You are on page 1of 23

REFERAT

Pembimbing :

Dr. Adri Rivai, Sp. Pd

Disusun Oleh :

Andri Dwi Heryadi (2011730005)

KEPANITERAAN KLINIK

STASE ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

Hemoptisis atau batuk darah adalah darah atau dahak berdarah yang
dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari glottis kearah
distal). Batuk darah adalah suatu keadaan yang menakutkan atau mengerikan bagi
penderita maupun keluarganya, sehingga dapat menyebabkan beban mental, bahkan
menjadi gelisah. Sebagai akibat dari ketakutannya tadi penderita berusaha menahan
batuknya. Kalau hal ini terjadi, maka bahaya penyulit seperti penyumbatan saluran
napas akan mengancam jiwa penderita, oleh sebab itu ketenangan penderita mutlak
diperlukan. Pada umumnya penderita, telah mempunyai penyakit dasar, tetapi
keluhan-keluhan yang berasal dari penyakit dasar tadi tidak mendorong penderita
untuk pergi berobat. Pada dasarnya batuk darah akan berhenti sendiri, asal robekan
pembuluh darah tidak luas, sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi.1

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi.
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain penyakit infeksi, neoplasma,
benda asing, trauma, gangguan vascular, penyakit autoimun dan lain-lain. Volume
darah yang dibatukkan bervariasi dari dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga massif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.6

Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan pertolongan segera dan


pengawasan medic karena sewaktu-waktu dapat terjadi perdarahan massif yang
berakibat fatal. Penanganan batuk darah pada prinsipnya menjaga jalan napas agar
tidak terjadi asfiksia, menghentikan perdarahan dan penatalaksanaan selanjutnya
tergantung pada etiologi dan lokasi sumber perdarahan.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari bronkus atau paru.
Hemoptisis bisa banyak, atau bisa pula sedikit sehingga hanya berupa garis merah
cerah di dahak..2

Hemoptisis atau batuk darah ialah darah atau dahak berdarah yang
dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari glottis kearah
distal).1

Hemoptisis adalah Ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran nafas


dibawah laring, atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas di bawah laring. Batuk
darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga
etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama.3

2.2 Epidemiologi6

Dibeberapa negara berkembang penyebab batuk darah tersering masih


didominasi oleh penyakit infeksi. Lim dkk melakukan penelitian sejak tahun 1993-
1998 pada sebuah rumah sakit di Singapura, menemukan penyebab batuk darah
massif dengan laju perdarahan > 150 ml dalam 24 jam adalah TB paru (40%),
kanker paru (10%), bronkiektasis (8%) dan sekuenstrasi paru (2%).

Di RS Persahabatan, Retno dkk pada penelitiannya terhadap 32 penderita


batuk darah mendapatkan penyabab terserig adalah TB paru (64,43%) dan
bronkiektasis (16,71%) sedangkan kanker paru sejumlah 3,4%. Hadiarto dkk
mendapatkan penyebab tersering adalah TB paru (50%), karsinoma ronkus (32%),
bronchitis (8%) dan bronkiektasis (5%).

3
2.3 Klasifikasi/Berat Ringannya

Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan5:

1. Bercak (Streaking)
Darah bercampur dengan sputum merupakan hal yang sering terjadi,
paling umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15-20 mL/24 Jam.

2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah dibatukkan 20-600 mL
di dalam 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini
berarti perdarahan dari pembuluh darah lebih besar dan biasanya karena
kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia), TB paru atau emboli paru.

3. Hemoptisis massif
Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam sampai 48 jam lebih dari
600 mL- biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB paru atau
bronkiektasis.
Batuk darah massif adalah batuk darah lebih dari 100 mL hingga lebih
dari 600 mL darah dalam 24 jam.2

4. Pseudohemoptisis
Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian
atas (diatas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini
dapat berupa perdarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir
biasanya karena luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.

