Professional Documents
Culture Documents
Agung Pranoto
Diabetes & Nutrition Centre
Division of Endocrine Metabolism, Department of Internal Medicine
Dr Soetomo Hospital, Medical Faculty of Airlangga University
HIPERTIROID
Hipertiroidisme dan tirotoksikosis sering dipergunakan, dan maknanya sering dipertukarkan.
Tirotoksikosis merupakan manifestasi klinik klasik terkait dengan
jumlah hormon tiroid yang berlebihan. Tirotoksikosis tidak selalu terkait dengan hiperfungsi dari kelenjar
tiroid. Hipertiroid merupakan kondisi klinik terkait dengan peningkatan hormon tiroid yang terkait dengan
peningkatan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang berefek pada jaringan tubuh. Penyebab
tersering dari hipertiroid adalah penyakit Graves. Tirotoksikosis yang terkait proses inflamasi kelenjar
tiroid atau tiroiditis, umumnya disebabkan proses otoimun atau pasca infeksi virus, atau goiter.
Hipertiroidisme dan tiroiditis harus dibedakan dengan tirotoksikosis yang disebabkan hormon tiroid
eksogen, apakah hal ini terkait dengan efek minum obat hormon tiroid atau secara iatrogenik. Pengobatan
medik diperlukan untuk suatu manifestasi klinik dan keluhan simtomatik akibat tirotoksikosis, apapun
penyebabnya. Penyebab lain sering memberika gejala klinik yang minimal dan dirujuk untuk mendapatkan
pengelolaan lebih lanjut disebabkan hormon thyroid stimulating hormone (TSH).
Manifestasi keluhan dan gejal klinik tergantung dari lama sakit dan derajat berat sakit. Manifestasi klinik
umumnya sudah terjadi beberapa bulan pasien mengalami hipertiroidisme, dan gejala klinik muncul
sedikit demi sedikit secara gradual, terutama jika hormon tiroid meningkat ringan berrtahap dari minggu
ke minggu berikutnya, sehingga akhirnya manifestasi klinik menjadi ekstrem bahkan tanpa disadari oleh
pasien bersangkutan.
Pasien bahkan seringkali mengeluhkan pertama kali penyakitnya terkait hal-hal yang disebabkan oleh
bukan penyakit tiroid, misalnya rasa lelah menghadapi keluarga atau pekerjaan atau tanggung jawab yang
biasa dihadapinya, tidak tahan terhadap udara panas, penurunan berat badan padahal jumlah makan
sudah cukup,
sesak dan berdebar saat melakukan olahraga rutin. Sebaliknya, pasien tirotoksikosis yang terkait dengan
tiroiditis seringkali dapat menceritakan onset gejala simtomatik dengan tepat, umumnya didalam waktu 1
bulan, dan ekses hormon tiroid umumnya ekivalen dengan total
pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi 30 sampai 60 hari, dan dengan pengeluaran selama beberapa hari
atau beberapa minggu saja. Anamnesis yang teliti dan kronologis diharapkan dapat mengenali spektrum
gejala klinik pasien hipertiroid atau tirotoksikosis. Pasien usia muda umumnya lebih mudah dikenali gejala
karaktesitiknya. Apathetic Thyrotoxicosis atau masked thyrotoxicosis adalah sindrom yang sering
ditemukan pada orang tua yang mungkin disertai dengan payah jantung, aritmia, dan penurunan berat
badan
tanpa disertai peningkatan nafsu makan seperti pasien usia muda.
Page 1
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Pada saat ini dengan telah tersedianya pemeriksaan sensitive serumTSH assay sangat membantu untuk
mendeteksi hipertiroidisme subklinik. Pada pasien yang asimptomatik dengan serum TSH subnormal,
disertai dengan kadar tiroksin bebas yang (FT4 atau FT3) normal. Fasilitas laboratorium yang ada
memungkinkan deteksi penyakit dalam tahap dini, dan bisa dihindari deteksi penyakit yang sudah pada
tahap lanjut. Berbagai kemungkinan manifestasi klinik seperti dibawah ini.
A. Sistem saraf. Pasien hipertiroid sering memberikan gejala kecemasan, perasaan kejiwaan yang tertekan.
Depresi, emosional yang labil, konsentrasi yang menurun, mungkin mengalami penurunan prestasi sekolah
dan pekerjaan. Pada beberapa kasus yang jarang gangguan mental bisa sangat berat meliputi gejal
manik-depresi, schizoid, atau reaksi paranoid. Gejala karakteristik pasien tirotoksikosis bisa menunjukkan
hiperkinesia. Selama wawancara pasien bisa menunjukkan gejala sering mengubah posisi, pergerakan
yang cepat, jerky, exaggerated, dan seringkali tanpa tujuan yang jelas. Peningkatan refleks dan tremor
mungkin pula didapatkan. Pada pasien anak-anak manifestasi gejala klinik cenderung lebih berat,
misalnya tidak mampu berkonsentrasi, penurunan prestasi sekolah. Tremor halus tangan, lidah mungkin
menyerupai gejala parkinson. Pemeriksaan electroencephalogram menunjukkan peningkatan fast wave
activity, dan pada pasien dengan gangguan konvulsi, frekuensi kejang semakin meningkat.
B. Sistem jantung. Hormon tiroid mempunyai efek langsung pada sistem konduksi
jantung, sehingga mungkin terjadi efek takhikardi dan biasanya jenis supraventrikuler. Hipertiroidisme
dan mungkin pula disertai ada dasar penyakit jantung mungkin menjadi penyenab fibrilasi atrial.
