You are on page 1of 28

LAPORAN ANALISA MUTU PANGAN

DAN HASIL PERTANIAN

PROTEIN

Disusun oleh :

Eka Frida Hardiyanti 121710101101

THP C

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2013
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein merupakan polimer yang tersusun dari asam aminodan juga kadang-kadang
mengadakan konjugasi dengan senyawa lain seperti gula atau lipida. Protein merupakan
makro nutrien yang berperan lebih banyak untuk membentuk biomolekul. Protein
tersusun atas unsur seperti C, H, N, O, P, S, Fe, dan Cu. Dari analisa unsur pada protein
rata-rata menunjukkan bahwa kandungan unsur N 16 %.
Pada analisis kadar protein pada suatu bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara
atau metode analisis, antara lain cara Kjeldahl, Biuret atau Folin-Ciacalteu (Lowry). Pada
metode Kjeldahl, bahan atau protein didestruksi dengan oksidator kuat untuk
membebaskan nitrogen dari senyawa yang lain atau unsur lain, kemudian nitrogen diukur
jumlahnya dengan cara titrasi. Pada prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu 2+
menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan dan sistein yang terdapat dalam protein bahan. Ion
Cu+ bersama asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat membentuk warna biru
sehingga dapat menyerap cahaya spektrofotometer.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui cara analisis kadar protein metode Lowry pada bahan pangan
dan hasil pertanian.
Untuk menetapkan kadar protein dengan metode Lowry.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein
Protein merupakan polimer dari asam amino dan merupakan sebagian besar dari
tubuh manusia dan hewan tingkat tinggi. Sebagian protein merupakan penyusun tubuh
(daging, kulit, rambut, dan lain-lain), sebagian mempunyai fungsi katalis (enzim), yang
menyebabkan reaksi-reaksi tertentu dapat berlangsung baik pada kondisi tubuh. Protein
disusun oleh asam amino dengan melalui ikatan amida yang disebut ikatan peptida
(Respati, 1980:128)
Protein memiliki makromolekul (BM > 40.000) dan termasuk juga kelompok
makronutrien dengan Polipeptida rantaipanjang dengan salah satu ujungnya berupa asam
karboksilat dan ujung lainnya gugusamina. Protein dapat diklasifikasikan berdasarkan
fungsi biologinya, yaitu sebagai enzim, protein transport, protein nutrient dan penyimpan,
protein kontraktil atau motil, protein structural, protein pertahanan, dan protein pengatur.
Protein dapat juga dibagi menjadi dua golongan utama berdasarkan bentuk dan sifat-sifat
fisiknya, yaitu protein globular dan protein serabut (Lehninger, 1982). Dalam protein
globuler, rantai-rantai samping hidrofil dan polar berada di bagian luar dan rantai samping
hidrofob dan nonpolar berada di bagian dalam.
Keistimewaan dari protein adalah strukturnya yang mengandung N (15,30-18%), C
(52,40%), H (6,90-7,30%), O (21-23,50%), S (0,8-2%), disamping C, H, O (seperti juga
karbohidrat dan lemak), dan S kadang-kadang P, Fe dan Cu (sebagai senyawa
kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu cara terpenting yang
cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan
penentuan kandungan N yang ada dalam bahan makanan atau bahan lain
(Sudarmaji, dkk. 1989).

