You are on page 1of 9

A.

Fungsionalisasi Lembaga Adat Sebagai Lembaga


Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat Adat/Desa.
Masyarakat (hukum) adat sudah sejak lama menyelesaikan
sengketa-sengketa adat melalui kelembagaan tradisional, yaitu
hakim perdamaian desa. Biasanya yang bertindak sebagai hakim
perdamaian desa ini adalah kepala desa atau kepala rakyat, yang
juga merupakan tokoh/kepala adat dan agama. Seorang kepala desa
tidak hanya bertugas mengurusi soal-soal pemerintahan, tetapi juga
bertugas untuk menyelesaiakan permasalahan yang timbul
dimasyarakat (hukum) adatnya. Dengan kata lain, kedudukan dan
tugas kepada desa juga menjalankan urusan sebagai hakim
perdamaian desa (dorpjustitle).1
Dalam hubungan dengan tugas kepala desa sebagai hakim
perdamaian soepomo menyatakan: kepala rakyat bertugas
memelihara hidup didalam proses persengketaan, menjaga supaya
hukum itu dapat berjalan dengan selayaknnya. Aktivitet kepala
sehari-hari meliputi seluruh lapangan masyarakat bukan saja ia
dengan para pembantunya menyelenggarakan segala hal yang
langsung mengenai tata usaha badan prsekutuan, bukan saja ia
memelihara keperluan-keperluan rumah tangga persekutuanseperti
urusan jalan-jalan desa, gawe desa, pengairan, limbung desa,
urusan tanah yang dikuasai oleh hak pertuaanan desa, dan
sebagainya. Melainkan kepala rakyat bercampur tangan pula dalam
menyelesaikan dalam soal-soal perkawinan, soal warisan, soal
pemeliharan anak yatim, dan sebagainya. Dengan pendek kata,
tidak ada satu lapangan pergaulan hidup didalam badan
persekutuan yang tertutup bagi kepala rakyat untuk ikut campur
bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian,
keseimbangan lahir dan batin, untuk menegakkan hukum.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa dalam masyarakat adat
penanganan sengketa adat juga menjadi wewenang kepala desa
yang merupakan penguasa adat. Apabila pada waktu itu, landraad
tidak memiliki wewenang menyelesaikan delik adat. Penegakan
1 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,
(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 218
hukum yang dilakukan kepala desa tidak hanya terbatas pada
perkara perdata, tetapi juga meliputi perkara pidana. Sebagai
penguasa adat, kepala desa mempunyai wibawa dan kekuasaan
untuk menetapkan keputusan ada, baik dalam ramgka mencegah
pelanggaran hukum adat maupunpemulihan hukum adat akibat
pelanggaran hukum adat.
Bagi masyarakat indonesia,konsep peradilan ternyata
bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuk hukum kolonial. Jauh
sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain yang menawarkan sistem
hukum disemua komunitas masyarakat diwilayah nusantara telah
berlangsung proses menyelesaikan sengketa berdasarkan
mekanisme yang beragam yang bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan sosial melalui pemberian keadilan kepda para pihak.
Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat
atau lokal, yang dari segi bentuknya sangat ragam. Adat yang
berada dibawah kewenangan lembaga yang khusus, ada pula
disebagian tempat lainnya diselenggarakan oleh lembaga yang
tidak secara khusus tidak menangani sengketa.
Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang
lama. Maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya masih
bisa dilacak. Dibeberapa tempat malah bentuk nyatanya masih bisa
diselesaikan dan terus dipertahankan hingga sekarang. Ternyata,
upaya intervensi dan penundukan sistem peradilan adat tidak
terlalu berhasil meminggirkan praktik ini dari keseharian
masyarakat.kenyataan ini membuktikan, betapa kemampuan
bertahan dari sitstem ini sungguh sangat lluar biasa. Luar biasa
karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistematik.
Sistemati karena ruangannya tidak hanya berada aras kebijakan,
tetapi sekaligus juga pada aras yang lebih praktis melalui tindakan
nyata dilapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif,
dan kepelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya.2 Dibawah