Klasifikasi menurut Pusel:2


+ batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ batuk dengan perdarahan 1 30 ml

+++ batuk dengan perdarahan 30 150 ml

++++ batuk dengan perdarahan 150-500 ml

Massive batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih

2.4 Etiologi

4
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hemoptisis atau batuk darah
merupakan tanda dan gejala dan penyakit yang mendasarinya. Penyakit atau
keadaan yang menyebabkan batuk darah sangat beragam sehingga anamnesis,
pemeriksaan fisis serta berbagai pemeriksaan penunjang perlu dilakukan dengan
teliti agar dapat menentukan etiologinya. 6

Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari pendekatan massif


atau tidak masifnya hemoptisis. Pada dasarnya semua penyebab hemoptisis dapat
menyebabkan hemoptisis massif, akan tetapi penyebab terseringnya adalah infeksi
(terutama tuberculosis), bronkiektasis dan keganasan. Pada aspergiloma, fibrosis
kistik serta berbagai penyakit parenkimal paru difus umumnya terjadi hemoptisis
masif bila terinfeksi. Kelainan imunologi juga dapat menyebabkan perdarahan
intrapulmonary difus yang harus dipertimbangkan pada hemoptisis massif tanpa
etiologi lain yang jelas. Fistula arteri trakeal sering terjadi sebagai kompliasi dari
trakeostomi. Sementara itu rupture arteri pulmonalis bisa terjadi pada kateterisasi
dengan pengembangan balon. Harus diingat bahwa 2 hingga 32% kasus hemoptisis
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hemoptisis idiopatik disebut juga
hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya menyebabkan hemoptisis tidak
massif, walaupun pada hemoptisis massif <5% adalah idiopatik.4

Sebab Insidensi

Infeksi: 60%

Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis, infeksi jamur, parasit,


necrotizing pneumonia

Neoplasma: 20%

Ca. bronkogenik, lesi metastasis, adenoma bronkus

Peny. Kardiovaskuler: 5-10%

Emboli paru, Stenosis mitral, malformasi arteriovena, aneurisma aorta,


edema paru

Lainnya: 5-10%

5
Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom Goodpasture, terapi
antikoagulan, adenoma bronkus

sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V

Secara umum penyebab penyebab batuk darah dapat dikelompokkan sebagai


berikut:

Sumber: American Family Physician

2.5 Patogenesis

Patogenesis terjadinya batuk darah yang disesabkan oleh berbagai penyakit


yang mendasarinya pada prinsipnya hampir sama, yaitu bila terjadi
penyakit/kelainan pada parenkim paru, system sirkulasi bronchial atau pulmoner,
maupun pleura sehingga terjadi perdarahan pada kesua system sirkulasi tersebut.6

Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran nafas (dari
bronkus utama hingga bronkiolus terminalis), pleura, jaringan limfoid intra
pulmonalis yang pada dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik,
memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk brnkiolus respiratorius.

6
Anastomosis arteri dan vena bronkopulmoner, yang merupakan hubungan antara ke-
2 sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkiolus
respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini memungkinkan ke-2 sumber darah
untuk saling mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu system meningkat maka
system yang lain akan menurun. Studi arteriografi menunjukkan bahwa 92%
hemoptisis berasal dari arteri-arteri bronkialis.4

Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan.


Secara umum bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan
adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan
adalah dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan
berulang maka perdarahan sering kali berhubungan dengan peningkatan vaskularitas
di lokasi yang terlibat.4

Tuberkulosis6

Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberculosis yang masih aktif
ataupun akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah sembuh.
Susuna parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga
sering terjadi bronkiektasis dengan hipervaskularisasi, pelebarab pembuluh darah
bronchial, anastomosis pembuluh darah bronchial dan pulmoner.

Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadinya


pneumonitis TB akut dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis
pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah
tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun batuk darah
massif.

Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui sebagai penyebab batuk darah


massif pada penderita TB ataupun pada bekas penderita TB. Kematian akibat batuk
darah massif pada penderita TB berkisar antara 5-7%.

