You are on page 1of 42

Learning Issue Skenario C Blok 24 2017

Saraswati Annisa
04011381419196

Postpartum Hemorrhagic
Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak 500 mL
atau lebih setelah selesainya kala III. Perdarahan postpartum merupakan suatu komplikasi potensial
yang mengancam jiwa pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun beberapa penelitian
mengatakan persalinan normal seringkali menyebabkan perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya
suatu gangguan pada kondisi ibu. Hal ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk
perdarahan postpartum yang didefinisikan sebagai perdarahan yang mengakibatkan tanda-tanda dan
gejala-gejala dari ketidakstabilan hemodinamik, atau perdarahan yang mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan darah lebih dari 1000 mL dengan persalinan pervaginam
atau penurunan kadar hematokrit lebih dari 10% dari sebelum melahirkan juga dapat dianggap sebagai
perdarahan post partum.

Wanita dengan kehamilan normal yang mengakibatkan hipervolemia yang biasanya meningkatkan
volume darah 30 60 %, dimana pada rata-rata wanita sebesar 1-2 L. Wanita tersebut akan
mentoleransi kehilangan darah, tanpa ada perubahan kadar hematokrit postpartum, karena kehilangan
darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya volume darah yang ditambahkan saat kehamilan.
Klasifikasi

Berdasarkan onset perdarahan, diklasifikasikan menjadi perdarahan postpartum dini dan lanjut.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam
hingga 6 minggu setelah anak lahir.
Klasifikasi berdasarkan tanda dan gejala klinis sebetulnya bersesuaian dengan persentase volume
kehilangan darah

Klinis Tekanan darah Defisit Volume


% Cc
Palpitasi, takikardi, dizziness Normal 10-15 500-1000
Lemah, takikardia, berkeringat Menurun 15-20 1000-1500
Gelisah, pucat, oligouria 70-80 20-25 1500-2000
Pingsan, anuria, takipneu 50-70 25-30 2000-2500

Epidemiologi
Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian ibu. Kematian
maternal di Amerika sekitar 7-10 wanita /100.000 kelahiran hidup. Statistik nasional mendeteksi 8%
kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum. American college of Obstetricians and
Gynecologists memperkirakan 140.000 kematian maternal pertahun ataupun 1 perempuan meninggal
tiap 4 menitnya.
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya dengan kehamilan,
persalinan, dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan. Angka kematian maternal adalah jumlah
kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup. Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab
terbanyak kematian maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap tahunnya. Tiga faktor
utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi
dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu yaitu 28%.
Di negara maju dan berkembang, penyebab kematian yang paling umum adalah perdarahan berat
(Tabel 1).

Tabel 1. Insiden Global Komplikasi Mayor Persalinan

Perdarahan masif terjadi sekitar 5-15 % pada wanita setelah mengalami persalinan. Secara global,
diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu yang tersebar di
Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean 4% (22 000); dan
kurang dari 1% (2500) di negara maju. Di kawasan Asean Indonesia menempati urutan tertinggi dalam
angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas negara Asean lainnya
(Gambar 1).
Gambar 1. Perbandingan Angka Kematian Maternal Negara Asean

Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum, faktor-faktor yang
menyebabkan hemorrhage postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta,
sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.
Perdarahan yang masif terjadi karena adanya abnormalitas pada keempat proses dasar, yang disingkat
4 T, baik tunggal ataupun gabungan: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan), tissue
(retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital), atau thrombin
(abnormalitas pembekuan darah).
1. Tonus
a. Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak dari perdarahan post partum primer yaitu sekitar 90%.
Atonia uteri adalah ketidakmampuan myometrium untuk berkontraksi secara efektif. Otot dari uterus
biasanya berkontraksi untuk menghentikan pendarahan sesaat setelah bayi dan plasenta lahir. Otot
bekerja untuk menutup pembuluh darah yang terbuka, menghentikan aliran darah dan memperbaiki
dinding uterus. Atonia uteri menyebabkan uterus dalam kondisi yang relaksasi dan membuat otot
berhenti untuk berkontraksi secara teratur. Pembuluh darah yang tidak tertutup dapat mengeluarkan
aliran darah dalam volume yang banyak, yang menyebabkan perdarahan yang berat dan hipotensi.
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari : 1) Partus lama, 2) pembesaran uterus yang berlebihan
pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion atau janin besar, 3) multiparitas, 4) anestesi
yang dalam, 5) anestesi lumbal. Atonia uteri juga dapat timbul karena adanya kesalahan penanganan
kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan
plasenta, sementara plasenta belum terlepas dari uterus.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama
yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan
plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena
atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi
puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan
Sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi
insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan
sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi
Bebera
pa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :

Manipulasi uterus yang berlebihan


a.
b. General anestesi (pada persalinan dengan operasi)
c. Uterus yang teregang berlebihan
d. Kehamilan kembar.
e. Fetal macrosomia (berat janin antara 4000-5000 gram)
f. Polyhydramnion
g. Kehamilan lewat waktu,
h. Partus lama
i. Grande multipara (fibrosis otot - otot uterus)
j. Anestesi yang dalam
k. Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)
l. Plasenta previa,
m. Solutio plasenta,
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta.
Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan
tetapi belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka
akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesive).
- plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidva
sampai miometrium sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta perkreta).
- plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh
tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi
lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus
perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa
plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late
postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan
curettage.

3. Trauma
Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir.
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande
multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Repture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan
secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan
vacuum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. darah dibawah
mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat
menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan
terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery
atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau
jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi (terutama merah menyala) dan kontraksi uterus baik akan mengarah
pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai
penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga tundus uteri sebelah dalam
menonjol kedalam kavum uteri.Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah
plasenta keluar.
Inversio uteri dapat dibagi:
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut.
- korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus uteri yang tidak
berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim
pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang
lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan
gawatdengan angka kematian tinggi (15- 70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang
terbaik untuk keselamatan penderita.
4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat,
kelainan pembekuan darah bisa berupa :
a.Hipofibrinogenemia,
b.
Trombositopenia
c.
Idiopathic trombocytopenic purpura
d.
HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count),
e.Disseminated Intravaskuler Coagulation,
f.
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah
donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.
Perdarahan postpartum akibat gangguan koagulasi dicurigai bila penyebab yang lain dapat
disingkirkan, apalagi disertai riwayat mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya.
Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi uterus, sisa plasenta, abnormalitas involusi
uterus, atau oleh penyebab primer di atas tetapi terlambat diidentifikasi. Tidak jarang perdarahan
postpartum sekunder bersifat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan ditangani segera.
Faktor Resiko
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko paling besar
untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan
keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan
terjadinya hemorraghe postpartum:
Grande multipara
Perpanjangan persalinan
Chorioamnionitis
Kehamilan multiple
Injeksi Magnesium sulfat
Perpanjangan pemberian oxytocin

Tabel 2. Etiologi dan Faktor Resiko Perdarahan Postpartum

Faktor resiko yang berhubungan dengan atonia uteri ialah :


Faktor yang berhubungan dengan peregangan uterus yang berlebihan:
Kehamilan ganda
Polihidramnion
Bayi makrosomia
Faktor persalinan
Induksi persalinan
Partus lama
Tindakan manual plasenta
Penggunaan obat relaksasi uterus
Anestesi dalam
Magnesium sulfat
Faktor intrinsik
Riwayat perdarahan post partum sebelumnya
Perdarahan antepartum
Obesitas
Umur > 35 thn

Patofisiologi
Pada awal persalinan, estrogen akan meningkat dalam darah. Hal ini menyebabkan uterus menjadi
lebih mudah terangsang, dan pembentukan prostaglandin lebih banyak lagi, yang kemudian
menyebabkan kontraksi uterus. Jumlah reseptor oksitosin lebih banyak lagi, yang kemudian
menyebabkan kontraksi uterus. Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua (endometrium
kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan mencapai puncaknya selama awal
persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah reseptor oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir
kehamilan juga dapat meningkatkan pembentukan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin
plasma yang normal. Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus menyebabkan dilatasi serviks,
dilatasi ini selanjutnya menimbulkan sinyal pada saraf aferen yang dipancarkan ke nukleus supraoptik
dan paraventrikel meningkatkan sekresi oksitosin. Kadar oksitosin plasma meningkat dan lebih banyak
oksitosin tersedia untuk bekerja pada uterus. Dengan demikian, terjadi umpan balik positif yang
membantu persalinan dan berakhir setelah hasil konsepsi dikeluarkan. Oksitosin meningkatkan
kontraksi uterus dengan dua cara :1) bekerja langsung pada sel otot polos uterus untuk membuatnya
berkontraksi, dan 2) merangsang pembentukan prostaglandin di desidua.
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana.
Setelah persalinan, kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan
setelah melahirkan.

