You are on page 1of 77

1

LAPORAN LONG CASE


KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
PUSKESMAS CILONGOK 1

Diabetes Mellitus Tipe II

Preceptor Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.Si


Preceptor Lapangan : dr. Novita Sabjan

Disusun Oleh :
Nama : Dina Nurmala Sari
NIM : G4A014110

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2016
HALAMAN PENGESAHAN
2

LAPORAN LONG CASE


KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
PUSKESMAS CILONGOK 1

Diabetes Mellitus Tipe II

Disusun Oleh :
Nama : Dina Nurmala Sari
NIM : G4A014110

Disusun untuk memenuhi laporan kepaniteraan kedokteran keluarga


Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Pada tanggal, Desember 2016

Preseptor Lapangan Preseptor Fakultas


Tanda tangan dan stempel institusi Tanda Tangan

dr. Novita Sabjan dr. Diah Krisnansari, M.Si


NIP. 19730111200604 2006

BAB I
3

KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Tn. K


Alamat lengkap : Cikidang 2/8
Bentuk Keluarga : nuclear family

Tabel 1.1 Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
Pendidikan
No Nama Kedudukan L/P Umur Pekerjaan
terakhir
1 Tn. K Bapak L 64 SD Petani
2 Ny. A Ibu P 56 SD IRT
Sumber : Data Primer, Desember 2016

Kesimpulan dari karakteristik demografi di atas adalah bentuk keluarga


dari Tn. K adalah nuclear family. Ibu (Ny. A) menderita penyakit Diabetes
Melitus Tipe II, sementara bapak (Tn. K) tidak menderita penyakit tertentu.
4

BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Usia : 56 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Kewargenegaraan : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SD
Alamat : Cikidang 2/8

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan Utama : Baal pada ujung-ujung jari tangan kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Onset : 1 minggu yang lalu
Durasi : sepanjang hari
Frekuensi :-
Kuantitas : tidak dapat membedakan permukaan
benda dengan ujung-ujung jari tangan kirinya.
Kualitas : mengganggu aktivitasnya sebagai IRT
Yang memperberat :-
Yang memperingan :-
Gejala penyerta : lemes, kencing malam hari meningkat

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes melitus : pasien mengaku menderita
DM sejak 2 tahun yang lalu
5

d. Riwayat trauma : disangkal


e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat mondok di rumah sakit : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes : diakui (ibu pasien)
d. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Sosial dan Exposure


a. Community
Pasien sudah 5 tahun terakhir tinggal hanya bersama
suaminya, ketiga anaknya sudah merantau. Semenjak pasien lahir
sampai sekarang pasien tinggal di daerah ini. Tetangga di sekitar
rumah pasien kebanyakan masih berkerabat dekat dengan pasien.
Kakak dan adik-adik pasien juga tinggal berdekatan dengan
rumah pasien saat ini.
b. Home
Pasien tinggal di Desa Cikidang, Kecamatan Cilongok.
Pasien tinggal di sebuah rumah semi permanen dengan jumlah
penghuni dua orang penghuni, yakni pasien dan suami pasien.
Hanya ada tiga ruangan di rumah pasien, yakni ruang tamu yang
juga berfungsi sebagai ruang keluarga berukuran 3 x 3 m2 dengan
dinding tembok permanen dan alas berupa lantai, 2 buah kamar
berukuran 2 x 3 m2 dengan dinding tembok permanen yang juga
dialasi lantai, serta dapur berukuran 2 x 2,5 m 2 dengan dinding
berupa bilik dan alas tanah.
Kamar mandi berukuran 1.5 x 1 m2 dengan dinding berupa
bilik, alas tanah, dan tempat pembuangan tinja berbentuk leher
angsa. Jumlah ventilasi dan pencahayaan di masing-masing
ruangan cukup. Sumber air bersih yang digunakan pasien untuk
kebutuhan sehari-hari berasal dari sumur.
6

c. Hobby
Pasien tidak memiliki kegemaran tertentu
d. Occupational
Pasien adalah ibu rumah tangga yang banyak
menghabiskan waktu di rumah.
e. Personal habit
Pasien dan keluarga memiliki kebiasaan untuk menjaga
kebersihan yang cukup baik. Sebelum makan, pasien selalu
mencuci tangan terlebih dahulu. Makanan yang dikonsumsi
pasien pun dijaga kebersihannya. Begitu juga dengan kondisi
rumah pasien yang dibersihkan setiap harinya. Akan tetapi, pasien
mengaku tidak rutin berolahraga.
f. Diet
Pasien makan teratur dua atau tiga kali dalam sehari. Pasien
gemar mengkonsumsi makanan yang manis dan makanan yang
gurih. Hampir setiap hari pasien mempunyai kebiasaan meminum
teh manis dipagi hari. Pasien sering mengkonsumsi makanan
yang digoreng. Makanan yang dikonsumsi pasien adalah hasil
masakan pasien. Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
tertentu.
g. Drug
Pasien tidak memiliki alergi obat. Pasien sudah
didiagnosis menderita penyakit diametes melitus namun pasien
jarang kontrol sehingga tidak rutin mengkonsumsi obat diabetes.
6. Riwayat Gizi
Pasien makan dua sampai tiga kali dalam sehari. Lauk pauk
yang biasa dikonsumsi adalah sayur, tempe, ikan, telur, dan sesekali
pasien mengkonsumsi daging. Pasien tidak mengkonsumsi susu.
Pasien sesekali mengkonsumsi buah seperti pisang, jeruk, atau
mangga. Tidak ada riwayat gizi kurang ataupun gizi buruk pada pasien
dan keluarga.
7. Riwayat Psikologi
7

Pasien termasuk orang yang tertutup. Pasien jarang


menceritakan masalah maupun keluhan mengenai penyakitnya kepada
keluarganya.
8. Riwayat Ekonomi
Pasien memiliki kondisi ekonomi menengah ke bawah. Pasien
merupakan ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan. Suami
pasien bekerja sebagai petani. Kebutuhan keuangan pasien ditanggung
oleh anak-anaknya yang sudah berpenghasilan.
9. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya dapat dikatakan
harmonis. Hal tersebut dapat terlihat dari cara berkomunikasi pasien
dengan suaminya yang tampak baik, suami selalu menemani jika
berobat ke pelayanan kesehatan dan bagaimana cara pasien
menceritakan keluarganya terutama perhatian anak-anaknya terhadap
keadaan orang tua mereka.
10. Riwayat Sosial
Tetangga di sekitar rumah pasien merupakan kerabat dekat
pasien. Selain itu, oleh karena masa kecil pasien dihabiskan di tempat
tinggalnya saat ini, pasien juga sudah banyak mengenal tetangga di
sekitar rumahnya. Pasien sesekali mengikuti kegiatan desa seperti
pengajian rutin.
11. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : Baal pada ujung-ujung tangan kanan
b. Kulit : Warna sawo matang
c. Kepala : Simetris, ukuran normal, sakit kepala (-)
d. Mata : Visus kacamata 6/6
e. Hidung : Keluar cairan (-)
f. Telinga : Pendengaran jelas, keluar cairan (-)
g. Mulut : Sariawan (-), mulut kering (-), mukosa
merah muda
h. Tenggorokan : Sakit menelan (-)
i. Pernafasan : Sesak nafas (-), mengi (-), batuk (-)
8

j. Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada (-)


k. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), kembung (-), nyeri perut
bagian atas (-), BAB (+) normal.
l. Sistem Muskuloskeletal : Lemas (-)
m. Sistem Genitourinaria : BAK () terutama di malam hari
n. Ekstremitas : Atas : Bengkak (-), luka (-)
Bawah : Bengkak (-), luka (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum/kesadaran
Sedang / compos mentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 110/80 mmHg
b. Nadi : 90 x/menit
c. RR : 24 x/menit
d. Suhu : 36,5 oC per axiller
3. Status gizi
BB : 55 kg
TB : 158 cm
BMI : 22.9 kg/m2
Status gizi : underweight (kurus)
4. Kepala : Bentuk mesocephal, tidak ada luka, sebagian rambut
berwarna putih, tidak mudah dicabut. Venektasi temporal
(+/+)
5. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-), keriput, tugor kulit normal
6. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), pupil bulat isokor (3mm/3mm)
7. Telinga : Bentuk dan ukuran normal, cairan sekret (-/-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-).
9. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+)
10. Tenggorokan: Faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
11. Leher : JVP 5 + 2 cmH2O, Deviasi trakea (-), limfonodi cervicalis
9

tidak teraba
12. Thoraks :
Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-), ketertinggalan gerak (-/-)
Palpasi : Simetris, ketertinggalan gerak (-/-), vokal fremitus paru
kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri, batas paru
hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikular (+/+), RBK (-/-), RBH basal (-/-)
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi parasternal dextra sinistra (-/-) pulsasi
epigastrium (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah SIC V LPSD
Batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
13. Punggung : Skoliosis (-)
14. Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Abdomen supel, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri tekan
(-) tes undulasi (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
15. Genitalia : Tidak diperiksa
16. Anorektal : Tidak diperiksa
17. Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-),
10

Inferior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-)


Kaki diabetic (-)
18. Pemeriksaan Neurologik

Fungsi Luhur : Dalam batas normal


Fungsi Vegetatif : Dalam batas normal
Fungsi Sensorik : hipestesi ujung-ujung jari tangan kanan
Fungsi motorik :
KM 5 5 T N N RF + + RP - -
5 5 N N + + - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu : 278 gr/dL
Pemeriksaan Gula Darah Puasa : 136 gr/dL

E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


EKG
Profil Lipid
Fungsi Ginjal (ureum, kreatinin)

F. RESUME
Anamnesis
Ny.A datang ke Puskesmas Cilongok 1 dengan keluhan Baal pada ujung-
ujung jari tangan kanan sejak 1 minggu yang lalu. Selain itu pasien juga
mengeluh lemas, kencing malam hari meningkat. Penderita Ny. A usia 56
tahun, tinggal dalam satu rumah bersama suami, sehingga bentuk keluarga
disebut nuclear family. Diagnosis pasien adalah Diabetes Melitus tipe 2.
Kondisi psikologi keluarga cukup baik, yang terlihat dari antusias suami dari
pasien yang menemani saat pasien sakit. Status ekonomi pasien termasuk
kelas menengah kebawah. Pasien memiliki hubungan yang harmonis dengan
suami, anak, saudara maupun tetangga. Pasien termasuk pribadi yang
pendiam dan jarang bercerita dengan keluarganya. Pasien bekerja sebagai IRT
dan suaminya bekerja sebagai petani.