Bronkiektasis6

Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding bronkus


akibat infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Perubaha yang terjadi

7
ternyata juga melibatkan perubahan arteri bronchial yaitu hipertrofi, peningkatan
atau pertambahan jumlah jarring vascular (vascular bed). Perdarahan dapat terjadi
akibat infeksi ataupun proses inflamasi. Pecahnya pembuluh darah bronchial yang
memiliki tekanan sistemik dapat berakibat fatal.

Abses paru6

Hemoptisi dapat terjadi pada 11-15% penderita abses paru primer.


Perdarahan massif dapat terjadi pada 20-50% penderita abses paru yang mengalami
hemoptisis. Mekanisme perdarahan adalah akibat proses nekrosis pada parenkim
paru dan pembuluh darahnya.

Stenosis Mitral6

Sebelum maraknya valvulotomi dan operasi penggantian katup mitral,


hemoptisis dapat terjadi pada 20-50% penderita dengan stenosis mitral dan
hemoptisis massif dapat terjadi pada 9-18% penderita. Peningkatan tekanan atrium
kiri menyebabkan pleksus submukosa vena bronchial mengalami dilatasi untuk
mengakomodasi peningkatan aliran darah. Varises pembuluh darah tersebut apabila
terpajan pada infeksi saluran napas atas, batuk atau peningaktan volume
intravaskuler seperti pada kehamilan dapat menimbulkan hemoptisis.

Neoplasma

Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan infalmasi embuluh darah
pada jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner jarang terjadi.
Hemoptisis dapat terjadi pada 7-10% penderita dengan karsinoma bronkogenik.6

Penderita kanker metastasis ke paru, hemoptisis terjadi akibat lesi


endobronkial. Tumor mediastinum jug dapat menimbulkan batuk darah, terutama
karsinoma esophagus akibat penyebarannya ke pohon trakeobronkial.6

8
Pada adenoma bronchial, perdarahan sering terjadi dari rupture pembuluh-
pembuluh darah permukaan yang menonjol.4

Infeksi Jamur Paru6

Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada parenkim dan


struktur vaskuler sehingga dapat menimblkan infark paru dan perdarahan. Meskipun
demikian infeksi jamur paru yang invasive jarang menimbulkan hemoptisis.
Sebaliknya pembettukan misetoma dapat menimbulkan hemoptisis pada 50-90%
penderita misetoma.

Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru


berkaviti, misalnya TB, sarkoidosis, cavitary lung carcinoma, infark paru, emfisema
bulosa, bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis rematoid dan ankylosing
spondylitis, trauma mekanik akibat pergerakan fungus ball di dalam kaviti, jejas
vaskuler akibat endotoksin Aspergillus, dan kerusakan vaskuler akibat reaksi
hipersensitivitas tipe III merupakan beberapa teori penyebab terjadinya hemoptisis
pada misetoma. Hemoptisis dapat pula terjadi akibat bronkolitiasis dari adenopati
Histoplasma yang mengalami kalsifikasi.

2.6 Diagnosis

Hal pertama yang harus diketahui dalam mengevaluasi hemoptisis adalah


mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran napas bawah, dari saluran
napas atas (contoh epistaksis), atau dari saluran cerna (hematemesis). Penentuan
sumber perdarahan merupakan hal penting karena akan menentukan langkah
penatalaksanaan selanjutnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat
menentukan di dalam menentukan apakah perdarahan yang terjadi merupakan
hemoptisis, epistaksis atau hematemesis.6

9
sumber: American Family Physician

Anamnesis:5

1. Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal


tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifik
2. Sumber paling umum berupa epistaksis (nasofaring). Darah menetes ke
faring, mengiritasi laring dan dibatukkan. Pasein sering dapat menjabarkan
rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber perdarahan umumnya benar.
Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru, maka pasien akan
menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-olah
darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan
dibatukkan dengan dimuntahkan.
3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan saluran
nafas juga dicari.
4. Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu dalam
mendiagnosis :
a. Demam dan batuk prosuktif mengisyaratkan infeksi.
b. Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada mengindikasikan
kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang idsertai dengan gagal
jantung kongestif.
c. Kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan kanker paru atau
infeksi kronik seperti tuberculosis atau bronkiektasis.