Gambar 2. Kontraksi
miometrium uteri
menutup pembuluh
setelah persalinan5

Adanya peregangan yang berlebihan atau berkurangnya kerja reseptor oksitosin di miometrium pasca
persalinan menyebabkan kontraksi uterus menurun atau disebut hipotonia uteri, yang jika tidak
tertangani akan jatuh menjadi atonia uteri. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Gambaran Klinis
Atonia uteri didiagnosa dengan adanya tanda-tanda perdarahan uterus yang disertai dengan kurangnya
kontraksi tonus miometrium yang merupakan salah satu etiologi dari perdarahan post partum.
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang
sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah
tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah. Jumlah darah yang keluar ialah lebih dari 500
cc.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang menyebabkan atonia dengan
penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri tidak teraba
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal.
4) Terdapat tanda-tanda syok
Hipotensi, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
Diagnosis
Anamnesis
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode perdarahan
postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus gandaatau polihidramnion.

Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan
massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.
Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (calcium-channel
blocker) atau penyakit jantung ( misal digoxin, warfarin). Informasi ini penting jika
koagulopati dan pasien memerlukan transfusi.
Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.

Pemeriksaan Fisik
Pada seorang wanita dengan perdarahan masif, secara simultan memerlukan pemeriksaan fisik dan
resusitasi. Fokuskan pemeriksaan pada pencarian penyebab perdarahan. Pasien dapat tidak memiliki
perubahan hemodinamik tertentu pada awal syok akibat perdarahan fisiologik maternal hipervolemia.
Perdarahan postpartum selalu perlu disadari saat gangguan hemodinamik terjadi tanpa adanya
perdarahan masif.

Palpasi bimanual uterus terasa lunak, atonia, atau pembesaran uterus, dengan suatu akumulasi
darah yang banyak. Palpasi juga dapat merasakan adanya hematom dalam perineum atau
pelvis.
Selama penghisapan, inspeksi servik dan vagina dalam penerangan yang cukup dapat melihat
adanya robekan jaringan.
Periksa adanya jaringan plasenta yang hilang, yang menandakan adanya kemungkinan retensio
plasenta.

Tekanan Darah
Kehilangan Darah Tanda dan Gejala Derajat Syok
(Sistolik)
500-1000 mL
Normal Palpitasi, Takikardi, Gelisah Terkompensasi
(10-15%)

1000-1500 mL Menurun ringan Lemah, Takikardi,


Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg) Berkeringat

1500-2000 mL menurun sedang


Sangat lemah, Pucat, Oliguria Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg)

2000-3000 mL Sangat turun


Kolaps, Sesak nafas, Anuria Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg)

Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat penting untuk
keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus dilaksanakan dengan cepat
sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
Tabel 3. Diagnosis Perdarahan Postpartum

Gejala dan tanda yang Gejala dan tanda Diagnosis


selalu ada yang kadang-
kadang ada
Uterus tidak berkontraksi Syok Atonia uteri
(teraba lunak)
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi baik Pucat Robekan jalan
Plasenta lahir lengkap Lemah lahir
Tampak laserasi Menggigil
Perdarahan segar dan
pulsatif
Perdarahan segera Syok Ruptur uteri
(pervaginam atau Nyeri tekan perut
intraabdominal)
Nyeri perut hebat
Plasenta belum lahir setelah Tali pusat putus Retensio
30 menit Inversio uteri plasenta
Uterus berkontraksi baik Perdarahan lanjutan
Perdarahan segera
Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi Sisa plasenta
selaput lahir tidak lengkap tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera tidak berkurang
Uterus tidak teraba Syok neurogenik Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Nyeri
Perdarahan segera
Subinvolusi uterus Anemia Perdarahan
Nyeri tekan perut bawah Demam terlambat
Onset > 24 jam pasca Endometritis
persalinan Sisa plasenta
Perdarahan bervariasi terinfeksi
(ringan atau berat, terus
menerus atau tidak teratur,
berbau)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Darah Lengkap
- Untuk memeriksa kadar Hb dan hematocrit
- Perhatikan adanya trombositopenia
PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.
Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati.
Kadarnya secara normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu
rendah atau dibawah normal mengindikasikan adanya konsumtif koagulopati.

Pemeriksaan Radiologi

USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya hematom.

Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh darah.

Pemeriksaan Lain

Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk degradasi
fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan gangguan koagulasi.

Tatalaksana
Banyaknya darah yang keluar mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar,
sedikit anemis, atau sampai menjadi syok hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 cc atau
1500 cc (20-25% volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok hemoragik
sehingga transfusi darah diperlukan segera. Tindakan pertama yang dilakukan tergantung pada
keadaan klinisnya.
Tabel 4. Klasifikasi
Derajat Perdarahan

Masase fundus uteri segera setelah


plasenta lahir (maksimal 15 detik)

Ya
Uterus kontraksi ? Evaluasi rutin

Tidak

Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban


Kompresi bimanual interna (KBI) : maksimal 5 menit

Ya Pertahankan KBI selama 1-2 menit


Uterus kontraksi ? Keluarkan tangan secara hati-hati
Lakukan pengawasan kala IV
Tidak

Ajarkan keluarga melakukan KBE


Keluarkan tangan secara hati-hati
Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM
Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin,
guyur
Lakukan kembali KBI

Ya
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV

Tidak

Rujuk, siapkan laparatomi


Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat
rujukan
Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI

Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika


B-Lynch method

tetap
Perdarahan ? Histerektomi

berhenti

Pertahankan Uterus
Gambar 3. Bagan penanganan atonia uteri.

1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan
sikap trendelenberg, memberikan oksigen, dan pemberian cairan intrevena cepat, monitoring
tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan
darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2. Merangsang kontraksi uterus dengan cara :
Masase fundus uteri dan kompresi bimanual.
Masase fundus uteri dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15
detik).
1) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah
perineum/vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
2) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks. Pastikan
bahwa kandung kemih telah kosong. Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5
menit.
a. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan
dan pantau kala IV dengan ketat.
Cara kompresi bimanual interna (KBI):
- Pakai sarung tangan DTT atau steril, oleskan larutan antiseptik pada sarung tangan kanak.
Dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, sisihkan kedua lania mayus ke lateral, tangan
kanan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan ke dalam
vagina ibu.
- Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin
hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.
- Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada fornik anterior, tekan dinding anterior uterus,
kearah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus ke arah depan
sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang.
- Tekan kuat uterus dengan kedua tangan secara kuat. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga
merangsang miometrium untuk berkontraksi.
- Evaluasi hasil kompresi bimanual internal:
1) Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama 2
menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina, pantau kondisi
ibu secara melekat selama kala IV
2) Jika uterus berkontraksi tetapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum, vagina
dan serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut, segera lakukan penjahitan bila
ditemukan laserasi.
3) Kontraksi uterus tidak terjadi dalam 5 menit, ajarkan pada keluarga untuk melakukan
kompresi bimanual eksternal, kemudian teruskan dengan langkah-langkah
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan
rujukan.
Gambar 4. Kompresi Bimanual Interna.
b. Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg IM
(jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infuse menggunakan jarum ukuran 16 atau 18
dan berikan 500 ml RL +20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin;
Ulangi KBI.
Cara kompresi bimanual eksterna (KBE):
- Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri, di atas
simfisis pubis.
- Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri, sejajar
dengan dinding dekat korpus uteri. Usahakan untuk mencakup/memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin.
- Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang
agar pembuluh darah di dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini
dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkontraksi.

Gambar 5. Kompresi Bimanual Eksterna.

Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala IV, 15 menit untuk 1 jam
pertama, 30 menit untuk 1 jam kedua. Jika uterus tidak berkontraksi dalam 1-2 menit, segera
rujuk ibu karena ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawat darurat di
fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.
Selama dalam perjalanan ketempat rujukan penolong bisa tetap melakukan kompresi bimanual
eksterna atau kompresi aorta abdominalis yaitu dengan cara meraba arteri femoralis dengan
ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut. Genggam tangan kanan kemudian tekankan
pada daerah umbilicus, tegak lurus dengan sumbu badan, sehingga mencapai kolumna
vertebralis. Penekanan yang tepat, akan menghentikan atau sangat mempengaruhi denyut arteri
femoralis.
Terapi Farmakologik
Pengobatan uterotonika merupakan terapi terpilih untuk pemberian obat-obatan perdarahan post
partum karena atonia uteri. Tabel dibawah ini menunjukkan obat-obat uterotonik, dosis, efek samping,
dan kontraindiksinya.

Tabel 4. Obat-obat Uterotonik


Penggunaan Tampon Uterus
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya menghentikan perdarahan tidak
berhasil maka alternative yang mungkin dapat dilakukan adalah pemasangan tampon utero-vaginal.
Pemasangan tampon uterovagina
1. Vagina dibuka dengan spekulum, dinding depan dan belakang serviks dipegang dengan ring
tang, kemudian tampon dimasukkan dengan menggunakan tampon yang melalui serviks
sampai ke fundus uteri.
2. Apabila perdarahan masih terjadi setelah pemasangan tampon ini, pemasangan tampon tidak
boleh diulangi, dan segera harus dilakukan laparotomi untuk melakukan histerektomi ataupun
ligasi arteria hipogastrika.
Gambar 6. Cara pemasangan tampon
uterovaginalis

Alternatif dari pemasangan tampon selain dengan kasa, juga dipakai beberapa cara yaitu:
dengan menggunakan Sengstaken-Blakemore tube, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter)
atau SOS Bakri tamponade balloon catheter. Cara penggunaannya adalah dengan menginsersikan
balon pada uterus kemudian dikembangkan dengan menggunakan cairan saline sebanyak 500 ml lalu
dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk menjaga balon tetap di berada dalam uterus serta untuk
mengevaluasi perdarahan, dan dilepas 24-48 jam kemudian.