Ada protein yang larut dalam air, ada pula yang tidak larut dalam air, tetapi semua
protein tidak larut dalam pelarut lemak seperti misalnya etil eter. Daya larut protein akan
berkurang jika ditambahkan garam, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan.
Apabila protein dipanaskan atau ditambahkan alkohol, maka protein akan menggumpal.
Hal ini disebabkan alkohol menarik mantel air yang melingkupi molekul-molekul protein.
Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein,
menyebabkan protein mempunyai banyak muatan dan bersifat amfoter (dapat bereaksi
dengan asam maupun basa). Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi
dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan
elektrolisis, molekul protein akan bergerak kearah katoda. Dan sebaliknya, dalam larutan
basa (pH tinggi) molekul protein akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif,
sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda (Winarno. F.G, 1992).
Berdasarkan komposisi kimianya, protein dibagi atas:
1. Simple Protein: Merupakan protein yang hanya mengandung 1-alfa-asam amino atau
derivatnya. Beberapa contoh Simple Protein antara lain: albumin, globulin, glutein,
protamin, albuminoid, dan histon.
2. Conjugated Protein: Merupakan protein yang bergabung dengan zat yang bukan
protein. Zat yang bukan protein ini disebut gugus prostetik. Beberapa contoh
Conjugated Protein antara lain: nukleoprotein, glikoprotein, fosfoprotein, lipoprotein,
dan metalloprotein. Sifat-sifat struktural protein dianggap berada dalam 4 buah
turunanan yaitu :
a. Struktur primer : rangkaian asam amino dan lokasi setiap ikatan disulfida dikode
dalam gen
b. Struktur sekunder : pelipatan rantai polipeptida menjadimultiplikasi motif terikat
hidrogen seperti struktur -heliks dan -pleated sheet. Kombinasi motif-motif ini
dapat membentuk motif supersekunder.
c. Struktur tersier : hubungan anta-domain struktural sekunder dan antar-residu yang
letaknya terpisah jauh dalam pengertian struktur primer.
d. Struktur kwartener : hanya terdapat dalam protein oligomerik ( protein dengan dua
atau tiga rantai polipeptida), menjelaskan titik-titik kontak dan hubungan lainnya
antara polipeptida atau subunit inti.

2.2 Bahan Baku


2.2.1 Telur Asin
Telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang memiliki kandungan gizi
lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani disamping
daging, ikan dan susu. Secara umum terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu kulit telur
atau cangkang (11 % dari bobot tubuh), putih telur (57 % dari bobot tubuh) dan kuning
telur (32 % dari bobot tubuh) (Suprapti, 2002).
Telur asin merupakan produk pengawetan bentuk olahan. Sebab rasa telur telah
menjadi asin dan dalam bentuk matang. Keuntungan pengasinan telur ini adalah
mempunyai usia simpan lebih dari 1 bulan dan gizinya tetap terjamin. Dari segi bisnis,
telur asin dapat menaikkan nilai jual. Pembuatannya cukup mudah dalam skala kecil untuk
kebutuhan keluarga atau untuk usaha yang mendatangkan keuntungan. Untuk tujuan
komersial sampai saat ini masih menggunakan telur bebek sebagai bahannya. Telur asin
menjadi lebih awet sebab garam selain memberi rasa asin berfungsi sebagai pengawet.
Garam yang merasuk kedalam telur berfungsi sebagai antiseptik dan pengendali
mikroorganisme penyebab pembusukan (Yudhie, 2010).
Pengasinan telur umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu perendaman dalam
larutan garam dan pemeraman oleh adonan campuran garam dengan tanah liat, atau abu
gosok atau bubuk bata merah Prinsip kedua cara tersebut adalah dehidrasi osmosis, yaitu
proses pengurangan air dari bahan dengan cara membenamkan bahan dalam suatu
larutan ber- konsentrasi tinggi, larutan tersebut mempunyai tekanan osmosis tinggi.
Dehidrasi osmosis (osmotic dehydration) merupakan proses perpindahan massa secara
simultan (countercurrent flows) antara keluarnya air dari bahan dan zat terlarut berpindah
dari larutan ke dalam bahan. Perpindahan massa osmosis dinyatakan sebagai kehilangan
air (WL,water loss) dan penambahan padatan, SG (solid gain). Aplikasi dehidrasi osmosis
dalam proses pengasinan, terlihat dengan keluarnya air dari dalam telur bersamaan dengan
masuknya larutan garam ke dalam telur. (Kastaman dkk, 2005)
2.2.2 BSA
Serum albumin, sering disebut albumin adalah protein dengan jumlah terbanyak di
dalam tubuh. Albumin sangat penting untuk memelihara tekanan osmosisi untuk distribusi
fluida tubuh antara intravascular compartment dan jaringan tubuh. Albumin juga berfungsi
sebagai pengusung plasma dengan secara tidak langsung mengikat beberapa hormon
steroid hydrophobic dan protein pengusung bagi hemin dan asam lemak dalam
sirkulasinya. BSA, fraksi V dari serum albumin berguna untuk meluruhkan beberapa
substansi dari sirkulasi darah melalui jaringan hati, antara lain bilirubin, tiroksin,
taurilithocholic acid, chenodeoxycholic acid, digitoksin, dan juga heme peptida dari
cytochrome C 60% dari protein di dalam plasma darah, jumlah serum yang melebihi batas
normal dapat membahayakan manusia. Prealbumin ditengarai sebagai pengusung hormon
tiroksin dari dalam darah menuju ke otak (Jeremy, 2010).

