma cushing), obat-obatan (misalnya steroid dan beberapa
dan beberapa anti-depresi) (Suryohudoyo, 2002;Anonim 2006).
Obesitas dapat meningkatkan resioko terjadinya beberapa penyakit seperti
diabetes melitus tak tergantung insulin, hipertensi, hiperlidemia. Stroke, serangan
jantung, batu empedu, sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan,
underventilasi dan ngantuk). Saat ini juga ditemukan sindroma klinik yang

1
dikenal dengan gejala : obesitas, hipertensi disiplindemia dan insulin resisance
(Fawcett, 2002; Suryohudoyo, 2002;Junquerra, 2005). Menurut salah satu hasil
penelitian, tiap kenaikan berat badan satu unit BMI 22 dapat meningkatkan 4-5%
mortalitas penyakit jantung koroner. Oleh karena itu, makalah ini membahas
pengaruh obesitas terhadap penyakit jantung koroner.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana pengaruh obesitas
terhadap penyakit jantung koroner.

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yakni untuk mengetahui bagaimana pengaruh
obesitas terhadap penyakit jantug koroner.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi Kegemukan atau Obesitas

WHO 1985 mendefinisikan obesitas sebagai kondisi BMI >30 untuk laki-
laki dan >28,6 untuk perempuan. Definisi tersebut kemudian dikembangkan
dengan BMI >25 untuk berat badan lebih over weight dan BMI >30 sebagai obese
(Chakravarthy dkk, 2004 dalam Indra, 2006).
Definisi obesitas (kegemukan) secara umum adalah kelebihan lemak tubuh
yang dialami seseorang secara kronis. Pada kondisi normal, lemak tubuh
berfungsi sebagai cadangan energi, pengaturan suhu tubuh, pelindung dari trauma
dan fungsi fungsi lainnya. Secara ideal, komposisi lemak pada peremupuan
adalah 25-30% dan laki-laki 18-23%. Apabila lemak tubuh melebihi komposisi
normal, maka orang tersebut dapat dikategorikan kegemukan (Muchtadi, 2009
dalam retnaningsih, 2010).
Menurut Berkey, dkk (2000) dalam Adiwinanto (2008) obesitas adalah
peningkatan massa lemak tubuh dengan kondisi yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang lenih tinggi. Sedangkan berdasarkan definisi,
obesitas pada wanita adalah kandungan lemak dalam tubuh yang lebih dari 30%,
sedangkan pria batas bawahnya lebih rendah yaitu 20-25%. Adanya perbedaan ini
disebabkan karena per bobot total tubuh pada wanita lebih banyak dari pada pria
(Budiyanto, 2002 dalam Wahyiningsih, 2009).
Kegemukan atau obesitas berhubungan dengan kelebihan berat badan
(Moore, 1997 dalam Wahyuningsih, 2009). Obesitas merupakan penyakit
multifaktorial yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga
dapat mengganggu kesehatan. Bila seseorang bertambah berat badannya maka
ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah
banyak ( Sidartawan, 2006 dalam Wahyuningsih, 2009).

3
2.1.2 Epidemiologi obesitas
Obesitas atau kegemukan didefinisikan sebagai suatu kelainan atau
penyakit, ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan, obesitas sebagai
epidemik global. Prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju, tetapi
juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi
obesitas seluruh penduduk, akan tetapi data obesitas pada orang dewasa yang
tinggal di ibukota provinsi seluruh Indonesia cukup untuk perhatian. Survei
nasional yang dilakukan pada tahub 1996/1997 di ibukota selurh provinsi
Indonesai menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun)
mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8 % mengalami obesitas, 10,5%
penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas.
Pada kelompok umur 40-49 tahun, overweight maupun obesitas mencapai
puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan
43% pada wanita (Adriana dan Wirjatmadi, 2012).
Menurut Soekirman (2000), di negara maju seperti Amerika 15-25 persen
anak-anak dan 15 persen dewasa adalah gemuk. Menurut data di Amerika, 40
persen anak-anak dan 0 persen remaja yang gemuk akan menjadi obis pada usia
dewasa. Di kawasan Asia, jumlah orang yang gemukjuga makin meningkat
terutama di kalangan ekonomi menengah ke atas. Di India misalnya, data dari
Nutrition Foundation of India tahun 1997 menunjukkan bahwa separuh dari
wanita dewasa dan sepertiga dewasa laki-laki dari golongan menengah atas
berstatus gizi lebih atau gemuk. Di Malaysia (1990) angka penduduk gemuk
adalah 26,0 persen (perempuan) dan 28,7 persen laki-laki dan di pilipina (tahun
1993) berturut-turut adalah 15,2 dan 12,7 persen. Di Indonesia (1997), angka
tersebut adalah 20,0 persen untuk perempuan dan 12,88 persen untuk laki-laki.
Sedang yang gemuk (obis), laki-laki 2,5 persen dan perempuan 5,69 persen, jauh
diatas angka prevalensi di Asia Tenggara (0,8%) dan timur Tengah (3,5%).
Uuntuk anak sekolah usia 810 tahun di perkotaan, sekitar 10,4 dan 13,2 persen
anak perempuan dan anak laki-laki-laki berstatus gizi lebih.