Gambar 7. Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter), dan Sengstaken-
Blakemore tube

3. Operatif
a. Ligasi arteri uterine
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterine menghasilkan angka keberhasilan 80-90%.
Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterine yang berjalan disamping uterus setinggi batas
atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan
segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uteria. Saat melakukan ligasi, hindari
rusaknya vasa uterine dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk
itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan bilateral
pada vasa uterina bagian bawah, 3- cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri
uterina yang menuju ke serviks, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan
bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

Gambar 8. Ligasi arteri uterine.


b. Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral parallel dengan garis ureter. Setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Resiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Gambar 9. Anatomi arteri iliaca Interna


Gambar 10. Tempat Ligasi a. Iliaka Interna
c. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher B-Lynch
1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan post partum.

Gambar 11. Teknik


B- Lynch pada
penanganan Atonia Uteri

d. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
postpartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-4 per 10.000
kelahiran.
Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor resiko merupakan salah satu
langkah mengantisipasi perdarahan postpartum. Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko
memudahkan penataan strategi pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas
rujukan. Berbagai hal dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, antara lain:
1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan sebelum bersalin, misalnya mengatasi anemia,
mengobati penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum dan lain-lain.
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum maupun intrapartum,
sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di
tempat rujukan dengan fasilitas memadai.
3.
Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama perdarahan
postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
4. Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif kala tiga berhasil
menurunkan insidens perdarahan postpartum. Manajemen aktif kala tiga mencakup: pemberian
uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir, penegangan tali pusat terkendali disertai
penekanan uterus ke arah dorsokranial (manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui
dinding abdomen pasca kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan
menghasilkan kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan mengurangi
perdarahan pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif (fisiologis), termasuk
mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka kematian maternal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cochrane yang membandingkan pasien yang mendapat oksitosin
ternyata terjadi penurunan rata-rata jumlah darah yang hilang, perdarahan postpartum, dan kebutuhan
akan oksitosin tambahan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan oksitosin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian oksitosin sebelum pengeluaran plasenta dapat mengurangi jumlah
darah yang hilang dan juga jumlah transfusi postpartum yang dibutuhkan. Beberapa penelitian lain
justru menunjukkan tidak ada pengaruh mengenai waktu pemberian oksitosin.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama
oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan
tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk
mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi
lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-
150 cc/jam. Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan postpartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting
dan onset kerjanya cepat. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar, kartebosin ternyata lebih efektif
dibandingkan oksitosin.

Komplikasi
Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh kegagalan kerja
jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar
(intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (syok
hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (syok hemoragik).
Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume
sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat
dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah
untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan kontraktilitas otot jantung membutuhkan
pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan miokardium.
Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen
menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme
anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi
dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang
berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga
mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang
mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan kegagalan
multiorgan yang berakhir dengan kematian.9
Evaluasi pada pasien meliputi riwayat medis yang lengkap, seperti riwayat koagulopati dan riwayat
terapi anti koagulan, harus dilakukan. Pemeriksaan fisik yang lengkap dapat menunjukkan adanya
memar atau petekia yang luas. Pemeriksaan untuk menilai status koagulasi dan konsultasi harus
dipertimbangkan. Resiko komplikasi perdarahan harus dicatat pada rekam medis didiskusikan dengan
pasien.
Prognosis
Prognosis bergantung pada jumlah darah yang hilang (sesuai dengan rasio berat badan pasien),
komplikasi yang terjadi, dan keberhasilan terapi.

Daftar Pustaka

Leveno, Kenneth J, dkk. 2012. Obstetri Williams Panduan Ringkas Edisi 21. Jakarta : EGC.

WHO. 2001. Panduan Praktis Maternal dan Neonatal

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. 1984. Obstetri
Patologi. Bandung : ELSTAR OFFSET
1. Cuningham FG, et al. Postpartum Hemorrhage. William Obstetrics 22th p463. Connecticut: Appleton
and Lange, 2005.
2. WHO. World Health Report 2005Make every mother and child count. Geneva: World Health
Organization, 2005.
3. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can
2006;28(11):967973.
4. Timothy R. Maternal Mortality. J Obstet Gynecol Can 2011;33(10):989-990
5. Hogan MC, et al. Maternal mortality for 181 countries, 19802008: a systematic analysis of
progress towards Millennium Development Goal 5. Lancet 2010;375:160923.
6. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005.
7. Maughan KL, et al. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of Labor.
AmFam Physician 2006;73:1025-8.
8. Marzi I. Hemorrhagic shock: update in pathophysiology and therapy. Acta Anaesthesiol Scand
Suppl 1997;111:42-4.
9. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam
Physician 2007;75:875-82.
10. Abdul Bari Saifuddin, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal
Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002.
11. John RS. Management of Third Stage of Labor. Medscape Reference.
12. Prendiville WJ, et al. Review : Active versus expectant management in the third stage of labour.
The Cochrane Library, Issue 2. Oxford, UK: Update Software, 2002.
13. Schuurmans N, et al. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of
Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81.
14. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. NEngl J Med 2001;
344 (1):38-45.
15. J Blum, et al. Treatment of Postpartum Hemorrhage. International Federation of Gynecology and
Obstetric. Ireland:Elseiver.
16. Dean Leduc. Active Management of The Third Stage of Labour: Prevention and Treatment
Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2009;31(10):980-993.
17. Muhammad Nurhadi Rahman, dkk. Penggunaan Teknik B-Lynch dan Teknik Lasso-Budiman
untuk Penanganan Perdarahan Pascapersalinan akibat Atonia Uteri. Case Report Vol.34 No.4 Oktober
2010.
18. Statewide Maternity and Neonatal Clinical guidelines Program. Primary Postpartum Hemorrhage.
July 2009.

1. Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international edition. 21 st


edition. Page 619-663.
2. Wainscott, Michael P. Pregnancy, Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com. May 30,
2006.
3. Smith, John R, Barbara G. Brennan. Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com. June
13, 2006.
4. Wiknjosastro, Hanifa, Abdul Bari Saifudin, Triatmojo Rachimhadhi. Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo.Jakarta. 2002.
5. http://www.pregnancyinfo.net .Post Partum Hemorrhage.
6. htpp://www.WHO.int. Managing Complication in Pregnancy and Childbirth.
7. ALARM International. Hemorrhage in Pregnancy. 2nd edition. Page 49-53.
8. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and Management of
postpartum Haemorrhage, no. 88, April 2000.
9. BiblioMed Textbook Clinical Obstetrics. Operatif Obstetrics. Management Pospartum
Haemorrhage. vol 2. Part 7.
10. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.2008
11. Uterua. Encyclopedia Britannica Facts matter. 2012. Available in URL:
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/620603/uterus
12. Sherwood L. Sistem Reproduksi. In: Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC.2001. Hal. 728-
732.
13. Cunningham,FG. Obstetrical Hemorrhage. In : Williams Obstetrics. Twenty Second edition.
USA. McGraw-Hill. 2005
14. Pernoll, ML. Uterine Atony. In : Benson and Pernolls Obstetricts and Gynecology. Tenth
Edition. USA. McGraw-Hill.2001.

Fisiologi Persalinan Normal


Persalinan normal adalah peristiwa lahirnya bayi hidup dan plasenta dari dalam uterus dengan
presentasi belakang kepala melalui vagina tanpa mengunakan alat pertolongan pada usia kehamilan
30-40 minggu atau lebih dengan berat badan bayi 2500 gram atau lebih dengan lama persalinan
kurang dari 24 jam yang dibantu dengan kekuatan kontraksi uterus dan tenaga meneran. Sedangkan
menurut WHO persalinan normal adalah peralinan yang dimulai secara spontan (dengan kekuatan ibu
sendiri dan melalui jalan lahir), beresiko rendah pada awal persalinan dan presentasi belakang kepala
pada usia kehamilan antara 37-42 minggu setelah persalinan ibu maupun bayi berada dalam kondisi
baik.
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran janin yang viable dari dalam uterus melalui vagina
kedunia luar. Persalinan dimulai dengan munculnya HIS persalinan. Menjelang persalinan terjadi
perubahan-perubahan yang sifatnya fisiologis yang pada ibu/maternal yang nantinya berperan
mendukung proses persalinan.
Sebab-sebab terjadinya persalinan
Karena persalinan merupakan suatu proses fisiologis yang memang diperlukan untuk mengeluarkan
hasil konsepsi berupa janin, maka tubuh materna mengalami perubahan-perubahan baik secara
fisiologis, anatomis maupun hormonal guna mempersiapkan diri menghadapi persalinan. Ada banyak
teori yang menerangkan bagaimana terjadinya/dimulainya persalinan pada gravida. Adapun teori-teori
yang menjadi penyabab persalinan antara lain:

1. Perubahan pada struktur uterus dan sirkulasi uterus (sirkulasi uteroplasenta)

Pada minggu-minggu akhir kehamilan bagian otot-otot uterus makin membesar dan menegang. Hal ini
menyebabkan terganggunya aliran darah menuju otot uterus terutama pada bagian arteri spiralis yang
mensuplai darah keplasenta. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi uteroplasenta yang
mengakibatkan degradasi plasenta dan menurunnya nutrisi untuk janin. Mulai menurunya asupan
nutrisi janin akan memberi rangsangan untuk dimulainnya proses persalinan.