2 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 220
tekanan seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktkan
eksistensinya.
Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas
masyarakat belum memiliki interaksi dengan budaya luar,
kenyataan tersebut tidak mengurangi nilai dan kemampuan
survial-nya. Pilihan masyarakat terhadap sistem nilai yang
dimilikinya mungkin menjadi kunci atas tetap eksistensinya sistem
ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan,
pengaruhnya bisa dieleminasi, sepanjang masyarakat sebagai
pemangku sistem tersebut secara sadar bersedia mmenjadikan
sebagai pilihan yang utama. Faktor lain yaang menyebabkan tetap
eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat adalah sifat
fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apapun oleh
kelompok-kelompokdominan dari luar komunitas, fungsionalitasnya
tidak berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan
ketentraman bagi warganya sehingga membuatnya sangat layak
untuk dipercaya dan dipegang teguh oleh komunitas pemangkunya.
Penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh kepala desa selaku
pemimpin desa dan juga selaku hakim perdamaian desa mirip
dengan mediator di dalam assensus model yang diperkenalkan
oleh kaum abolisionis yang menghendaki komunikasi yang lebih
fleksibel sehingga sengketa antara pelaku dan korban
(perseorangan atau kelompok masyarakat) akan lebih mudah
selesaikan. Apa yang dilakukan oleh kepala desaselaku hukum
perdamaian desa didalam menangani konflik yang terjadi di dalam
masyarakatnya, sedikit banyak menghindari proses peradilan formal
dan menggantinya dengan sistem kelembagaan yang berorientasi
pada masyarakat.
Hampir diseluruh kepulauan indonesia didapati peradilan
perdamaian desa. Hanya di Bengkalis rupa-rupanya tidak ada
institusi tersebut, sedangkan di Tapanuli, Minangkabau, Sumatra
Selatan, dan Kalimantan Tenggara pengadilan perdamaian desa
subur benar hidupnya. Akan tetapi di jawa, kecuali di Yogyakarta,
institusi ini hampir lenyap karena berpuluh-puluh tahun tidak diakui
oleh pemerintahan Hindia Belanda. Adapundi Yogyakarta pengadilan
perdamaian desa kelihatan subur setelah diadakan reorganisasi
sistem tanah di daerah tesebut pada tahun 1912.
Di dalam praktik, hakim perdamaian desa diberbagai
Nusantara biasa memeriksa delikdelik adat yang tidak bersifat delik
menurut versi KUH pidana, yang tidak dituntut oleh pegawai-
pegawai pemerintah karena bukan strafbaar feit menurut versi KH
Pidana. Selain itu ada perbuatan-perbuatan yang melanggar
kesusilaan yang pidananya dari KUH pidana dianggap tidak
memuaskan rasa keadilan rakyat sehingga masih dibutuhkan upaya-
upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat
yang terganggu.
Perdamaian didalam masyarakat Adat diantaranya sebagai
berkut:
1. Perdamian Dalam Masyarakat Aceh
Masyarakat aceh telah menjadikan islam sebagai pedoman
hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, masyarakat aceh amat tunduk pada
ajaran islam dan mereka taat serta memerhatikan fatwa ulama
karena ulamalah yang menjadi ahli warispara Nabi. 3 Penghayatan
terhadap ajaran agama islam dalam jangka panjang telah
melahirkanbudaya aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat
itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktikkan,
dikembangkan, dan dilestarikan lalu disimpulkan menjadi adat bak
po teu meurehom, hukom bak syah kuala, qanuun bak putro phang,
reusam bbak laksamana, yang artinya hukum adat ditangan
pemerintah dan hukum syariat ditangan ulama. Kata-kata ini
merupakan percerminan dari perwujudan syariat islam dalam
praktik kehidupan sehari-hari bagi masyarakat aceh. Dengan
Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan provinsi Daerah Istimewa Aceh, bidang adat