2.2 Macam-Macam Penyebab Kerusakan Protein


Protein merupakan molekul yang sangat besar, sehingga mudah sekali mengalami
perubahan bentuk fisik maupun aktivitas biologis. Banyak faktor yang menyebabkan
perubahan sifat alamiah protein misalnya : panas, asam, basa, pelarut organik, pH, garam,
logam berat, maupun sinar radiasi radioaktif. Perubahan sifat fisik yang mudah diamati
adalah terjadinya penjendalan (menjadi tidak larut) atau pemadatan (Sudarmadji. S, 1989).
Macam-macam kerusakan protein yaitu:
a. Denaturasi Protein
Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh terkacaunya
ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul protein. Akibat
dari suatu denaturasi adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu
protein(Fessenden, 1989).
Salah satu penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur, dan juga
perubahan pH. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi adalah detergent,
radiasi zat pengoksidasi atau pereduksi, dan perubahan jenis pelarut. Denaturasi dapat
bersifat reversibel, jika suatu protein hanya dikenai kondisi denaturasi yang lembut
seperti perubahan pH. Jika protein dikembangkan kelingkungan alamnya, hal ini untuk
memperoleh kembali struktur lebih tingginya yang alamiah dalam suatu proses yang
disebut denaturasi. Denaturasi umumnya sangat lambat atau tidak terjadi sama
sekali(Fessenden, 1989).
Denaturasi protein juga dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hydrogen,
ikatan garam atau bila susuna ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein
berubah. Dengan perkataan lain denaturasi adalah terjadi kerusakan struktur primer,
sekunder, tersier dan struktur kuarterner, tetapi struktur primer (ikatan peptida) masih
utuh. Struktur protein dapat dilihat sebagai hirarki, yaitu berupa struktur primer (tingkat
I), sekunder (tingklat II), tersier (tingkat III), dan kuarterner (tingkat IV).
b. Koagulasi Protein
Koagulasi merupakan suatu proses penggumpalan partikel koloid karena
penambahan bahan kimia sehingga partikel-partikel tersebut bersifat netral dan
membentuk endapan karena adanya gravitasi (Sugiono, 2007). Faktor yang
menyebabkan koagulasi, diantaranya : Perubahan suhu, pengadukan, penambahan ion
dengan muatan besar, dan pencampuran koloid positif dan koloid negatif.
Mekanisme koagulasi dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu (Sugiono, 2007):
- Secara fisik
Pemanasan, Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan tumbukan antar
partikel-partikel sol dengan molekul-molekul air bertambah banyak. Hal ini
melepaskan elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan koloid. Akibatnya
partikel tidak bermuatan.
Pengadukan.
Pendinginan.
- Secara kimia.
Menggunakan Prinsip Elektroforesis. Proses elektroforesis adalah pergerakan
partikel-partikel koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang
berlawanan.
Penambahan koloid, dapat terjadi sebagai berikut : Koloid yang bermuatan
negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan
positif akan menarik ion negatif (anion).
Penambahan Elektrolit. Jika suatu elektrolit ditambahkan pada sistem koloid,
maka partikel koloid yang bermuatan negatif akan mengadsorpsi koloid
dengan muatan positif (kation) dari elektrolit.