2. Faktor neurologis

Selain itu, tegangan rahin yang semakin meningkat seiring bertambah besarnya janin menyebabkan
terjadinya penekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser dibelakang serviks.
Perangsangan ganglion ini mampu membangkitkan kontraksi uterus yang merupakan awal dari proses
partu.
3. Perubahan Hormonal dan kimiawi

Adapun studi yang dilakukan mengenai hormon yang bekerja dalam kehamilan menunjukkan adanya
perubahan menjelang parturitas yang diduga kuat berperan untuk induksi persalinan. Secara umum
hormon progesteron dan relaxin bekerja terutama untuk mempertahankan kehamilan dengan cara
meredam aktivitas/kontraksi miometrium. Dalam kehamilan, kerja progesteron mampu mengimbangi
efek estrogen yang meski berperan dalam proliferasi kelenjar, juga memiliki efek meningkatkan
kontraksi uterus. Sehingga keberadaan kedua hormon ini selama kehamilan dalam keadaan seimbang
sangat penting artinya. Menjelang parturitas, dimana meski plasenta semakin tua pembentukan kedua
hormon ini tidak berubah. Perubahan terutama terjadi pada reaktifitas jaringan terhadap hormon terkait
dengan keberadaan reseptornya. Dimana efek akhirnya adalah terjadi peningkatan kerja estrogen dan
penurunan efek progesteron.
FISIOLOGI PERSALINAN NORMAL
Menjelang persalinan terjadi perubahan pada ibu hamil yang berperan mendukung/menginduksi
proses persalinan. Adapun perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan pada sistem hormonal,
struktur anatomi dan fisiologi pada tubuh ibu, terutama pada sistem reproduksi.
Perubahan Hormonal
Tidak banyak terjadi perubahan pada kadar hormon estrogen dan progesteron menjelang partus. Meski
didapat peningkatan kerja hormon estrogen dan insufisiensi efek progesteron, hal ini lebih disebabkan
perubahan pada reseptor hormon. Menjelang partus, PRA (progesteron reseptor A) yang bekerja
menginhibisi efek progesteron, jumlahnya meningkat sedang PRB (progesteron receptor B) yang
kerjanya berkebalikan dengan PRA malah menurun. Hal inilah yang menyebabkan fungsi utama
progesteron untuk menjaga kehamilan jadi berkurang.
Hal ini juga didukung dengan peningkatan reseptor estrogen (ERA). ERA selama kehamilan
dihambat kerjanya oleh progesteron, sehingga peningkatan jumlah reseptor ini akan membantu
peningkatan aktifitas estrogen. Dimana estrogen sangat berperan untuk merangsang kontraksi uterus.
Efek estrogen yang berperan menunjang kontraksi adalah efeknya dalam aktivasi formasi gap-
junction, meningkatkan reseptor oxytocin dan COX-2 serta meningkatkan sintesis prostaglandin.
Prostaglandin dan oxytocin juga meningkat menjelang partus. Selain dipengaruhi peningkatan
estrogen, sekresi PG juga berasal langsung dari paru janin yang juga mensekresikan PAF. Membran
janin juga mensekresi PAF (platelets activating factors) yang berperan menginisiasi kontraksi uterus.
Perubahan Anatomi
Perubahan anatomi yang penting terjadi menjelang persalinan adalah pada jalan lahir dan jaringan
lunak rongga panggul. Dibawah pengaruh estrogen jaringan otot dan ligamen berelaksasi sehingga
memudahkan akomodasi dari panggul ketika bayi melewati rongga panggul. Pada uterus, miometrium
membesar dan menjelang persalinan akan mulai muncul HIS (kontraksi uterus). Setiap selesai
kontraksi HIS, miometrium akan memendek. Hal ini akan menyebabkan tarikan pada SBR (ismus)
yang memiliki jaringan otot yang lebih sedikit, dan selanjutnya akan menyebabkan tarikan pada
serviks sehingga serviks akan mulai menipis dan berdilatasi.
Perubahan Fisiologis
Menjelang persalinan akan dimulai suatu kontraksi uterus yang disebut HIS persalinan. Selain itu,
karena pengaruh estrogen dan prostaglandin serviks akan menjadi makin lunak hipermukus dan
hipervaskularisasi. Hal ini akan menyebabkan sekresi lendir oleh kelenjar yang nantinya akan
memberikan tampakan bloody show (mukus bercampur darah) yang merupakan salah satu tanda in
partu. Apabila pembukaan sudah lengkap, ibu akan mulai memiliki refleks meneran yang nantinya
dapat membantu kelahiran bayi.
Perubahan-perubahan diatas adalah perubahan yang terjadi pada ibu dalam rangka persiapan diri untuk
proses persalinan/kelahiran bayi. Adapun dalam proses kelahiran/partus, ada beberapa aspek yang
berpengaruh, yaitu power, passage, passenger dan provider. Power adalah segala tenaga yang
mendorong bayi keluar melalui jalan lahir. Terdiri atas tegangan kontraksi HIS dan tenaga meneran
dari ibu. Passage adalah jalan lahir, termasuk didalamnya perubahan anatomi pada jalan lahir
menjelang persalinan. Passenger adalah bayi itu sendiri. Sedang provider lebih terkait dalam
manajemen persalinan.

Power

HIS adalah kontraksi uterus yang datang secara teratur menjelang persalinan. Adapun HIS yang
sempurna memiliki sifat kejang otot paling tinggi terdapat di fundus uteri, dan puncak kontraksi terjadi
simultan disemua bagian uterus. Selain itu, diikuti relaksasi yang tidak sempurna. Artinya, meskipun
otot relaksasi, tapi tidak pernah kehilangan tonus ototnya. Sehingga tegangan ruang amnion tetap
dipertahankan sebesar 6-12 mmHg. Pada tiap akhir kontraksi, akan terjadi retraksi fisiologis pada otot-
otot uterus. Retraksi ini menyebabkan terikan pada serviks yang menyebabkan serviks semakin
menipis dan berdilatasi seiring pemendekan otot-otot uterus.
Adapun HIS umumnya dimulai pada bagian uterus dekat muara tuba falopii. Tapi, sebenarnya
kontraksi HIS tidak memiliki struktur anatomi tertentu dimana ia disinkronisasi. Kontraksi menyebar
dari sel-kesel melalui area dengan resistensi lebih rendah. Area dengan resistensi lebih rendah ini
dikaitkan dengan adanya gap-junction yang meningkat menjelang aterm akibat pengaruh estrogen
yang meningkat dan menurunnya progesteron. Gap-junstion ini diduga terdapat lebih banyak pada
muara tuba faloppii, sehingga seolah-olah terdapat pacemaker yang memulai kontraksi uterus pada
bagian ini.
Mekanisme terjadinya HIS sangat dipengaruhi oxytocin dan PG. Kedua senyawa ini akan terikat pada
reseptornya di miometrium yang selanjutnya kan mengaktifasi phosfolipase C. Phosfolipase C akan
menghidrolisis lipid membran (phosphatidylinositol 4,5-biphosphate) menjadi diacylglycerol dan
inositol triphosphate. Selanjutnya, inositol triphosphate akan menginduksi pelepasan dari kalsium dari
retikulum sarkoplasma. Sehingga terjadi peningkatan kalsium intraselular yang nantinya akan
merangsang dari kontraksi myofibril.
Selain HIS, tenaga lain yang berperan dalam persalinan adalah tenaga meneran ibu yang membantu
memperkuat dorongan. Serta tegangan dari cairan amnion. Tegangan cairan amnion tidak pernah
menjadi nol. Bahkan ketika relaksasi otot-otot uterus diantara kontraksi HIS, tonus otot tetap
dipertahankan rendah. Hal ini menyebabkan tegangan cairan amnion tetap dipertahankan sebesar 6-12
mmHg. Seperti sifat sebuah cairan, ia akan menekan kesegala arah. Demikian pula halnya dengan
cairan amnion. Karena dinding uterus tidak sama komposisi dan ketebalannya, sehingga pada arah
SBR dan serviks, tegangan cairan amnion ini menyebabkan terdorongnya serviks dan membantu
penipisan dan dilatasi serviks serta penurunan bagian terbawah janin ke rongga panggul.