10
sumber: American Family Physician

Pemeriksaan Fisis:

Pemeriksaan fisis dapat membantu diagnosis penyebab hemoptisis.


Pemeriksaan saluran nafas atas harus dilakukan dengan teliti untuk menyingkirkan
kemungkinan sumber perdarahan selain dari paru atau saluran napas bawah. Mulut
juga perlu diperiksa mengenai kemungkinan laserasi dan tumor. Pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan dari
sekitar faring. Bunyi nafas tambahan seperti stridor atau mengi dapat memberikan
petunjuk tumor/benda asing didaerah trakeolaring. Gambaran saddle nose atau
perforasi septum dapat menunjukkan granulomatosis Wegener. Jari tabuh (clubbing
finger) memberikan petunjuk kemungkinan keganasan intratorakal dan supurasi
intratorakal (abses paru, bronkoektasis).6

Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan


takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan darah
yang akut pada hemoptisis massif atau penyakit yang menyebabkan/menyertainya:
emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema paru.5

11
- Pemeriksaan nasofaring:

Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis massif


untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).

- Pemeriksaan jantung

Dibutukan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut


(terdapat peninggian komponen paru, suara jantung kedua), kegagalan ventrikel
kiri akut (summation gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral.
Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena
insufisiensi tricuspid, sering pada penyalahgunaan obat intravena dan dapa
menyebabkan hemoptisis karena emboli septic.

- Pemeriksaan dinding dan rongga dada

Kelainan disini secara tersendiri jarang mnejadi penyebab hemoptisis; akan


tetapi, temuan tertentu bisa menjadi petunjuk:

# Trauma dinding dada, coba cari adanya memar parenkim paru (pulmonary
contusion) atau laserasi bronchial.

# Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi


redup/pekak (dullness) menunjukkan adanya konsolidasi (disebabkan
pneumonia, infark paru atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing
atau kanker paru).

# Pleural friction rub dapa didengar pada area di atas infark paru.

# Ronki merata (difus, kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya


kemungkinan edema paru kardiogenik.

12
sumber: American Family Physician

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium

1. Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan


hematokrit menunjukkan adanya kehilangan darah yang akut. Jumlah sel
darah putih yang meninggi mendukung adanya infeksi. Trombositopenia
mengisyaratkan kemungkinan koagulopati; trombositosis
mengisyaratkan kemungkinan kanker paru.
2. Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protombin (PT)
dan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai
adanya koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima
warfarin/hepatin.
3. Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien sesak yang jelas
dan sianosis.
4. Pemeriksaan dahak. Pasien dengan darah bercampur dahak, pewarnaan
gram, BTA atau preparasi kalium hidroksida dapat mengungkapkan
penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker.
Pencitraan (Imaging):

13
1. Rontgen dada akan menunjukkan adanya massa paru, kavitas atau infiltrate
yang mungkin menjadi sumber perdarahan. 5
2. Arteriografi bronchial selektif dilakukan bila bronkoskopi tidak dapat
menunjukkan lokasi pedarahan massif. Embolisasi arteri bronchial selektif
untuk mengendalikan perdarahan dapat berfungsi sebagai terapi yang
definitive atau sebagai tindakan antara hingga torakotomi dapat dilakukan. 5
Pemeriksaan ct-scan dapat memberikan informasi yang lebih jelas dari foto
thoraks, misalnya gambaran bronkiektasis atau karsinoma bronkus yang berukuran
kecil. Pemeriksaan ct-scan dengan resolusi tinggi merupakan metode pilihan dalam
diagnosis bronkiektasis. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan sebelum
pemeriksaan bronkoskopi, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.6

Bronkoskopi

Saluran nafas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku


atau fiberoptik.5

1. Bronkoskopi fiberoptik dengan anastesia topical paling sering digunakan karena


instrument fleksibel ini dapat memvisualisasi bronkus subsegmental dan saluran
nafas sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah
diameter tempat menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil (<2mm).
Jika perdarahan itu besar, maka system ini tidak dapat mengevakuasi darah
dengan cepat untuk mempertahankan system lensa ini tetap bersih. Kebanyakan
benda asing tidak bisa dipindahkan dengan instrument ini.

2. Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis massif dan ketika
dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah biasanya
dibutuhkan anastesia umum dan hanya saluran napas sentral dapat
divisualisasikan.

Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang dapat bersifat diagnostic


untuk mencari penyebab batuk darah namun juga untuk terapeutik. Tindakan
bronkoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi kaku atau
bronkoskopi serat lentur (fiberoptic bronkoskopi).6

Pemeriksaan Penunjang Lain6

14
Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Misalnya
pada penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah atau kelainan
hematologi lainnya dilakukan pemeriksaan faal hemostasis, pada penderita dengan
kecurigaan penyakit autoimun systemic lupus eritomateus (SLE) dilakukan
pemeriksaan anti ds DNA atau ANA (antinuclear antibody).

Arteriografi bronchial dan pulmoner dilakukan bila semua pemeriksaan


diatas gagal atau menemukan sumber perdarahan. Arteriografi dapat pula digunakan
sebagai alat terapeutik dengan melaksanaan embolisasi.

2.8 Penatalaksanaan
Hemoptisis non-masif
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar.2 Penyebab tersering
hemoptisis non massif terutama yang terjadi akut adalah bronchitis, risiko pasien
ringan dengan gambaran radiologi yang normal. Penatalaksanaa kondisi pasien
seperti ini dapat dengan monitoring airway, breathing dan circulation serta
pengobatan terhadap penyebabnya misalnya dengan pemberian antibiotic bila

15
diperlukan, tetapi bila batuk darah ini cenderung makin lama, berlangsung terus
atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk evaluasi oleh ahli paru.6
1. Terapi dasar. Pasien harus istirahat total, dengan posisi paru yang mengalami
perdarahan di bawah. Refleks batuk harus ditekan dengan kodein fosfat 30-
60 mg intramuskuler setiap 4-6 jam selama 24 jam.5
2. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar
penyebab perdarahan tersebut.5

Hemoptisis massif
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis masif terdiri dari beberapa langkah yaitu
menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita, menentukan lokasi perdarahan dan
memberikan terapi. Langkah pertama merupakan prioritas tindakan awal.
Setelah penderita lebih stabil, langkah kedua ditujukan untuk mencari sumber
dan penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai setelah periode perdarahan
akut telah teratasi, dan ditujukan untuk mencegah berulangnya hemoptisis
dengan memberikan terapi spesifik sesuai penyebabnya, bila memungkinkan.
Penderita dengan hemoptisis massif harus dimonitor dengan ketat di instalasi
perawatan intensif.6

Langkah I. Menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita6


Setelah diagnosis hemoptisis ditegakkan, upaya pembebasan jalan nafas
dilakuak untuk menghindari resiko aspirasi. Aspek lain yang harus diingat
meliputi resusitasi cairan, suplementasi oksigen, koreksi gangguan pembekuan
darah, pemberian antitusif ringan, laksan dan sedasi ringan diberikan sesuai
indikasi. Langkah tahap ini merupakan upaya konservatif dalam
penatalaksanaan hemoptisis di RS Persahabatan, yaitu:
- Menenangkan dan mengistirahatkan penderita sehingga perdarahan lebih
mudah berhenti. Penderita perlu diberitahu agar tidak takur membatukkan
darah yang ada di saluran nafasnya.
- Menjaga jalan nafas tetap terbuka. Apabila terdapat tanda sumbatan jalan
nafas perlu dilakukan penghisapan (suction). Suction dengan bronkoskop
akan lebih baik, tetapi memerlukan keterampilan khusus. Pemberian
suplementasi oksigen lebih banyak menolong kecuali bila jalan nafas
dibebaskan.
- Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid.
- Transfusi darah diberikan bila hematokrit turun di bawah nilai 25-30% atau
hemoglobin (Hb) dibawah 10 g% dan perdarahan masih berlangsung.