2.3 Macam-Macam Analisa Protein


Penetapan protein secara akurat merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah protein membentuk grup yang sangat
beragam dan luar biasa kompleksnya baik dalam komposisi maupun dalam sifat sehingga
sulit untuk memisahkan, memurnikan atau mengekstrak, sifat amfoterik dari protein,
kemampuan mengabsorbsi yang tinggi, dan sensitifitas terhadap elektrolit, panas, pH, dan
pelarut. Oleh karena itu analisa protein dalam makanan pada umumnya lebih kepada kadar
total protein dan bukan pada kadar protein tertentu (Anwar & Sulaeman 1992).

Ada beberapa macam metode analisa kadar protein yaitu :


a. Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini
terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode
biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion
Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-
phosphotungstat, menghasilkan heteropoly-molybdenum blue akibat reaksi oksidasi
gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru
intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama
bergantung pada kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode
Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan
sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01
mg/mL. Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya
(Lowry dkk 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry
ini, diantaranya buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine,
EDTA, Tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat,
guanin, xanthine, magnesium, dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat
diminimalkan dengan menghilangkan interferensi tersebut. Oleh karena itu dianjurkan
untuk menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan
oleh deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau
melakukan preparasi sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat
mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+
(reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam
protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E)
membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Reaksi yang terlibat
adalah kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam
suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi
reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat
(Phosphomolybdotungstat), menghasilkan heteropolymolybdenum blue akibat reaksi
oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan
warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru
terutama bergantung pada kandungan residu triptofan dan tirosin. Namun metode Lowry
lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Sudarmanto, 2008)
b. Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl merupakan metode penetapan kadar prtein kasar (crude protein).
Untuk menentukan kandungan protein dalam bahan pangan (analisis proksimat). Metode
ini didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total dalam contoh/sampel. Kandungan
protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap
nitrogen untuk contoh yang dianalisis.
Penentuan protein pada metode Kjeldahl didasarkan pada asumsi bahwa kandungan
nitrogen dalam protein sekitar 16% karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari
protein. Nitrogen yang dijumpai pada komponen non protein seperti asam amino bebas,
peptida berukuran kecil, asam nukleat, fosfolipid, gula amin, porfirin, beberapa vitamin,
alkaloid, asam urat, urea, ion amonium. Unsur nitrogen yang terukur pada analisis
protein metode Kjeldahl tidak hanya pada protein pada bahan, sebagian kecil dari
komponen-komponen non protein yang mengandung nitrogen. Untuk mengubah dari
kadar nitrogen ke dalam kadar protein digunakan angka faktor konversi 100/16 atau 6,25.
Sedangkan beberapa jenis bahan pangan faktor konversi yang digunakan berbeda.
Metode Kjeldahl dapat digunakan untuk analisis protein semua jenis bahan pangan.
Prosedur penetapan tidak membutuhkan biaya mahal dan hasilnya cukup akurat. Metode
resmi yang diakui AOAC (The Association of Official Analytical Chemists) international.
Kelemahan metode ini adalah metode ini mengukur bukan hanya nitrogen pada protein,
tetapi juga nitrogen dari non protein.
c. Metode Biuret