Passage

Passage terkait dengan anatomi jalan lahir. Terutama yang berperan dalam menentukan dapat
tidaknya kelahiran pervaginam adalah anatomi dari pelvic minor. Yang perlu diperhatikan dalam
anatomi pelvis adalah bidang-bidang khusus yang membentuk struktur pelvic. Ukuran bidang
pelvis sangat mempengaruhi dapat tidaknya kelahiran pervaginam terkait dengan ukuran pelvic
dibanding ukuran bayi.
Adapun bidang yang penting dalam anatomi pelvis adalah:
PAP (pelvic inlet) dibatasi oleh promontorium vertebra, alla sacrum, linea terminalis, ramus
horizontal os. Pubis dan simfisis pubis. Ukuran diameter bidang PAP yang tidak sesuai/lebih kecil
dari normal dapat menyebabkan tidak dapat menyebabkan abnormalitas dalam presentasi janin.
Adapun bidang PAP memiliki beberapa diameter yaitu konjugata vera (true conjugate) yang
menghubungkan promontorium dengan bagian atas simfisis, konjugata obstetrika (obstetric
konjugate) yang menghubungkan promontorium dengan bagian tengah simfisis, dan diameter
transversal yang menghubungkan dua sisi linea terminalis.
Midpelvic adalah ruang/bidang setinggi spina isciadika dan merupakan bidang tersempit dari
panggul. Hal ini dikarenakan adanya spina isciadika yang menonjol kerongga panggul. Adapun
ukuran diameter yang penting adalah diameter AP, bispinosus dan posterior sagital.
Pelvic outlet merupakan bidang terbawah rongga panggul yang dibatasi/ dibentuk oleh ujung
terbawah sacrum, sisi ligamentum sacrosciatic, dan ischial tuberosities.
Diameter-diameter dalam bidang Pelvic
Adapun secara umum, bentuk dari pelvic minor dibagi atas empat tipe utama tiap tipe berbeda-beda
dalam hal prognosisnya dalam persalinan.

Passenger

Passenger terkait dengan ukuran dan posisi janin menjelang kelahiran. Adapun untuk ukuran, yang
penting diperhatikan adalah ukuran kepala janin yang memang merupakan bagian tubuh terbesar
janin. Adapun bagian dan ukuran kepala janin yang penting adalah diameter suboksipito-
bregmatikus (9,5 cm), sumento-bregmatikus (9,5), oksipito-mentalis (13,5) dan oksipito-frontalis
(11,5).
Selain ukuran diameter kepala, anatomi janin juga digambarkan dalam 5 kategori yaitu letak,
posisi, habitus, presentasi, dan variasi.
o Letak, menggambarkan axis janin terhadap axis ibu. Dapat longitudinal, horizontal atau
obliq. Letak normal ketika mulai memasuki PAP adalah longitudinal

o Presentasi, menggambarkan bagian janin yang menempati posisi terbawah (pertama


masuk pelvis). Dapat presentasi kepala, bokong atau melintang. Presentasi normal adalah
pesentasi kepala belakang/UUK.

o Habitus/sikap, berupa gerakan/ posisi tubuh janin dan letak/posisi ekstremitas. Normal
kepala janin fleksi, tangan terlipat kedada, kaki fleksi pada lutut dan pangkal paha.

o Posisi, menggambarkan bagian tertentu dalam presentasi apakah berada di dekstra atau
sinistra. Normal UUK bisa berada dibagian dekatra maupun sinistra

o Variasi, terkait dengan posisi dan presentasi janin. Ada beberapa variasi dalam posisi, yaitu
posisi kanan dapat posterior, anterior atau transversal.

Semua hal diatas, power, passage dan passenger sangat penting artinya dalam kelahiran
pervaginam. Ketidaknormalan atau ketidaksesuaian salah satu komponen dapat menyebabkan
gangguan dan komplikasi dalam persalinan.

MEKANISME PERSALINAN NORMAL


Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada presentasi kepala ini
ditemukan 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, 23% di kanan depan, 11% di kanan
belakang, dan 8% di kiri belakang. Keadaan ini mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah
kiri belakang oleh kolon sigmoid dan rektum.
I. Kala Persalinan
Mekanisme persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu:
Kala I: kala pendataran dan dilatasi serviks, dimulai ketika telah tercapai kontraksi uterus yang cukup
untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks, dan berakhir ketika serviks sudah membuka
lengkap (sekitar 10 cm)
Kala II: Kala pengeluaran janin (ekspulsi janin), dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap, dan
berakhir ketika janin sudah lahir.
Kala III: Waktu untuk pelepasan dan ekspulsi plasenta
Kala IV: Satu jam setelah plasenta lahir lengkap

A. Kala I (Kala Pembukaan)


Pada kala pembukaan, his belum begitu kuat, datangnya setiap 10-15 menit dan tidak seberapa
mengganggu ibu, sehingga ibu seringkali masih dapat berjalan. Lambat laun his bertambah kuat,
interval menjadi lebih pendek, kontraksi juga menjadi lebih kuat dan lebih lama. Lender berdarah
bertambah banyak.
Secara klinis dapat dikatakan partus dimulai apabila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah ini berasal dari
lendir kanalis servikalis mulai membuka atau mendatar. Proses membukanya serviks sebagai akibat
his dibagi dalam 2 fase:
1. Fase laten : Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat sampai mencapai ukuran
diameter 3 cm
2. Fase aktif : Dibagi dalam 3 fase lagi yakni:
- Fase akselerasi: dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm
- Fase dilatasi maksimal: dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari 4cm, menjadi
9 cm
- Fase deselerasi: pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm
menjadi lengkap.
Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada multigravida pun terjadi demikian, akan tetapi
fase laten, fase aktif, dan fase deselerasi terjadi lebih pendek.

Gambar Berbagai fase pembukaan serviks pada kala I

Pendataran serviks adalah pemendekan kanalis servikalis uteri yang semula berupa sebuah
saluran dengan panjang 1-2 cm, menjadi satu lubang saja dengan pinggir yang tipis . Pembukaan
serviks adalah pembesaran ostium externum yang tadinya berupa suatu lubang dengan diameter
beberapa millimeter, menjadi lubang yang dapat dilalui anak dengan diameter sekitar 10 cm. Pada
pembukaan lengkap, tidak teraba lagi bibir portio, segmen bawah rahim, serviks dan vagina telah
merupakan suatu saluran.
Mekanisme membukanya serviks berbeda pada primigravida dan multigravida. Pada yang
pertama, ostium uteri internum akan membuka lebih dulu, sehingga serviks akan mendatar dan
menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Sedangkan pada multigravida ostium uteri
internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran
serviks terjadi dalam saat yang sama. Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap.
Pada primigravida kala I berlangsung kira-kira 12 jam, sedangkan pada multipara kira-kira 7 jam.

Gambar Pendataran dan pembukaan serviks pada primigravida dan multipara

B. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)


Fase ini dimulai ketika dilatasi serviks lengkap dan berakhir dengan pelahiran janin. Durasi
sekira 50 menit untuk nulipara dan sekitar 20 menit multipara, tetapi sangat bervariasi. Pada kala II his
menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kontraksi selama 50-100 detik, kira-kira tiap 2-3 menit. Karena
biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot
dasar panggul, yaitu secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Ibu merasa pula:
1. Tekanan pada rectum
2. Hendak buang air besar
3. Perineum mulai menonjol dan melebar
4. Anus membuka
5. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak dalam vulva pada waktu his.
Dengan his dan kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di
bawah simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi
untuk mengelurakan badan dan anggota bayi.

C. Kala III (Kala Pengeluaran Uri)


Terdiri dari 2 fase, yaitu: (1) fase pelepasan uri, (2) fase pengeluaran uri. Setelah anak lahir, his
berhenti sebentar, tetapi timbul lagi setelah beberapa menit. His ini dinamakan his pelepasan uri yang
berfungsi melepaskan uri, sehingga terletak pada segmen bawah rahim atau bagian atas vagina. Pada
masa ini, uterus akan teraba sebagai tumor yang keras, segmen atas melebar karena mengandung
plasenta, dan fundus uteri teraba sedikit di bawah pusat. Lamanya kala uri kurang lebih 8,5 menit, dan
pelepasan plasenta hanya memakan waktu 2-3 menit.

Tanda-tanda pelepasan plasenta:


- Uterus menjadi bundar dan lebih kaku
- Keluar darah yang banyak (250 cc) dan tiba-tiba
- Memanjangnya bagian tali pusat yang lahir
- Naiknya fundus uteri karena naiknya rahim di dalam abdomen sehingga lebih mudah digerakkan.

Pelahiran plasenta sebaiknya tidak boleh dipaksa sebelum pelepasan plasenta karena dapat
menyebabkan inverse uterus.

D. Kala IV (Kala Pengawasan)


Merupakan kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan
ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum. 7 pokok penting yang harus diperhatikan pada
kala 4:
1) kontraksi uterus harus baik,
2) tidak ada perdarahan pervaginam atau dari alat genital lain,
3) plasenta dan selaput ketuban harus sudah lahir lengkap,
4) kandung kencing harus kosong,
5) luka-luka di perineum harus dirawat dan tidak ada hematoma,
6) resume keadaan umum bayi, dan
7) resume keadaan umum ibu.