16
- Laksan (stool softener) dapat diberikan untuk menghindari kemungkinan
mengedan.
- Bila batuk mencetuskan terjadinya perdarahan lebih lanjut dapat diberikan
obat sedasi ringan untuk mengurangi kegelisahan penderita dan tirah baring.
Obat antitusif ringan hanya diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan
dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
- Manipulasi dinding dada berlebihan harus dihindari seperti perkusi dinding
dada dan spirometri. Pemberian obat supresi reflex batuk seperti kodein dan
morfin harus dihindari.
- Hipoksemia yang mengalami perburukan merupakan tanda bahwa
perdarahan menganggu pertukaran gas dan harus diberikan suplementasi
oksigen.
- Bila terjadi serangan batuk darah, tergantung dari keadaan penderita:
o Penderita dengan keadaan umum dan reflex batuk baik, maka
penderita duduk dan diberikan instruksi cara membatukkan darah
dengan benar.
o Penderita dengan keadaan umum berat dan reflex batuk kurang
adekuat, maka posisi penderita Trendelenberg ringan dan miring ke
sisi yang sakit (lateralisasi) untuk mencegah aspirasi darah ke sisi
yang sehat.
- Bila batuk darah terus berlanjut dan terjadi perburukan hipoksemia, maka
penderita perlu diintubasi dengan pipa endotrakeal berdiameter besar agar
memungkinkan penggunaan bronkoskopi serat optic lentur untu evaluasi,
melokalisir perdarahan dan tindakan penghisapan (suctioning).
- Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk melindungi paru yang sehat
dari aspirasi darah. Bila sumber perdarahan dari paru kanan, bronkoskop
dimasukkan ke bronkus utama kiri dan paru kiri diintubasi dengan bantuan
bronkoskop. Bila sumber perdarahan dari paru kiri, trakea diintubasi dengan
bantuan bronkoskop, dan penderita dalam posisi lateral kiri untuk
meminimalisasi aspirasi. Kemudian kateter Fogarty nomor 14 F dimasukkan
di samping pipa endotrakeal samapi beberapa sentimeter di bawah cuff.
Kateter Fogarty diarahkan ke bronkus utama kiri dengan bantuan
bronkoskop dan balon dikembangkan di bronkus utama kiri, sehingga
kateter Fogarty berada di paru kanan. Intubasi selektif di paru kanan tidak
disarankan karena memiliki resiko menutupi orifisium lobus atau paru
kanan.

17
- Intubasi dengan kateter lumen ganda (double lumen endotracheal tubes) juga
dapat digunakan untuk mengisolasi paru yang tidak mengalami perdarahan,
sehingga mengurangi resiko aspirasi. Setelah sumber perdarahan diketahui
ujung pipa endotrakea di paru yang mengalami perdarahan ditutup
(clamped), sedangkan ujung pipa endotrakea di sisi yang tidak berdarah
dihubungkan dengan ventilator untuk menjamin ventilasi. Menunjukkan
pipa endotrakeal lumen ganda yang memiliki lumen trakeal dan lumen
bronchial, yang dimasukkan ke bronkus utama kiri. Lumen trakeal tetap
berada di suprakarina dan memberikan ventilasi untuk paru kanan dan
menghindari tertutupnya orifisium lobus atas paru kanan. Pemasangan pipa
endotrakea lumen ganda harus dipasang oleh operator berpengalaman karena
kemungkinan dapat terjadi obstruksi karena pipa endotrakea lumen ganda
tersebut sehingga menghalangi penghisapan jalan napas dan evaluasi dengan
bronkoskop.