4
Sedangkan menurut Suryohudoyo (2002) dalam Hairuddin dan Dina
Helianti (2007) menyatakan bahwa pada tahun 1997, WHO memperingatkan
tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan
dunia. Di Amerika lebih dari 60 persen orang berumur 20 tahun ke atas kelebihan
berat badan. Seperempat dari orang dewasa di negeri itu obesitas. Sedangkan di
Indonesia, jumlah pemderia obesitas terus bertambah dari tahun ke tahun. Hasil
pemantauan masalah gizi lebih pada dewasa yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan tahun 1997 menunjukkan, prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada
kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9,2 persen). Saat ini diperkirakan 10 dari
setiap 100 penduduk Jakarta menderita obesitas.
Dibandingkan pria, wanita lebih mudah mengalami kelbihan berat badan
(obesitas). Salah satu faktor yang menyebabkan adalah fase hidup wanita yang
berbeda dari pria. Berat bdan yang berlebihan ketika hamil, aktivitas fisik yang
berkurang akibat menopause, mengakibatkan wanita rentan terhadap obesitas.
Wanita cenderung menimbun lemaknya dipiinggul dan bokong. Sehingga
memberikan gambaran seperti buah pir. Sedangkan pada pria biasanya lemak
menimbun disekitar perut, sehingga membrikan gambaran seperti buah apel.
Gambaran seperti buah apel akan lebih mudah mengalami berbagai masalah
kesehatan yang berhubungan dengan obesitas (Suryohudoyo, 2002 dalam
Hairuddin dan Dina Helianti, 2007).

2.1.3 Etiologi Obesitas


Overweight atau obesitas dapat dimulai pada usia berapapun. Bebrapa periode
usia menunjukkan kemungkinan yang besar terhadap terjadinya overwieght dan
obesitas. Overweight atau obesitas sejak usia belia cenderung lebih berat dan
berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa. Karena itu, pencegahan
Overweight atau obesitas pada masa anak sangat penting. Pada wanita dewasa,
kehamilan dan menopause merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya
obesitas.
Negara-negara berkembang telah memberikan kepada masyarakat beberapa
kemajuan dalam standart kehidupan dan pelayanan yang tersedia. Akan tetapi,
modernisasi juga telah membawa bebrapa kosekuensi negatif yang secara

5
langsung dan tdak langsung telah mengarahkan terjadinya penyimpangan pola
makan dan aktivitas fisik yang berperan penting terhadap munculnya obesitas.
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi,
sebagai penyekat panas, penyerap guncangan, dan ungsi lainnya. Ada dua pola
makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas, yaitu makan dalam jumlah
sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada amalam
hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stress dan kekecewaan. Binge
mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat
banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali
apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat
banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu
amkan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan
insomnia pada amalam hari.
Kurangnya akifitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama
dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat. Orang yang
kurang aktif memerlukan lebih sedikit kalori sedangkan konsumsi makanan yang
kaya lemak lebih banyak sehingga akan mengalami obesitas.
Obesitas pada anak disebabkan oleh makannannya yang berlebih. Selain itu,
pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI), tetapi
dibiasakan memakai susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI
biaanya asuapan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi.
Menurut Papalia, Olds, Feldman dan Rice (dalam Galih Tri Utomo 2012) dalam
wijayanti 2013, ada tiga penyebab obesitas, antara lain disebabkan oleh :
a. Faktor Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis dapat herediter maupun nonherediter. Variabel yang
bersifat herediter (internal faktor) merupakan variabel yang berasal dari faktor
keturunan. Sedangkan faktor yang bersifat nonherediter (eksternal faktor)
merupakan faktor yang berasal dari luar individu, misalnya jenis makanan yang
dikonsumsi dan taraf kegiatan yang dilakukan individu.
b. Faktor Psikologis
Sebab-sebab psikologis terjadinya kegemukan ialah bagaimana gambaran
kondisi emosional yang tidak stabil yang menyebabkan kecenderungan seorang

6
individu untuk melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan makanan yang
mengandung kalori atau kolestrol tinggi. Kondisi ini biasanya bersifat ekstrim,
artinya menimbulkan gejolak emosional yang sangat dahsyat dan bersifat
traumatis.
c. Faktor Kecelakaan atau Cidera Otak
Salah satu faktor penyebab obesitas adalah kecelakaan yang menyebabkan
cidera otak terutama pada pusat pengaturan rasa lapar. Kerusakan syaraf otak ini
menyebabkan individu tidak pernah merasa kenyang, walaupun telah makan
makanan yang banyak, dan akibatnya badan individu menjadi gemuk.