Kardiomegali dan payah jantung mungkin disebabkan tirotoksikosis yang telah berlangsung lama. Bising
jantung sering didapatkan. Jantung dalam keadaan hiperdinamik sering menunjukkan suara jantung
ekstrakardial. Suara jantung dapat meningkat, terutama S1 dan scratchy systolic sound sepanjang batas
kiri sternum, menunjukkan adanya pleuropericardial friction rub (Mean-Lerman scratch).
Manifestasi klinik ini membaik jika status metabolik normal bisa dipulihkan.
Graves atau Hashimoto bisa terjadi prolaps katub mitral, dan proporsinya lebih tinggi dibandingkan
dengan orang normal. Aritmia kardial terutama jenis supraventrikuler, dan sering pada pasien usia muda.
Atrial fibrilasi tercatat antara 2 – 20% , dan pada populasi pasien atrial fibrilasi sejumlah 15%
diantaranya tergolong tirotoksik.
Pada populasi diatas 60 tahun, pada kelompok yang TSHnya rendah atrial fibrilasi didapatkan pada 28%
kasus.
C. Sistem Muskuloskeletal. Katabolisme otot yang berlebihan menyebabkan otot atrofi, dan lemah.
Kekuatan otot menjadi menurun sehingga kekuatan jalan, mendaki, mengangkat barang, posisi jongkok ke
berdiri mengalami penurunan. Hipertiroidisme mungkin disertai Myasthenia gravis, atau Paralisis
periodik hipokalemia. Proses resorbsi tulang lebih dominan dari proses pembentukan tulang, berakibat
pada hipercalciuria dan kadang-kadang bisa terjadi hipocalcemia. Hipotiroidism yang berlangsung lama
dapat menyebabkan osteopenia.
D. Sistem Gastrointestinal. Nafsu makan meningkat, dan beberapa pasien nafsu makannya tidak terkendali.
Meskipun demikian umumnya disertai penurunan berat badan.
Motilitas usus besar meningkat, sehingga terkait hiperdefikasi, tetapi jarang didapatkan diare. Hipertiroid
tahap lanjut akan menyebabkan bisa menyebabkan malnutrisi, dan berakibat fungsi hati abnormal.
E. Mata. Perubahan pada mata sangat bervariasi, abnormalitas bisa baru tampak setelah dilakukan
pemeriksaaan canggih, jika secara klinis mudah terdeteksi maka itu sidah kondisi yang mungkin
mengancam penglihatan. Pada Graves mungkin terjadi retraksi pada kelopak mata, jika terjadi inflamasi
jaringan lunak maka bisa memberikan epifora, fotopobia, rasa ngeres pada kornea, dan nyeri retro orbita.
Selain itu disertai dengan tanda-tanda edema, kelopak mata khemosis, lagopththalmus, lemak orbita keluar
melalui septum orbita dan adanya inflamasi pada tempat inserasi dari muskulus rektus horisontal.
Perubahan akibat inflamasi ini memegang peranan penting dalam menentuka aktifitasa penyakit. Proptosis
terjadi pada 20 – 30% penderita penyakit Graves. Proptosisi terjadi pada 20-30% pasien Graves
Page 2
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Penyakit Graves adalah penyakit otoimun yang terkait dengan lebih dari 80% penyebab hipertiroidisme.
Pada Graves ditemukan antibodi terhadap reseptor tirotropin pada sel folikuler tiroid mengakibatkan
stimulasi pada reseptor, dinamakan sebagai thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) atau TSH receptor
antibody. Derajat berat hipertiroidisme terkait dengan kadar TSI.
Faktor penyebab peningkatan TSI tidak diketahui, Antibodi terhadap struktur tiroid lainnya juga bisa
terbentuk, khususnya antiperoxidase antibody. Graves sifatnya menurun atau familial. Pada populasi kulit
putih terkait dengan HLA-B8,dan pada populasi Asia terkait dengan HLA-BW35. Klasifikasi etiologi
tirotoksikosis dapat dilihat pada Tabel 1.
Page 3
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Gestational hyperthyroidism
Trophoblastic tumors
Inherited nonimmune hyperthyroidism associated with TSH receptor or G protein
Mutations
Low TSH, Low RAIU
Iodide-induced hyperthyroidism (Jod Basedow)
Amiodarone-associated
hyperthyroidism due to iodide release
Struma Ovarii
Metastatic functioning
thyroid carcinoma
Normal or elevated TSH
TSH-secreting pituitary tumors
Page 4
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Thyroid hormone
resistance with pituitary predominance
Autoimmune
Amiodarone
Natural foodstuffs
Page 5
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
occupations
GM-CFS, Granulocyte-macrophage colony stimulating factor; RAIU, radioactive iodine uptake; TSH,
thyroid-stimulating hormone.
PENGOBATAN
Prinsip pengobatan: tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien, riwayat alamiah penyakit,
tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien (misalnya: apakah ia ingin punya anak dalam waktu
singkat?), risiko pengobatan dan sebagainya. Perlu diskusi mendalam dengan pasien tentang cara
pengobatan yang dianjurkan. Pengobatan tirotoksikosis dapat dikelompokkan dalam: a). Tirostatika, b).
Tiroidektomi, c). Yodium radioaktif.