Langkah II. Mencari sumber dan penyebab perdarahan


Jika penderita telah stabil, perlu dicari sumber dan penyebab perdarahan
secepat dan setepat mungkin. Lokasi perdarahan dan penyebabnya perlu
diketahui untuk dapat memberikan terapi spesifik. Langkah ini dapat dilakukan
dengan pemeriksaan radiologi (foto thoraks, ct-scan, angiografi) dan dengan
bronkoskopi (BSOL maupun bronkoskop kaku).

Langkah III. Pemberian terapi spesifik


Pemberian terapi spesifik dilakuakan untuk menghentikan perdarahan dan
mencegah berulangnya perdarahan. Pemberian terapi spesifik dapat dilakukan
melalui bronkoskopi 9bronkoskopi terapeutik) dan terapi non bronkoskopik.

1. Bronkoskopi Terapeutik
a. Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin (iced saline
lavage). Pemberian larutan garam fisiologis dingin dimaksudkan
untuk meningkatkan hemostasis dengan menginduksi vasokonstriksi.
Suatu studi tanpa control mengamati 23 penderita yang diberikan
pembilasan dengan aliquot 50 ml sekuansial dengan suhu 4oC (total
500 ml) melalui bronkoskop kaku. Ternyata control perdarahan
dicapai pada 21 penderita.
b. Pemberian obat topical. Pemberian epinefrin topical dengan
konsentrasi 1:20.000 dimaksudkan untuk vasokonstriksi pembuluh

18
darah, namun efektivitasnya masih dipertanyakan terutama pada
hemoptisis massif. Tsukamoto dkk melakukan studi pemberian
thrombin topical dan larutan fibrinogen-trombin. Namun terapi ini
masih perlu penelitian lebih lanjut.
c. Tamponade endobronkial. Isolasi perdarahan menggunakan kateter
balon tamponade (balloon tamponade catheter) dapat mencegah
aspirasi darah ke paru kontralateral dan menjadi pertukaran gas pada
hemoptisis massif.
d. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser). FOtoterapi menggunakan laser
Neodymium-Ytrium-Aluminium-Garnet (Nd-YAD) telah digunakan
sebagai terapi paliatif dengan hasil bervariasi pada penderita
hemoptisis massif. Terapi ini digunakan pada penderita dengan
perdarahan endobronkial karena kemampuan koagulasinya.

2. Terapi Non Bronkoskopik


a. Pemberian terapi medikamentosa
b. Vasopressin IV merupakan vasokonstriktor sistemik dengan dosis
0,2-0,4 unit/menit telah digunakan untuk mengatasi hemoptisis
massif.
c. Pemberian asam traneksamat (antifibrinolitik) untuk menghambat
aktivasi plasminogen dilaporkan dapat mengontrol hemoptisis pada
penderita fibrosis kistik yang tidak dapat terkontrol oleh embolisasi
arteri bronchial.
d. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan obat sitotoksik dan
plasmaferesis mungkin dapat bermanfaat pada penderita hemoptisis
massif akibat perdarahan alveolar penyakit autoimun.
e. Pemberian gonadotropin releasing hormone agonist (GnRH) atau
danazol mungkin bermanfaat pada terapi jangka panjang penderita
hemoptisis katamenial.
f. Hemoptisis karena penyakit infeksi seperti TB, infeksi jamur atau
kuman lain maka diberikan antituberkulosis, antijamur ataupun
antibiotic.
g. Radioterapi untuk mengatasi hemoptisis massif pernah dilaporkan
penderita aspergiloma yang gagal diterapi dengan embolisasi.
Mekanisme adalah melalui mengurangi pembengkakan dan induksi
nekrosis sumber perdarahan sehingga menghasilkan thrombosis
vaskuler dan kompresi edema perivaskuler.