Pemeriksaan Fisik
11

TD : 110/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit regular
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,5oC
Fungsi Sensorik : hipestesi ujung-ujung jari tangan kanan
Pemeriksaan Penunjang
GDS : 278 gr/dL
GDP : 136 gr/dL

G. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek personal
Ny. A, usia 56 tahun tinggal hanya bersama dengan suaminya sehingga
bentuk keluarga nuclear family.
a. Idea : Pasien datang ke Puskesmas Cilongok 1 untuk berobat
b. Concern : Pasien merasa tangannya baal sehingga
mengganggu aktivitas nya sebagai ibu rumah tangga
c. Expectacy : Pasien mempunyai harapan penyakitnya segera
sembuh
agar dapat kembali dalam keadaan semula
d. Anxiety : Ibu pasien meninggal oleh karena penyakit yang
serupa
2. Aspek klinis
Diagnosis Kerja : Diabetes Mellitus Tipe II
Gejala klinis : Lemas, hipostesi, dan poliuri
Diagnosis Banding : Diabetes Mellitus Tipe I
3. Aspek faktor intrinsik
Aspek faktor risiko intrinsik individu diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Pasien berjenis kelamin perempuan berusia 56 tahun
b. Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus
c. Pasien gemar mengkonsumsi makanan manis dan makanan gurih
d. Pasien jarang berolahraga
4. Aspek faktor ekstrinsik
Aspek faktor ekstrinsik pada pasien diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Tingkat pendidikan pasien dan keluarga yang tinggal di sekitar rumah
pasien rendah
12

b. Pengetahuan pasien mengenai kondisi penyakitnya kurang baik


c. Kondisi ekonomi pasien termasuk ke dalam golongan menengah ke
bawah
d. Kondisi rumah pasien kurang baik
e. Kondisi lingkungan di sekitar rumah pasien kurang bersih
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Pasien mengeluh baal, lemas, poliuri dan penyakit DM-nya dirasa
cukup mengganggu pekerjaan pasien sebagai IRT. Skala penilaian fungsi
sosial adalah 2, pasien membatasi aktivitas bekerja sebagai IRT, namun
aktivitas perawatan diri tidak terganggu.

H. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1. Personal Care
Aspek kuratif
a. Medikamentosa
1) Glibenclamide 5 mg tablet 1-0-0
2) Metformin 500 mg tablet 3x1
3) Vitamin B compleks tablet 2x1
b. Non Medikamentosa
1) Olah raga secara teratur minimal 3 kali dalam seminggu selama
kurang lebih 15 menit.
2) Diet makanan dengan indeks gula rendah atau membatasi asupan
gula dan kolesterol.
3) Menghindari stress.
4) Bed rest atau cukup istirahat.
c. Konseling, Informasi, dan Edukasi
1) Edukasi pasien mengenai definisi DM
2) Edukasi pasien mengenai etiologi DM
3) Edukasi pasien mengenai faktor risiko DM
4) Edukasi pasien mengenai tanda dan gejala DM
5) Edukasi pasien mengenai pencegahan DM
6) Edukasi pasien mengenai komplikasi DM
13

7) Edukasi pasien mengenai pengobatan DM


Aspek Preventif dan Promotif
a. Menghimbau untuk rutin berolah raga
b. Konseling mengenai penyakit yang diderita pasien.
c. Kiat-kiat diet yang baik sesuai kebutuhan pasien.
b. Hindari bepergian ke luar rumah tanpa alas kaki
c. Motivasi pasien untuk rutin mengkonsumsi obat dan memeriksakan
kondisi kesehatannya ke unit pelayanan kesehatan terdekat
Aspek Rehabilitatif
Motivasi pasien untuk melakukan kontrol rutin untuk mencegah
komplikasi
Monitoring
Monitoring terhadap keadaan umum, tanda vital, kemajuan terapi,
kemajuan aktivitas fisik pasien, dan kadar gula darah pasien minimal
setiap satu bulan sekali.
2. Family Care
a. Edukasi kepada keluarga terdekat agar pasien menghindari hal-hal
yang mampu memperberat gejala
b. Edukasi mengenai tanda dan gejala yang mengharuskan pasien dibawa
ke unit pelayanan kesehatan
c. Edukasi keluarga untuk selalu memotivasi pasien agar menjaga
kondisi kesehatan pasien
d. Edukasi keluarga untuk mencegah terjadinya penyakit di antara
anggota keluarga yang lain
3. Local Community Care
a. Edukasi komunitas setempat untuk memotivasi pasien agar menjaga
kondisi kesehatan pasien
b. Edukasi komunitas untuk selalu menjaga kebersihan serta keindahan
lingkungan sekitar
c. Edukasi komunitas untuk mencegah terjadinya penyakit

H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
14

Ad fungsionam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam

I. FOLLOW UP
Sabtu, 10 Desember 2016 jam 08.00
S : keluhan baal belum berkurang, lemes (-), poliuri (-)
O : Keadaan umum tampak baik, mata cekung (-), air mata (+), mulut
basah, tidak tampak haus, turgor kulit kembali cepat (<1 detik), nyeri
tekan pada bagian ulu hati (-),
VS : Tensi : 120/70 mmHg RR : 22 x/mnt, reguler
Nadi : 84 x/mnt Suhu : 36.2 C
Fungsi Sensorik : hipestesi ujung-ujung jari tangan kanan
A : baal ujung-ujung jari tangan kiri
P : Habiskan obat yang diberikan, makan makanan berindeks gula
rendah dan bergizi, berolahraga secara teratur, penderita dianjurkan
istirahat cukup dan kontrol ke pelayanan kesehatan jika obat habis
atau ada keluhan.
Senin, 12 Desember 2016 jam 08.00
S : Keluhan baal belum berkurang, lemes (-), poliuri (-)
O : Keadaan umum/kesadaran: baik/compos mentis
Tanda vital :
T : 130/90 mmHg RR : 24 x/menit
N : 108 x/menit S : 360C per axiler
Fungsi Sensorik : hipestesi ujung-ujung jari tangan kanan
A : DM
P : Habiskan obat yang diberikan, makan makanan berindeks gula
rendah dan bergizi, berolahraga secara teratur, penderita dianjurkan
istirahat cukup dan kontrol ke pelayanan kesehatan jika obat habis
atau ada keluhan.
Rabu, 14 Desember 2016
S : Keluhan baal sedikit berkurang, lemes (-), poliuri (-)
O : Keadaan umum/kesadaran: baik/compos mentis
15

Tanda vital :
T : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit
N : 98 x/menit S : 360C per axiler
Fungsi Sensorik : hipestesi ujung-ujung jari tangan kanan
A : DM
P : Habiskan obat yang diberikan, makan makanan berindeks gula
rendah dan bergizi, berolahraga secara teratur, penderita dianjurkan
istirahat cukup dan kontrol ke pelayanan kesehatan jika obat habis
atau ada keluhan.

J. FLOW SHEET
Hasil pemeriksaan dan terapi pasien dari awal masuk puskesmas sampai
home visit dijabarkan dalam tabel 2.1
Tabel 2.1. Flow Sheet Ny. A
T N BB TB Lab
No Tgl Problem Planning Target
mmHg x/1 kg
1. 09/ Baal 110/80 90 55 158 GDS Habiskan Baal
12/ pada obat yang berkurang
278
201 ujung- diberikan,
GDP
6 ujung makan
jari 136 makanan
tangan berindeks
kiri gula rendah
dan bergizi,
berolahraga
secara teratur,
penderita
dianjurkan
istirahat
cukup
2. 10/ Keluhan 120/70 84 55 158 GDS Habiskan Gula darah
12/ baal obat yang terkontrol,
198
201 belum diberikan, gejala baal
6 berkura makan hilang
ng makanan
berindeks
gula rendah
dan bergizi,
berolahraga
secara teratur,
penderita
16

dianjurkan
istirahat
cukup
2. 12/ Baal 130/90 10 55 158 GDS Habiskan Gula darah
12/ pada 8 176 obat yang terkontrol,
201 ujung- diberikan, gejala baal
6 ujung makan hilang
jari makanan
tangan berindeks
kiri gula rendah
dan bergizi,
berolahraga
secara teratur,
penderita
dianjurkan
istirahat
cukup
3. 14/ Baal 110/70 98 40 150 GDS Habiskan Gula darah
12/ pada 179 obat yang terkontrol,
201 ujung- diberikan, gejala baal
6 ujung makan hilang
jari makanan
tangan berindeks
kiri gula rendah
Sedikit dan bergizi,
berkura berolahraga
ng secara teratur,
penderita
dianjurkan
istirahat
cukup
17

BAB III

IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Keluarga terdiri dari Ny. A (56 tahun) dan Tn. K (64 tahun) serta
ketiga anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan merantau. Ny. A
adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak, adik-adik serta ayah
dari Ny. A tinggal berdekatan di lingkungan Ny. A. Fasilitas kesehatan
yang digunakan oleh Ny. A adalah puskesmas.
2. Fungsi Psikologis
Ny. A hanya tinggal bersama suaminya. Tn. K memiliki perhatian
yang cukup baik terhadap Ny. A. Selain itu, Ny. A juga mendapat perhatian
yang cukup baik dari kakak dan adik-adiknya. Meskipun jarang bertemu
dengan anak-anaknya, Ny. A selalu menjaga komunikasi lewat telefon.
Anak-anak Ny. A sangat peduli terhadap kedua orang tuanya. Ny. A juga
sangat menyayangi anak-anak serta cucu-cucunya, oleh karena itu, Ny. A
sering kali merasa sedih jika merindukan anak-anak serta cucu-cucunya.
Keluarga Ny. A jarang mengingatkan dan memotivasi Ny. A untuk
rutin kontrol terkait penyakit diabetes dan hipertensi yang diderita Ny. A.
Hal ini diakibatkan selain oleh karena tempat tinggal yang berjauhan,
tingkat pendidikan serta pengetahuan keluarga terhadap penyakit Ny. A
pun masih sangat minimal.
3. Fungsi Sosial
Ny. A senang bergaul dengan lingkungan di rumahnya saat ini
mengingat daerah tempat tinggalnya saat ini adalah tempat Ny. A
menghabiskan masa-masa kecilnya. Ny. A sangat antusias mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diselegarakan oleh perangkat desa. Akan tetapi,
kondisi sakit yang dialaminya saat ini memaksa Ny. A untuk membatasi
kegiatannya. Tn. K juga memiliki kesenangan untuk bergabung dengan
yang lain.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
18

Penghasilan keluarga berasal dari Tn. K sebagai petani dan dari anak-
anaknya yang sudah bekerja. Ny. A dan Tn. K mengaku uang pemberian
anak-anaknya cukup untuk kehidupan sehari-hari keluarga. Pembiayaan
puskesmas atau unit kesehatan yang lain ditanggung oleh BPJS subsidi.

Kesimpulan :
Penderita merupakan seorang ibu yang tinggal bersama suaminya,
yaitu Tn. K. Keluarga memberikan perhatian yang cukup baik terhadap Ny.
A meskipun dengan pengetahuan keluarga yang terbatas tentang penyakit
Ny. A sehingga keluarga jarang memotivasi Ny. A untuk memeriksa kondisi
kesehatannya. Masyarakat sekitar rumah Ny. A juga merupakan kerabat
dekat Ny. A. Ny. A menjadi jarang bergabung dalam kegiataan dengan
tetangganya oleh karena sakit yang dideritanya. Pendapatan keuangan Ny. A
dan Tn. K lebih banyak didapatkan dari pemberian anak-anaknya jika
dibandingkan dengan hasil pendapatan Tn. K sebagai petani. Pembiayaan unit
kesehatan ditanggung oleh BPJS bersubsidi.

B. FUNGSI FISIOLOGIS (A.P.G.A.R SCORE)


Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R
SCORE dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R SCORE disini akan dilakukan pada masing-masing anggota
keluarga, kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga
secara keseluruhan. Nilai rata-rata 1-5 = jelek, 5-7 = sedang, 8-10 = baik.
Adaptation
Pasien jarang menceritakan keluhannya terhadap keluarga. Akan tetapi,
ketika Ny. A bercerita tentang sakit yang dialaminya atau masalah yang
sedang dihadapi, keluarga Ny. A berusaha untuk membantu Ny. A
menyelesaikan masalahnya.
Partnership
Sebagai suami istri, Ny. A dan Tn. K memiliki peran masing-masing
dalam menjalani keseharian rumah tangganya. Anak-anak Ny. A yang sudah
tinggal jauh dari kedua orang tuanya juga sering menyempatkan diri untuk
19

menghubungi kedua orang tuanya meskipun karena sudah memiliki keluarga


masing-masing. Anak-anak Ny. A dan Tn. K seringkali memberikan uang
untuk biaya kehidupan Ny. A dan Tn. K.
Growth
Pasien terlihat cukup puas atas segala bentuk dukungan dan bantuan dari
keluarga untuk kegiatan atau hal-hal baru yang hendak dilakukan pasien.
Affection
Pasien merasa cukup puas dengan perhatian keluarga dalam menyayangi
pasien. Pasien mengaku sudah sangat mengenali perilaku dan emosi suami ataupun
anak-anak pasien.
Resolve
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien tampak cukup, pasien
mengaku tidak pernah mengikuti kegiatan berlibur bersama keluarga.

