Professional Documents
Culture Documents
1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang
berasal dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum
Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus
(Astera dan Wibawa, 1999). Hal tersebut mengakibatkan muntah darah
(hematemesis) dan berak darah berwarna hitam seperti aspal (melena)
(Richter dan Isselbacher, 1999).
c. Kelainan di duodenum
1) Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan
panendoskopi terletak di bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan
hematemesis dan melena, sedangkan sebagian kecil mengeluh
melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih
di perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu
tengah malam saat sedang tidur pulas sehingga terbangun. Untuk
mengurangi rasa nyeri dan pedih, pasien biasanya mengkonsumsi
roti atau susu (Hadi, 2002).
2) Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma
di ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran
pancreas yang umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang
timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan
perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul
hematemesis. Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual
dan muntah (Hadi, 2002).
3. Patofisiologi
Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai
berikut :
a. Teori erosi: pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar
(berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID.
b. Teori erupsi: karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan
tekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat
barang berat, dan lain-lain.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada
(Ponijan, 2012):
a. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
b. Kecepatan perdarahan
c. Penyakit penyebab perdarahan
d. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari
asam hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika
vomitus terjadi segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna
merah dan baru beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah
gelap, coklat atau hitam. Bekuan darah yang mengendap pada muntahan akan
tampak seperti ampas kopi yang khas. Hematemesis biasanya menunjukkan
perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz karena darah yang
memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke dalam
lambung (Richter dan Isselbacher, 1999).
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis
biasanya mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena
menderita hematemesis. Melena biasanya menggambarkan perdarahan
esophagus, lambung atau duodenum. Namun lesi di jejunum, ileum bahkan
kolon ascendens dapat menyebabkan melena jika waktu perjalanan melalui
traktus gastrointestinal cukup panjang (Richter dan Isselbacher, 1999).
Diperkirakan darah dari duodenum dan jejunum akan tertahan di saluran cerna
selama 68 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam. Feses tetap
berwarna hitam seperti ter selama 4872 jam setelah perdarahan berhenti. Ini
bukan berarti keluarnya feses warna hitam tersebut menandakan perdarahan
masih berlangsung. Darah sebanyak 60 mL cukup untuk menimbulkan satu
kali buang air besar dengan tinja warna hitam. Kehilangan darah akut yang
lebih besar dari jumlah tersebut dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh
hari. Setelah warna tinja kembali normal, hasil tes untuk adanya perdarahan
tersamar dapat tetap positif selama 710 hari setelah episode perdarahan
tunggal.
Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga
terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan
menimbulkan bau khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang berwarna
hitam/ gelap yang muncul setelah orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau
licorice. Perdarahan gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes
occult bleeding yang positif, menunjukkan penyakit serius yang harus segera
diobservasi (Richter dan Isselbacher, 1999).
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali
perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah
yang sedikit sudah menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang
banyak dan cepat mengakibatkan penurunan venous return ke jantung,
penurunan curah jantung (cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer
akibat refleks vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test)
menandakan perdarahan minimal 20% dari volume total darah. Gejala yang
sering menyertai : sinkop, kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat),
dan haus. Jika darah keluar 40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi
dan hipotensi. Gejala pucat menonjol dan kulit penderita teraba dingin
(Richter dan Isselbacher, 1999).
Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan
berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi normal,
dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa dekat cardia yang
menyebabkan perdarahan saluran cerna intermiten yang banyak) (Davey,
2006).
5. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan
frekuensi perdarahan
2) Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam
keluarga
3) Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
4) Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom
Mallory-Weiss)
5) Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan
dengan makanan)
6) Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
7) Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal
ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
8) Riwayat tranfusi sebelumnya
(Adi, 2006).
b. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan
fokus pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi:
1) Tekanan darah dan nadi posisi baring
2) Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3) Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4) Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
5) Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume
intravaskuler) mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan
tanda:
1) Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi
nadi > 100 x/menit
2) Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20
mmHg.
3) Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
4) Akral dingin
5) Kesadaran turun
6) Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal
berikut:
1) Hematemesis
2) Hematokezia
3) Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera
jernih
4) Hipotensi persisten
5) Tranfusi darah > 800 1000 ml dalam 24 jam
(Adi, 2006).
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria:
Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik
<8 Hemodinamik stabil
8 15 Hipotensi ortostatik
15 25 Renjatan (syok)
25 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)
(Djumhana, 2011).
Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah:
1) Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai)
2) Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
3) Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik
mortalitas dengan interpretasi :
a) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
b) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan
arteri)
4) Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
5) Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai
perdarahan saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom
Peutz-Jeghers)
(Djumhana, 2011).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan
tranfusi
2) Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor
pembekuan primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
3) Elektrolit : Na, K, Cl
4) Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
5) EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru
kronis
Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai
pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi
prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan (Davey, 2006;
(PAPDI, 2005).
1) Varises gastroesofageal
a) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif (Adi, 2006).
i. Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik,
menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Pemberian dengan mengencerkan vasopressin 50
unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,51
mg/menit/iv selama 2060 menit dan dapat diulang tiap 3
6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per
infuse 0,10,5 U/menit
ii. Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih
selektif daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises
atau nonvarises. Dosis pemberian awal dengan bolus 250
mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam selama 1224 jam
atau sampai perdarahan berhenti.
(Djumhana, 2011).
b) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau
Minesota
c) Terapi endoskopi
i. Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral
setiap 12 cm. Dilakukan pada varises yang sedang
berdarah atau ditemukan tanda baru saja mengalami
perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari,
mengurangi frekuensi ulserasi dan striktur.
ii. Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena
perdarahan masif, terus berlangsung atau teknik tidak
memungkinkan. Yang digunakan campuran yang sama
banyak antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol
absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi. Penyuntikan
dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke
proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.
(Adi, 2006).
d) Terapi radiologi: pemasangan transjugular intrahepatic
portosystemic shunting (TIPS) & perkutaneus obliterasi spleno-
porta (Adi, 2006).
e) Terapi pembedahan
i. Shunting
ii. Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
iii. Devaskularisasi + splenektomi
(Djumhana, 2011).
2) Tukak peptic
a) Terapi medikamentosa
i. PPI (proton pump inhibitor): obat anti sekresi asam
untuk mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis
bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per infuse 8
mg/kgBB/jam selama 72 jam (Adi, 2006).
ii. Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih
boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi
mukosa perdarahan.
iii. Obat vasoaktif
b) Terapi endoskopi
i. Injeksi: penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5
1 ml/suntik dengan batas 10 ml atau alcohol absolute
(98%) tidak melebihi 1 ml (Adi, 2006).
ii. Termal : koagulasi, heatprobe, laser
iii. Mekanik : hemoklip, stapler
c) Terapi bedah
(Djumhana, 2011).
c. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 14
perawatan. Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa
perawatan. Bila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti,
hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat
dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu
selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe
(Djumhana, 2011).
8. Diagnosis Banding
a. Hemoptoe
b. Hematokezia
(PAPDI, 2005)
9. Komplikasi
a) Syok hipovolemik
b) Aspirasi pneumonia
c) Gagal ginjal akut
d) Sindrom hepatorenal koma hepatikum
e) Anemia karena perdarahan
(PAPDI, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 297
Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan Bagian
Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 :
53 62.
Kumar V, Cotran SR, Robbins LS (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York:
The McGraw-Hill Companies; 2012.
Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison
(Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 62.
Sudoyo Aru W.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi . Jakarta:
FKUI