II. Proses Persalinan


Untuk menerangkan persalinan, dipengaruhi oleh POWER, PASSAGE, PASSENGER:
A. Tenaga yang mendorong anak keluar (POWER), yaitu:

- His
His ialah kontraksi otot-otot rahim pada persalinan. His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang
menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila his sudah
cukup kuat, kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul. His yang sempurna akan
membuat dinding korpus uteri yang terdiri atas otot-otot menjadi lebih tebal dan lebih pendek,
sedangkan bagian bawah uterus dan serviks yang hanya mengandung sedikit jaringan kolagen akan
mudah tertarik hingga menjadi tipis dan membuka. Kontraksi yang sempurna adalah kontraksi yang
simetris dengan dominasi di fundus uteri.
Pada bulan terakhir kehamilan sebelum persalinan dimulai, sudah terdapat kontraksi rahim yang
disebut his pendahuluan atau his palsu. His ini sebetulnya, hanya merupakan peningkatan kontraksi
Braxton Hicks, sifatnya tidak teratur dan menyebabkan nyeri di perut bagian bawah dan lipat paha,
tetapi tidak menyebabkan nyeri yang memancar dari pinggang ke perut bagian bawah seperti his
persalinan. Lamanya kontraksi pendek, tidak bertambah kuat jika dibawa berjalan, bahkan sering
berkurang. His pendahuluan tidak bertambah kuat seiring majunya waktu, bertentangan dengan his
persalinan yang makin lama makin kuat. Hal yang paling penting adalah bahwa his pendahuluan tidak
mempunyai pengaruh pada serviks.
His persalinan merupakan kontraksi fisiologis otot-otot rahim. Bertentangan dengan sifat kontraksi
fisiologis lain, his persalinan bersifat nyeri. Nyeri ini mungkin disebabkan oleh anoksia dari sel-sel
otot sewaktu kontraksi, tekanan oleh serabut otot rahim yang berkontraksi pada ganglion saraf di
dalam serviks dan segmen bawah rahim, regangan serviks, atau regangan dan tarikan pada peritoneum
sewaktu kontraksi.
Kontraksi rahim bersifat autonom, tidak dipengaruhi oleh kemauan, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar, misalnya rangsangan oleh jari-jari tangan. Seperti kontraksi jantung, pada his
juga terdapat pacemaker yang memulai kontraksi dan mengontrol frekuensinya. Pacemaker ini
terletak pada kedua pangkal tuba.
Kontraksi rahim bersifat berkala dan yang harus diperhatikan ialah sebagai berikut :
Lamanya kontraksi; berlangsung 47-75 detik
Kekuatan kontraksi; menimbulkan naiknya tekanan intra uterin sampai 35 mmHg.
Interval antara dua kontraksi; pada permulaan persalinan his timbul sekali dalam 10 menit,
pada kala pengeluaran sekali dalam 2 menit.

- Tenaga mengejan/meneran
Selain his, setelah pembukaan lengkap dan ketuban pecah, tenaga yang mendorong anak keluar
terutama adalah kontraksi otot-otot dinding perut yang mengakibatkan peninggian tekanan
intraabdominal. Tenaga mengejan hanya dapat berhasil jika pembukaan sudah lengkap, dan paling
efektif sewaktu kontraksi rahim.
Tanpa tenaga mengejan anak tidak dapat lahir, misalnya pada pasien yang lumpuh otot-otot perutnya,
persalinan harus dibantu dengan forceps. Tenaga mengejan juga melahirkan plasenta setelah plasenta
lepas dari dinding rahim.

B. Perubahan-perubahan pada uterus dan jalan lahir dalam persalinan (PASSAGE)


Adapun perubahan yang terjadi pada uterus dan jalan lahir saat persalinan berlangsung sebagai
berikut :
1. Keadaan segmen atas dan segmen bawah rahim pada persalinan
Sejak kehamilan lanjut, uterus dengan jelas terdiri dari 2 bagian, yaitu segmen atas rahim yang
dibentuk oleh korpus uteri dan segmen bawah rahim yang terbentuk dari isthmus uteri. Dalam
persalinan, perbedaan antara segmen atas dan bawah rahim lebih jelas lagi. Segmen atas memegang
peranan aktif karena berkontraksi. Dindingnya bertambah tebal dengan majunya persalinan.
Sebaliknya, segmen bawah rahim memegang peranan pasif dan makin menipis seiring dengan
majunya persalinan karena diregang. Jadi, segmen atas berkontraksi, menjadi tebal dan mendorong
anak keluar sedangkan segmen bawah dan serviks mengadakan relaksasi dan dilatasi serta menjadi
saluran yang tipis dan teregang yang akan dilalui bayi.

2. Sifat kontraksi otot rahim


Kontraksi otot rahim mempunyai dua sifat yang khas, yaitu :
Setelah kontraksi, otot tersebut tidak berelaksasi kembali ke keadaan sebelum kontraksi, tetapi
menjadi sedikit lebih pendek walaupun tonusnya seperti sebelum kontraksi. Kejadian ini
disebut retraksi. Dengan retraksi, rongga rahim mengecil dan anak berangsur di dorong ke
bawah dan tidak banyak naik lagi ke atas setelah his hilang. Akibatnya segmen atas makin
tebal seiring majunya persalinan, apalagi setelah bayi lahir.
Kontraksi tidak sama kuatnya, tetapi paling kuat di daerah fundus uteri dan berangsur
berkurang ke bawah dan paling lemah pada segmen bawah rahim. Jika kontraksi di bagian
bawah sama kuatnya dengan kontraksi di bagian atas, tidak akan ada kemajuan dalam
persalinan. Karena pada permulaan persalinan serviks masih tertutup, isi rahim tentu tidak
dapat didorong ke dalam vagina. Jadi, pengecilan segmen atas harus diimbangi oleh relaksasi
segmen bawah rahim. Akibat hal tersebut, segmen atas makin lama semakin mengecil,
sedangkan segmen bawah semakin diregang dan makin tipis, isi rahim sedikit demi sedikit
terdorong ke luar dan pindah ke segmen bawah. Karena segmen atas makin tebal dan segmen
bawah makin tipis, batas antar segmen atas dan segmen bawah menjadi jelas. Batas ini disebut
lingkaran retraksi fisiologis.
Jika segmen bawah sangat diregang, lingkaran retraksi lebih jelas lagi dan naik mendekati pusat,
lingkaran ini disebut lingkaran retraksi patologis atau lingkaran Bandl yang merupakan tanda
ancaman robekan rahim dan muncul jika bagian depan tidak dapat maju, misalnya karena pangul
sempit.

3. Perubahan bentuk rahim


Pada tiap kontraksi, sumbu panjang rahim bertambah panjang, sedangkan ukuran melintang maupun
ukuran muka belakang berkurang. Pengaruh perubahan bentuk ini ialah sebagai berikut :
a.Karena ukuran melintang berkurang, lengkungan tulang punggung anak berkurang, artinya tulang
punggung menjadi lebih lurus. Dengan demikian, kutub atas anak tertekan pada fundus, sedangkan
kutub bawah ditekan ke dalam pintu atas panggul.
b. Karena rahim bertambah panjang, otot-otot memanjang diregang dan menarik segmen bawah dan
serviks. Hal ini merupakan salah satu penyebab pembukaan serviks.

4. Faal ligamentum rotundum dalam persalinan


Ligamentum rotundum mengandung otot-otot polos. Jika uterus berkontraksi, otot-otot ligamentum ini
ikut berkontraksi sehingga menjadi lebih pendek. Pada tiap kontraksi, fundus yang tadinya bersandar
pada tulang punggung berpindah ke depan dan mendesak dinding perut depan ke depan. Perubahan
letak uterus sewaktu kontraksi kontraksi penting karena dengan demikian sumbu rahim searah dengan
sumbu jalan lahir. Dengan adanya kontraksi ligamentum rotundum, fundus uteri tertambat. Akibatnya
fundus tidak dapat naik ke atas sewaktu kontraksi. Jika fundus uteri dapat naik ke atas sewaktu
kontraksi, kontraksi tersebut tidak dapat mendorong anak ke bawah.

5. Perubahan pada serviks


Agar anak dapat keluar dari rahim, perlu terjadi pembukaan serviks. Pembukaan serviks ini biasanya
didahului oleh pendataran serviks.
- Pendataran serviks
Pendataran serviks adalah pemendekan kanalis servikalis yang semula berupa sebuah saluran dengan
panjang 1-2 cm, menjadi satu lubang saja dengan pinggir yang tipis. Pendataran ini terjadi dari atas ke
bawah.
- Pembukaan serviks
Yang dimaksud dengan pembukaan serviks adalah pembesaran ostium eksternum menjadi suatu
lubang dengan diameter sekitar 10 cm yang data dilalui anak.

6. Perubahan pada vagina dan dasar panggul


Setelah ketuban pecah, segala perubahan terutama pada dasar panggul ditentukan oleh bagian depan
anak. Oleh bagian depan yang maju itu, dasar panggul diregang menjadi saluran dengan dinding yang
tipis. Sewaktu kepala sampai di vulva, lubang vulva menghadap ke depan atas. Dari luar, peregangan
oleh bagian oleh bagian depan tampak pada perineum yang menonjol dan tipis, sedangkan anus
menjadi terbuka.

C. Gerakan anak pada persalinan (PASSENGER)


Gerakan-gerakan anak pada persalinan yang paling sering kita jumpai ialah presentasi
belakang kepala dan kebanyakan presentasi ini masuk ke dalam pintu atas panggul dengan sutura
sagitalis sagitalis melintang. Ubun-ubun kecil kiri melintang lebih sering daripada ubun-ubun kecil
kanan melintang. Karena itu, akan diuraikan pergerakan anak dalam presentasi belakang kepala
dengan posisi ubun-ubun kecil kiri melintang.