19
3. Embolisasi Arteri Bronkialis dan Pulmoner
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi
sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi dapat
dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Tekhnik ini teruatma
dipilih untuk penderita dengan penyakit bilateral, fungsi paru sisa yang
minimal, menolak operasi ataupun memiliki kontraindikasi tindakan operasi.
Terapi ini dapat diulang beberapa kali untuk mengontrol perdarahan.
Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol perdarahan
(jangka pendek) antara 64-100%. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu akibat
oklusi arteri bronkialis yaitu nyeri dada, demam maupun emboli ektopik.

4. Bedah
Pembedahan merupakan terapi definitive pada penderita hemoptisis
massif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah, ada kontraindikasi embolisasi arteri
atau kecurigaan perforasi arteri pulmoner dan rupture misetoma dengan
kolateral arteri yang banyak.

Resiko utama hemoptisis massif adalah asfiksi dari darah di dalam saluran
nafas. 5
Terapi umum:5
a. Mempertahankan terbukanya saluran nafas. Pemasangan selag
endotrakeal memungkinkan kita melakukan penghisapan darah dari
saluran nafas dan kemudian menghubungakannya dengan suatu
ventilator. Yang ideal adalah selang endotrakeal dengan lumen ganda.
b. Apabila diketahui lokasi perdarahan, maka pasien harus ditempatkan
dengan paru yang mengalami perdarahan di bawah untuk melindungi
paru yang baik.
c. Menekan batuk dengan kodein fosfat 30-60 mg secara intramuskuler.
d. Mempertahankan tekanan darah dengan darah segar dan plasma
ekspander. Apabila dicurigai terjadi koagulopati, maka dapat diberikan
plasma segar beku (fresh-frozen plasma).

2.9 Komplikasi
- Asfiksia

- Syok hipovolemik

- Anemia

20
- Atelektasis

2.10 Prognosis

Hemoptisis merupakan suatu gejala dari suatu kelainan dasar. Kebanyakan


penderita memiliki prognosis yang baik. Namun penderita hemoptisis akibat
keganasan dan gangguan pembekuan darah memiliki prognosis yang lebih buruk.

Keberhasilan terapi diartikan sebagia berhentinya perdarahan dan tidak


terjadi kekambuhan. Hasil terapi konservatif mengalami perbaikan sejak
berkembangnya teknik pengendalian perdarahan secara endobronkial dan
embolisasi arteri. Angka kekambuhan pada embolisasi arteri setelah 6 bulan
pengamatan didapatkan sebesar 23%.

Pengamatan terapi konservatif yang pernah dilakukan di RS Persahabatan


Jakarta adalah terapi konservatif noninvasive (medikamentosa). Kematian akibat
asfiksia terjadi pada 16 penderita dari 18 orang penderita yang meninggal,
sedangkan 2 penderita lainnya mengalami perdarahan hebat.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hemoptisis atau batuk darah adalah darah atau dahak berdarah yang
dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari glottis kearah
distal). Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan pertolongan segera dan
pengawasan medic karena sewaktu-waktu dapat terjadi perdarahan massif yang
berakibat fatal. Penanganan batuk darah pada prinsipnya menjaga jalan napas agar
tidak terjadi asfiksia, menghentikan perdarahan dan penatalaksanaan selanjutnya
tergantung pada etiologi dan lokasi sumber perdarahan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, Hood, Abdul Mukty.Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya:Airlangga University Press. 2008.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta : Penerbit PB. PAPDI. 2009.
3. Arief, Nirwan. Kegawatdaruratan Paru. Departemen Pulmonologi Dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI RS PERSAHABATAN. Universitas Indonesia.
2009.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009.
6. Kosasih, Alvin, Agus Dwi Susanto dkk. Diagnosis Dan Tatalaksana
Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta: Sagung Seto.
2008.
7. Bidwell, Jacob L, Robert W. Pachner. Hemoptysis:Diagnosis and
Management. American Family Physician Volume 72, Number 7. October
2005.
8. Purwadianto, Agus, Budi Sampurna. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta:
Bina Rupa Aksara. 2000.

23

You might also like