2.1.4 Klasifikasi Obesitas


Menurut klasifikasi World Health Organization (WHO) (Mangoenprasodjo,
2005 dalam Wulandari dan Zulkaida, 2007), pengklasifikasian obestas dilakukan
dengan cara :
Berat Badan(dalam kg)
2
( Tinggibadan ( m ) )

Tabel 1.
Indeks massa tubuh menurut World Health Organization (WHO)
Kategori IMT (kg/m2) Resiko Penyakit
Penyerta
Underweight < 18,5 Rendah
Normal 18,,5 24,9 Rata-rata
Overweight 25,0 29,9 Meningkat
Obesitas I 30,0 34,4 Sedang
Obesitas II 35,0 39,9 Parah
Obesitas II 40,0 Sangat parah
Sumber : Mangoenprasodjo, 2005 dalam Wulandari dan Zulkaida, 2007
Obesitas secara klinis dinyatakan dalam bentuk indeks massa tubuh (IMT)
30 kg/m2. Wanita dikatakan obese bila lemak tubuhnya lebih dari 27% berat
badan. Sedangkan laki-laki disebut obese bila lemak tubuhnya lebih dari 25%
berat badannya (Adriana dan Wirjatmadi, 2012).
Obesitas digolongkan menjadi tiga kelompok :
a. Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%
b. Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%

7
c. Obesitas berat: kelebihan berat badan >100%
Ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang menderita
overweight atau obesitas adalah berdasarkan berat badan dan tinggi badan, yaitu
menggunakan suatu indeks berdasarkan berat bdan dalam kilogram dibagi tinggi
badan dalam meter pangkat dua, yang disebut indeks massa tubuh (IMT). Tahun
2000 WHO telah membuat klasifikasi IMT yang dianggap cocok untuk orang asia.
Pengukuran juga dapat menggunakan ukuran komposisi lemak tubuh dengan
menggunakan alat berupa skin fold atau body fat analyzer. Wanita dikatakan
obesitas bila komposisi lemak tubuhnya lebih dari 25% berat badan, sedangkan
laki-laki disebut obesitas bila komposisi lemak tubuhnya lebih dari 20% berat
badan.

2.2 Jantung Koroner


2.2.1 Definisi Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah
yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Penyempitan pembuluh
darah terjadi karena proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya.
Aterosklerosis yang terjadi karena timbunan kolesterol dan jaringan ikat pada
dinding pembuluh darah secara perlahan-lahan (Daniel, 1999 dalam Supriyono,
2008) , hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri pada dada.
Pada waktu jantung harus bekerja lebih keras terjadi ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan asupan oksigen, hal inilah yang menyebabkan nyeri dada. Kalau
pembuluh darah tersumbat sama sekali, pemasokan darah ke jantung akan terhenti
dan kejadian inilah yang disebut dengan serangan jantung.
Penyumbatan pembuluh darah koroner terjadi akibat adanya proses
ateroskelosis, yang diawali dengan penimbunan lemak pada lapisan-lapisan
pembuluh darah tersebut. Proses aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak
masa kanakkanak, tetapi baru manifes pada usia dewasa, usia pertengahan atau
usia lanjut. Selain proses aterosklerosis ada juga proses lain, yakni spasme
(penyempitan) pembuluh darah koroner tanpa adanya kelainan anatomis, yang
secara tersendiri atau bersama-sama memberikan gejala iskemia (Ulfa, 2000
dalam Supriyono, 2008)

8
2.2.2 Faktor Resiko Jantung Koroner
a. Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi
untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK
(Clearfield, 2003 dalam Supriyono, 2008). Kolesterol ditranspor dalam darah
dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low
density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high
density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran
yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden
PJK.
Peranan trigliserida sebagai faktor risiko PJK masih controversial. Kadar
trigliserida yang meningkat banyak dikaitkan dengan pankreatitis dan harus
diterapi. Hiperlipidemia gabungan (misalnya pada diabetes) membutuhkan
intervensi, namun kekuatan trigliserida sebagai satu faktor risiko jika kolesterol
kembali normal adalah lemah. Peningkatan kadar lipoprotein merupakan faktor
risiko independen untuk PJK. Fungsi protein ini masih belum jelas, namun
diimplikasikan pada risiko PJK familial dan dapat ditemukan pada plak
aterosklerotik dan berhubungan dengan fibrinogen.

b. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit jantung,
termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat untuk
terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko
terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung
sebanyak 2 sampai 3 kali(Ridker, 2001 dalam Supriyono, 2008). Sekitar 24 %
kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan
kebiasaan merokok (Gray, 2002 dalam Supriyono, 2008). Meskipun terdapat
penurunan yang progresif proporsi pada populasi yang merokok sejak tahun 1970-
an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok.
Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang
meningkat pada remaja, terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak
merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan
risiko sebesar 20 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan

9
perokok. Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana
orang yang merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko
sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk
mengalami kejadian PJK.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya
dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang
kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan
membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada
golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan
dengan yang tidak (Rose G, 1982 dalam Supriyono, 2008). Oleh karena itu saran
penghentian kebiasaan merokok merupakan komponen utama pada program
rehabilitasi jantung koroner.
c. Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK,
hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan
jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila
setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden
PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %
(Nestle, PJ, 1980 dalam Supriyono, 2008)
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan,
pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.
d. Diabetes Melitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih
kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang
sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada
system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan
gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya
coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya

10
mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot
jantung.
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga empat
kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan
derajad
keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat
mendahuluionset gejala klinis 15 25 tahun sebelumnya. Sumber lain
mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%)
untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak diabetes
(Jian Liu, 2005 dalam Supriyono, 2008).
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK, juga
berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi
sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan
peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG)
jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic
memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca
angioplasty koroner.
e. Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam
diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner
kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang
berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.
Keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah
yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent untuk
terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari pada
populasi control (Gray, 2002 dalam Supriyono, 2008). Agregasi PJK keluarga
menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa
bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK
pada keluarga dekat.
f. Hipertensi Sistemik