Metode ini merupakan analisis protein terlarut. Metode ini didasarkan pada prinsip
bahwa senyawa yang mengandung ikatan peptida (-CO-NH-) dapat membentuk
kompleks berwarna biru ungu dengan garam Cu dalam larutan alkali (dalam suasana
basa). Seluruh protein mengandung ikatan peptida. Oleh karena itu metode biuret
merupakan salah satu metode terbaik untuk menentukan kandungan larutan protein.
Metode ini sangat sederhana, cepat, dan murah. Namun dalam menentukan protein
secara kuantitatif dan memerlukan jumlah protein relatif besar kisaran 1-20 mg.
Prinsip penetapan protein metode ini, ikatan peptida dari protein akan bereaksi
dengan ion Cu2+ membentuk komplek berwarna ungu. Intensitas warna ungu berbanding
langsung dengan konsentrasi protein. Semakin meningkat intensitas warnanya
konsentrasi protein semakin besar. Intensitas warna ungu diukur absorbansnya dengan
spektofotometer pada = 540 nm). Nilai absorbans tidak tergantung pada jenis protein
karena seluruh protein mempunyai jumlah ikatan peptida yang sama per satuan berat.
Sedikit senyawa yang menganggu reaksi misalnya urea yang mengandung gugus CO-
NH- dan gula pereduksi sedikit akan bereaksi dengan ion Cu2+.
d. Metode Titrasi Formol
Metode ini digunakan untuk analisis protein pada susu. Pengerjaannya cepat dan
sederhana, tapi cenderung protein lebih rendah terutama pada protein susu. Prinsip
penetapan metode ini, formaldehida (metanal) ditambahkan ke dalam susu (yang sudah
dinetralkan). Formaldehida ini bereaksi dengan gugus amino (residu asam amino) seperti
lisin. Hal ini terjadi konversi gugus NH 2 menjadi gugus N=CH2 sehingga kehilangan
sifat asam dan meningkatkan keasaman protein.
Peningkatan keasaman protein diukur secara titrasi dengan sodium hidroksida
dengan fenolftalein sebagai indikator. Titik akhir titrasi dilihat dari pembentukan warna
pink. Peningkatan keasaman protein berkolerasi dengan konsentrasi protein. Konsentrasi
protein ditentukan dengan rumus.
%Protein = T x 0,17
T = ml NaOH yang diperlukan untuk menetralkan keasaman proteindari 100 ml susu.
e. Metode pengikatan zat warna (Dye Binding)
Pada metode ini penetapan protein terjadi secara tidak langsung. Zat warna yang
umumnya digunakan adalah Amido Black dan Orange G. Metode ini sesuai untuk
analisis contoh bentuk cair seperti susu.
Prinsip penetapan metode ini didasarkan pada kemampuan gugus polar protein yang
bermuatan ion berlawanan mengikat zat warna dan membentuk kompleks tidak larut.
Kompeks tidak larut dipisahkan dengan cara sentrifuse atau penyaringan intensitas warna
zat warna yang tidak terikat dengan protein diukur absorbansnya
dengan spektofotometer. Intensitas warna Amino Black diukur pada 615 nm dan Orange
G pada 485 nm. Semakin rendah intensitas warna dari supernatan, maka semakin banyak
zat warna yang terikat oleh protein, semakin tinggi pula kandungan protein dalam
contoh.
Penetapan konsentrasi protein dalam metode ini ditentukan berdasarkan kurva
standar yang menyatakan hubungan antara absorbans zat warna dengan kadar protein
(yang ditetapkan dengan metode Kjeldahl). Nilai y (absorbans) pada persamaan linier
yang diperoleh disubtitusi dengan nilai absorbans untuk contoh, sehingga diperoleh nilai
x (konsentrasi protein contoh).

2.4 Prinsip Analisa Protein dalam Praktikum


Pada saat praktikum, metode yang digunakan untuk analisa kadar protein adalah
metode Lowry.
Pada metode inireaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida dan reduksi asam
fosfomolibdat dan asam fosfotungstat oleh tirosin dan triptophan (residu protein) yang
terdapat dalam protein akan menghasilkan warna biru. Warna yang terbentuk terutama
dari hasil reduksi fosfomolibdat dan fosfotungstat. Pereaksi fenol, Folin, Lawry, Folin-
Ciacalieau merupakan pereaksi kompleks yang berisi fosfomolibdat dan fosfotungstat.
Sensitivitas metode ini 10-200 g protein. Metode ini lebih sensitif daripada metode
Biuret.
Senyawa fenolik juga dapat membentuk warna biru dengan metode Lowry sehingga
dapat mengganggu pengukuran. Gangguan ini dapat dihilangkan dengan cara
mengendapkan protein dengan TCA, sehingga supernatan mengandung senyawa fnolik
dihilangkn. Lalu protein yang mengendap dianalisis.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan Bahan