Tabel 3.1 A.P.G.A.R SCORE Ny. A terhadap keluarga

Hampir
Hampir Kadang
A.P.G.A.R Ny. K Terhadap Keluarga tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 6, fungsi fisiologis Ny. A terhadap keluarga cukup sehat

Tabel 3.2 A.P.G.A.R SCORE Tn. K terhadap Keluarga


20

Hampir
Hampir Kadang-
A.P.G.A.R Tn. S tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 7, fungsi fisiologis Tn. S terhadap keluarga cukup sehat

A.P.G.A.R SCORE keluarga pasien = (7 + 6)/2 = 6.5


Kesimpulan : fungsi fisiologis keluarga pasien cukup baik
Secara keseluruhan total poin dari A.P.G.A.R keluarga pasien adalah 13,
sehingga rata-rata A.P.G.A.R dari keluarga pasien adalah 6.5. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien dalam
keadaan cukup sehat.

C. FUNGSI PATOLOGIS (S.C.R.E.E.M)


Fungsi patologis dari keluarga Ny. A dinilai dengan menggunakan
S.C.R.E.E.M sebagai berikut :
Tabel 3.3 S.C.R.E.E.M Keluarga Ny. A
SUMBER PATOLOGI KET
Interaksi sosial keluarga dengan tetangga dan saudara-
saudara di sekitar rumah cukup baik. Banyak tetangga
Social _
yang sudah mengetahui keadaan sakit Ny. A dan Ny. A
dimotivasi agar kondisinya membaik.
Dalam kegiatan sehari-hari, Ny. A dan suami berbahasa
Cultural Jawa. Ny. A jarang mempercayai obat-obatan
_
tradisional.
Religion Pemahaman agama cukup. Suami pasien sering _
21

mengikuti kegiatan sholat berjamaah ke mushola


terdekat. Pasien dan keluarga tidak mengikuti kegiatan
keagamaan tertentu di lingkungan rumahnya.
Ekonomi keluarga ini tergolong menengah kebawah.
Economic Penghasilan yang didapatkan cukup untuk memenuhi +
kebutuhan sehari-hari.
Pendidikan dan pengetahuan keluarga penderita terhadap
kesehatan tergolong kurang. Kemampuan untuk
Education +
memperoleh dan memiliki fasilitas pendidikan seperti
buku dan koran sangat terbatas.
Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga
menggunakan pelayanan puskesmas dan menggunakan
Medical
BPJS bersubsidi. Akses layanan ke Puskesmas sangat _
mudah karena letak rumah pasien yang berdekatan
dengan puskesmas.

Keterangan :
1. Economic (+) oleh karena ekonomi keluarga pasien tergolong menengah
ke bawah
2. Education (+) oleh karena pengetahuan pasien tentang kesehatan terutama
tentang penyakitnya masih kurang.
Kesimpulan :
Keluarga Ny. A, fungsi patologis yang ditemukan antara lain fungsi ekonomi
dan fungsi pendidikan.

D. GENOGRAM
22

Tn. G Ny. A Tn. A Ny. R


82 th 72 th 86 th 76 th

Tn. P Ny. P Ny. H


Ny. W Tn. L
60 th 57 th 54 th
52 th 49 th

Tn. K Ny. A
64 th 56 th

Ny. E
Ny. B Tn. H
27 th
34 th 30 th

Gambar 3.1 Genogram Keluarga Ny. K


Keterangan :

: Perempuan : Riwayat Diabetes

: Laki-laki : Meninggal

: Pasien

: Tinggal satu rumah

E. INFORMASI POLA INTERAKSI KELUARGA


23

Tn. K Ny. A

Gambar 3.2. Pola Interaksi Keluarga Ny. A

Sumber : Data Primer, Desember 2016


Keterangan :
hubungan baik

Kesimpulan :
Hubungan antara Tn. K dan Ny. A selaku suami istri baik

BAB IV
24

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KESEHATAN

A. IDENTIFIKASI FAKTOR PERILAKU DAN NON PERILAKU


KELUARGA
1. Faktor Perilaku Keluarga
Pasien gemar mengkonsumsi makanan gurih dan manis. Pasien
jarang melakukan olahraga. Pasien juga jarang memeriksakan kondisi
kesehatannya ke pelayanan kesehatan meskipun pasien tahu dirinya
mempunyai penyakit diabetes. Pasien sering merasa sedih dan stres jika
merindukan anak-anaknya yang berada di Jakarta.
Pasien adalah orang yang jarang menceritakan keluhannya pada
siapapun. Keluarga pasien pun tidak begitu paham mengenai kondisi
kesehatan pasien. Jenis pelayanan kesehatan yang digunakan adalah
puskesmas. Akses layanan kesehatan dekat dengan puskesmas.
2. Faktor Non Perilaku
Pasien adalah seorang wanita yang berusia 56 tahun. Pasien tinggal
di lingkungan padat penduduk. Kondisi rumah pasien dinilai kurang begitu
baik. Ibu pasien telah meninggal akibat penyakit Diabetes Melitus. Ayah
pasien saat ini masih hidup.
Dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke
bawah. Penghasilan per bulan bersumber dari penghasilan Tn. K sebagai
petani serta pemberian dari anak-anaknya. Dalam mencari pelayanan
kesehatan keluarga menggunakan pelayanan puskesmas dan menggunakan
BPJS subsidi.

Diagram 4.1. Faktor Perilaku dan Non Perilaku


25

Pasien gemar mengkonsumsi makanan gurih, manis, jarang berolahraga, jarang menceritakan keluhannya

Keterangan:
: Faktor Perilaku

: Faktor Non Perilaku

B. IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH


1. Gambaran Lingkungan
a. Keadaan rumah
Pasien tinggal di Desa Cikidang 2/8. Pasien tinggal di sebuah
rumah semi permanen dengan jumlah penghuni dua orang, yakni
pasien dan suami pasien. Hanya ada tiga ruangan di rumah pasien,
yakni ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga
berukuran 2 x 3 m2 dengan dinding tembok permanen dan alas berupa
lantai, sebuah kamar berukuran 2 x 3 m2 dengan dinding tembok
permanen yang juga dialasi lantai, serta dapur berukuran 2 x 2.5 m 2
dengan dinding berupa bilik dan alas tanah. Kamar mandi berukuran
1.5 x 1 m2 dengan dinding berupa bilik, alas tanah, dan tempat
26

pembuangan tinja berbentuk leher angsa. Sumber air bersih yang


digunakan pasien untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari sumur.
Kebersihan rumah pasien dinilai baik.
b. Keadaan Lingkungan sekitar Rumah
Rumah berada di suatu gang yang berjarak 10 meter dari jalan
besar. Kebersihan di lingkungan rumah pasien dinilai kurang baik.
2. Denah Rumah
Denah rumah pasien digambarkan pada gambar 4.1.

Kamar Mandi
Kamar Tidur

Kamar Tidur Ruang Tamu

Gambar 4.1 Denah Rumah Ny. A


27

BAB V
DAFTAR MASALAH DAN PEMBINAAN KELUARGA

A. MASALAH MEDIS
1. Ny. A menderita Diabetes Melitus Tipe II

B. MASALAH NON MEDIS


1. Ny. A memiliki pola hidup yang kurang baik. Hal ini dimungkinkan oleh
karena Ny. A memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyakitnya.
Pengetahuan yang kurang tentang penyakit ini juga dimiliki oleh keluarga
pasien serta jarang memotivasi Ny. A untuk melakukan kontrol terhadap
kesehatannya.
2. Ibu Ny. A memiliki riwayat penyakit DM
3. Lingkungan di sekitar rumah pasien adalah padat penduduk yang kotor
serta kondisi rumah pasien tidak memenuhi syarat rumah sehat.

C. DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN

Pasien gemar mengkonsumsi makanan gurih, manis, jarang berolahraga, jarang menceritakan keluhannya

D. MATRIKULASI MASALAH
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks (Azrul, 1996)
Tabel 5.1 Matrikulasi masalah
No Daftar Masalah I T R Jumlah
IxTxR
28

P S SB Mn Mo Ma
1. Pasien dan keluarga 5 5 5 4 5 5 5 62500
pasien mempunyai
pengetahuan kurang
mengenai DM
2. Riwayat penyakit yang 4 5 3 1 1 2 3 360
sama pada keluarga

3. Lingkungan rumah 5 4 4 3 4 3 4 11520


berada pada lingkungan
padat penduduk yang
kotor

Keterangan :
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (pentingnya masalah)
Kriteria penilaian :
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting

E. PRIORITAS MASALAH
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah
keluarga Ny. A adalah sebagai berikut :
1. Pasien dan keluarga pasien mempunyai pengetahuan kurang mengenai
DM
2. Riwayat penyakit yang sama pada keluarga
29

3. Lingkungan rumah berada pada lingkungan padat penduduk yang kotor


Kesimpulan :
Prioritas masalah yang diambil adalah keluarga pasien mempunyai
pengetahuan kurang mengenai DM. Pengetahuan tentang penyakit yang
kurang ini tentu saja berpengaruh terhadap segala aspek, misalnya cara
mencegah agar tidak terjadi kekambuhan, cara pengobatan, dan lain
sebagainya.

F. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


Beberapa alternatif pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Pembinaan keluarga meliputi penyakit DM
mengenai definisi, faktor risiko, tata cara penatalaksanaan, komplikasi,
mencegah terjadinya komplikasi, dan mencegah terjadinya penyakit ini
pada anggota keluarga yang lain.
2. Pembagian leaflet mengenai penyakit DM
G. PENENTUAN ALTERNATIF TERPILIH
Penentuan alternatif terpilih berdasarkan Metode Rinke yang
menggunakan dua kriteria yaitu efektifitas dan efiseiensi jalan keluar. Kriteria
efektifitas terdiri dari pertimbangan mengenai besarnya masalah yang dapat
diatasi, kelanggengan selesainya masalah, dan kecepatan penyelesaian
masalah. Efisiensi dikaitkan dengan jumlah biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah. Skoring efisiensi jalan keluar adalah dari sangat
murah (1), hingga sangat mahal (5).
Tabel 5.2 Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar
C
M
I V (jumlah biaya
(besarnya
(kelanggengan (kecepatan yang diperlukan
Skor masalah
selesainya penyelesaian untuk
yang dapat
masalah) masalah) menyelesaikan
diatasi)
masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat lambat Sangat murah
langgeng
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah
30

4 Besar Langgeng Cepat Mahal


5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal
Prioritas alternatif terpilih dengan menggunakan metode Rinke adalah
sebagai berikut:
Tabel 5.3 Alternatif Terpilih
Urutan
MxIxV
Daftar Alternatif Jalan Efektivitas Efisiensi Prioritas
No C
Keluar Masalah
M I V C
1 Pembinaan keluarga 4 3 3 2 18 1
meliputi penyakit DM
mengenai definisi, faktor
risiko, tata cara
penatalaksanaan,
komplikasi, mencegah
terjadinya komplikasi,
dan mencegah terjadinya
penyakit ini pada anggota
keluarga yang lain.
2 Pembagian leaflet 4 2 2 4 4 2
mengenai DM

Berdasarkan hasil perhitungan penentuan alternatif terpilih menggunakan


metode Rinke, didapatkan alternatif terpilih yaitu pembinaan keluarga
meliputi penyakit DM mengenai definisi, faktor risiko, tata cara
penatalaksanaan, komplikasi, mencegah terjadinya komplikasi, dan mencegah
terjadinya penyakit ini pada anggota keluarga yang lain dengan skor 18.
31

BAB VI
RENCANA DAN HASIL PEMBINAAN KELUARGA

A. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA


1. Tujuan
a. Tujuan umum
Pasien dan keluarga pasien lebih memahami mengenai penyakit
DM serta cara pencegahan agar tidak terjadi komplikasi yang akan
memperparah kondisi pasien.
b. Tujuan khusus
1) Pasien dan keluarga pasien dapat mengerti definisi DM
2) Pasien dan keluarga pasien mengetahui faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap terjadinya DM sehingga dapat mewaspadai
timbulnya penyakit DM pada anggota keluarga lain.
3) Pasien dan keluarga pasien mengetahui cara penatalaksanaan dan
pencegahan DM
4) Pasien dan keluarga mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan
penyakit DM serta cara pencegahannya.