11
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti dengan judul
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner di
RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan menyimpulkan bahwa 4 (empat) faktor
risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) adalah tekanan darah
(hipertensi), umur, PJK pada orang tua dan olah raga (Kalalembang, 2004 dalam
Supriyono, 2008).
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk
setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang
sekitar 16%. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi
ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh
miokardiumakan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat
peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan
infark miokardium. Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan
tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture
dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
g. Jenis Kelamin dan Hormon Seks
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
kejadiannya lebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit PJK pada laki-
laki dua kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dan kondisi ini terjadi
hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki darpada perempuan. Estrogen
endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopouse insiden
PJK meningkat dengan pesat, tetapi tidak sebesar insiden PJK pada laki-laki
(AHA, 2007 dalam Supriyono, 2008). Perokok pada wanita mengalami
menopouse lebih dini daripada bukan perokok. Gejala PJK pada perempuan
dapatatipikal, hal ini bersama bias gender, kesulitan dalam interpretasi
pemeriksaan standart (misalnya : tes latihan treadmill) menyebabkan
perempuan lebih jarang diperiksa dibandingkan laki-laki. Selain itu manfaat
prosedur revaskularisasi lebih menguntungkan pada laki-laki dan berhubungan
dengan tingkat komplikasi perioperatif yang lebih tinggi pada perempuan.
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko PJK sekitar tiga kali
lipat tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa risiko dengan preparat generasi

12
ketiga terbaru lebih rendah. Terdapat hubungan sinergis antara penggunaan
kontrasepsi oral dan merokok dengan risiko relatif infark miokard lebih dari
20:1.
Faktor risiko kardiovaskuler mayor serupa pada kedua jenis kelamin,
tetapi pria biasanya menderita PJK 10 sampai 15 tahun lebih awal
daripadawanita. Hingga berusia 60 tahun, di Amerika Serikat, hanya 1 dari 17
wanita yang sudah mengalami kelainan koroner, sedangkan pria 1 dari 5.
Sesudah usia 60 tahun, PJK menjadi penyebab utama kematian wanita, sama
dengan pria (Falk E dan Fuster V, 2001 dalam Supriyono, 2008).
h. Ras
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki
mendominasi kematian akibat PJK, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih
sering ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua. Onset PJK pada
wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih lambat disbanding pria, dan pada
wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7 (tujuh) tahun. Insidensi kematian
dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah
pada ras Afro-Karibia.
i. Geografi
Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan
bagian utara Inggris dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air,
merokok, sosio-ekonomi, dan kehidupan urban (Gray, 2002 dalam Supriyono,
2008).
Data dari Eropa menunjukkan bahwa negara-negara yang konsumsi lemak
jenuhnya tetap tinggi selama Perang Dunia II mortalitas akibat Penyakit
Jantung Iskemik tinggi, sedangkan yang konsumsinya menurun, mortalitasnya
juga menurut (Jenkin, et al, 1978 dalam Supriyono, 2008). Para imigran yang
berasal dari negara dengan pemakaian lemak rendah kemudian pindah ke
negara dengan diet yang lebih kaya lemak menunjukkan hal sebagai berikut :
perubahan yang pertama kali timbul adalah kolesterol plasma naik, kemudian
diikuti dengan kenaikan insiden penyaki jantung iskemi secara bertahap
(Glueck, 1978 dalam Supriyono, 2008).

13
Hasil penelitian pada orang-orang Jepang yang tetap tinggal di Jepang dan
yang tinggal di Hawaii maupun California menunjukkan bahwa kadar
kolesterol, glukosa, asam urat dan trigliserid pada orang-orang yang tetap
tinggal di Jepang lebih rendah daripada yang tinggal di Hawaii maupun
California. Insiden penyakit jantung iskemik paling tinggi dijumpai di
California dan paling rendah di Jepang (Nichaman, 1975 dalam Supriyono,
2008).
j. Kelas Sosial
Perbedaan sosio-ekonomi pada PJK melebar, seperti tingkat kematian dini
akibat PJK tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki terlatih
dibandingkan dengan kelompok pekerja kelas profesi (misalnya : dokter,
pengacara, dll). Kelompok dengan tingkat sosial ekonomi kuat mempunyai
tendensi lebih siap menerima perubahan demi kepentingan kesehatan daripada
kelompok dengan sosial ekonomi lemah (Stern, 1979 dalam Supriyono, 2008).
Selain itu, frekwensi istri pekerja kasar paling tidak dua kali lebih besar
mengalami kematian dini akibat PJK dari pada istri pekerja non manual. Faktor
risiko lain saling berkaitan, antara lain diet, konsumsi rokok, obesitas, aktivitas
dan lain-lain(Langner et al, 1989 dalam Supriyono, 2008)
k. Stress dan kepribadian
Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk PJK. Pada
masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stress dan
terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stress dan abnormalitas
metabolisme lipid. Disamping itu juga stres merangsang sistem kardiovaskuler
dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut
jantung dan menimbulkan vaso konstriksi.
Penelitian yang dilakukan terhadap 1000 pasien yang mengalami serangan
jantung dengan melihat sifat dan respon individu terhadap stress, tampaknya
berhubungan dengan risiko peningkatan penyakit jantung. Beberapa ilmuwan
mempercayai bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari proses
atherosklerosis pada arteri koroner Perilaku yang rentan terhadap terjadinya
penyakit koroner (kepribadian tipe A) antara lain sifat agresif, kompetitif,
kasar, sinis, keinginan untuk dipandang, keinginan untuk mencapai sesuatu,