Kelompok obat
Efeknya
Page 6
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Indikasi
Propiltiourasi (PTU)
Metimazol (MMI)
Antagonis adrenergik-β
• Menghambat sintesis hormon tiroid dan berefek imunosupresif (PTU juga menghambat konversi T4
→ T3)
B-adrenergic-antagonis
Propranolol
Metoprolol
Page 7
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Atenolol
Nadolol
Kalium Iodida
Solusi Lugol
Natrium Ipodat
Asam Iopanoat
Page 8
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Obat lainnya
Kalium perklorat
Litium karbonat
Glukokortikoids
• Bukan indikasi rutin pada subakut tiroiditis berat dan krisis tiroid
Ada
dua metoda yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT ini. Pertama berdasarkan titrasi: mulai
dengan dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/labotaroris dosis diturunkan sampai mencapai dosis
terendah di mana pasien masih dalam keadaan eutiroidisme. Kedua disebut sebagai blok-substitusi, dalam
metoda ini pasien diberi dosis besar terus menerus dan pabila mencapai keadaan hipotiroidisme, maka
ditambah hormon tiroksin hingga menjadi eutiroidisme pulih kembali. Rasional cara kedua ini yaitu bahwa
Page 9
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
dosis tinggi dalam lama memberi kemungkinan perbaikan proses imunologik yang mendasari proses
penyakit Graves.
Efek samping yang sering rash, urtikaria, demam dan malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan artralgia,
yang jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa dan kecap, artritis dan yang paling ditakuti yaitu
agranulositosis. Yang terakhir ini kalau terjadi hampir selalu pada 3 bulan pertama penggunaan obat.
Yang amat jarang trombositopenia, anemia aplastik, hepatitis, vaskulitis, hipoglikemia (insulin
autoimmune syndrome). Untuk evaluasi gunakan gambaran klinis, dengan misalnya indeks Wayne atau
indeks New Castle (termasuk lingkar leher) dan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan T4/FT4.
Tiroidektomi
Prinsip umum: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi.
Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol fortior 7-10 jam preoperatif, dengan maksud menginduksi
involusi dan mengurangi vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks
mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk ismus dan tiroidetomi subtotal lobus
lain. Komplikasi masih terjadi di tangan ahli sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme
dapat permanen atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau apakah terjadi remisi,
hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik membawa risiko terjadinya krisis
tiroid dengan mortalitas amat tinggi. Di Swedia dari 308 kasus operasi, 91% mengalami tiroidektomi
subtotal dan disisakan 2 gram jaringan, 9% tiroidektomi total, hipokalsemia berkepanjangan 3,1% dan
hipoparatiroid permanen 1%, serta mortalitas 0%.
Page 10
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Cara Pengobatan
Keuntungan
Kerugian
Tirostatika
(OAT)
Tiroidektomi
Yodium
Radioaktif
(I131)
Page 11
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Page 12
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Gambar 1. Skema titik tangkap kerja obat-obat yang digunakan pada pengelolaaan
hipertiroidisme
HIPOTIROIDISME
Hipotiroidisme merupakan terminologi manifestasi yang disebabkan oleh penurunan sekresi hormon tiroid
dari kelenjar tiroid. Hipotiroidisme primer dapat disebabkan oleh proses kerusakan atau hilangnya
kelenjar tiroid secara permanen, mungkin terkait dengan penyakit otoimun atau jejas radiasi. Gangguan
biosintesis hormon yang terjadi secara progresif mempunyai ciri terkait dengan mekanisme kompensasi
pembesaran kelenjar tiroid. Hipotiroidisme sentral atau sekunder disebabkan oleh kurangnya stimulasi
pada kelenjar yang normal akibat penyakit hipotalamik/pituitari atau defek pada molekul
thyroid-stimulating hormone (TSH). Hipotiroidisme transien atau temporer dapat disebabkan oleh fase
tiroiditis subakut. Hipotiroidisme umumnya disebabkan oleh hipotiroidisme primer (99% kasus), dan
diperkirakan defisiensi TSH atau penyebab lainnya mempunyai proporsi kurang dari 1%.
Hipotiroidisme klinik dapat pula disebabkan oleh penurunan aksi hormon tiroid pada tingkat jaringan,
meskipun kelenjar tiroid tetap dapat berproduksi dan kadar hormon tiroid dalam batas normal. Gangguan
metabolisme hormon tiroid dan defek pada tingkat proses nuclear signalling bisa menyebabkan penurunan
produksi hormon tiroid, tetapi gangguan ini jarang terjadi. Hipotiroidisme konsumtif dapat ditemui di
klinik, sebagai akibat dari percepatan inaktifasi hormon tiroid oleh tipe 3 iodothyronine deidodinase.
Hipotiroidismen juga dilaporkan terkait defek pada aktifasi prohormon T4 dalam bentuk aktif T3.
Peningkatan kadar hormon tiroid juga bisa terkait dengan resistensi terhadap hormon tiroid, sebagai
akibat dari defek thyroid hormone nuclear receptor (TR) atau kofaktor nuklear. Hormon tiroid bisa
menurun kemampuan aksinya jika ada mutasi reseptor pada beberapa jaringan tubuh dan berbagai bentuk
Page 13
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
1. Sistem saraf. Pasien dengan hipotiroidism mungkin mengeluh mudah lupa, penurunan daya ingat,
perlambatan mental, depresi, parastesian (sebagian terkait dengan kompresi saraf, misal carpal tunnel
syndrome), ataxia, penurunan daya pendengaran. Refleks tendon menurun.