2.1.1 Alat
Pisau
Spatula
Neraca Analitik
Labu ukur 10 ml
Labu ukur 100 ml
Beaker glass
Pipet volume 10 ml
Pipet volume 1 ml
Ball pipet
Pipet tetes
Botol Sentrifus
Corong
Kuvet
Spektrofotometer
Sentrifugator
2.1.2 Bahan
Telur asin
BSA
Aluminium foil
Aquadest
Larutan Lowry
Larutan Folin
Kertas Saring

2.2 Skema Kerja


2.2.1 Persiapan Sampel

Sampel 15 gram

Masukkan ke dalam beaker glass.

Larutkan dengan air panas.

Sentrifuge 10 menit.

Disaring dalam labu takar 100 ml, lalu tera.

Sampel
2.2.2 Pembuatan Kurva Standar

BSA ( 0 ; 0,5 ; 1 ; 1,5 ; 2 ; 2,5 ; 3) ml.

Masukkan dalam labu ukur 10 ml.

+ 2 ml Mix Lowry.

Inkubasi selama 10 menit (suhu ruang).

+ 0,2 ml Larutan Folin.

+ Aquades.

Tera sampai tanda batas.

Kocok hingga homogen.

Inkubasi 60 menit (suhu ruang).

Absorbansi,
= 540 nm.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

2.4 Hasil Pengamatan

2.4.1 Telur Asin

Sampel Absorbansi Kadar Protein (%)


Ulangan 1 0,778 2,824
Ulangan 2 0,735 5,25
Ulangan 3 0,775 3,746
Rata-Rata 3,94
SD 1,224
RSD 0,310

2.4.2 Kuning Telur Asin

Sampel absorbansi % protein


Ulangan 1 0,277 1,991
Ulangan 2 0,252 1,537
Ulangan 3 0,237 1,259
Rata-rata 1,596
SD 0,369
RSD 23,12495

2.4.3 Kuning Telur

Nilai
Ulangan Kadar protein (%)
absorbansi
1 0,276 1,5069

2 0,252 1,5546

3 0,237 1,2777

Rata-rata 1,4464
SD 0,1478
RSD 10,2184

2.4.4 Putih Telur

Ulanga
Nilai absorbansi Kadar protein (%)
n
1 0,883 2,529

2 0,862 2,467

3 0,775 2,185
Rata-rata 2,393
SD 0,1824
RSD 7,62

2.4.5 Kurva Standar

Standart Lowry
1.2
1 f(x) = 0.07x + 0.17
0.8 R = 0.93
Absorbansi 0.6
0.4
0.2
0
0 2 4 6 8 10 12 14
jumlah BSA (mg)