14
gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan lain-lain. Baik ansietas maupun
depresi merupakan predictor penting bagi PJK.
l. Aktifitas fisik
Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler,
yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang
kurang aktif ke organ yang aktif. Aktivitas aerobik secara teratur menurunkan
risiko PJK, meskipun hanya 11 % laki-laki dan 4 % perempuan memenuhi
target pemerintah untuk berolah raga (Gray, 2002 dalam Supriyono, 2008).
Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur akan menurunkan
tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi,
menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL
lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya diri.
Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga perempuan tidak dapat
mempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph
pada gradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan
insiden PJK sebesar 20 40 %. Dengan berolah raga secara teratur sangat
bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol
dan sensitivitas insulin serta menurunkan berat badan dan kadar LDL-
kolesterol.
m. Alkohol
Meskipun ada satu dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis
rendah hingga moderat, hal ini masih kontroversial. Alkohol dalam dosis
rendah meningkatkan trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet dan
meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, namun tidak semua literature
mendukung konsep ini.
Studi Epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa orang telah
diketahui bahwa konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan
penurunan mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia pertengahan dan pada
individu yang lebih tua (Fong, 2000 dalam Supriyono, 2008), tetapi konsumsi
alkohol dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas
penyakit kardiovaskuler ( Andreasson, 1998 dalam Supriyono, 2008 ).

15
Peningkatan dosis alcohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
kardivaskuler karena aritmia, hipertensi sistemik, dan kardiomiopati dilatasi.

2.2.3 Gejala Penyakit Jantung


Seseorang kemungkinan mengalami serangan jantung, karena terjadi iskemia
miokard atau kekurangan oksigen pada otot jantung, yaitu jika mengeluhkan
adanya nyeri dada atau nyeri hebat di ulu hati (epigastrium) yang bukan
disebabkan oleh trauma, terjadi pada laki-laki berusia 35 tahun atau perempuan
berusia di atas 40 tahun (Anis, 2006). Sindrom koroner akut ini biasanya berupa
nyeri seperti tertekan benda berat, rasa tercekik, ditinju, ditikam, diremas, atau
rasa seperti terbakar pada dada. Umumnya rasa nyeri dirasakan dibelakang tulang
dada (sternum) disebelah kiri yang menyebar ke seluruh dada (Grey, et al, 2002).
Rasa nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung dan lengan kiri.
Keluhan lain dapat berupa rasa nyeri atau tidak nyaman di ulu hati yang
penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Sebagian kasus disertai mual dan muntah,
disertai sesak nafas, banyak berkeringat, bahkan kesadaran menurun. Tiga bentuk
penyakit jantung ini adalah serangan jantung, angina pectoris, serta gangguan
irama jantung.

16
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Obesitas dan Penyakit Jantung Koroner


Obesitas adalah merupakan kunci penting dari terjadinya peningkatan
kejadian penyakit jantung koroner (PJK). Peningkatan berat badan dengan indeks
masa tubuh lebih dari 30 kg/m 2 meningkatkan risiko PJK 4 kali lipat, baik pada
laki-laki ataupun wanita. Pada tahun 1988, American heart association (AHA)
mengklasifikasikan obesitas sebagai faktor risiko modifikasi mayor untuk PJK
(Han, 1995 dan Rossner, 2002 dalam Gotera dkk, 2006). Pada awalnya obesitas
dianggap sebagai faktor yang memberikan kontribusi pada risiko PJK melalui
faktor lain berhubungan seperti hipertensi, dislipidemia, dan diabetes. Pada tahun-
tahun terakhir telah dapat dibuktikan bahwa distribusi jaringan lemak berpengaruh
pada tingginya risiko PJK
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK,
hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan
jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila
setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden
PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %
(Nestle, PJ, 1980 dalam Supriyono, 2008).
Mengenai hubungan antara obesitas dan penyakit jantung koroner tidak
didapatkan hasil yang konsisten (Alexander JK, 1986; Connor, 1985; Feinleib,
1985 dalam Pikir, 1993). Penelitian Framingham membbuktikan bahwa obesitas
merupakan faktor resiko yang independen terhadap timbulnya penyakit jantung
koroner terutama pada wanita, sedangkan hubungan tersebut secara statistik lemah
pada pria. Tetapi perlu di diperhatikan sebagai patokan obesitas pada penelitian
tersebut ialah relative weight dari Metropolitan Life Insurance
Company(Hubert et al, 1983 dalam Pikir, 1993). Menurut Bray (1985), cara yang
baik dan mudah untuk mengukur obesitas dengan mengukur BMI. Penelitian Oslo
juga membuktikan adanya hubungan antara Overweight dengan meningkatnya
insiden infark miokard akut (Holme et al, 1980 dalam Pikir, 1993). Penelitian di

