You are on page 1of 5

GUGATAN KONVENSI DAN REKONVENSI

Dalam hukum Acara Perdata, gugat rekonvensi diatur dalam pasal 132 a dan b HIR.
Gugat rekonvensi yang biasa disebut sebagai gugat balik ini memberi hak kepada
Tergugat atas gugatan yang diajukan Penggugat. Tergugat dapat melakukan gugat rekonvensi
yang berkaitan dengan hukum kebendaan, tidak dapat dilaksanakan terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan hukum perorangan atau menyangkut dengan status orang, jadi tidak semua
gugatan Penggugat bisa dibalas dengan gugat rekonvensi. Tujuan pokok gugat rekonvensi
adalah untuk mengimbangi gugatan Penggugat agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus.
Tujuan lainnya adalah untuk menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa
dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menghindarkan putusan
yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisisr tuntutan konvensi, memudahkan acara
pembuktian dan menghemat biaya. Dengan dimungkinkannya pihak Tergugat mengajukan
gugat rekonvensi kepada Penggugat maka Tergugat tidak perlu mengajukan gugatan baru,
gugat rekonpensi cukup disampaikan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan
Penggugat, baik tertulis maupun secara lisan.
Gugat rekonvensi disusun sama dengan form gugatan konvensi
dibuat menurut pasal 120 HIR dengan memuat identitas para pihak dan
kedudukannya masing-masing dalam perkara rekonpensi, posita dan
petitum rekonpensi dan apabila rekonpensi diajukan secara lisan, hakim
merumuskannya dalam berita acara persidangan.
Dalam prakteknya sering dijumpai pihak-pihak yang berperkara
awam akan proses hukum yang berlaku di Pengadilan Agama sehingga
ketika terjadi gugatan rekonpensi, hakim perlu menyikapinya demi
terlaksananya asas peradilan, termasuk tuntutan isteri yang berhubungan
dengan biaya penghidupan bekas istri dan anak.

A. Gugat Rekonvensi bagi pihak yang awam hukum


Hakim secara aktif memberikan bantuan hukum sebatas tata cara
mengajukan gugatan Rekonvensi yang benar, yaitu disampaikan secara
rinci peristiwa kejadian dan peristiwa hukum yang dijadikan dasar
tuntutannya sehingga nantinya Hakim akan mempertimbangkan gugat
rekonvensi tersebut terbukti atau tidak.
B. Gugatan rekonvensi biaya penghidupan dan/atau menentukan
suatu kewajiban bagi bekas istri
Gugat rekonpensi harus dibedakan dengan syarat, seperti isteri
(Termohon) dalam akhir jawabannya menyatakan bahwa saya bersedia
bercerai dengan syarat Pemohon membayar mutah, nafkah, maskan dan
kiswah selama iddah dan biaya hadhanah. Bila hanya berupa syarat dan
tidak diformulasikan sebagai gugat rekonpensi, maka tidak perlu
dipertimbangkan sebagai gugat rekonvensi. Jadi para pihak tetap seperti
gugatan semula tidak perlu ada Penggugat rekonvensi atau Tergugat
Rekonvensi. Tuntutan Termohon sebagai syarat tersebut dapat diterima
dan atau dikabulkan sepanjang mengenai ex officio hakim.
Bila syarat yang diajukan Termohon tersebut terbatas pada
ketentuan Pasal 41 huruf b Undang-undang no. 1 tahun 1974 dan pasal
149 KHI, maka hakim karena jabatannya (ex officio) dapat menghukum
Pemohon untuk membayar biaya-biaya tersebut. Namun apabila
Termohon merumuskannya sebagai gugat rekonvensi maka harus
dipertimbangkan sebagai gugatan rekonvensi pula.

C. Tahapan Acara Rekonvensi


Tata cara pengajuan gugat rekonvensi
Mengenai tata cara mengajukan Gugat rekonpensi ada yang
berpendapat dengan membatasi kebolehan mengajukan gugat rekonpensi
hanya terbatas pada saat jawaban pertama. Pendirian yang semacam ini
dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 26 April 1979
Nomor : 436 K/Sip/1975 . Dalam putusan ini gugat rekonpensi dinyatakan
tidak dapat diterima atas alasan pertimbangan yang berbunyi Karena
gugat rekonpensi baru diajukan pada jawaban tertulis kedua, gugat
rekonpensi tersebut adalah terlambat. Menurut putusan ini gugatan
rekonpensi seperti itu dianggap melampaui batas pengajuan, sehingga
tidak memenuhi syarat formil dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Apabila pendapat di atas diuji dengan ketentuan pasal 132 huruf b HIR
maka pendapat ini sangat bertentangan dengan semangat dan jiwa asas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, padahal dalam pasal
ini tidak ditegaskan secara pasti kapan mesti mengajukan gugat
rekonpensi. Rumusannya boleh dikatakan bersifat umum : Tergugat
wajib mengajukan gugatan rekonpensi bersama-sama jawabannya, baik
dengan surat maupun dengan lisan. Jawaban yang keberapa tidak
ditentukan, sebab ditinjau dari segi praktek yang dimaksud dalam
pengertian jawaban adalah selama proses replik-duplik yang bisa
berlangsung sampai beberapa kali.
Menurut pendapat mantan Hakim Agung Yahya Harahap bahwa
putusan MA di atas terlampau kaku dan formalistik serta tidak
mencerminkan semangat asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Sikap dan praktek yang bijaksana dapat diteladani dari putusan
Mahkamah Agung nomor 329 K/Sip/1968 yang menegaskan : Gugatan
rekonpensi dapat diajukan selama masih berlangsung jawab-jinawab,
karena dalam pasal 132 HIR hanya menyebut jawaban saja sedangkan
replik dan duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban
pertama. Pendapat yang dikemukakan di atas sejalan dengan Putusan
MA no. 642 K/Sip/1972 yang menegaskan bahwa batas pengajuan
gugatan rekonpensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap
pembuktian.

