You are on page 1of 9

PATOFISIOLOGI

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Pembimbing:
Dr. Mas Wisnuwardhana, Sp. A

Disusun oleh:
Sandini yustialaras
03009222

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2016
I. DEFINISI
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Ada banyak tipe dari
ensefalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi. Paling sering infeksi oleh
virus.
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.
Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang
belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat
lain di tubuh dan kemudian ke otak
Herpes simpleks ensefalitis (HSE) adalah penyakit akut atau subakut, terjadi
ketika HSV memasuki otak. tanda-tanda yang menyebabkan baik umum dan
fokus disfungsi serebral. Meskipun adanya demam, sakit kepala, perubahan
perilaku, kebingungan, temuan neurologis fokal, dan abnormal CSF temuan
sugestif HSE, tidak ada temuan klinis patognomonik andal untuk membedakan
HSE dari gangguan neurologis lainnya dengan presentasi serupa (misalnya, non-
HSV ensefalitis, abses otak, tumor)1.

II. ETIOLOGI
HSE disebabkan oleh HSV, double-stranded DNA virus. HSV-1 dan HSV-2
keduanya anggota herpes virus manusia yang lebih besar (HHV) famili, yang juga
termasuk virus varicella-zoster (VZV, atau HHV-3) dan sitomegalovirus (CMV,
atau HHV-5). HSV-1 menyebabkan lesi oral, penyakit ini adalah umum dan
berespon dengan obat antivirus meskipun dapat remisi secara spontan dalam
kebanyakan kasus,. HSV-2 menyebabkan lesi genital. HSV-2 dapat diobati dengan
obat antivirus. Pada orang dewasa, respon imun, dikombinasikan dengan faktor
virus, menentukan derajat invasi dan virulensi. Derajat invasi HSV-1 varian
glikoprotein dikendalikan oleh respon host. Status sosial ekonomi dan geografi
dapat mempengaruhi tingkat seropositif virus. Namun, korelasi klinis sulit, karena
HSE dapat terjadi setiap saat, terlepas dari status sosial ekonomi pasien, usia, ras,
atau jenis kelamin. Pada anak-anak, ensefalitis sering merupakan infeksi primer
dari HSV. Sekitar 80% anak dengan HSE tidak memiliki riwayat herpes labialis.
Pada neonatal herpes Simpleks ensefalitis patogen yang dominan adalah HSV-2
(75% kasus), yang biasanya diperoleh dari ibu selama persalinan. Seorang ibu
yang sudah terinfeksi sebelumnya, tetapi berulang hasil infeksi genital herpes
beresiko 8% teriinfeksi dengan gejala, biasanya ditularkan pada tahap kedua
persalinan melalui kontak langsung. Jika ibu mendapatkan herpes kelamin selama
kehamilan, risiko meningkat menjadi 40%. Tidak adanya riwayat ibu herpes
kelamin sebelumnya tidak menghilangkan risiko; pada 80% kasus HSE neonatal,
ibu tidak memiliki riwayat infeksi HSV sebelumnya. Pecahnya selaput ketuban
yang lama (selama 6 jam) dan pemantauan intrauterin (misalnya, pemasangan
elektroda pada kulit kepala) merupakan faktor risiko. Pada sekitar 10% dari kasus,
HSV (sering tipe 1) diperoleh post partum melalui kontak dengan individu yang
menularkan HSV dari vesikel, infeksi jari, atau lesi kulit lainnya.2

III. MANIFESTASI KLINIK


Ensefalitis herpes simplex dapat bermanifestasi akut atau subakut. Pada fase
prodromal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan
personalitas dan gangguan daya ingat yang sangat sulit dideteksi terutama pada
anak kecil. Kemudian pasien dapat mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Perlu diingat bahwa kejang umum
pada EHS dapat diawali oleh kejang fokal yang berkembang menjadi kejang
umum. Bila kejang fokal sangat singkat, orangtua seringkali tidak mengetahui.
Empat puluh persen pasien datang di rumah sakit dalam keadaan koma sedangkan
sisanya dalam keadaan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk,
pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala
sisa yang berat. Kematian biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama.3