Mekanisme persalinan terdiri dari suatu gabungan gerakan-gerakan yang berlangsung pada saat
yang sama. Misalnya, sebagai bagian dari proses engagement terjadi fleksi dan penurunan kepala.
Gerakan-gerakan tersebut tidak mungkin diselesaikan bila bagian terbawah janin tidak turun secara
bersamaan. Seiring dengan itu, kontraksi uterus menghasilkan modifikasi penting pada sikap atau
habitus janin, terutama setelah kepala turun ke dalam panggul.
Gambar Gerakan-gerakan utama kepala pada persalinan
1. Engagement
Mekanisme yang digunakan oleh diameter biparietal-diameter transversal kepala janin pada
presentasi oksiput untuk melewati pintu atas panggul disebut sebagai engagement. Fenomena ini
terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan atau tidak mengalami engage hingga setelah
permulaan persalinan. Turunnya kepala dapat dibagi menjadi masuknya kepala ke dalam pintu atas
panggul dan majunya kepala.

Gambar . Pengukuran engagement

Pembagian ini terutama berlaku bagi primigravida. Masuknya kepala ke dalam pintu atas
panggul pada primigravida sudah terjadi pada bulan terakhir kehamilan. Tetapi pada multipara
biasanya baru terjadi pada permulaan persalinan. Masuknya kepala ke dalam pintu atas panggul
biasanya terjadi dengan sutura sagitalis melintang dan dengan fleksi yang ringan.

2. Descens (penurunan kepala)


Hal ini merupakan syarat utama kelahiran bayi. Pada wanita nulipara, engagement dapat terjadi
sebelum awitan persalinan dan desensus lebih lanjut mungkin belum terjadi sampai dimulainya
persalinan kala dua. Pada wanita multipara, desensus biasanya mulai bersamaan dengan engagement.
Descens terjadi akibat satu atau lebih dari empat gaya:
a. Tekanan cairan amnion
b. Tekanan langsung fundus pada bokong saat kontraksi
c. Usaha mengejan yang menggunakan otot-otot abdomen
d. Ekstensi dan pelurusan badan janin

3. Fleksi
Ketika desens mengalami tahanan, baik dari serviks, dinding panggul, atau dasar panggul,
biasanya terjadi fleksi kepala. Pada gerakan ini, dagu mendekat ke dada janin dan diameter
suboksipitobregmatika yang lebih pendek menggantikan diameter oksipitofrontal yang lebih panjang.

Gambar . Proses Fleksi

Gambar . Empat derajat fleksi kepala (A). Fleksi buruk, (B). Fleksi sedang, (C) Fleksi lebih lanjut,
(D) Fleksi lengkap

4. Rotasi Interna (Putaran Paksi Dalam)


Yang dimaksud dengan putaran paksi dalam ialah pemutaran bagian depan sedemikian rupa
sehingga bagian terendah dari bagian depan memutar ke depan, ke bawah simfisis. Pada presentasi
belakang kepala, bagian yang terendah adalah daerah ubun-ubun kecil dan bagian inilah yang akan
memutar ke depan, ke bawah simfisis. Putaran paksi dalam mutlak diperlukan untuk kelahiran kepala,
karena putaran paksi merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan posisi kepala dengan bentuk jalan
lahir, khususnya bentuk bidang tengah dan pintu bawah panggul. Putaran paksi dalam tidak terjadi
tersendiri, tetapi selalu bersamaan dengan majunya kepala dan tidak terjadi sebelum kepala sampai ke
Hodge III kadangkadang baru terjadi setelah kepala sampai di dasar panggul.
Gambar . Mekanisme persalinan pada posisi oksiput anterior kiri

Gambar . Mekanisme persalinan untuk ubun-ubun kecil kiri lintang: (A). Asinklitismus posterior
pada tepi panggul diikuti fleksi lateral, menyebabkan (B) asinklitismus anterior, (C) Engagement, (D)
Rotasi dan ekstensi.

Sebab-sebab putaran paksi dalam yakni:


a. Pada letak fleksi, bagian belakang kepala merupakan bagian terendah dari kepala
b. Bagian terendah kepala ini mencari tahanan yang paling sedikit, yaitu di sebelah depan atas tempat
terdapatnya hiatus genitalis antara antara musculus levator ani kiri dan kanan.
c. Ukuran terbesar dari bidang tengah panggul ialah diameter anteroposterior

5. Ekstensi
Setelah putaran paksi selesai dan kepala sampai di dasar panggul terjadilah ekstensi atau
defleksi kepala. Hal ini disebabkan karena sumbu jalan lahir pada pintu bawah panggul mengarah ke
depan dan ke atas sehingga kepala harus mengadakan ekstensi untuk melaluinya. Kalau tidak terjadi
ekstensi, kepala akan tertekan pada perineum dan menembusnya. Pada kepala, bekerja dua kekuatan
yang satu mendesaknya ke bawah, dan yang satunya disebabkan oleh tahanan dasar panggul yang
menolaknya ke atas. Resultannya ialah kekuatan ke arah depan atas.
Setelah suboksiput tertahan pada pinggir bawah simfisis, yang dapat maju karena kekuatan
tersebut di atas ialah bagian yang berhadapan dengan subocciput sehingga pada pinggir atas perineum,
lahirlah berturut-turut ubun-ubun besar, dahi hidung, mulut, dan akhirnya dagu dengan gerakan
ekstensi. Suboksiput yang menjadi pusat pemutaran disebut hipomoklion.
Gambar . Permulaan ekstensi Gambar . Ekstensi kepala

6. Rotasi Eksterna (putaran paksi luar)


Setelah kepala lahir, belakang kepala anak memutar kembali kea rah punggung anak untuk
menghilangkan torsi pada leher yang terjadi karena putaran paksi dalam. Gerakan ini disebut putaran
restitusi (putaran balasan : putaran paksi luar). Selanjutnya putaran dilanjutkan hingga belakang
kepala berhadapan dengan tuber ischiadicum sesisi. Gerakan yang terakhir ini adalah putaran paksi
luar yang sebenarnya dan disebabkan karena ukuran bahu menempatkan diri dalam diameter
anteroposterior pintu bawah panggul.

Gambar . Rotasi eksterna

7. Ekspulsi
Setelah putaran paksi luar, bahu depan sampai di bawah simfisis dan menjadi hipomoklion
untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian bahu depan menyusul dan selanjutnya seluruh badan anak
lahir searah dengan paksi jalan lahir.

Gambar . Kelahiran bahu depan Gambar . Kelahiran bahu belakang

Daftar Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham, F. Gary, et al. 2007. Williams Obstetrics 22nd Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies

Ragusa, Antonio, Mona Mansur, Alberto Zanini, Massimo Musicco, Lilia Maccario, dan Giovanni
Borsellino. 2005. Diagnosis of Labor: a Prospective Study. Medscape General Medicine.
Download from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1681656/

Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Fisiologi. Ilmu Kesehatan Produksi. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2004

Analisis Masalah
1. Apa penyebab berat bayi lahir besar?
Penyebab terjadinya makrosomia (bayi baru lahir dengan berat 4000 gram atau lebih) dikaitkan
dengan beberapa faktor, yaitu :
a. Bayi dari ibu yang mempunyai diabetes atau IDM (infant of a diabetic mother) berisiko tinggi
mengalami sejumlah komplikasi, khususnya hipoglikemia. Kadar glukosa maternal yang tinggi
mengakibatkan peningkatan respon insulin janin. Peningkatan kadar insulin ini mendorong
pertumbuhan intrauteri yang mengakibatkan makrosomia. Makrosomia terjadi pada 20%
hingga 30% IDM.
b. Bayi yang lahir setelah masa gestasi 42 minggu (postmatur, lewat waktu, lewat tanggal)
sebagian besar lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Kehamilan postterm mempunyai
hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, ataupun makrosomia.
c. Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat diperkirakan disebabkan oleh orang tua
bayi yang juga besar (keturunan). Faktor yang memperbesar kemungkinan bayi makrosomia
adalah orang tua yang berperawakan besar, khususnya obesitas pada ibu.
d. Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat diperkirakan disebabkan oleh kenaikan
berat badan selama kehamilan yang berlebihan pada ibu dan bukan disebabkan oleh sebab lain
misalnya edema.
e. Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan bayi makrosomia berpeluang besar melahirkan
anak kedua dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya bahkan berpeluang lebih
besar dari anak terdahulu.
f. Multiparitas disebut sebagai salah satu faktor penyebab makrosomia. Ada kecenderungan berat
badan lahir anak ke dua dan seterusnya lebih besar daripada anak pertama.
g. Bayi berat lahir besar (makrosomia) berisiko lahir dari ibu yang memiliki indeks massa tubuh
(IMT) 30 kg/m2.
h. Kondisi lain seperti kondisi lingkungan, nutrisi, dan hormonal kehamilan yang secara potensial
diatur oleh gen, usia ibu, serta ras dan etnik juga merupakan beberapa faktor penyebab
terjadinya makrosomia pada bayi baru lahir.