3 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 222
merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki provinsi daerah
istimewa aceh.
Penyelesaian sengketa melalui damai yang disebut dengan
peradilan hukum adat/peradilan adat, tidak terlepas dari budaya
masyarakat aceh. Jauh sebelum masyarakat aceh mengenal hukum
Indonesia, sudah berkembang model-model penyelesaian sengketa secara
damai. Diantaranya model peudame, yang menyelesaikan persoalan adat,
tidak hanya konflik, tetapi juga urusan kehidupan sehari-hari.
Pada masa pemerintah kerajaan aceh terdapat derajat pengadilan
(mahkamah) yang bertugas dan mengadili segala macam perkara, yaitu:4
a. Hukum Peujroh, yaitu pengadilan damai ditiap-tiap kampong
b. Mahkamah Mukim, yaitu pengadilan ditingkat rendah;
c. Mahkamah Uleebalang, yaitu pengadilan negeri; dan
d. Mahkamah Panglima Sagoe, yaitu pengadilan tinggi.
Dewasa ini dengan ketentuan dalam pasal 98 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang nomor 11 Tahun 2006, lembaga adat tersebut berfungsi sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
aceh dan pemerintahan kota/kabupaten dibidang keamanan,
ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat serta untuk
menyelesaiakn masalah sosial kemasyarakatan secara adat.
Dalam menajalankan fungsinya sebagaimana tersebut diatas, lembaga
adat berwenang:
1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban
masyarakat;
2. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan pemabngunan;
3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
4. Menjaga eksistens nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak
bertentangan dengan syariat islam;
5. Menerapkan ketentuan adat;
6. Menyelesaiakan masalah sosial kemasyarakatan;
7. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
8. Menegakkan hukum adat.
Masing-masing lembaga adat tersebut sesuai dengan tingkatannya
menyelenggarakan tugas dan fungsinya sebagai berikut:

4 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 224
a. Majelis Adat Aceh (MAA)
Merupakan sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di aceh
yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong
b. Imeum Mukim
Bertindak sebagai kepala pemerintahan Mukim, yang merupakan
gabungan/federasi dari beberapa gampong yang berkedudukan
langsung dibawah camat.
c. Imeum chik atau imeum masjid
Adalah figur yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di
mukim berkaitan dengan agama islam dan pelaksanaan syariat
islam pada tingkat mukim.
d. Keuchik atau kepala desa
Merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong (desa)
yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong,
melestarikan adat istiadat dan hukum adat; serta menjaga
keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat.
e. Tuha peut gampong
Merupakan unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai
badan permusyawaratan gampong.
f. Tuha lapan
Merupakan lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong yang
berfungsi membantu imeum mukim dan keuchik.
g. Imeum meunasah/teungku gampong/imeum masjid gampong
Adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat
digampong yang berkenaan dengan agama islam, pelaksanaan dan
penegakkan syariat islam.
h. Keujreun blang
Bertindak sebagai ketua adat yang memimpin dan mengatur
kegiatan dibidang usaha persawahan.
i. Panglima laot
Bertindak sebagai ketua adat yang memimpin dan mengatur adat
istiadat dibidang pesisir dan kelautan
j. Pawang glee atau pawang uteun
Bertindak sebagai ketua adat yang memimpin dan mengatur adat
istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian
lingkungan hutan
k. Peutua seuneubuk
Bertindak sebagai ketua adat yang memimpin dan mengatur
ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk
perladangan atau perkebunan.
l. Haria peukan
Bertindak sebagai pejabat adat yang mengetur ketentuan adat
tentang tata pasar, ketertiban, keamanan dan kebersihan pasar
serta pelaksanaan tugas-tugas perbantuan
m. Syahbanda
Bertindak sebagai pejabat adat yang memimpin dan mengatur
ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu; lalu lintas keluar
masuk kapal/perahu dilaut, danau, dan sungai yang tidak dikelola
pleh pemerintah.
2. Lemabaga Kerappatan Adat Nagari (KAN) Sebagai
Lembaga Peradilan Perdamaian Adat Di Sumatera Barat
a) Kabupaten Pesisir Selatan
Pertama-tama diusahakan penyelesaian melalui mamak
dari para pihak yang bersengketa, yang apabila tidak dapat
diselesaiakan, diteruskan kepada penghulu para pihak. Jika
sengketa masih tetap tidak terselesaiakan, perkara
diteruskan ke balai adat, lalu ke karapan nagari, dan
akhirnya ke camat.5
b) Kabupaten Tanah Datar
Disini pihak yang mempunyai kekuasaan menyelesaikan
sengketa mulai dari mamak rumah, mamak persukuan, dan
akhirnya pemerintah nagari atau karapatan nagari.
c) Kabupaten Padang/Periaman
Kecenderungan di daerah ini sengketa dapat diselesaikan
oleh mamak ayah dan penghulu
d) Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung
Mamak-mamak merupakan instansi pertama, yang
dilanjutkan ke penghulu dan akhirnya ke pengadilan negeri.
e) Kabupaten Agam
Pada instansi pertama, maka mamak yang berusaha
menyelesaikan yang apabila tidak berhasil, akan ditangani
oleh penghulu. Dari penghulu prosesnya ke kerapatan
nagari dan kemudian ke camat
f) Kabupaten Kasaman
Prosesnya dimulai pada mamak rumah dilanjutkan kepada
mamak gadang dalam suku, lalu ke penghulu pucuk dan
kerapatan adat nagari.