IV. PATOFISIOLOI
Patogenesis dari ensefalitis mirip dengan pathogenesis dari viral
meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah
(hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread).
Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung
melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga
dijumpai, misalnya arterimeningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri
tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi
melalui penerobosan dari pia mater. Selain penyebaran secara hematogen, dapat
juga terjadi penyebaran melalui neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes
simpleks dan rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron
sensoris yang menginnervasi port dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti
axon-axon menuju ke nucleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi
dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus
dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk
membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus
berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini
sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan
nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi Karen proses replikasi berjalan
terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel
viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus
berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl
oleh manifestasi lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala,
demam, dan lemah, letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat
kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motoric, gangguan
penglihatan, gangguan berbicara, gannguan pendengaran dan kelemahan anggota
gerak, serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan
nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.4

V. DIAGNOSIS 3,5
Anamnesis
Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa
secara lengkap mengenai gejala klinis yang diderita, adanya riwayat
terpapar dengan sumber infeksi, status immunisasi, riwayat menderita
gejala yang sama sebelumnya serta ada tidak nya faktor resiko yang
menyertai.
Pemerksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis seringkali menunjukkan adanya hemiparesis.
Beberapa kasus dapat menunjukkan disfasia, ataksia, gangguan sistem
otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N II. Kadang-kadang
manifestasi klinis menyerupai meningitis aseptik tanpa manifestasi
ensefalitis yang jelas. Jelaslah bahwa manifestasi klinis sangat tidak
spesifik terutama pada anak dan diagnosis EHS sangat memerlukan
kecurigaan klinis yang kuat. Secara praktis, kita harus selalu memikirkan
kemung-kinan EHS bila menjumpai seorang anak dengan demam, kejang
terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti hemiparesis
atau disfasia dengan penurunan kesadaran yang progresif

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi rutin pada EHS tidak spesifik. Jumlah
leukosit darah tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-
kadang dengan pergeseran kekiri. Sembilan puluh persen pasien
memperlihatkan cairan serebrospinalis abnormal. Pada fase awal,
leukosit polimorfonuklear predominan, kemudian berubah menjadi
limfositosis. Jumlah sel bervariasi antara 10 sampai 1000 sel per mm3.
Kadang-kadang ditemukan sel darah merah dengan cairan likuor
serebrospinalis yang santokrom. Kadar protein cairan serebrospinalis
dapat meningkat sampai 50-200mg/dl sedangkan kadar glukosa dapat
menurun.
2. Lumbal pungsi
Lumbal puncture (lumbal fungsi) adalah upaya pengeluaran
cairan serebrospinal dengan memasukan jarum kedalam ruang
subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk pemeriksaan cairan
serebrospinal, mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal,
menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan
antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi.
Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual
Warna dan kejelasan dan glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase,
jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih dengan diferensial,
Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada hasil tes
awal dan diagnosis dicurigai.
3. Elektroensefalografi
Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk
mengukur aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini
biasanya digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang.
gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas
lambat bilateral). bila terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan
gambaran EEG atau CT scan, dapat dilakukan Biopsi otak di daerah
yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat
dilakukan pada daerah lobus temporali syang biasanya menjadi
predileksi virus herpes simpleks.

4. Neuroradiologi
CT scan
Gambaran yang agak khas pada CT scan terlihat pada 50-75%
kasus, yaitu gambaran daerah hipodens dilobus temporalis atau
frontalis, kadang-kadang meluas sampai lobus oksipitalis. Daerah
hipodens ini disebabkan nekrosis jaringan otak dan edema otak.
Setelah pemberian kontras, dapat dilihat daerah yang lebih mengikuti
kontur sulkus dan girus, atau membatasi daerah hipodens, atau
membentuk suatu cincin. Gambaran khas CT scan baru terlihat setelah
minggu pertama.

Magnetic resonance imaging (MRI)


MRI lebih sensitif dan memperlihatkan hasil lebihawal
dibandingkan CT scan. Penggunaan single photon emission
computed tomography (SPECT) dengan Tc-99m-HMPAO
dapat memperlihatkan daerahhipoperfusi di lobus temporalis
atau frontalis pada fase awal.