2. Apa saja penilaian klinik yang ada pada perdarahan pasca persalinan?
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu:
a. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24 jam pertama
kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio
plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri
b. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi setelah 24 jam
pertama kelahiran. Perdarahan postpartum 13 sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan
rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal
Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja

Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri


lembek.
Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran darah
keluar

Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir


setelah bayi lahir
Lemah
Uterus berkontraksi dan keras
Menggigil
Plasenta lengkap

Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan

Perdarahan segera Inversio uteri akibat


tarikan
Uterus berkontraksi dan keras
Perdarahan lanjutan

Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tinggi fundus tidak
berkurang
Perdarahan segera

Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri


Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung

Tampak tali pusat (bila plasenta


belum lahir)

Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa


fragmen plasenta
Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam (terinfeksi atau tidak)
uterus

Perdarahan sekunder

3. Bagaimana tindakan yang harus dilakukan pada kontraksi uterus yang lemah?
a. Masase fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik). Masase merangsang
kontraksi uterus. Saat dimasase dapat dilakukan penilaian kontraksi uterus
b. Bersihkan bekuan darah dan selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks. Bekuan darah dan
selaput ketuban dalam vagina dan saluran serviks akan dapat menghalang kontraksi uterus
secara baik.
c. Pastikan bahwa kantung kemih kosong, jika penuh dapat dipalpasi, lakukan kateterisasi
menggunakan teknik aseptic. Kandung kemih yang penuh akan dapat menghalangi uterus
berkontraksi secara baik.
d. Lakukan Bimanual Internal (KBI) selama 5 menit. Kompresi bimanual internal memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterusdan juga merangsang miometrium untuk
berkontraksi.
e. Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi hipertensi) atau misopostrol 600-1000 mcg.
Ergometrin dan misopostrol akan bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus.
f. Pasang infus menggunakan jarum 16 atau 18 dan berikan 500cc ringer laktat + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin. Jarum besar memungkinkan pemberian
larutan IV secara cepat atau tranfusi darah. RL akan membantu memulihkan volume cairan
yang hilang selama perdarahan. Oksitosin IV akan cepat merangsang kontraksi uterus.
g. Ulangi kompresi bimanual internal. KBI yang dilakukan bersama dengan ergometrin dan
oksitosin atau misopostrol akan membuat uterus berkontraksi
h. Rujuk segera. Jika uterus tidak berkontaksi selama 1 sampai 2 menit, hal ini bukan atonia
sederhana. Ibu membutuhkan perawatan gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan
bedah dan tranfusi darah.
i. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI. Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langung pada pembuluh darah dinding uterus dan merangsang uterus berkontraksi.
j. Lanjutkan infus RL +20 IU oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500 cc/ jam sehingga
menghabiskan 1,5 I infus. Kemudian berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang
cukup, berikan 500 cc yang kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minum untuk
rehidrasi. RL dapat membantu memulihkan volume cairan yang hilang akibat perdarahan.
Oksitosin dapat merangsang uterus untuk berkontraksi.

4. Apa hubungan riwayat anemia def.besi dengan kasus?


Pada anemia jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hal ini mempengaruhi jumlah haemoglobin
dalam darah. Berkurangnya jumlah haemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam
darah juga sedikit, sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ vital/

Pada saat hamil, bila terjadi anemia dan tidak tertangani hingga akhir kehamilan maka akan
berpengaruh pada saat postpartum. Pada ibu dengan anemia, saat postpartum akan mengalami atonia
uteri. Hal ini disebabkan karena oksigen yang dikirim ke uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah
yang kurang menyebabkan otot-otot uterus (myometrium) tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga
timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak.

5. Bagaimana interpretasi dari hasil pem. Fisik & obs pada kasus?

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi


Height 155 cm BMI 18,5-25 Normoweight
Weight 50 kg
BMI = 20,8
TD 60/40 mmHg 120/80 mmHg Hipotensi

HR 140x/menit 60-100x/menit Takikardi


RR 36x/menit 16-24x/menit Takipneu
Suhu 35 oC 36,5-37,5 oC Hipotermi
Ekstremitas dingin Hangat Hipotermi
Fundus uteri tidak Fundus uteri teraba, Abnormal
teraba, uterus tidak uterus berkontraksi
berkontraksi
Inspeksi Vagina: Tidak terdapat bekuan Abnormal
terdapat bekuan darah di vagina
darah di vagina
Tidak ada Tidak ada laserasi jalan Normal
laserasi/robekan lahir
serviks, vagina,
atau perineum

6. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemfis & obs?


- TD 60/40 : multi faktorial (makrosomia regangan rahim berlebihan, anemia defisiensi besi,
kehamilan multipara) lemahnya tonus/kontraksi rahim tidak mampu menutup perdarahan
terbuka dari tempat implantasi plasenta perdarahan masif pervaginam hipotensi
- HR 140x/menit dan RR 36x/menit = mekanisme kompensasi dari hipotensi untuk
meningkatkan curah jantung
- Temperatur 350C dan ekstremitas dingin = perdarahan masif pervaginam curah jantung
menurun hipotensi kompensasi: aliran darah ke perifer menurun hipotermi,
ekstremitas dingin
- Fundus uteri tidak teraba, uterus tidak kontraksi = multi faktorial (makrosomia regangan
rahim berlebihan, anemia defisiensi besi, kehamilan multipara) lemahnya tonus/kontraksi
rahim uterus tidak berkontraksi
- Bekuan darah di vagina = multi faktorial (makrosomia regangan rahim berlebihan, anemia
defisiensi besi, kehamilan multipara) lemahnya tonus/kontraksi rahim tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta perdarahan masif pervaginam
bekuan darah (perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah
tidak merembes, yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi
karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah)

7. Bagaimana cara melakukan kompresi aorta abdominal?

Peralatan yang di perlukan untuk dapat melakukan kompresi aorta abdominalis tidak ada, kecuali
sedapat mungkin teknik yang benar, sehingga aorta benar-benar tertutup untuk sementara waktu
sehingga perdarahan karena otonia uteri dapat di kurangi.
Tata cara komperesi aorta abdominalis:
1. Tekanlah aorta abdominalis diatas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan tangan kiri
selama 5 s/d 7 menit.
2. Lepaskan tekanan sekitar 30 sampai 60 detik sehingga bagian lainnya tidak terlalu banyak
kekurangan darah.
3. tekanan aorta abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat sementara sehingga tersedia
waktu untuk memasang infus dan memberikan uterotonika secara intravena.
1. TEKHNIK PENEKANAN AORTA
Berikan tekanan kebawah dengan tekanan tangan diletakan diatas pers abdominalis aorta
melalui dinding abdomen
Titik kompresi tepat diatas umbilikus dan agak kekiri
Denyut aorta dapat diraba dengan mudah melalui dinding abdomen anterior segera pada
periode pascapartum
Dengan tangan yang lain palpasi denyut nadi femoral untuk memeriksa keadekuatan kompresi
Jika denyut nadi teraba selama kompresi tekanan yang dikeluarkan kepalan tangan tidak
adekuat
Jika denyut nadi femoral tidak teraba tekanan yang dikeluarakan kepalan tangan adekuat
Pertahanan kompresi sampai darah terkontrol
Jika pendarahan berlanjut walaupun kompresi telah dilakukan
Lakukan ligasi uteria dan ligasi ateri uteri
Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir
Ligasi arteria uterine dan arteri uteroovarium:
Tinjau kembali Indikasi
Tinjau kembali prinsip perawatan umum,prinsip perawatan operasi dan pasang infuse IV
Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis
Buka abdomen
Tarik uterus untukmembuka bagian bawah ligamentum latum uteri
Raba denyut arteria uterina di dekat persambungan uterus dan servik
Dengan menggunakan benang catgut kromik 0 pada jarum besar,masukkan jarum kesekeliling
arteri dan melalui 2-3 cm miometrium pada tempat dibuatnya insisi melintang segmen bawah
uterus lalu ikat benang dengan kuat
Buat jahitan sedekat mungkin dengan uterus karena biasanya ureter berada hanya 1 cm
disamping ateria uterina
Ulangi posisi tersebut pada sisi sebelahnya
Jika arteri robek,pasang klem dan ikat tempat perdarahan
Ikat arteri uteroovarium tepat dibawah titik pertemuan ligamentum suspensorium ovarii
dengan
uterus
Ulangi prosedur tersebut pada sisi sebelahnya
Pantau adanya perdarahan berkelanjutan atau pembentukan hematoma
Tutup abdomen
Histerektomi:
Tinjau kembali Indikasi
Tinjau kembali prinsip perawatan umum,prinsip perawatan operasi dan pasang infus IV
Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis
Jika terdapat hemoragi yang tidak dapat terkontrol etelah pelahiran per vagina, pikirkan bahwa
kecepatan tindakan adalah hal yang sangat penting.
Jika pelahiran dilakukan melalui seksio sesaria, pasang klem pada area perdarahan di
sepanjang insisi uterus

8. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang umum yaitu :


- Perdarahan pervaginam, yang terus menerus setelah bayi lahir
- Bila berat bisa didapatkan tanda-tanda syok seperti, lemah, gelisah, tekanan darah sulit
dinilai, nadi cepat dan lemah, serta penurunan kadar Hb (8gr%)
- Gejala lain seperti, pucat, ekstremitas dingin, mual.

Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik


I 15% Tekanan darah & nadi normal
(Ringan) Tes tilt (+)
II 20-25% Takikardi takipneu
(Sedang) Tekanan nadi <30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendh
Pengisian darah kapiler lambat
III 30-35% Kulit dingin, berkerut, pucat
(Berat) Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oiguria (< 30 ml/jam)
Asidosis metabolik (pH <7,5)
IV 40-45% Hipotensi berat
(Sangat berat) Hanya nai karotis yang teraba
Syok ireversibel

9. SKDI

3B. Gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjutisesudah kembali dari rujukan.

You might also like