5 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 228-229
g) Kabupaten lima puluh kota
Mula-mula diusahakan oleh mamak rumah untuk
menyelesaikan sengketa, yang apabila tidak berhasil akan
diteruskan kepada penghulu kaum, prosesnya leboh lanjut
ke penghulu suku, kemudian sidiuk, dan akhirnya ke
kerapatan adat nagari.
h) Kabupaten Solok
Prosesnya dimulai oleh mamak, yang dilanjutkan ke
penghulu, lalu ke kerapatan adat nagari, apabila ke
kerapatan nagari tidak berhasil menyelesaikannya, proses
dilanjutkan ke camat, dan akhirnya kepengadilan negeri.
3. Persidangan Adat Di Lebong Utara, Kabupaten Rejang
Lebong, Provinsi Bengkulu
Kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat ini adalah
pelanggaran atas adat kampung serta hal-hal lain yang telah
diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai
dengan yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh
kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh dan bukti-
bukti).6
Selanjutnya, kepala desa meminta diselenggrarakannya
persidangan adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti, dan
saksi-saksi. Persidangan berlangsung dibawah pimpinan ketua
kutai, dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman,
ketua kutai ini dibantu oleh ketua syara dan ketua adat.
4. Perdamaian Desa Adat Di Bali Dan Sulawesi Selatan
Di bali misalnya terdapat desa adat, yang kekuasaannya
dijelmakan dalam sangkepan (rapat) desa adat, yaitu forum yang
membahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi
desa seacara musyawarah. Terhadap sengketa-sengketa adat
yang bersifat nonkriminal, penyelesaiannya dalam usaha
mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu tidak
melalui proses peradilan sehingga bukan pdana yang dikenakan,
melainkan diselesaikan oleh sangkepan (rapat) desa dan ada
kemungkina untuk dijatuhkan sanksi adat kepada pelakunya.

6 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 230
Demikian pulasengketa adat yang bersifat kriminal oleh
masyarakat pnyelesaiannya diserahkan melalui sangkepan desa
yang dipimpin oleh kepala desa adat sehingga tidak ditempuh
proses peradilan formal. Namun, sengketa-sengketa adat yang
bersifat kriminal juga diselesaikan melalui proses peradilan
formal.7
Adapun pada masyarakat pedesaan di sulawesi selatan, tidak
hanya seorang kepala masyarakat hukum atau kepala desa yang
perperan sebagai hakim (yudikator), tetapi ia dapat pula
bertindak sebagai penengah (Mediator) atau Wasit (Arbiter).
Dalam perkembangannya, terdapat pula le,baga-lembaga lain,
misalnya, rapat koordinasi suatu instansi pemerintah atau
lembaga-lembaga pada pemerintahan keluarahan/desa, seperti
lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), ketua kelompok
tani, perorangan, keluarga, teman sejawat atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut diatas dengan kepala desa sebagai
penengah atau wasit. Tempat penyelesaiannya tidak tentu,
mungkin dibalai desa, di kantor LKMD, di ruang sidang dikantor
pemerintah, di salah satu rumah pribadi pihak yang bersengketa,
di rumah pihak ketiga, atau ditempat lain yang disepakati pihak-
pihak yang bersengketa. Cara Penyelesaian sengketanya tidak
seperti beracara dipengadilan Negara, akan tetapi akan banyak
ditempuh melalui perundingan, musyawarah, da mufakat antara
pihak-pihak yang bersengketa sendiri ataupun melalui mediator
atau arbiter. Hukum yang djadikan pedoman dalam
menyelesaikan sengketa pada umumnya hukum yang disepakati
oleh para pihak yang bersengketa, yaitu hukum adat, setempat,
hukum antaradat, hukum adat campuran, hukum agama, atau
campuran hukum adat dan hukum agama (islam).

7 Rachmad Usman, S.H., M.H., Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,


(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal 244-225

You might also like