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2 Tabel Perbandingan


Chart Title
6
5
4
3
2
1
Axis Title
0

5.2 Analisa Data


Pada praktikum yang dilakukan dengan bahan telur asin ini hasil pembacaan kurva
standar analisis kadar protein menunjukkan konsentrasi protein berbanding lurus dengan
pembacaan nilai absorbansi pada spektrofotometer. Semakin tinggi konsentrasi protein ,
maka semakin tinggi pembacaan nilai absorbansi. Pada pembuatan kurva standart
diperoleh nilai pembacaan absorbansi yang cukup presisi yaitu dengan nilai R 2 = 0,926
pada persamaan y = 0,072x + 0,168.
Untuk hasil pembacaan absorbansi pada sampel, didapatkan nilai absorbansi 0,778
untuk sampel ulangan 1, untuk ulangan 2 diperoleh nilai absorbansi 0,735 dan untuk
sampel ulangan 3 diperoleh nilai absorbansi 0,775. Dari hasil pembacaan absorbansi
tersebut, presisi pengulangan data masih cukup baik. Hal tersebut juga dapat dilihat dari
hasil perhitungan SD yaitu sebesar 1,224, yang berarti memiliki nilai presisi 99 % karena
nilai SD yang didapatkan masih mendekati angka 1.
Pada analisis kadar protein yang dilakukan menggunakan metode lowry, diperoleh
rata-rata kadar protein sebesar 3.94 % sesuai dengan yang didapatkan dalam literatur.
Menurut (Despal, dkk, 2007) kandungan protei pada telur segar yaitu 12,8%, Kadar
protein rata-rata telur asin kurang dari 12,8%. Hal ini menandakan bahwa praktikum yang
dilakukan cukup baik karena data yang diperoleh dari hasil praktikum, rata-rata
kandungan protein dalam telur asin tidak mencapai 12,8%.
Pada telur segar kadar protein sebesar 12,8%, namun kadar protein pada telur asin
akan semakin berkurang disebabkan protein dalam telur asin akan terkoagulasi karena
adanya garam. Hal ini disebabkan karena ikatan peptida pada protein bereaksi dengan
NaCl.
Pada praktikum dengan bahan kuning telur asin, setelah dilakukan pengamatan
dengan menggunakan spektrofotometer dari tiga sampel yang sama menghasilkan nilai
absorbansi yang berbeda. Dari analisis sampel didapat nilai absorban ulangan 1, ulangan 2
dan ulangan 3 masing-masing 0,276, 0,252, dan 0,237. Dari nilai tersebut didapatkan
standar deviasi(SD) sebesar 0,2769 dan RSD sebesar 22,8767. Perbedaan tersebut terjadi
karena adanya random error yang mengakibatkan data memiliki ketelitian yang jelek.
Ketelitian merupakan derajat seberapa jauh pengulangan analisis memberikan data yang
sama. Jika hasil analisis dari beberapa pengulangan memberikan hasil yang mirip maka
analisis memiliki presisi/ketelitian yang baik. Kesalahan acak tersebut biasanya terjadi
pada saat pengukuran atau pembacaan meniskus atau alat ukur lain kurang teliti sehingga
menyebabkan terjadinya kesalahan acak
Nilai absorbansi paling tinggi terdapat pada pengulangan pertama yaitu sebesar 0,276,
kemudian diikuti pada pengulangan kedua yaiti 0,252 dan terakhir pada pengulangan
ketiga yaitu 0,237. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengulangan pertama kandungan
protein larutan tersebut paling tinggi. Semakin tinggi nilai absorbansi, maka semakin pekat
larutan warna biru yang diamati oleh spektrofotometer. Sehingga Semakin pekat warna
biru, semakin tinggi pula kadar protein dalam bahan makanan tersebut.
Pada praktikum yang dilakukan dengan bahan kuning telur asin berdasarkan data
analisis diperoleh kadar protein sebesar 1,991% (U1); 1,537 (U2); 1,259 (U3) ( dalam 15
gram kuning telur asin). Hal ini dimungkinkan kandungan protein pada kuning telur asin
sangat tinggi. Kurva standar yang telah dihasilkan menghasilkan persamaan regresi linier
yaitu y = 0,072x + 0,168 sehingga didapatkan nilai R 2 sebesar 0,926. Hal ini menandakan
bahwa kurva standar yang telah dihitung memiliki hubungan yang linier, semakin linier
persamaan yang mendekati 1,00 maka semakin signifikan hubungan antara konsentrasi
dari larutan kuning telur yang telah dibuat dengan pembacaan absorbansi pada
spektrofotometri. Pada nilai RSD 7,798824 untuk absorbansinya, sedangkan pada %
protein 12,12495. Pada RSD perhitungan yang diperoleh kurang akuarat, hal ini
dimungkinkan karena kesalahan perhitungan pada saat praktikum.
Protein telur merupakan protein yang bermutu tinggi dan mudah dicerna. Dalam telur,
kadar protein pada putih telur sebanyak 10,9%, lebih sedikit jika dibandingkan pada
kuning telur, yaitu sebanyak 16,5%. Dari sebutir telur yang berbobot sekitar 50 gram,
kandungan total proteinnya adalah 6 gram (Sudaryani, 2003).
Dari hasil analisis yang telah dilakukan didapat nilai absorbansinya pada ulangan 1
(0,883), ulangan 2 (0,862), dan ulangan 3 (0,775). Dari 3 pengulangan tersebut
dimasukkan kedalam persamaan yang telah didapat pada pembuatan kurva standar
sehingga dapat diketahui rata-rata, nilai SD dan RSD. Rata-rata yang didapat yaitu 1,795,
nilai standar deviasinya (SD) yaitu 0,1368 dan nilai RSD yaitu 7,62%. Nilai RSD yang
didapat > 5, hal ini dapat diartikan bahwa data hasil analisis yang diperoleh memiliki
tingkat akurasi sedikit rendah yaitu tidak mencapai 95%.
Pada 3 pengulangan tersebut juga diperoleh kadar protein yaitu pada ulangan 1 (2,529
%), ulangan 2 (2,462 %), dan ulangan 3 (2,185 %). Dari data kadar protein tersebut, dapat
diperoleh nilai rata-rata perhitungan kadar protein sebesar 2,393 %, nilai SD sebesar
0,1824, serta nilai RSD sebesar 7,62%. Dapat disimpulkan bahwa dalam 15 gram putih
telur kandungan proteinnya sebesar 2,39 %.
Dari data hasil analisa rata-rata kadar protein pada putih telur diperoleh nilai sebesar
2,39 % dalam 15 gram sampel. Sedangkan pada literatur menjelaskan bahwa kadar protein
dari putih telur sebanyak 10,9 % dalam 50 gram sampel. Penyimpangan ini mungkin
disebabkan oleh makanan ternak yang kurang mengandung protein sehingga menyebabkan
kandungan protein dalam kuning telur berkurang. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
lama penyimpanan telur, diduga bahwa telur yang digunakan dalam analisis telah lama
disimpan sehingga terjadi perubahan kadar proteinnya. Faktor lain juga dapat disebabkan
karena pada saat penyaringan kandungan protein putih telur masih terdapat atau tertinggal
didalam saringannya.