17
Yugoslavia, overweight meruoakan faktor resiko penyakit jantung koroner
hanya pada daerah perkotaan saja (Kozarevic et al, 1976 dalam Pikir, 1993). Bukti
lain menunjukkan hal yang kontroversi yaitu meskipun dalam kurun waktu 1962-
1980 prevalensi overweight meningkat di Amerika Serikat, tetapi terdapat
penurunan mortalitas dari penyakit kardiovaskuler, infark miokard maupun stroke
(Goldman, 1984 dalam Pikir, 1993). Beberapa penelitian di Amerika Serikat dan
kebanyakan di Eropa tidak menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dengan
penyakit jantung koroner (Barret, 1985; Costas et al, 1978; Barret, 1985;
Pelkonen, 1977 dalam Pikir, 1993), dan pada beberapa penelitian lain
menunjukkan hubungan yang U-shaped( Barret, 1985 dan Kluthe, 1985 dalam
Pikir, 1993). Penelitian Framingham juga menunjukkan mortalitas paling rendah
pada berat badan relatif antara 100-109% (Feinleb, 1985 dan Garrison 1985 dalam
Pikir, 1993). Karena itu adanya obesitas sedang tanpa disertai faktor resiko utama
yang lain merupakan resiko yang kecil saja untuk terjadi penyakit jantung
koroner.
Ada beberapa faktor yang dapat menerangkan kenapa tidak didapatkan hasil
yang konsisten antara hubungan obesitas dengan penyakit janung koroner, yaitu
a. Adanya misclassification bias, karena pengukuran overweight tidak selalu
menggambarkan penumpukan lemak berlebihan.
b. Adanya confounding misalnya dengan merokok, penderita yang berhenti
merokok berat badan mungkin cenderung meningkat, tetapi resiko penyakit
jantung koroner menjadi menurun.
c. Obesitas mungkin merupakan surrogate risk factor, yaitu merupakan
marker atau indikator saja adanya faktor resiko lain.
d. Adanya faktor protektif yang tak diketahui pada obesitas yang dapat
mengurangi efek faktor resiko lain, sebagai contoh pada penderita gemuk
terdapat kadar selenium yang tinggi yang mungkin merupakan faktor protektif
terhadap resiko terkena penyakit jantung koroner (Barret, 1985 dan Rigotti
1989 dalam Pikir, 1993).
Di negara dengan prevalensi penyakit jantung koroner yang tinggi, penderita
dengan overweight mempunyai resiko 2 kali untuk terjadi penyakit jantung
koroner. Tetapi overweight dan obesitas juga erat kaitannya dengan pengikatan

18
tekanan darah, peningkatan kadar kolesterol total, penurunan kadar kolesterol
HDL, gangguan toleransi glukosa dan hiperinsulinisme serta penurunan aktifitas
fisik. Sehingga apabila faktor-faktor tersebut diperhitungkan, efek obesitas
terhadap penyakit jantung koroner mungkin menjadi hilang. Jadi obesitas
mungkin bukan merupakan faktor resiko yang independen. Tetapi tidak berarti
obesitas tidak penting, tetapi obesitas paling tidak harus disebutkan sebagai
indikator faktor resiko yang penting (Shaper, 1989 dalam Pikir, 1993). Yang perlu
diperhatikan pula ialah pola penumpuka lemak. Adanya obesitas abdominal
dihubungkan dengan resiko yang tinggi terjadi penyakit jantung koroner.

3.2 Penanggulangan
3.2.1 Penaggulangan Obesitas

Faktor yang berperan dalam obesitas ada berbagai macam, akan tetapi yang
perlu diperhatikan adalah bahwa timbullnya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu
banyaknya makan, terlalu sedikitnya aktifitas atau latihan fisik atau keduanya.
Berdasarkan hal tersebut, maka setipa orang perlu memperhatikan banyaknya
masukan makanan (disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari) dan aktifitas fisik
yang dilakukan (Misnadiarly, 2004).
Dalam menangani obesitas sebaiknya menggunakan teknik-teknik modifikasi
perilaku. Teknik kontrol stimulus dan teknik kontrol diri banyak bermanfaat
dalam mengelola kegemukan. Selain itu diet dan olahraga sangat penting untuk
mempertahankan berat badan yang telah turun.
Jika menginginkan bera badan ideal perlu penanggulangan khusus, seperti ke
dokter atau dengan terapi nutrisi dan minum air yang banyak. Bila tubuh
mendapatkan air yang dibutuhkan, maka tubuh akan berfungsi secara optimal.
Cairan tubuh dalam keadaan seimbang. Orang yang mengalami kelebihan berat
badan akan membutuhkan lebih banyak air daripada orang yang kurus. Hal ini
karena orang dengan tubuh yang lebih besar memiliki beban metabolik yang lebih
tinggi (Misnadiarly, 2004).
Menurut Rahmatika (2008) dalam Wijayanti (2013) bahwa, ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk menangani obesitas, antara lain:
a. Olahraga

