You are on page 1of 4

7.

Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik, lokalisasinya pada tempat
yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari.
Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non
steroid, dan griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga dapat disebabkan oleh
alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak.
Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang eritematosa
dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam
tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis
alergi obat karena cara cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum
memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manfestasi
alergi obat. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu
macam obat.

Hal hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :

a. Riwayat pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi;

b. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;

c. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya
sensitasi obat yang harus diperhatikan;

d. Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul
kembali bila pasien diberikan obat yang sama;

e. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang sebelumnya
sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat;

f. Catat lama pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat
diberikan secara berselang seling, berulang ulang serta dosis tinggi secara parental;

g. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi
anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang kadang gejala alergi obat baru timbul 7 10 hari setelah
pemakian pertama.
2. Uji Kulit

Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum),
sedangkan untuk obat obatan yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan :

a. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji
positif yang terjadi adalah semu;

b. Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat
mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh sebab itu, sukar untuk
menentukan antigennya;

c. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya,
sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan
kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat obat yang mempunyai berat molekul
besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi :

a. Pemeriksaan in vivo

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari
obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini
manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti
insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :

1) Uji Tempel (patch test)

Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang
mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 72 jam
kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa
dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.

2) Uji Tusuk (prick/scratch test)

Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks
antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit
atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan
antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
3) Uji Provokasi (exposure test)

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas
karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan
dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson,
dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah
eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

b. Pemeriksaan in vitro

Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara
lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji
sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin
seperti IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada
individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum

a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan
segera;

b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan
timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan;

c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 3 hari, khususnya pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500
mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;

d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus
bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.

Penatalaksanaan Khusus

a. Sistemik

1) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering
digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura,
eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif
seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan
SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberianintravenous immunoglobulin (IVIG)
terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.

2) Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria,
efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.

b. Topikal

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan
kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol - 1% untuk
mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum,
jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% 2 %. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan
salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat
berupakenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak.

Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa
sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang
terkena. Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5 % sedangkan toxic
epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien meninggal akibat sepsis (Nayak &
Acharjya 2008).

You might also like