2. Sistem Kardiovaskuler. Mungkin terjadi bradikardia, penurunan cardiac output, suara jantung yang
menurun, flabby myocardium, efusi perikardium, penurunan voltase pada EKG dan gelombang T
mendatar, dan edema dependen. Pada toraks foto mungkin terdapat kardiomegali , dan biasanya terkait
dengan efusi yang tampak dengan ekhokardiografi.
3. Sistem gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala yang cukup sering. Achlorhydria, sering disertai
dengan anemia pernisiosa. Cairan asites, seperti halnya cairan efusi serosa pada myxedema, mempunyai
kandungan protein yang tinggi.
4. Sistem Renal. Fungsi ekskresi air menurun mungkin terkait dengan hiponatremia. Aliran darah ke arteri
renalis dan GFR menurun, tetapi serum kreatinin tetap normal
5. Sistem pulmonal. Respons ventilator terhadap hipoxia dan hiperkapnea menurun. Hipotiroidisme berat
mungkin menyebabkan retensi karbondioksida. Efusi pleura mungkin mempunyai kadar protein yang
tinggi.
6. Sistem Muskuloskeletal. Artralgia, efusi sendi, otot kram, dan kaku otot. Serum kreatin fosfokinase
mungkin meningkat tinggi.
7. Hemopoiesis. Mungkin didapatkan anemia pernisiosa. Anemi megaloblastik mungkin terjadi
kemungkinan disertai pula dengan anemia pernisiosa.
8. Rambut dan kulit. Kulit kering dan dingin sering didapatkan. Retensi air dan sodium terkait dengan
akumulasi glycosaminoglycans, terutama asam hialuronat. Material asam hialuronat mempunyai sifat
higroskopik, menghasilkan edema mucinous yang bertanggung jawab untuk terjadinya penebalan dan
pembengkakan yang disebut
myxidema. Wajah menjadi tampak kegemukan. Kulit bisa tampak kekuningan terkait akumulasi karoten.
Pasien hipotiroidisme yang terkait dengan hashimoto juga mungkin menunjukkan lesi kulit yang disertai
dengan hilangnya pigmentasi atau vitiligo, ciri khas untuk penyakit hipotiroid otoimun.
9. Sietem reproduksi. Menstruasi menjadi jarang dan bisa tidak sama sekali disebabkan kekurangan
hormon gonadotropin.
Anovulatori bisa menyebabkan menorrhagia. Pada adolesen bisa terjadi amenorrhea primer.
Page 14
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Primary Hypothyroidism
Acquired
Hashimoto’s thyroiditis
Iodine deficiency (endemic goiter)
Drugs blocking synthesis or release of T4 (e.g. lithium, ethionamide, sulfonamides,
Iodide)
Goitrogens in foodstuffs or as
endemic substances or pollutants
Cytokines (interferon-α, interleukin-2)
Thyroid infiltration (amyloidosis, hemochromatosis, sarcoidosis, Riedel’s struma,
Cystinosis, scleroderma)
Postablative due to 131I, surgery, or therapeutic irradiation for nonthyroidal
Page 15
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Malignancy
Congenital
Iodide transport or utilization defect (NIS or pendrin mutations)
Iodotyrosine dehalogenase deficiency
Organification disorders (TPO* deficiency or dysfunction)
Defects in thyroglobulin synthesis or processing
Thyroid agenesis or dysplasia
TSH* receptor defects
Thyroidal Gs protein abnormalities (pseudohypoparathyroidism type 1a)
Idiopathic TSH unresponsiveness
Transient (Post-thyroiditis) Hypothyroidism
Following subacute, painless, or postpartum thyroidism
Consumptive Hypothyroidism
Rapid destruction of thyroid hormone due to D3 expression in large hemangiomas or
Hemangioendotheliomas
Defects of Thyroxine to Triiodothyronine Conversion
“Pituitary dominant”
Page 16
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
kelainan yang diakibatkan kelainan daya kerja atau metabolisme hormon tiroid, misalnya consumptive
hypothyroidism dan resisten terhadap hormon tiroid. Serum TSH dari 99% populasi pasien hipotiroid
umumnya meningkat bermakna. Strategi evaluasi pasien yang diduga hipotiroidisme antara lain juga
didasarkan dengan kadar TSH (Tabel 3). Jika dugaan kilinik kearah hipotiroidisme sangat kuat, dan
disertai goiter, atau jika hipotiroidism sentral merupakan salah satu diferensial diagnosis, maka
diperlukan pemeriksaan FT4. Jika secara klinis kemungkinan kearah hipotiroidism sangat kecil, maka
pemeriksaan TSH sangat penting, mengingat
hipotiroidisme sentral hampir selalu yang menjadi penyebab dari manifestasi klinik. Jika TSH meningkat,
maka pemeriksaan FT4 juga diperlukan untuk konfirmasi seperti pada algoritma pada Gambar 1.
Seiring dengan progresifitas hipotiroidisme, maka serum TSH semakin meningkat, dan serum FT4 semakin
menurun, dan akhirnya pada tahap akhir dari perjalanan kilinik serum FT3 menjadi subnormal. Kadar
FT3 yang tetap dalam batas normal, terkait dengan sisa-sisa jaringan tiroid yang masih fungsional berada
didalam pengaruh peningkatan TSH. D2 juga berfungsi semakin efisien dan mempunyai andil dalam
mengubah T4 menjadi T3 seiring dengan penurunan kadar T4. Sebagai konsekuensi mekanisme
kompensasi tersebut, kadar FT3 mungkin selalu dalam batas yang normal.