19
Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang bersifat aerobik,
yaitu olahraga yang menggunakan oksigen dalam sistem pembentukan
energinya. Atau dengan kata lain olahraga yang tidak terlalu berat namun
dalam waktu lebih dari 15 menit. Contoh olahraga yang dianjurkan antara lain
berjalan selama 20-30 menit setiap harinya, berenang, bersepeda
santai, jogging, senam aerobik, dll.
b. Diet
Karena diet berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi dalam
keluarga sehari-hari maka partisipasi seluruh anggota keluarga untuk ikut
mengubah pola makanan akan sangat bermanfaat. Kurangi konsumsi
makanan cepat saji dan banyak mengandung lemak terutama asam lemak
tak jenuh dan mengurangi makanan yang manis-manis.
c. Terapi Psikologis
Hal ini terutama ditujukan jika penyebab obesitas adalah masalah
psikologis seperti perceraian orang tua, ketidak harmonisan dalam
keluarga maupun rendahnya tingkat percaya diri. Selain itu
kegemukan juga menyebabkan Seseorang menjadi minder dan cenderung
mengasingkan diri dari orang lain.
d. Operasi
Penanganan obesitas dengan cara operasi dilakukan apabila
keadaan penderita sudah tidak mungkin lagi untuk diberikan cara-cara lain
seperti olahraga dan diet. Cara ini dilakukan juga dengan alasan untuk
mendapatkan tubuh yang ideal dengan cara yang cepat. Operasi ini
dilakukan dengan cara mengangkat jaringan lemak bawah kulit yang
berlebihan pada penderita.

3.2.2 Pencegahan Jantung Koroner


a. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya untuk mencegah munculnya faktor predisposisi terhadap PJK
dalam suatu wilayah dimana belum tampak adanya factor yang menjadi resiko
PJK. Tujuannya adalah untuk menghindari terbentuknya pola hidup sosial
ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko penyakit.

20
Upaya primordial penyakit jantung koroner dapat berupa Kebijaksanaan
Nasional Nutrisi dalam sektor agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor
makanan, penanganan konprehensif rokok, pencegahan hipertensi dan promosi
aktivitas fisik/olahraga.
Upaya primordial penyakit jantung koroner dapat berupa Kebijaksanaan
Nasional yaitu :
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2) Peraturan Pemerintah Nomor109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
3) Peraturan Menteri KesehatanNomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman
Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk
Tembakau.

4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman I

b. Pencegahan Primer
Yaitu upaya awal untuk mencegah PJK sebelum seseorang menderita PJK.
Dilakukan dengan pendekatan komunitas berupa penyuluhan faktor-faktor risiko
PJK terutama pada kelompok resiko tinggi, pencegahan ditujukan kepada
pencegahan terhadap berkembang proses atherosklerosis. Upaya-upaya
pencegahan yang dapat dilakukan pada pencegahan ini antara lain:
1) Mengontrol kolesterol darah. Yaitu dengan cara mengidentifikasi jenis
makanan
2) Mengontrol tekanan darah. Banyak kasus tekanan darah tinggi tidak dapat
disembuhkan. Keadaan ini berasal dari suatu kecenderungan genetik yang
bercampur dengan faktor resiko seperti stres, kegemukan, terlalu banyak
konsumsi garam dan kurang gerak badan. Upaya pengendalian yang dapat
dilakukan adalah mengatur diet, menjaga berat badan, menurunkan stres dan
melakukan olah raga, mengurangi pola makan yang kaya akan kolesterol
kemudian mengurangi konsumsinya serta mengkonsumsi serat yang larut
(soluble fiber).

21
3) Berhenti merokok. Program-program umum dan kampanye anti merokok perlu
dilaksanakan secara intensif, seperti di pesawat terbang, di rumah sakit, dan di
tempat umum lainnya.
4) Aktifitas fisik. Manfaat dari melakukan aktifitas fisik dan olah raga bagi
penyakit jantung koroner antara lain adalah perbaikan fungsi dan efisiensi
kardiovaskuler, pengurangan faktor resiko lain yang menggaggu pembuluh
darah koroner, perbaikan terhadap toleransi stres.
c. Pencegahan sekunder
Yaitu untuk mencegah keadaan PJK yang sudah pernah terjadi untuk berulang
untuk menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan pola hidup dan kepatuhan
berobat bagi mereka yang sudah pernah menderita PJK. Pencegahan sekunder ini
ditujukan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan
menurunkan mortalitas.
Pedoman untuk mencegah serangan jantung dan kematian pada penderita PJK
hampir sama dengan pencegahan primer. Selain itu juga dilakukan intervensi
dengan obat-obatan. Obat yang paling banyak diberikan, tujuannya adalah
mengencerkan darah agar tidak cepat membeku.
d. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan terjadinya komplikasi yang lebih berat atau
kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini berupa rehabilitasi jantung program
rehabilitasi jantung ditujukan kepada penderita PJK, atau pernah mengalami
serangan jantung atau pasca operasi jantung.