5. Pemeriksaan Serologis
Isolasi virus tidak dilakukan secara rutin karena sangat jarang
menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat
diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinalis. Titer antibodi dalam
serum tergantung apakah infeksi merupakan infeksi baru atau infeksi
rekurens. Pada infeksi baru, antibodi dalam serum menjadi positif
setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekurens
kita dapat menemukan peninggian titer antibodi dalam 2 pemeriksaan,
fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase
rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VHS sedang aktif. Perlu
diingat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan
bahwa ensefalitis disebabkan VHS.
Titer antibodi dalam cairan serebrospinalis merupakan
indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi
kerusakan sawar darah-otak. Sayang sekali kemunculan antibodi dalam
cairan serebrospinalis sering terlambat dan seringkali baru dapat
dideteksi 12 hari setelah awitan. Hal ini merupakan kendala terbesar
dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai
diagnosis retrospektif. Penelitian mengenai cara diagnosis yang lebih
baik telah dilakukan, terutama dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) yang biasanya positif lebih awal dibandingkan
titer antibodi.

6. Biopsi Otak
Baku emas dalam diagnosis EHS adalah biopsi otak dan isolasi
virus dari jaringan otak. Banyak pusat penelitian tidak ingin
mengerjakan prosedur ini karena berbahaya dan kurangnya fasilitas
untuk isolasi virus. Kelemahan lain dari prosedur ini adalah
kemungkinan ditemukannya hasil negatif palsu karena biopsi
dilakukan bukan pada tempat yang tepat.

VI. PENATALAKSANAAN 3,6


Pengobatan simtomatik dan suportif sama dengan penatalaksanaan ensefalitis
lain, termasuk pengobatan kejang, edema otak, peninggian tekanan intrakranial,
hiperpireksia, gangguan respirasi dan infeksi sekunder. Perbedaan utama adalah
pada EHS kita dapat memberikan antivirus yang spesifik. Pengobatan dengan
antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis
hemoragis yang ireversibel yang biasanya terjadi 4 hari setelah awitan ensefalitis.
Hal ini menimbulkan kesulitan, karena pada fase awal tidak terdapat cara
untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut saat ini adalah pengobatan
segera pada pasien yang dicurigai mengalami EHS, kemudian pengobatan dapat
dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi laboratorium.Vidarabin telah diteliti
pada tahun 70-an dan dapat menurunkan mortalitas dari 70% sampai40%. Saat ini,
Acyclovir intravena telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin dan
merupakan obat pilihan pertama. Preparat Acyclovir tersedia dalam kemasan
250mg dan 500mg, yang harus diencerkan dengan air atau larutan garam
fisiologis. Dosis adalah 30mg/kgbb/24jam dibagi dalam 3 dosis. Cara pemberian
secara perlahan-lahan dengan pompa suntik atau diencerkan lagi menjadi 100ml
dalam larutan glukosa 5% diberikan selama 1 jam. Efek samping adalah
peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat dalam plasma.
Pemberian acyclovir perlahan-lahan akan mengurangi efek samping ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pritz, Tod. Herpes Simplex Encephalitis, Update : Jan 7, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/792486-overview
2. Sutanto H, Annisa. Herpes Simpleks Enchephalitis, Available At :
https://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/web_Herpes_Simplex_Encephalitis_
HENRY_SUTANTO.pdf+&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id
3. Pusponegoro H. Ensefalitis herpes simpleks pada anak. Sari Pediatri, Vol. 2,
No. 2, Agustus 2000: 77 81.Available At :
https://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-2-2.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
4. Anonymous. Encephalitis, Available at : http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/encephalitis/basics/definition/con-20021917
5. James D.C., Shields W.D,. Encephalitis and meningoencephalitis in Text book
of pediatric Infectious disease, Vol. 1 by Saunder. United States Of America.
2004.
6. James D. C., Recognition and Management of Encephalitis in Children in Hot
Topics in Infections and Immunity in Children V, Vol. 634 by Springer. United
States of America, 2009: 53-60

You might also like