Perbedaan prinsip antara hipotiroidisme sentral dan primer adalah kadar serum TSH, yang secara umum
disebabkan hipotiroidisme sentral jika kadar TSH meningkat dengan disertai penurunan kadar tiroksin
bebas. Suatu pengecualian, jika pasien mempunyai riwayat tirotoksikosis yang telah mendapatkan
pengobatan beberapa bulan. Diagnosis Hipotiroidisme transien bisa ditegakkan jika hipotiroidisme primer
disertai dengan antibodi TPO negatif yang umumnya deisebabkan oleh Tiroiditis subakut atau post-viral
yang tidak terdiagnosis.
Penurunan kadar TSH menjadi penentu utama pada algoritma diagnosis untuk membedakan
hipotiroidisme apakah disebabkan oleh penyakit pituitari/hipotalamus (hipotiroidisme sentral atau
sekunder) ataukah terkait oleh kegagalan tiroid intrinsik (Gambar 1). Hormon TSH rendah atau normal
jika disertai dengan hormon tiroid yang rendah,
harus diikuti dengan konfirmasi lanjutan apakah ada kemungkinan kegagalan sistem endokrin lainnya
yang terkait dengan hormon tropik pituitari (Tabel 2). Post hypothyroid-hypothyroidism, merupakan
satu-satunya perkecualian dimana hormon TSH tetap rendah selama beberapa bulan, meskipun pasien
jatuh dalam keadaan hipotiroid, yang ditunjukkan dengan kadar FT4 yang rendah, setelah mendapatkan
perlakuan tindakan bedah, obat anti tiroid, atau 131I (Tabel 3). Pada beberapa kasus hipotiroidisme
sentral, serum TSH basal (dan respons terhadap stimulasi TRH) mungkin agak meningkat, tetapi potensi
biologis aktifnya menurun, meskipun menunjukkan reaksi immunologis.
Pada pasien dengan peningkatan TSH dan disertai dengan penurunan FT4, harus dilakukan konfirmasi
kemungkinan adanya antibodi tiroid peroxidase (TPO) (Gambar 2). Hipotiroidisme disebabkan oleh proses
penyakit tiroid otoimun (Hashimoto) jika antibodi TPO positif. Jika antibodi TPO negatif, maka
kemungkinan penyebab adalah kasus-kasus yang lebih jarang misalnya hipotiroidisme transien, penyakit
tiroid infiltratif, radiasi eksternal. Meskipun demikia harus selalu diingat bawa kurang-lebih 10%
Hashimoto mempunyai antibodi TPO negatif.
Pemeriksaan radioactive iodine uptake (RAIU)
sangat jarang diperlukan dalam evaluasi kasus hipotiroidisme.
Gambar 2. Strategi evaluasi pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan dugaan hipotiroidism.
Algoritme ini membedakan antara hipotiroidisme primer dan sentral. Serum TSH merupakan faktor
penentu utama, yang secara umum bisa membedakan keduanya. Jika terdapat riwayat thyrotoksicosis
disertai dengan TSH yang rendah, mungkin kadar FT4 yang rendah terkait dengan penurunan TSH yang
Page 17
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
rendah setelah menjalani pengobatan tirotoksikosis selama beberapa waktu lamanya. Pada pasien
hipotiroidisme primer yang disertai dengan kadar antibodi TPO negatif, maka mungkin pasien tersebut
mengalami hipotiroidisme transien setelah mengalami episoda tiroiditis sub akut atau post infeksi virus
yang tidak diketahui. Pada pasien demikian, dengan pengobatan Levotiroksin yang diturunkan bertahap
selama jangka waktu 4 bulan akan memberikan kesempatan kelenjar tiroid pulih kembali dan menghindari
terjadinya pemberian levotiroksin secara permanen.
Tabel 3. Evaluasi Laboratorium dugaan hipotiroidisme atau pembesarn kelenjar tiroid
TSH, FT4
TPO Ab
Diagnosis
Rendah
Normal rendah
Rendah atau normal rendah
Normal
Meningkat
Page 18
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
TSH
5 - 10 mU/L
Free T4
Rendah
Normal rendah
Normal rendah
Meningkat
TSH
0,5 – 5
mU/L
Free T4
Rendah atau normal rendah
TSH
< 0,5 μU/L
Free T4
Rendah atau normal rendah
+
+
-
Page 19
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
+, -
-
+
-
- (+)
- (+)
- (+)
Page 20
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Hipotiroidisme sentral
Terapi salisilat atau phenytoin
Page 21
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Gambar 2. Pasien
dengan fungsi tiroid pada berbagai derajat hipotiroid. Garis patah-patah mencerminkan batas atas TSH
dan batas bawah (FT4, T3 dari harga normal (dikutip: Wiersinga, 2004)
Kadar T3 akan tetap dipertahankan dalam batas yang normal sampai dimana pada tahap akhir
perkembangan hipotiroidisme, dimana tubuh tidak bisa lagi mengimbanginya akibat menghilangnya
produksi T4.