22
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
a. obesitas adalah kondisi BMI >30 untuk laki-laki dan >28,6 untuk perempuan.
Definisi tersebut kemudian dikembangkan dengan BMI >25 untuk berat
badan lebih over weight dan BMI >30 sebagai obese.
b. Prevalensinya obesiitas meningkat tidak saja di negara-negara maju, tetapi
juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
c. Terdapat tiga penyebab obesitas : Faktor Faktor Fisiologis, Faktor Psikologis,
dan Faktor Kecelakaan atau Cidera Otak.
d. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah
yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner
e. Obesitas mungkin bukan merupakan faktor resiko yang independen terhadap
PJK. Tetapi tidak berarti obesitas tidak penting, tetapi obesitas paling tidak
harus disebutkan sebagai indikator faktor resiko yang penting terhadap
penyakit jantung koroner. Yang perlu diperhatikan pula ialah pola penumpuka
lemak. Adanya obesitas abdominal dihubungkan dengan resiko yang tinggi
terjadi penyakit jantung koroner.
f. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menangani obesitas, antara
lain: Olahraga, Diet, Terapi Psikologis, dan Operasi.
g. Pencegahan penyakit jantung koroner yakni pencegahan secara primordial,
primer, sekunder, dan tersier.

4.2 Saran
a. Menyadari secara dini obesitas dan penyakit jantung koroner

b. Menjaga pola makan yang seimbang dan hidup sehat dengan berolahraga

23
c. Mengonsumsi makanan berserat, jangan makan berlebihan serta kontrol
kolesterol, kontrol tekanan darah dan gula darah, serta mengontrol kesehatan
secara rutin.
d. Tidak mengkonsumsi rokok, alkohol dan makana yang mengandung
kolesterol tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinanto, Wahyu. 2008. Pengaruh Intervensi Olahraga di Sekolah terhadap


Indeks Masa Tubuh dan Tingkat Kesegaran Kardiorespirasi pada
Remaja Obesitas. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. (online).
[http://eprints.undip.ac.id/28849/1/Wahyu_Adiwinanto_Tesis.pdf]
(diakses tanggal 15 Oktober 2016)
Andriani, Merryana dan Bambang Wijatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.
Jakarta: Kencana
Gotera, Wira. Dkk. 2006. Hubungan antara Obesitas Sentral dengan Adiponektin
pada Pasien Geritari dengan Penyakit Jantung Koroner. Artikel.
Denpasar: Universitas Udayana. (online).
[http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3752/2750]
(diakses tanggal 15 Oktober 2016)
Hairuddin dan Dina Helianti. 2007. Dasar Molekuler Obesitas. Jurnal. Jember:
Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Jmber
Indra, Muhammad Rasyad. 2006. Dasar Genetik Obesitas Viseral. Jurnal.
Malang: Universitas Brawijaya. (online).[
http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/download/279/266] (diakses
tanggal 15 Oktober 2016)
Pikir, Budi Susetyo. 1993. Obesitas dan Penyakit Jantung. Jurnal. Surabaya:
Medika Jurnal Kedokteran dan Farmasi
Retnaningsih, Ekowati. 2010. Model Prediksi Prevalensi Obesitas pada Penduduk
Umur Diatas 15 Tahun di Indonesia. Jurnal. Palembang: Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatra Selatan. (online).

24
[http://ueu7065.weblog.esaunggul.ac.id/wp-
content/uploads/sites/2396/2013/12/jurnal-kros-seksional.pdf] (diakses
tanggal 15 Oktober 2016)
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional
Supriyono, Mamat. 2008. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Usia 45 Tahun (Studi
Kasus d RSUP Dr. Kariadi dan Rs Telogorejo Semarang). Tesis.
Semarang: Universitas Diponegoro (online)
[http://eprints.undip.ac.id/18090/1/MAMAT_SUPRIYONO.pdf]
(diakses tanggal 15 Oktober 2016)
Wahyuningsih, Nur Aini Sri. 2009. Hubungan Obesitas dengan Osteoartritis lutut
pada Lansia di Kelurahan Puncangsawit Kecamatan jebres Surakarta.
Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (online).[
https://eprints.uns.ac.id/8470/1/144851308201011141.pdf] (diakses
tanggal 15 Oktober 2016)
Wijayanti, Dewi Nur. 2013. Analisis Faktor Penyebab Obesitas dan cara
Mengatasi Obesitas pada remaja Putri (Studi Kasusu pada Siswi SMA
Negeri 3 Temanggung). Skripsi. Semarang: Universitas Negeri
Semarang. (online).[ http://lib.unnes.ac.id/18887/1/6250408055.pdf)
(diakses tanggal 15 Oktober 2016)
Wulandari, Tri dan Anita Zulkaida. 2007. Self Regulated Behavior pada Remaja
Putri yang Mengalami Obesitas. Proceeding PESAT Auditorium
Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007. Universitas Gunadarma
(online).
[http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/34161637/Tri_Wul
an_Anita_Self_Regulated.pdf?
AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=14765353
99&Signature=yNMduUy1PLUTc8ZTILl6nd4aR64%3D&response-
content-disposition=inline%3B%20filename

25
%3DSELF_REGULATED_BEHAVIOR_PADA_REMAJA_PUTR.pdf]
(diakses tanggal 15 Oktober 2016)

26
LAMPIRAN-LAMPIRAN

27

You might also like