2. Materi
Materi yang akan diberikan kepada penderita dan keluarga pasien
adalah dalam bentuk penyuluhan dan edukasi mengenai modifikasi
pengertian, gejala dan tanda, faktor risiko timbulnya penyakit DM,
kegunaan/efek samping obat OHO dan cara pembinaan bagaimana
pentingnya pola hidup sehat bagi penderita DM.
Kunjungan pembinaan pembinaan keluarga :
Penjelasan dari penyakit DM?
Menjelaskan bahwa DM adalah penyakit yang tidak menular dan
merupakan penyakit keturunan, serta menjelaskan bahwa DM tidak
dapat disembuhkan namun bisa dikontrol.
Gejala dan tanda penyakit DM?
32

Menjelaskan bahwa penyakit memiliki tanda dan gejala yang khas


yaitu polidipsi (sering minum), polifagi (sering makan), dan poliuri
(sering kencing).
Apa saja faktor risiko penyakit DM?
Menjelaskan bahwa penyakit DM memiliki factor risiko antara lain
memiliki anggota keluarga yang menderita DM, melakukan pola
hidup yang salah yaitu pola makan yang salah dan juga jarang
melakukan aktivitas fisik dan olahraga.
Bagaimana mengontrol penyakit DM?
Menjelaskan bahwa penyakit DM bisa dikontrol oleh penderita.
Tindakan pengelolaan yang bisa dilakukan antara lain menormalkan
kadar glukosa, lemak, dan insulin di dalam darah serta memberikan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Langkah yang dilakukan adalah
diet, mengurangi kalori dan meningkatkan konsumsi vitamin. aktivitas
fisik, dan olahraga teratur.
Pentingnya melakukan pengobatan rutin?
Pasien dianjurkan pentingnya kedisiplinan dalam pengobatan DM
terutama jika sudah lama menderita DM (lebih dari 10 tahun). Hal ini
diperlukan untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Bila telah
dilalui dengan baik, maka kemungkinan penyakit DM dapat dikontrol.
Komplikasi penyakit DM ?
Pasien diberi edukasi bahwa komplikasi dapat terjadi jika penyakit
DM tersebut tidak terkontrol dengan baik. Komplikasi yang dapat
terjadi antara lain adalah gangguan pembuluh darah otak (stroke),
gangguan penglihatan (retinopati diabetic), penyakit jantung koroner,
gagal ginjal (nefropati diabetic), gangrene, dan impotensi.
3. Cara Pembinaan
Pembinaan dilakukan di rumah pasien dalam waktu yang telah ditentukan
bersama. Pembinaan dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan dan
edukasi pada penderita dan keluarga, dalam suatu pembicaraan santai
sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima.
.
33

4. Sasaran Individu
Pasien dan suami pasien
5. Target Waktu
Hari / Tanggal : Senin, 12 Desember 2016 dan Rabu, 14 Desember
2016
Tempat : Rumah pasien
Waktu : 10.00 WIB
6. Rencana Evaluasi
1. Input : terdiri dari 1 orang pemberi
(pembina) materi pembinaan keluarga
2. Proses : proses pembinaan diikuti dari awal
sampai dengan akhir oleh semua anggota keluarga yang ada di rumah
(Tn. K dan Ny. A)
3. Output : Perubahan perilaku dan
penambahan pengetahuan tentang DM yang diukur melalui
pertanyaan yang diberikan oleh pelaksana pembinaan keluarga di
akhir proses pembinaan keluarga. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
diantaranya adalah :
1) Apa itu penyakit DM? Biasanya dikenal dengan nama apa?
2) Apa saja faktor risiko penyakit DM?
3) Apa gejala jika terkena penyakit DM?
4) Bagaimana cara mengobati penyakit DM?
5) Apa saja komplikasi yang bisa ditimbulkan penyakit DM?
6) Bagaimana cara mencegah komplikasi penyakit DM?
7) Apa saja yang perlu dihindari untuk mencegah penyakit DM?
7. Angka keberhasilan
>80% : baik
60%-80% : cukup
<60% : kurang
34

B. HASIL EVALUASI
1. Evaluasi Formatif
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 2 orang yaitu Pasien Ny.
Adan suami pasien Tn. K. Metode yang digunakan berupa konseling
edukasi tentang penyakit DM mulai dari definisi, etiologi, komplikasi,
penatalaksanaan serta pencegahan komplikasi dan pencegahan terjadinya
penyakit.
2. Evaluasi Promotif
Sasaran konseling sebanyak 2 orang yaitu, pasien dan suami
pasien. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Sabtu 10 Desember 2016 dan
Jumat 11 Desember 2016 di rumah pasien. Konseling berjalan dengan
lancar dan pasien merasa puas karena merasa lebih diperhatikan dengan
adanya konseling serta kunjungan untuk memberikan edukasi tentang
penyakit yang sedang di derita Ny. A.
3. Evaluasi Sumatif
Sebelum dilakukan konseling, pasien dan suami pasien mengaku
belum memahami penyakit yang diderita Ny. A sehingga dengan adanya
konseling pasien merasa puas dan senang karena menjadi lebih paham
tentang penyakitnya. Setelah konseling dilakukan tanya jawab,
narasumber memberikan 7 pertanyaan dan pasien mampu menjawab 6
(85%) pertanyaan, sementara suami pasien mampu menjawa 5 (71%)
pertanyaan dengan tepat.
35

B. HASIL PEMBINAAN KELUARGA


Tabel 6.1 Hasil Pembinaan Keluarga
Anggota
Tanggal Kegiatan yang dilakukan keluarga Hasil kegiatan
yang terlibat
10 Des a. Perkenalan dan membina Pasien dan Pasien bersedia
2016 kepercayaan serta perjanjian keluarga untuk dikunjungi
untuk kedatangan lebih lanjut untuk
berikutnya dipantau
b. Memeriksa kondisi pasien perkembangannya
c. Melakukan tanya jawab
terhadap kondisi pasien dan
keluarga
12 Des a. Memeriksa kondisi pasien Pasien dan a. GDS pasien
2016 b. Menggali pengetahuan dan keluarga sudah turun
pemahaman pasien tentang b. Pasien dan
DM keluarga
c. Memberi penjelasan memahami
mengenai DM tentang DM
d. Review materi pengetahuan c. Pasien dan
e. Memotivasi pasien untuk keluarga
memperbaiki pola hidup, sepakat untuk
pola makan, dan aktivitas memperbaiki
f. Memotivasi keluarga pasien pola hidup
untuk mencegah terjadinya d. Keluarga
penyakit dan komplikasi DM sepakat untuk
pada anggota keluarga yang mencegah
lain. terjadinya
penyakit serta
komplikasi
yang
ditimbulkan
13 Des a. Memeriksa kondisi pasien Pasien dan a. GDS pasien
2016 b. Mengevaluasi apakah pasien keluarga sudah turun
sudah memperbaiki pola b. Pasien dan
hidup maupun pola suami sudah
makannya mulai
melakukan
olahraga
berupa jalan
santai tiap sore
c. Pasien
bergabung
dalam
36

kegiatan
senam yang
dilakukan
puskesmas
setiap hari
jumat

a.
37

BAB VII
TINJAUAN PUSTAKA

CONGESTIVE HEART FAILURE


A. DEFINISI
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah sindrom klinis yang kompleks
hasil dari gangguan jantung fungsional atau struktural yang mengganggu
kemampuan ventrikel untuk mengisi dengan atau mengeluarkan darah
(Kushariyadi, 2005).
B. ETIOLOGI
1. Kelainan otot jantung.
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, menyebabkan menurunya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit otot generative atau inflamasi.
a. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggu aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasnya mendahului terjadinya gagal jantung.
b. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan after load)
Hal ini meningkatkan beban kerja jantung jantung dan
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
mengakibatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak
jelas., hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal,
dan akhirnya terjadi gagal jantung.
c. Peradangan dan penyakit miokardium degenerative.
Hal ini berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
38

2. Penyakit jantung lain


Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenernya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung
(misal stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi
darah (misal tamponade pericardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis
katup AV) atau pengosongan jantung abnormal (misal insuisiensi katup
AV). Peningkatan mendadak after load akibat meningkatnya tekanan darah
sistemik dapat menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertrofi
miokardial.
3. Faktor sistemik
Terdapat jumlah faktor yaitu meningkatnya laju metabolisme (misal
demam, tirotoksikosis), hipoksia, dan anemia memerlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau
anemia menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorik atau
metabolic) dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas
jantung. Disritmia jantung dapat terjadi dengan sendirinya atau secara
sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi
jantung (Kushariyadi, 2005).
C. PATOGENESIS
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, menyebabkan curah jantung lebih rendah
dari normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan
CO=HRxSV, dimana curah jantung (CO: cardiac output) adalah fungsi
frekuensi jantung (HR;heart rate) x volume sekuncup (SV: stroke volume)
(Kushariyadi, 2005).
Frekuensi jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Bila curah
jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini
gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume
sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung (Kushariyadi, 2005).
39

Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan


kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung
normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup, jumlah darah yang
dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu: preload,
contractility, afterload. Preload sinonim dengan hukum starling pada jantung
yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjang nya regangan
serabut jantung. Contractility mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang
serabut jantung dan kadar kalsium. Afterload mengacu pada besarnya tekanan
ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan
tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol (Kushariyadi, 2005).
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih dari ketiga faktor
tersebut terganggu, hasilnya curah jantung berkurang. Kemudahan dalam
menentukan pengukuran hemodinamika melalui prosedur pemantauan
invasive telah mempermudah diagnose gagal jantung kongestuf dan
mempermudah penerapan terapi farmakologis yang efektif (Kushariyadi,
2005).
D. KLASIFIKASI
Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau beratnya
seperti klasifikasi gagal jantung kongestif menurut New York Heart
Association (NYHA) (Sudoyo, 2009).
Klasifikasi Gagal Jantung Menurut NYHA
40

E. DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan
miokardium dan kemmapuan serta besarnya respon kompensasi antara
lain: dispnea, oliguria, lemah, lelah, pucat dan berat badak bertambah.
Pada asukultasi terdapat ronkhi basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi
jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat). Pada
elektrokardiogram terdapat takikardia. Dan pada radiogram dada terdapat
kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redisbusi vaskular ke lobus atas
(Kushariyadi, 2005).
a. Sesak nafas: peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
menyebakna transudasi cairan kejaringan paru. Penurunan regangan
(compliance) paru menambah kerja napas. Sensasi sesak nafas juga
disebabkan penurunan aliran darah ke otot pernapasan. Awalnya,
sesak nafas timbul saat beraktivitas, dan jika gagal jantung makin
berat sesak nafas timbul bahkan saat istirahat.
b. Ortopnea: kesulitan bernapas terjadi beberapa menit setelah
berbaring. Pada saat posisi berbaring, makan terdapat penurunan
aliran darah diperifer dan peningkatan volume darah disentral
(rongga dada). Pada penderita gagal jantung hal ini berakibat
peningkatan tekanan pengisian bilik kiri dan sembab paru. Kapasitas
vital juga menurunkan pada posisi berbaring adlah satu faktor
penyebab ortopnea.
c. Paroxysmal nocturnal dyspnea: sering dijumpai, akibat terjadinya
sembab paru yang terjadi saat setelah berbaring.
d. Batuk: terjadi sembab pada bronkus dan penekanan pada bronkus
oleh atrium kiri yang dilatasi.
e. Takikardia: peningkatan denyut jantung akibat peningkatan tonus
simpatik. Penurunan curah jantung dan tekanan darah meningkat
denyut jantung melalui baroresptor di aorta dan arteri karotis.
f. Pernapasan cheyne stokes: mekanisme pernapasan yang belum jelas
pada gagal jantung akut. Diduga ada peningkatan tekanan sensitifitas
41

pusat pernapasan terhadap peningkatan tekanan karbondioksida


dalam darah.
g. Sianosis: penurunan tekanan oksigen dijaringan perifer dan
peningkatan ekstraksi yang terjadi pada gagal jantung akut akan
mengakibatkan peningkatan ekstraksi oksigen yang terjadi pada
gagal jantung akut mengakibatkan peningkatan methemoglobin
sehingga sianosis.
h. Pulsus alternans: terdapat pada gagal ginjal akut berat karena
terdapat variasi tekanan sistolik > 5 mmHg. Ini ditengarai dengan
palpasi pada nadi perifer atau memakai spigmomanometer.
i. Edema dan kongesti portal, sistemik dan perifer (misal kaki, tumit,
sacrum) dan efusi (pleura dan peritoneal atau ascites). Hepatomegali
dengan kongesti dan atrofi sentilobuler, splenomegali kongestif
dengan dilatasi sinusoidal, perdarahan fokal dan deposit hemosiderin
serta fibrosis. Kongesti ginjal serta hipoksik dan nekrosistubuler
akut.
Tabel 7.1 Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung
kongestif.
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Dispnea/orthopnea Edema pretibial
Nocturnal Parkosismal Batuk malam
Distensi vena leher Dispnea saat aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Kapasitas vital paru menurun 1/3
Edema pulmonary akut
dari maksimal
Gallop-S3 Takikardia (>120 kali/menit)
Peningkatan tekanan vena (>16
cmH2O)
Waktu sirkulasi > 25 detik
Reflex hepatojugularis
42

2. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan untuk menemukan penyebab, menilai beratnya penyakit
dan memantau pengobatan (Patrick, 2005):
a. Elektrokardiografi
Infark Miokard lama, hipertrofi ventrikel kiri (misalnya pada
hipertensi, stenosis aorta). Gambaran EKG yang normal sangat jarang
dijumpai pada CHF. Aritmia, misalnya atriaum fibrilasi.
b. Ekokardiografi
Teknik esensial yang sederhana dan non invasive dalam menegakkan
diagnosis etiologi, keparahan dan menyingkirkan penyakit katup
jantung yang penting.
c. Foto thorax
Pembesaran jantung, kongesti paru atau edema paru.
d. Biokimiawi
Elektrolit, fungsi ginjal, dan hematologi
e. Kateterisasi
Pada semua gagal jantung yang penyebabnya tidak diketahui untuk
menyingkirkan penyakit jantung koroner kritis, atau untuk menilai
keparahan penyakit jantung koroner dan pilihab pengobatan pada
mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung iskemik.
F. TATALAKSANA (Patrick, 2005)
1. Terapi Umum
Obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada. Kurangi asupan
garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat badan setiap hari.
Obati faktor resiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
2. Diuretik
Diuretik adalah dasar terapi simptomatik. Dosisnya harus cukup besar
untuk menghilangkan edema paru dan atau perifer. Efek samping utama
adalah hipokalemia (berikan suplemen K+ atau diuretic hemat kalium,
seperti amilorid). Sprironolakton suatu diuretic hemat kalium (antagonis
aldosteron), memperbaiki prognosis pada CHF berat.
43

3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin
II. Memotong respon neuroendokrin maladaptive, menimbulkan
vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang paling
banyak dijumpai adalah batuk kering persisten.
4. Antagonis reseptor angiotensin II
Misalnya losartan, menghambat angiotensin II dengan antagonis langsung
terhadap reseptornya. Efek dan manfaatnya sama seperti inhibitor ACE.
5. bloker
Contohnya seperti bisoprolol, metoprolol dan karvedilol. bloker
diberikan hanya pada pasien yang stabil, dengan dosis yang sangat rendah,
dinaikan bertahap. Membalikan keadaan ini dan memperbaiki status
fungsional serta prognosisi. Menurunkan kegagalan pompa serta kematian
mendadak akibat aritmia.
6. Digoksin
Memiliki efek inotropik positif pada irama sinus dan menyebabkan
perbaikan simptomatis serta menurunkan tingkat perawatan di rumah sakit
meskipun tidak mempengaruhi tingkat mortalitas.

DIABETES MELLITUS
A. DEFINISI DIABETES MELLITUS
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia dan gangguan
metabolik yang terjadi berhubungan dengan kerusakan berbagai macam
organ, terutama ginjal, mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Adhi,
2011)
Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah
insulin untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu
untuk memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi
insulin dan kadar glukosa darah meningkat (Adhi, 2011). Diabetes
44

mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak tergantung insulin atau


diabetes pada orang dewasa. Ini adalah istilah yang digunakan untuk
individu yang relatif terkena diabetes (bukan yang absoult) defisiensi
insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya resisten terhadap
insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka
waktu yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup
untuk memprovokasi gejala nyata dari diabetes. Namun demikian,
pasien tersebut adalah risiko peningkatan pengembangan komplikasi
macrovascular dan mikrovaskuler. Faktor yang diduga menyebabkan
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya
kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor
lingkungan dan faktor makanan (Tjekyan, 2007).
B. EPIDEMIOLOGI
Diabetes mellitus merupakan keadaan yang seringkali dikaitkan
dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. DM telah
menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan diseluruh
dunia. Insidensi dan prevalensi dari diabetes mellitus diseluruh dunia
semakin meningkat, dan diperkirakan prevalensi DM diseluruh dunia
akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2030. International
Diabetes Federation (IDF) melaporkan pada tahun 2011 prevalensi DM
di dunia sebanyak 366 juta jiwa yang berada pada rentang usia 20-79
tahun. IDF juga memperkirakan pada tahun 2030 akan terjadi
peningkatan prevalensi DM menjadi 552 juta jiwa. Prevalensi DM
tertinggi pada usia 60 tahun keatas. Sebanyak 80%-95% merupakan
penderita DM Tipe 2 dan sebagian besar berada di negara miskin dan
negara berkembang. Menurut survei yang dilakukan World Health
Organization (WHO), Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah
penderita DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika
Serikat. Negara dengan prevalensi DM tertinggi pada tahun 2011 adalah
China (90 juta jiwa), India (61.3 juta jiwa), dan Amerika (23.7 juta
jiwa). Prevalensi DM di Asia Tenggara pada tahun 2011 adalah 70,4
juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 120,9 juta jiwa pada
45

tahun 2030. Indonesia menduduki peringkat kesepuluh dengan


prevalensi 7.3 juta jiwa dan diestimasikan pada tahun 2030 akan naik
menjadi peringkat kesembilan dengan prevalensi 11.8 juta jiwa
(Rachmadany,2010).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan PERKENI yaitu:

Tabel 7.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Jenis Etiologi
Tipe 1 Destruksi sel , umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolute
(autoimun dan idiopatik)
Tipe 2 Bervariasi, mulai dari resistensi
insulin yang disertai defisiensi
insulin relatif hingga defek sekresi
insulin yang dibarengi resistensi
insulin
Tipe lain a. Defek genetik fungsi sel
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM
Diabetes Melitus Gestasional Intoleransi glukosa yang timbul atau
terdeteksi pada kehamilan pertama
dan gangguan toleransi glukosa
setelah terminasi kehamilan

Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes mellitus tipe 1 adalah diabetes yang bergantung pada
insulin dimana tubuh kekurangan hormon insulin, dikenal dengan
istilah Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes ini
terjadi akibat kerusakan sel pankreas yang merupakan penghasil
insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel pankreas,
yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta
mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang tersimpan dalam
hati dan otot. Pada Diabetes mellitus tipe I, terjadi radang pada
pankreas, yang disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya virus. Terjadi
46

kerusakan pada sel pankreas melalui reaksi yang dinamakan sebagai


reaksi autoimun, akibat kerusakan tersebut maka pankreas gagal untuk
menghasilkan hormon insulin (Rachmadany,2010).
Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 dikarakteristikan dengan berkurangnya sekresi
insulin, resistensi insulin dan over produksi dari glukosa hepar. DM
tipe 2 mempunyai onset pada usia sekitar pertengahan (40-an tahun).
Patogenesis DM tipe 2 kompleks dan merupakan interaksi antara faktor
genetik dengan faktor lingkungan. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya DM dibagi menjadi 2, yaitu faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, genetik/
riwayat DM pada keluarga, DM gestasional, bangsa dan etnis), dan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Pola makan, gaya hidup, aktivitas
fisik, obesitas, hipertensi, konsumsi alkohol, konsumsi kafein, merokok,
stress) (Rachmadany,2010).
Diabetes Mellitus Tipe Lain
DM ini disebabkan oleh
1. Defek genetik fungsi sel
2. Defek genetik dalam kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas misalnya: pankreatitis, pankreatektomi,
neoplasma, dan lain-lain.
4. Endokrinopati misalnya akromegali, Cushing's syndrome,
glucagonoma, pheochromocytoma, hyperthyroidism,
somatostatinoma, aldosteronoma
5. Karena obat atau zat kimia misalnya Vacor, pentamidine, nicotinic
acid, glucocorticoids, thyroid hormone, diazoxide, -adrenergic
agonists, thiazides, phenytoin, -interferon, protease inhibitors,
clozapine
6. Infeksi misalnya infeksi congenital rubella, cytomegalovirus,
coxsackie
7. Imunologi misalnya "stiff-person" syndrome, antibody anti reseptor
insulin
47