Hal ini juga terkait dengan jalur alternatif sekresi T3, yaitu peningkatan serum TSH lebih dominan
meningkatkan kadar T3 dibanding peningkatann T4 dan memberikan stimulasi perubahan thyroidal
5”-monodeiodination T4 menjadi T3. Mekanisme ini yang dapat menjelaskan mengapa pada tahap
yang dini pada perkembangan hipotiroidisme
kadar T3 malah meningkat ringan. T3 diperkirakan sejumlah 80% dari produksi hariannya berasal dari
jaringan ekstra tiroidal melalui konversi T4 menjadi T3. Jaringan perifer juga mempunyai mekanisme
pertahanan dengan kemampuannya untuk meningkatkan kecepatan konversi T4 menjadi T3.
Page 22
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Derajat 1
Hipotiroidisme subklinik
TSH +
FT4 N
T3 N (+)
Derajat 2
Hipotiroidisme ringan
TSH +
Page 23
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
FT4 -
T3 N
Derajat 3
TSH +
FT4 -
T3 -
Differensial Diagnosis
Gambaran klinik suatu Hipotiroidism yang berkembang dengan jelas dan lengkap adalah sangat
karasteristik, tetapi jika tidak ada dugaan yang menjurus kearah hipotiroidisme, maka anomali klinik
Page 24
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
kadang-2 tidak dikenali oleh klinisi yang telah berpengalaman sekalipun. Meskipun test yang spesifik tidak
mahal dan tersedia, seringkali para klinisi tidak bisa mengenali gejala klinik hipotiroidisme primer.
Diperlukan kecermatan yang tinggi agar tidak terjadi hal demikian.
Hipotiroidisme yang ringan, seringkali menunjukkan gejala klinis yang tumpang tindih dengan penyakit
lainnya. Orang usia lanjut sering mengidap hipotiroidisme, hal ini menyebabkan kekeliruan dan diagnosis
yang kurang peka. Pada beberapa kasus menunjukkan penurunan aktifitas mental dan fisik, kulit kering,
rambut mudah rontok, merupakan gejala yang mirip dengan hipotiroidisme. Orang tua seringkali mudah
mengalami hipotermia jika terpapar udara dingin. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga menunjukkan
gejala anoreksia, bengkak periorbital, anemia, torpor, warna kulit yagn kepucatan. Keadaan klinis seperti
ini memerlukan pemeriksaan klinik yang lebih lanjut. Sindrom Nefrotik perlu dibedakan dengan
hipotiroidisme mengingat dari pemeriksaan klinik seringkali sulit dibedakan. Pada penyakit ini jika
terdapat waxy pallor, adema, hiperkolesterolemia, hipometabolesime mungkin mengarah ke
hipotiroidisme. Serum T4 total mungkin menurun, jika terjadi penurunan thyroid binding globulin melalui
urin tetapi FT4 dan TSH dalam batas normal.
Pasien anemia pernisiosa, dan gangguan psikiatris kulit pucat, numbnes, dan tingling pada ekstremitas
mungkin mirip dengan gejala klinis pada hipotiroidisme. Meskipun gejala klinik dan imunologis antara
hipotiroidisme dan anemia pernisiosa tumpang tindih, tidak ada keterkaitannya antara keduanya. Pada
pasien kritis dan terutama pada usia lanjut seringpula disertai dengan hipotiroidisme. Pada pasien ini
kadar T4 total mungkin menurun, tetapi secara umum FT4 tetap normal, kecuali pasien dalam keadaan
yang sangat kritis. Adanya gambaran klinik demikian jika disertai dengan tidak adanya peningkatan TSH,
umumnya membedakan membedakan antara pasien kritis dalam keadaan eutiroid dengan hipotiroidisme
primer. Kadar serum TSH dapat meningkat sementara
sampai mencapai 20 mU/L selama fase penywmbuhan dari sakit berat.
Hipotiroidisme mungkin timbul
akibat faktor extrinsik atau kondisi yang terkait dengan defek kongenital yang terkait dengan biosintesis
hormon insulin. Sintesis hormon yang tidak adekuat akan menyebabkan hipersekresi hormon TSH, yang
akan menyebabkan Goiter dan stimulasi terhadap semua pentahapan sintesis hormon tiroid. Sebagian
pasien peningkatan TSH
akan mengkompensasi pembentuka hormon tiroid, pasien akan tetap eutiroid tetapi disertai Goiter (Simple
Goiter, atau nontoxic Goiter). Hipotiroidisme sebagian kecil terkait dengan kelenjar yang atrofi, kasus ini
terjadi abnormalitas kongenital,
dimana kelenjar tiroid tidak pernah mengalami perkembangan yang sempurna.
Pengobatan
Preparat obat
1. Sodium levothyroxine. Levothyroxine sodium sintetik merupakan pilihan utama, sebab bisa memberikan
kadar serum T3 & T4 yang stabil, penyerapan diusus diperkirakan bisa mencapai 75%.
2. Desiccated thyroid extract.
USP adalah ekstraksi tiroid yang terdiri dari campuran tiroid babi dan sapi, yang dilakukan standardisasi
berdasarkan kandungan yodium. Komposisi diperkirakan terdiri dari rasio T4/T3 sebesar 4 : 1. Kadar T3
dalam darah diperkirakan meningkat diatas normal setelah 4 atau 8 jam setelah dikonsumsi.Desiccated
Thyroid mempunyai potensi yang equivalen dengan T4 sebesar 1:1.000 (1 mg Desiccated thyroid equivalen
dengan 1 μg tiroksin sintetik.
3. Synthetic T3 (liothyronine, Cytomel). T3 sintetik tidak indikasikan untuk penggunaan jangka panjang.
Page 25
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Indikasi penggunaan adalah untuk beberapa prosedur test diagnostik dan penggunaan jangka pendek.