Sistem pemeriksaaan konvensi dan rekonvensi


Untuk mempertajam pembahasan sistem pemeriksaaan konvensi
dan rekonvensi, kami akan berusaha mengembangkan tahapan dalam
beracara model rekonvensi dengan berdasarkan Pasal 132 b ayat (3) dan
ayat (5) HIR sebagai berikut :

Diperiksa dan diputus dalam satu putusan.


Sistem ini merupakan aturan umum yang menggariskan aturan
proses pemeriksaaan dan penyelesaian konvensi dan rekonvensi :
Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaaan sesuai
hukum acara yang berlaku dengan ketentuan pihak yang berperkara
terbuka mengajukan eksepsi, mengajukan replik dan duplik,
mengajukan pembuktian dan konklusi pada konvensi maupun
rekonvensi
Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama
Selanjutnya hasil pemeriksaan dituangkan dalam satu putusan dengan
sistematika :
a. Menempatkan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi :
dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian
pertimbangan konvensi dan kesimpulan gugatan konvensi
b. Menyusul kemudian uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal
yang sama dengan substansi gugatan konvensi
c. Amar putusan sebagai bagian akhir, terdiri dari amar putusan dalam
konvensi, dalam rekonvensi serta dalam konvensi dan rekonvensi.

Proses pemeriksaan dilakukan secara terpisah.


Pada pasal 132 b ayat (3) HIR selain mengatur tata cara
pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan juga mengatur
pengecualian berupa sistem pemeriksaaan dan penyelesaian secara
terpisah dengan menerapkan :
a. Diperiksa secara terpisah dituangkan dalam satu putusan.
pemeriksaaan konvensi dan rekonvensi dilakukan secara terpisah
masing-masing pemeriksaaan dituangkan dalam beriata acara sidang
yang berlainan
cara pemeriksaan, proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan
terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai
pemeriksaaan gugatan rekonvensi, baru menyusul penyelesaian
pemeriksaaan gugatan rekonvensi.
meskipun proses pemeriksaan terpisah dan berdiri sendiri namun
penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan.

b. Diperiksa secara terpisah dan diputus dalam putusan yang berbeda.


Pada huruf a di atas, meskipun proses pemeriksaan dilakukan secara
terpisah namun penyelesaian antara konvensi dan rekonvensi dituangkan
dalam satu putusan yang sama. Untuk pemeriksaaan model ini tidak
hanya proses pemeriksaaanya yang terpisah tetapi putusan yang
dijatuhkan pun dituangkan pada masing-masing putusan yang tersendiri,
sehingga terdapat dua putusan yang berdiri sendiri, Putusan Konvensi dan
Putusan Rekonvensi. Alasan yang dianggap rasional dan obyektif dngan
menggunakan cara ini adalah apabila antara keduanya tidak terdapat
koneksitas yang erat, sehingga penyelesaian memerlukan penanganan
yang terpisah.
Apabila sistem penyelesaian ditempuh cara seperti ini, maka upaya
banding terhadap kedua putusan ini mengacu pada pasal 132 b ayat (5)
HIR : masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat
mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan dengan
tenggang waktu banding tunduk pada ketentuan pasal 7 ayat (1) UU no.
20 tahun 1947.

D. Gugat Rekonvensi dipisahkan dari gugat Konvensi


Gugat rekonpensi sebagaimana penjelasan di atas dapat
menyelesaikan seluruh sengketa yang timbul akibat cerai talak apabila
dikabulkan. Juga mempersingkat proses pemeriksaaan perkara karena
dalam satu proses yang sama dapat diselesaikan beberapa sengketa
sekaligus menghemat waktu dan memperingan biaya perkara, sebab
isteri tidak perlu mengajukan gugatan baru lagi dan tidak dibebani
membayar biaya perkara. Namun demikian apabila ada pihak yang
merasa tidak puas dan mengajukan upaya hukum banding/kasasi yang
tentunya akan memakan waktu panjang, justru yang terjadi adalah tidak
tercapainya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dan
semakin menambah waktu tunggu terjadinya perceraian.
Oleh karena itu, dalam menyikapi masalah yang demikian
Mahkamah Agung RI mengeluarkan himbauan untuk mempermudah dan
mempercepat penyelesaian perkara tersebut, sebaiknya gugatan
perceraian tidak dikumulasikan (baca : sebagai gugat rekonvensi) dengan
sengketa hadhonah, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama. (Surat
Edaran MARI Nomor. 17/TUADA-A6/IX/2009)

You might also like