8. Sindrom genetik lain Down's syndrome, Klinefelter's syndrome,


Turner's syndrome, Wolfram's syndrome, Friedreich's ataxia,
Huntington's chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic
dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome (Rachmadany,2010).
Diabetes Gestasional
Diabetes mellitus gestasional didefenisikan sebagai setiap
intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan
pertama, tanpa memandang derajat intoleransi serta tidak
memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap selepas
melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan
trimester kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang
terdiagnosa ketika hamil (sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang
sebelumnya diketahui telah mengidap DM dan kemudian hamil, tidak
termasuk ke dalam kategori ini (Rachmadany,2010).
D. PATOFISIOLOGI
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang
terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang
disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta
(siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga
merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi
sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada
orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin
pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan
produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah
puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM
tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan
hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar
insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar
48

insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah
puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat
lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta
menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam
darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi
glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan
hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi
sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain
menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi,
adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose
toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin
tetap dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah
terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang
penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu
tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain
sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang
heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada
perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan
kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat
terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan
dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin
(Indraswari, 2010).
E. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko DM dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.(unmodifiable risk
factors):

a. Usia
Semakin meningkat usia, fungsi organ tubuh akan semakin
menurun. Aktivitas sel pankreas untuk menghasilkan insulin
49

menjadi berkurang dan sensitifitas sel-sel jaringan menurun


sehingga tidak menerima insulin. Keadaan ini menyebabkan
penurunan kemampuan fungsi tubuh dalam mengendalikan
kadar gula darah yang tinggi. Orang berusia lebih dari 45 tahun
lebih berisiko mengalami DM (Perkeni,2011).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko diabetes meningkat
lebih cepat. Para peneliti mengamati 51.920 laki-laki dan
43.137 perempuan. Seluruhnya merupakan pengidap diabetes
mellitus tipe II dan umumnya memiliki indeks massa tubuh
(IMT) di atas batas kegemukan atau overweight. Laki-laki
terkena diabetes pada IMT rata-rata 31,83 kg/m2 sedangkan
perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69 kg/m2.
Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh.
Pada laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar
perut sehingga memicu obesitas sentral yang lebih berisiko
memicu gangguan metabolisme (Perkeni,2011).
c. Bangsa dan etnis
Bangsa Asia lebih berisiko terserang diabetes mellitus
dibandingkan bangsa Barat. Hasil dari penelitian tersebut
mengatakan bahwa secara keseluruhan bangsa Asia kurang
berolahraga dibandingkan bangsa-bangsa Barat. Selain itu,
kelompok etnik tertentu juga berpengaruh terutama Cina, India,
dan Melayu lebih berisiko terkena diabetes mellitus.
d. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
Seorang anak merupakan keturunan pertama dari orang tua
dengan DM berisiko mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila
salah satu orangtuanya menderita DM dan berisiko 75% jika
kedua orangtuanya menderita DM. Selain itu, pada umumnya
bila seseorang menderita DM maka saudara kandungnya
mempunyai risiko DM sebesar 10% (Perkeni, 2011).
e. Riwayat diabetes mellitus gestasional
Ibu hamil yang menderita DM gestasional akan melahirkan
bayi besar dengan berat badan lahir > 4000 gram atau riwayat
50

pernah menderita diabetes gestasional/ kehamilan dengan DM


(Perkeni, 2011).
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors):
a. Berat badan lebih atau obesitas
Berat badan lebih diketahui jika Indeks Massa Tubuh (IMT)
seseorang yaitu 25 kg/m2. Obesitas merupakan salah satu faktor
risiko DM. Obesitas terjadi bila makanan yang dimakan
mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh, sehingga
kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan
energi dalam bentuk lemak yang mengakibatkan sesorang
menjadi gemuk. Bila makan berlebih dalam jangka waktu lama,
cadangan lemak yang ditimbun menjadi lebih banyak lagi
sehingga seseorang menjadi obesitas (Rachmadani,2010).
Cara sederhana mengetahui obesitas adalah dengan
menghitung Indeks Massa Tubuh. Penggunaan IMT disini hanya
berlaku untuk orang dewasa > 18 tahun dan tidak dapat
diterapkan pada pengukuran status gizi bayi anak, remaja dan ibu
hamil serta olahragawan (Supraiasa, 2002). Batas ambang IMT
orang Indonesia dikategorikan merujuk WHO yang telah
dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian
dibeberapa negara berkembang, sebagai berikut :

Tabel 7.3 Kriteria IMT pada orang Indonesia

Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat < 17
berat
Kekurangan berat badan tingkat 17,0-18,4
ringan
Normal 18,5-25
Kegemukan Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,0-27,0
51

Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0


Sumber: Pedoman praktis memantau status gizi orang dewasa.
Depkes RI 1994.
b. Hipertensi

Tabel 7.4 Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal 120 80
Prehipertensi 120-139 80-90
Hipertensi derajat 1 140-159 91-99
Hipertensi derajat 2 >160 >100
Sumber : JNC-VII 2003
Insidensi penyakit kardiovaskuler dan gagal ginjal pada
penderita hipertensi terus meningkat sejalan dengan peningkatan
insidensi diabetes melitus. Banyak cara telah dilakukan untuk
upaya pencegahan meningkatnya insidensi tersebut, antara lain
upaya mengendalikan hipertensi salah satu faktor risiko penyakit
jantung koroner. Obat anti hipertensi yang layak digunakan telah
banyak ditawarkan pada pengelolaan hipertensi penderita diabetes
melitus. Diharapkan dengan terkontrol dengan baik tekanan darah
akan menyebabkan pengurangan risiko penyakit kardiovaskuler
(Rachmadani,2010).
c. Kurangnya Aktivitas Fisik
Kebugaran jasmani dapat menggambarkan kondisi fisik
seseorang untuk mampu melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan aktivitas sehari-hari. Kurangnya aktivitas fisik menjadi
faktor cukup besar untuk seseorang mengalami kegemukan dan
melemahkan kerja organ-organ vital seperti jantung, hati, ginjal
dan juga pankreas. Aktivitas fisik juga sangat mempengaruhi
kadar glukosa darah Jika orang malas berolah raga memiliki
resiko lebih tinggi untuk terjadinya kenaikan kadar glukosa darah
karena olahraga berfungsi untuk membakar kalori yang
berlebihan di dalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh
merupakan faktor utama penyebab diabetes mellitus selain
disfungsi pankreas.
52

Salah satu pola hidup yang baik adalah olahraga dengan


teratur. Manfaat olah raga yaitu penurunan kadar glukosa darah,
mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi
kemungkinan terjadinya komplikasi, keadaan-keadaan ini dapat
mengurangi resiko penyakit jantung koroner (PJK) dan
meningkatkan kualitas hidup diabetisi dan meningkatkan kerja
serta memberikan keuntungan secara psikologis. Pada keadaan
istirahat, metabolisme otot hanya sedikit menggunakan glukosa
darah sebagai sumber energi, sedangkan pada saat beraktivitas
fisik (olahraga), otot menggunakan darah dan lemak sebagai
sumber energi utama (Waspadji, 2004).
Menurut Chaveau & Kaufman (1989) olah raga pada
diabetes dapat menyebabkan terjadinya peningkatan glukosa oleh
otot yang aktif, sehingga secara langsung olahraga dapat
menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Dan hasil
penelitian Allen bahwa olah raga aerobik yang teratur akan
mengurangi kebutuhan insulin sebesar 30-50% pada diabetes tipe
1 yang terkontrol dengan baik. Pada diabetes tipe 2 yang
dikombinasikan dengan penurunan BB akan mengurangi
kebutuhan insulin hingga 100% (Rachmadani,2010).
Aktivitas fisik mengakibatkan sensitivitas reseptor dan
insulin akan semakin meningkat sehingga glukosa darah yang
dipakai untuk metabolisme energi semakin baik. Oleh karena itu,
seorang yang jarang melakukan aktivitas fisik atau berolahraga
menyebabkan sensitivitas reseptor dan insulin akan semakin
menurun sehingga glukosa darah akan tertimbun dan tidak
terpakai (Waspadji, 2004). Latihan jasmani untuk pasien diabetes
melitus dilakukan 3-4 kali seminggu selama lebih kurang 30
menit
Manfaat aktivitas fisik / olahraga antara lain :
1) Sel-sel tubuh akan menjadi lebih sensitif terhadap hormon
insulin, sehingga dapat menyerap glukosa lebih banyak.
53

Sebaliknya sel hati akan lebih sedikit memproduksi glukosa,


sehingga kadar glukosa darah bisa lebih terkendali.
2) Menghambat dan memperbaiki faktor risiko penyakit
kardiovaskular yang banyak terjadi pada penderita diabetes
mellitus, seperti penyakit jantung koroner (PJK), stroke, dan
penyakit pembuluh darah perifer.
3) Meningkatkan kadar kolesterol baik dalam tubuh ( kolesterol
HDL)
4) Menurunkan tekanan darah. Hati-hati pada saat olahraga
tekanan darah mungkin meningkat.
5) Menurunkan berat badan pada penderita diabetes mellitus yang
juga mengalami obesitas.
6) Mengurangi kebutuhan pemakaian obat oral dan insulin.
7) Memberikan keuntungan psikologis, olah raga yang teratur
dapat memperbaiki tingkat kesegaran jasmani karena
memperbaiki sistem kardiovaskular, respirasi, pengontrolan
gula darah sehingga penderita merasa fit, mengurangi rasa
cemas terhadap penyakitnya, timbul rasa senang dan lebih
meningkatkan rasa percaya diri serta meningkatkan kualitas
hidupnya.
8) Mencegah terjadinya diabetes yang dini terutama bagi orang
orang dengan riwayat keluarga penderita diabetes ataupun bagi
yang masuk dalam golongan pre diabetes.
d. Konsumsi rokok
Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit
DM Tipe 2. Rokok mengandung berbagai zat yang berbahaya
bagi tubuh, seperti tar, nikotin dan N-nitrosamin. Asap rokok
dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin)
merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar
glukosa. Penelitian oleh Houston mendapatkan bahwa perokok
aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2
dibanding dengan yang tidak terpajan (Setyorogo, 2013).
54

e. Stress
Kondisi stress berat bisa mengganggu keseimbangan
berbagai hormon dalam tubuh termasuk produksi hormon insulin.
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila
stress menetap maka sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan
dan akan mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi adenocorticotropic
factor (ACTH). ACTH menstimulasi produksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (Goyal et al.,
2008).
f. Pola makan ( konsumsi makanan berkolesterol tinggi)
g. Diet tidak seimbang dengan tinggi gula dan rendah serat.
Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendah
serat juga merupakaan faktor risiko DM.
F. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan
lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal-gatal, pandangan
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita (PERKENI, 2011)
DM pada usila umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada
gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi,
perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan
fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah
jatuh, dan inkontinensia urin).Inilah yang menyebabkan diagnosis DM
pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada usila
seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini
adalah data M.V. Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis
pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan (PERKENII, 2011).
G. DIAGNOSIS
Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara :
1. Gejala klasik DM dan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
55

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat


pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya
8 jam
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa
terganggu) 200 mg/dl. TTGO dilakukan menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan
kedalam air.

Gambar 7.1. Langkah Diagnosis Diabetes mellitus Menurut


PERKENI (2011)

H. PENATALAKSANAAN
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus menurut Perkeni (2006)
mencakup poinpoin di bawah ini :
1) Edukasi
2) Terapi gizi medis
3) Latihan jasmani
4) Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi.Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
56

menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera


diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
1) Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup
dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan
penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga
dan masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku.Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi (Perkeni, 2011).
2) Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011).
3) Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara
teratur (3-4) kali seminggu selama kurang lebih 30 menit),
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk
57

menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan


memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi.Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan (Perkeni, 2011).
4) Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah
belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(Perkeni, 2006).
a) Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan
merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih.Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
58

benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini


diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati (Perkeni, 2006).
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Tiazolidindion)
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon)
berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak.Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati.Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala (Perkeni, 2006).
3. Penghambat glukoneogenesis (Metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping
juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk.Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual.Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan (Perkeni, 2006).
2. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi
glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
59

tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia.Efek


samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens (Perkeni, 2006).
b) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin golongan ini adalah insulin lispro (Humalog),
insulin aspart (NovoRapid).