Absorbsi diperkirakan 90%. Pasien pengguna terapi T3 dalam beberapa jam T3 akan mengalami
peningkatan dan secara gradual akan sangat menurun kadarnya setelah 24 jam kemudian. Penggunaan
substitusi T3 sebesar 12,5 μg pada setiap pemberian T4 sebesar
50 μg dapat memperbaiki parameter mood dan psikometrik.
4. Kombinasi T4-T3 sintetik (liotrix). Preparat ini merupakan T4/T3 sintetik dengan komposisi rasio 4:1,
dan tersedia dalam beberapa dosis. Preparat ini dikembangkan sebelum diketahui bahwa T4 dapat
berkonversi menjadi T3 diluar kelenjar tiroid.
Pengobatan hipotiroidisme primer ataupun sentral, kesemuanya memberikan respons yang baik terhadap
hormon tiroid. Hampir semua jenis hipotiroidisme dapat diobati baik dengan levothyroxine. Terapi
Levothyroxine mempunyai keuntungan utama yaitu mekanisme deiyodonisasi perifer dapat tetap
berlangsung memproduksi T3 dalam fungsi fisiologis yang normal.
Yang perlu diperhatikan ialah: a). Dosis awal; b). Cara menaikkan dosis tiroksin. Tujuan pengobatan
hipotiroidisme ialah: 1). Meringankan keluhan dan gejala;
2). Menormalkan metabolisme; 3). Menormalkan TSH (bukan mensupresi); 4). Membuat T3 (dan T4)
normal; 5). Menghindarkan komplikasi dan risiko. Beberapa prinsip dapat digunakan dalam
melaksanakan subsitusi: (a). Makin berat hipotiroidisme, makin rendah dosis awal dan makin landai
peningkatan dosis; (b) Geriatri dengan angina pektoris, CHF, gangguan irama, dosis harus hati-hati.
Prinsip substitusi ialah mengganti kekurangan produksi hormon tiroid endogen pasien. Indikator
kecukupan optimal sel ialah kadar TSH normal. Dosis supresi tidak dianjurkan, sebab ada risiko gangguan
jantung dan densitas mineral. Tersedia L-tiroksin (T4), L-triodotironin (T3), maupun pulvus tiroid. Pulvus
tak digunakan lagi karena efeknya sulit diramalkan. T3 tidak digunakan sebagai substitusi karena waktu
paruhnya pendek hingga perlu diberikan beberapa kali sehari. Obat oral terbaik ialah T4. Akhir-akhir ini
dilaporkan bahwa kombinasi pengobatan T4 dengan T3 (50 ug T4 diganti 12.5 ug T3) memperbaiki mood
dan faal neuropsikologis.
Tiroksin dianjurkan diminum pagi hari dalam keadaaan perut kosong dan tidak bersama bahan lain yang
mengganggu serapan usus. Contohnya pada penyakit sindrom malabsorbsi, short bowel syndrome, sirosis,
obat (sukralfat, aluminium hidroksida, kolestiramin, formula kedele, sulfas ferosus, kalsium karbonat.
Dilantin, rifampisin, fenobarbital dan tegretol meningkatkan ekskresi empedu. Dosis rerata substitusi L-T4
ialah 112 ug/hari atau 1.6 ug/kg BB atau 100-125 mg sehari. Untuk L-T3 25-50 ug. Kadar TSH awal
seringkali dapat digunakan patokan dosis pengganti: TSH 20 uU/ml butuh 50-75 ug tiroksin sehari, TSH
44-75 uU/ml butuh 100-150 ug. Sebagian besar kasus membutuhkan 100-200 ug L-T4 sehari.
Pasien dewasa muda. Tiroksin untuk terapi sulih dosis yang umum adalah 1,5
– 2,2 μg/kg berat badan ideal. Dosis penuh bisa diberikan sejak awal jika tujuannnya adalah
untuk terapi sulih total (full replacement therapy). Terapi awal bisa diberikan dosis 50% diberikan selama
1 atau 2 minggu, dan dinaikkan bertahap bisa mengurangi gejala kecemasan atau nervousness yang terkait
dengan terapi sulih yang terlalu cepat.
Pasien perlu mendapatkan informasi bahwa perbaikan klinis terjadi secara bertahap selama beberapa
minggu dan efek eutiroid baru dicapai dengan pengobatan selama 2 atau 3 bulan. Laboratorium T4
menunjukkan angka normal setelah beberapa hari pengobatan, serum T3 mencapai kadar normal setelah 2
sampai 4 minggu, tetapi serum TSH
mencapai normal memerlukan waktu 6 – 8 minggu. Penyesuaian dosis T4 dilakukan setelah waktu
ini dengan mengatur dosis antara 12,5 μg sampai 25 μg untuk mendapatkan respon klinik yang
optimal dan mendapatkan TSH dan T4 pada kadar normal.
Evaluasi klinik dan pemeriksaan serum hormon merupakan kombinasi untuk menaksir optimasi
Page 26
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
keberhasilan terapi.
Pasien usia dewasa pertengahan. Hipotiroid pada individu sehat mungkin memerlukan dosis 1,5
– 2,0 μg/kg. Jika terdapat penyakit penyerta misal penyakit jangtung koroner, penyakit paru
kronikDosis dimulai dari kadar yang rendah yaitu T4
25 μg dan dinaikkan 25 μg per bulan tergantung dari respon klinik.
Strategi “low show” dirancang untuk mencegah dampak negatif berupa: a) Pemulihan
keadaan eutiroid meningkatkan kebutuhan dan angina menjadi lebih sering, dan b) jantung lebih rentan
terhadap efek kronotropik hormon tiroid, sehingga
pasien tertentu lebih rentan terjadin takhikardia yang bersifat fatal. Ketakutan dan kehati-hatian klinisi
bisa berlebihan menyebabkan pasien mengalami hipotiroid yang berkepanjangan, sehingga pertimbangan
prosedur harus jelas.
Pasien usia lanjut. Pada usia lanjut sebaiknnya harus selalu mempertimbangkan kemungkinan
keberadaan penyakit jantung iskemik, mungkin dalam bentuk subklinik, pemberian dosis T4
harus serendah mungkin misalnya 12,5 – 25 μg/hari. Dosis ditingkatkan bertahap sebesar 25
μg per 4 atau 6 minggu sampai mencapai TSH dalam batas yang normal.
Kehamilan. Pasien Hipotiroidisme wanita yang kemudian hamil, maka selama kehamilan
hormon tiroid ditingkatkan sampai 25 atau 50
μg untuk mencapai TSH yang normal.
Pemberian substitusi tiroksin pada usia lanjut harus berhati-hati, mulai dengan dosis kecil, misalnya 25
mg sehari dan ditingkatkan perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya fibrasi maupun gagal jantung.
Harus lebih hati-hati pada mereka dengan hipotiroidisme berat dan lama.
Koma myxedema sebagai fase terminal dari hipotiroidisme yang tidak diobati dalam jangka waktu yang
lama
Pasien menunjukkan gejala hipotermia, bradikardia, hipoventilasi alveolar,
gambaran muka wajah dan kulit yang khas, gangguan kesadaran sampai koma. Faktor presipitasi adalah
intercurrent illness, misalnya infeksi, stroke, penggunaan obat-obatan jenis sedative. Jika tidak diobati,
mortalitas bias 100%. Mortalitas dapat dicegah dengan pengobatan yang agresif, dengan memberikan
sodium levothyroxine intra vena 250 – 500 μg. Dilanjutkan dengan pemberian T4 setiap hari
cara parenteral 100 μg per hari. Rekomendasi lainnya menganjurkan
pemberian triiodothyronine intra vena
sebesar 10 sampai 20 μg tiap 4 atau 8 jam selama beberapa hari mengingat
ada penurunan konver T4 ke T3 yang terjadi pada myxedema. Pemberian terapi kombinasi T4 dan T3 per
intra vena juga telah dipergunakan. Terapi awal T4 250 μg ditambah T3 20μg tiap 8 jam sampai
Page 27
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
pasien menunjukkan respon perbaikan. Terapi suportif pada penyakit dasar penting diperhatikan.
Menghangatkan pasien bisa membahayakan mengingat dapat menyebabkan vasodilatasi perifer dan diikuti
hipotensi.
Kepustakaan
1. AACE, 2006 (Amended Version). American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines
for Clinical Practice for the Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism. Endocr
Pract. 2002 ; 8 (no.6) 459 – 469
2. Brent GA, Larsen PR, and Davies TS, 2008. In: Williams Texbook of Medicine. Editors: Kronenberg
HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR. 11th ed. 2008. Saunders Elsevier, Philadelphia,
p 377 - 410
3. Davies TF, Larsen PR, 2008. Thyrotoxicosis. In: Williams Texbook of Medicine. Editors: Kronenberg
HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR. 11th ed. 2008. Saunders Elsevier, Philadelphia,
p 333- 375
4. Wiersinga(2004). Adult Hypothyroidism. http://www.thyroidmanager.org
5. Sutjahjo A, Murtiwi S, 2006. Hipotiroidisme: Diagnosis dan pengelolaan. Naskah Lengkap Surabaya
Thyroid Symposium-1, Surabaya, 13 Mei 2006, 56-60
6. Sutjahjo A, Tjokroprawiro A, Hendromartono, Pranoto A, Murtiwi S, Adi S, Wibisono S, 2007. Penyakit
Kelenjar Gondok. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit
Pendidikan Dr.Soetomo Surabaya. Editor: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G.
Airlangga University Press, hlm 86 – 92.
7. Bo Youn Cho. Hyperthyroid disease. Recognition and management. Medical Progress 1988; 15:17-31.
8. Hoffenberg R. The investigation of hyperthyroidism. In: Advanced Medicine. Newcastle-Upon-Tyne.
Pitman Medical Limited. Great Britain, 1981:23-31.
9. Bayer MF. Effective laboratory evaluation of thyroid status. Med Clin North Am 1991; 75:1-26.
10. Djokomoeljanto R. Pengobatan medik hipertiroidisme. Dalam Adam JMF (Ed): Endokrinologi Praktis.
Diabetes Melitus, Tiroid, Hiperlipidemia. Ujung Pandang 1989:185-194.
11. Djokomoeljanto 2006. Kelenjar Tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Edisi keempat-Jilid
III. Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK Universitas Indonesia, Hlm 1955 – 1965.
12. McDougall IR. Graves’ disease: Current concepts. Med Clin North Am 1991; 75:79-96.
13. Hashizume K, Ichikawa K, Sakurai et al. Administration of thyroxine in treated Graves’ disease.
Effects on the level of antibodies to thyroid stimulating hormone receptors and on the risk of recurrence of
Page 28
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk
digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.
Keyword :
Page 29