2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)


Contoh insulin golongan ini adalah human regular insulin
(Actrapid).
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
insulin golongan ini adalah Neutral Protamine Hagedorn
(NPH) insulin (Insulatard, Humulin N)
3. Insulin kerja panjang (long acting insulin) (Perkeni, 2006).
insulin golongan ini adalah insulin glargine (Lantus),
insulin detemir (Levemir).
I. KOMPLIKASI
DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut
maupun komplikasi kronik.Komplikasi akut berupa diabetik
60

ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar non-ketotik yang dapat


mengancam jiwa penderita. Sedangkan komplikasi kroniknya yaitu:
1. Mikroangiopati
1) Penyakit mata
a) Retinopati diabetik
b) Edema Makular
2) Nefropati diabetik
2. Makroangiopati
1) Pembuluh darah jantung
2) Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun
sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainan yang pertama muncul.
3) Pembuluh darah otak
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neurpati
perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi (Perkeni, 2011)

HIPERTENSI
A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Menurut JNC VII, hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah dalam
arteri tinggi. Sebagai batasannya telah diajukan berkisar dari tekanan sistolik
140-200 mmHg dan tekanan diastolik 90-110 mmHg (Dorland, 2007).
Hipertensi adalah faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung dan gagal
ginjal. Selain itu, hipertensi selalu muncul dengan faktor risiko
kardiovaskuler lainnya seperti, merokok, diabetes, hiperlipidemia, dan
obesitas (WHO, 2003). Kejadian hipertensi menjadi perhatian semua
kalangan masyarakat, mengingat dampak yang ditimbulkan baik jangka
pendek maupun jangka panjang, sehingga membutuhkan penanggulangan
yang menyeluruh dan terpadu (Irza, 2009).
61

Diagnosis hipertensi derajat 1 dan derajat 2 ditegakkan dengan


pemeriksaan tekanan darah dan berdasarkan kriteria Join National Commitee
(JNC) 7 (Department of Health and Human Services, 2003).
Tabel 7.5. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 (Department of Health
and Human Services, 2003)

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi derajat 2 160 Atau 100

Hipertensi yang idiopatik didefinisikan sebagai hipertensi essensial


dan bukan merupakan sesuatu entitas tunggal. Hipertensi primer memiliki
kecenderungan genetik yang kuat, yang dapat diperparah akibat faktor-
faktor kontribusi yang dapat dikontrol seperti kegemukan, stres, merokok,
dan asupan garam yang berlebihan (Sherwood, 2002).
Berbeda dengan JNC VII, pedoman hipertensi terbaru yang
dikeluarkan oleh JNC VIII berbeda dari penanganan hipertensi yang
selama ini dipelajari. Kondisi hipertensi tidak didefinisikan secara jelas
pada pedoman JNC VIII. Klasifikasi yang diberlakukan pada JNC VIII
dijelaskan pada tabel 7.6
Tabel 7.6. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VIII
Strength of
Recommendation
Recommendation
Recommendation 1
Populasi berusia 60 tahun, mulai terapi
Grade A
farmakologi dengan tekanan sistolik 150
mmHg, tekanan diastolik 90 mmHg
Corollary Recommendation
Populasi berusia 60 tahun, jika terapi
farmakologi mengakibatkan penurunan
tekanan darah lebih rendah (<140/90) dan
Grade E
pengobatan ditoleransi dengan baik tanpa
efek samping, teruskan pengobatan. Pada
usia ini TD <140 tidak lebih baik
dibanding 140 160.
Recommendation 2 Grade A (30 59 tahun)
Populasi usia < 60 tahun, terapi Grade E (18 29 tahun)
62

farmakologi bila tekanan diastolik 90


mmHg. Target tekanan diastolik < 90
mmHg
Recommendation 3
Populasi usia < 60 tahun, terapi
farmakologi bila tekanan sistolik 140 Grade E
mmHg. Target tekanan sistolik < 90
mmHg
Recommendation 4
Populasi usia 18 tahun dengan CKD,
terapi farmakologi bila tekanan sistolik
Grade E
140 mmHg atau tekanan diastolik 90
mmHg. Target tekanan sistolik < 140
mmHg dan tekanan diastolik < 90 mmHg
Recommendation 5
Populasi usia 18 tahun dengan DM,
terapi farmakologi bila tekanan sistolik
Grade E
140 mmHg atau tekanan diastolik 90
mmHg. Target tekanan sistolik < 140
mmHg dan tekanan diastolik < 90 mmHg
Recommendation 6
Pada populasi non black, termasuk dengan
Grade B
DM, pengobatan anti hipertensi inisiasi :
thiazide, CCB, ACEI, dan ARB
Recommendation 7
Populasi kulit hitam, termasuk dengan Grade B (No DM)
DM, pengobatan anti hipertensi inisial : Grade C (DM)
diuretik atau CCB
Recommendation 8
Populasi usia 18 tahun dengan CKD dan
Grade B
hioertensi, pengobatan anti hipertensi
inisial : ACEI atau ARB
Recommendation 9 Grade E
Tujuan terapi hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan target
tekanan darah
Jika target tekanan darah tidak tercapai
dalam waktu 1 bulan, naikkan dosis
atau tambahkan obat dari rekomendasi
6 (thiazide, CCB,ACEI, dan ARB)
Jika target tekanan darah tidak tercapai
dengan dua obat, tambah titrasi obat
ketiga. Jangan menggunakan ARB dan
ARB bersama-sama
Jika target tekanan darah tidak dapat
tercapai dengan obat-obat pada
63

rekomendasi 6 karena kontraindikasi


atau butuh > 3 obat, obat antihipertensi
dari kelas lain bisa digunakan
Rujuk ke dokter ahli jika tekanan darah
tidak tercapai atau untuk manajemen
komplikasi
Sumber : JNC VIII
B. PENGGOLONGAN HIPERTENSI
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua
golongan yaitu:
1. Hipertensi essensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat
sekitar 90% - 95% kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial
adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor
keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwaya penyakit
kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat
berupa sensitifitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress,
peningkatan reaktivitas vaskuler (terhadap vasokonstriksi) dan
resistensi insulin (Gunawan, 2008)
2. Hipertensi non essensial
Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit
lain (terdapat sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain
hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin,
kelainan saraf pusat, obat-obat dan lain-lain
C. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Peningkatan tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara


lain stres, hiperinsulinisme, konsumsi garam yang berlebihan, dan
disfungsi endotel. Stres dan hiperinsulinisme akan meningkatkan syaraf
simpatis yang akan merangsang pengeluaran hormon katekolamin yang
akan meningkatkan produksi renin dan kontraktilitas jantung. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
64

vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan


penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Rohaendi, 2008).
Konsumsi garam dapat meningkatkan cardiac output dikarenakan
meningkatnya konsentrasi Na dapat meningkatkan venous return yang
akan meningkatkan preload. Disfungsi endotel juga mempengaruhi
kenaikan tekanan darah, hal ini karena disfungsi endotel akan menurunkan
reaktivitas NO dan vasodilator, hal ini akan meningkatkan resistensi
perifer sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah (Gray dan
Dawkins, 2005).
D. MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun berupa nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai
mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,
penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, ayunan
langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala
lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka
merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk
terasa pegal dan lain-lain (Corwin, 2009).
E. FAKTOR RESIKO
Menurut Elsanti, 2009 Ada 2 faktor resiko hipertensi yaitu: faktor
resiko hipertensi tidak dapat di rubah dan faktor esiko dapat diubah.
1. Faktor resiko tidak dapat dirubah, ada 3 faktor resiko diantaranya yaitu:
a. Usia
65

Hipertensi meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.


Sekitar 10 % penduduk usia 50 tahun menderita hipertensi dan
sekitar 20 % penduduk usia 60 tahun menderita hipertensi.
Prevalensi hipertensi lebih banyak ditemukan pada penduduk usia 70
tahun yaitu sebesar 30 %. Pada usia tua tekanan sistolik maupun
diastolik lebih tingi pada wanita dari pada laki-laki. Kedan tekanan
darah meningkat pada usia tua diperlukan untuk mempompakan
sejumlah darah ke otak dan organ vital karena pada usia tua
pembuluh darah sudah mulai melemah dan dinding pembuluh darah
menebal sehinga akan menyebabkan tekanan darah meningkat dan
merupakan prediktor kuat akan beresiko terjadinya penyakit koroner,
gagal jantung dan stroke.
b. Jenis kelamin
Angka mortalitas dan morbiditas pada wanita akibat penyakit
kardiovaskuler lebih rendah dari pada laki-laki. Pada laki-laki muda
cenderung mempunyai tekanan darah tingi dari pada wanita muda
pada usia diantara 35-45 tahun.
c. Riwayat penyakit keluarga dengan hipertensi
WHO memperkirakan 3 % dari anak yang lahir dari ayah dan
ibu normotensif akan memungkinkan menderita hipertensi
sedangkan kemungkinan akan naik menjadi 45% bila kedua orang
tua menderita hipertensi. Tingkat tekanan darah terkait erat dengan
faktor genetik. Apabila seseorang dengan kedua orang tus menderita
hipertensi akan memilki kemungkinan 50-75% untuk menderita
hipertensi, sedangkan bila kedua orang tus normotenis hanya
memilki kemungkinan 4-20% untuk menderita hipertensi.
2. Faktor risiko tidak dapat dirubah
a. Asupan Garam Tingi
Garam didalam tubuh menjadi daya tarik bagi zat cair,
makin banyak makan garam maka makin banyak zat cair yang
dibutuhkan oleh tubuh. Garam yang dicairkan dalam tubuh juga
masuk ke dalam darah. Dengan adanya garam maka jumlah
66

darah bertambah dan tekanan pada dinding-dinding urat nadi


bertambah kuat sedangkan jantung hrus bekerja lebih keras
untuk mengedarkan jumlah darah yang bertambah.Masukan
sodium tingi akan meningkatkan kadar natrium dalam darah
sehinga volume darah juga akan bertambah dan meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung.
b. Perilaku merokok
Merukok akan merugikan kesehatan sistem kardiovaskular
dalam banyak aspek serta meingkatkan resiko terjadinya
penyakit jantung koroner, aterosklerosis dan penyakit vascular
perifer. Merokok juga terlibat dalam terjadinya penyakit serebro
vascular (PSV) dan penyakit jantung paru (PJP). Rokok
mengandung lebih dari 400 jenis bahan kimia dan 40 jenis
bersifat karsinogenik.
c. Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan kontributor penting
terhadap terjadinya hipertensi pada populasi umum dan juga
meningkatkan faktor resiko aterogenik. Obesitas dapat memicu
timbulnya penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan
kematian, ada bukti nyata bahwa bahwa obesitas pada anak-anak
dan remaja merupakan indikator untuk hipertensi pada usia
mendatang.
d. Aktivitas olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolan
hipertensi karena olahraga teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga
terkait dengan peran obesitas pada hipertensi. Apabila seseorang
melakukan olahraga selama 30-40 menit selama 3-5 hari dalam
1 mingu akan menurunkan hipertensi.
e. Diabetes Melitus
Resiko penyakit kardiovaskular meningkat sekitar 60-80%
dengan adanya intoleransi glukosa berkolerasi positf dengan
67

tekanan darah tingi dan kadar kolesterol darah total. Hipertensi


merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus khususnya
pada penderita diabetik nefropati. Prevalensi penderita
hipertensi pada penderita diabetes miltus lebih tingi bila
dibandingkan dengan prevalensi hipertensi pada populasi
normal.
f. Minum alkohol
Banyak penelitan membuktikan bahwa alkohol dapat
merusak jantung dan organ- organ lain, termasuk pembuluh
darah. Kebiasan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu
faktor esiko hipertensi.
g. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf yang dapat menaikan
tekanan darah secara interminten (tidak menentu). Stres akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung sehinga akan menstimulasi aktivitas araf simpatis yang
dapat berhubungan dengan pekerjan, kelas sosial, ekonomi dan
karakteristik personal.

F. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosa hipertensi esensial sebagaimana lazimnya
penegakan diagnosa panyakit lain, dimulai dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Hal ini penting dilakukan, untuk menyingkirkan
diagnosa hipertensi akibat renal atau hipertensi sekunder. Diagnosis
berdasarkan hal berikut (Basha,2004) :
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu di perhatikan perjalanan penyakit
hipertensi secara menyeluruh. 70-80% kasus hipertensi esensial
didapat riwayat hipertensi dalam keluarga.Sebagian besar
hipertensi esensial timbul pada usia 25-45 tahun, dan hanya 20%
timbul di bawah 20 tahun atau di atas 50 tahun.
68

Gejala klinik yang mungkin timbul akibat hipertensi adalah


sakit kepala, rasa tidak nyaman di tengkuk (kenceng), sukar tidur,
epistaksis, disines atau migren, sampai keluhan mudah marah.
Hasil penyelidikan gejala klinik hipertensi di Paris adalah sbb :
gejala sakit kepala menduduki urutan pertama (40,5%), disusul
palpitasi (28,5%), nokturi (20,4%), disiness (20,8%) dan tinitus
(13,8%).
Gejala lain yang dikeluhkan mungkin akibat dari komplikasi
yang timbul, seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi,
gejala gagal jantung, dan gejala gangguan fungsi ginjal. Tidak
jarang hal ini menjadi penyebab utama penderita untuk datang
periksa ke dokter.
Hal lain yang perlu ditanyakan kepada penderita guna
kepentingan terapi adalah :
a. Bila sebelumnya telah diketahui menderita hipertensi :
informasi pengobatan sebelumnya meliputi jenis obat, dosis,
efektifitas, dan efek samping yang mungkin timbul.
b. Penyakit yang sedang atau pernah diderita seperti diabetes
militus, penyakit ginjal, dan penyakit jantung serta penyakit
kelenjar tiroid.
c. Kemungkinan penderita sedang mengkonsumsi obat karena
penyakit lain, yang mungkin menimbulkan efek samping
kenaikan tekanan darah, seperti golongan steroid, golongan
penghambat monoamin oksidase dan golongan
simpatomimetik.
d. Kebiasaan makan penderita (terutama asupan garam),
minuman alkohol dan konsumsi rokok.
e. Faktor stres psikis.
f. Pada wanita perlu ditanyakan tentang riwayat kehamilan dan
persalinan (pre-eklamsi dan eklamsi), serta pemakaian alat
kontrasepsi.
2. Pemeriksaan Fisik
Peninggian tekanan darah sering merupakan satu-satunya
tanda klinik hipertensi esensial, sehingga diperlukan hasil
pengukuran darah yang akurat. Beberapa faktor akan
69

mempengaruhi hasil pengukuran, seperti faktor pasien, faktor alat


dan tempat pengukuran harus mendapat perhatian.Pengukuran ideal
dilakukan dengan cara :
a. Pengukuran dilakukan setelah penderita berbaring selama 5
menit.
b. Pengukuran dilakukan sebanyak 3-4 kali dengan interval 5-10
menit.
c. Tensi dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian
dibuka perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per-denyut
jantung.
d. Tekanan sistolik dicatat saat terdengar bunyi pertama
(Korotkoff I) dan tekanan diastolik dicatat pada saat pertama
bunyi tidak terdengar lagi (Korotkoff V).
Pemeriksaan terhadap kemungkinan komplikasi sebaiknya
dilakukan, agar bisa dilakukan tindakan atau terapi sedini mungkin.
Walaupun masih banyak perdebatan klasifikasi hipertensi dengan
dasar tekanan diastolik paling mudah diterapkan dalam pelayanan
kesehatan primer khususnya di Puskesmas, yaitu :
a. Hipertensi Ringan : bila tekanan diastolik antara 90 110
mmHg
b. Hipertensi Sedang : bila tekanan diastolik antara 110 -130
mmHg
c. Hipertensi Berat : bila tekanan diastolik diatas 130 mmHg
G. TERAPI
Menurut JNC VII, tujuan terapi dari hipertensi adalah penurunan
tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan
diabetes dan penyakit ginjal kronik. Sebagian besar pasien membutuhkan
2 jenis modulasi terapi untuk mencapai target tekanan darah tersebut.
Berikut adalah algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7.
70

Gambar 7.2 Algoritma Penanganan Hipertensi Menurut JNC 7


Berikut merupakan compelling indication terapi hipertensi.

Gambar 7.3. Compelling Indications Penganganan Hipertensi


Sementara itu, penatalaksanaan hipertensi menurut JNC VIII dibagi
ke dalam tiga strategi sesuai dengan yang dicantumkan pada tabel 7.7.
Tabel 7.7 Strategi Penatalaksanaan Hipertensi
Strateg Detail
Deskripsi
i
A Mulai satu obat, naikkan Jika target tekanan darah belum
hingga dosis maksimum, tercapai, naikkan dosis obat
kemudian tambahkan obat pertama sampai dosis maksimum
71

sebelum menambahkan obat


kedua
kedua atau ketiga
Tambahkan obat kedua sebelum
Mulai satu obat, kemudian obat pertama mencapai dosis
tambahkan obat kedua maksimum. Jika target tekanan
B
sebelum mencapai dosis darah belum tercapai, tambahkan
maksimum obat ketiga dan titrasi sampai
dengan dosis maksimum
a. Mulai dengan dua obat
b. Beberapa komite
merekomendasikan :
1) 2 obat jika tekanan
darah sistolik 160 dan
atau tekanan diastolik
100, atau tekanan darah
sistolik > 20 mmHg
C Mulai dengan dua obat
diatas target dan atau
tekanan diatolik > 10
mmHg
2) Jika target tekanan darah
tidak tercapai, tambahkan
obat ketiga kemudian
titrasi sampai dengan
dosis maksimum
Sumber : JNC VIII
Algoritma penatalaksanaan hipertensi menurut JNC VIII dijelaskan
dalam Gambar 7.4 sebagai berikut.
72

Gambar 7.4 Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Menurut JNC VIII


BAB VIII
PENUTUP
73

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Ny. A adalah seorang pasien yang
didiagnosis neuropati diabetikum.
1. Aspek personal
Ny. A, usia 56 tahun tinggal hanya bersama dengan suaminya sehingga
bentuk keluarga nuclear family.
e. Idea : Pasien datang ke Puskesmas Cilongok 1 untuk berobat
f. Concern : Pasien merasa tangannya baal sehingga
mengganggu aktivitas nya sebagai ibu rumah tangga
g. Expectacy : Pasien mempunyai harapan penyakitnya segera
sembuh
agar dapat kembali dalam keadaan semula
h. Anxiety : Ibu pasien meninggal oleh karena penyakit yang
serupa
2. Aspek klinis
Diagnosis Kerja : neuropati diabetikum
Gejala klinis : Lemas, hipostesi, dan poliuri
3. Aspek faktor intrinsik
Aspek faktor risiko intrinsik individu diantaranya adalah sebagai
berikut :
e. Pasien berjenis kelamin perempuan berusia 56 tahun
f. Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus
g. Pasien gemar mengkonsumsi makanan manis dan makanan gurih
h. Pasien jarang berolahraga
4. Aspek faktor ekstrinsik
Aspek faktor ekstrinsik pada pasien diantaranya adalah sebagai
berikut :
f. Tingkat pendidikan pasien dan keluarga yang tinggal di sekitar rumah
pasien rendah
g. Pengetahuan pasien mengenai kondisi penyakitnya kurang baik
h. Kondisi ekonomi pasien termasuk ke dalam golongan menengah ke
bawah
i. Kondisi rumah pasien kurang baik
j. Kondisi lingkungan di sekitar rumah pasien kurang bersih
74

5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial


Pasien mengeluh baal, lemas, poliuri dan penyakit nya dirasa cukup
mengganggu pekerjaan pasien sebagai IRT. Skala penilaian fungsi sosial
adalah 2, pasien membatasi aktivitas bekerja sebagai IRT, namun aktivitas
perawatan diri tidak terganggu.
B. Saran
1. Promotif : Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit DM dan
neuropati diabetikum serta perlunya pengendalian dan pemantauan
penyakit tersebut.. Mengenalkan pola hidup sehat, meliputi pola makan
dan olahraga teratur untuk penderita dan keluarga karena faktor keturunan
sangat mempengaruhi timbulnya penyakit ini.

2. Preventif : Makan makanan yang cukup bergizi dan diet diabetes yang
harus dilaksanakan, rutin control gula darah, merawat luka sehingga tidak
terjadi komplikasi lebih lanjut dari penyakitnya.

3. Kuratif : Pasien minum OAD (Obat Anti Diabetes) yang diberikan dokter
secara rutin dan teratur. Suaminya harus selalu mengingatkan dan
mengawasi untuk minum obat dan mengontrol pola makan penderita dan
ikut mendukung dengan mengantarkan berobat ke pelayanan kesehatan.
Menyarankan agar pasien mengikuti prolanis dan posbindu.

4. Rehabilitatif : Penyesuaian aktivitas sehari-hari sangatlah penting dan


membantu penderita memiliki kembali rasa percaya diri untuk percaya
terhadap intervensi medis dan memberikan motivasi untuk terus merubah
sikap dan prilaku yang tidak sehat menjadi lebih sehat.

DAFTAR PUSTAKA
75

Adhi , Bayu.T1, Rodiyatul F. S. dan Hermansyah,2011. An Early Detection


Method of Type-2 Diabetes Mellitus in Public Hospital. Telkomnika, Vol.9,
No.2, August 2011, pp. 287~294.

Corwin, Elozabeth. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. EGC: Jakarta

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC

Kumar V, Abbas AK, and Fausto N. 2005. Robbins and Cotran Pathologic Basic
of Disease 7th. China: Elsevier Inc.

Mohjuarno.2009. Makalah Kontenporer Konsentrasi Epidemiologi Pasca Sarjana:


Penanggulangan Diabetes Melitus. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Patrick, Davey. 2005. At Glance Medicine. Jakarta: Erlangga

Perkeni.2011. Empat Pilar Pengelolaan Diabetes.[online]. (diupdate 11


November 2011). http://www.smallcrab.com/ .[diakses 10 Desember
2016].

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-


Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam


Negeri

Shahab, Alwi,2006.Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Disarikan


Dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni
2006).Subbagian Endokrinologi Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fk Unsri/ Rsmh Palembang, Palembang.

Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku


kedokteran: EGC

Tjeyan, Suryadi R.M, 2007.Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan


Peminum Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Department
Of Public Health And Community Medicine, Medical Faculty, Sriwijaya
University, Palembang 30126, Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No.
2, Desember 2007: 54-60.

Waspadji, Sarwono dkk., 2009. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.

LAMPIRAN
76

Gambar 1. Pemeriksaan Pasien (10-12-2016)


77

Gambar 2. Pemeriksaan Pasien (12-12-2016)

Gambar 3. KIE dan pembagian leaflet

You might also like