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan praktikum dapat disimpulkan bahwa :
Protein merupakan polimer dari asam amino dan merupakan sebagian besar dari
tubuh manusia dan hewan tingkat tinggi.
Perbedaan jenis protein menyebabkan perbedaan struktur molekuler, kandungan
nutrisi dan sifat fisikokimia.
Pengukuran kadar protein bahan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Lowry.
Dalam penggunaan metode lowry, dilakukan pembuatan reagen lowri dan folin-
ciocalteu terlebih dahulu.
Prinsip kerja metode lowry adalah reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan
dan sistein yang terdapat dalam protein bahan.

Larutan BSA digunakan sebagai sampel umum yang biasa digunakan dalam
pembuatan kurva standar dalam pengujian protein.
Telur asin yang mengandung protein tinggi jika ditambahkan dengan larutan folin
akan berubah warna menjadi biru.
Kadar protein rata-rata telur asin kurang dari 12,8%.
Kadar protein suatu bahan dipengaruhi oleh jenis asam amino pada bahan tersebut.
Kadar protein dalam kuning telur lebih tinggi dibanding dengan putih telur.
Kadar protein dalam putih telur sebesar 16,5% dalam 50 gram sampel.

6.2 Saran
Sebaiknya praktikum dilakukan oleh semua mahasiswa agar lebih memahami konsep
tentang cara penentuan kadar protein menggunakan metode lowry.
Dalam melakukan praktikum , prosedur kerja harus dilakukan dengan baik dan teliti
agar menghasilkan data yang memiliki tingkat keakurasian dan presisi yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sulaeman dan Faizal Anwar, 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga.
Bogor : PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Despal dkk. 2007. Pengantar ilmu nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan. Bogor : Insttitut Pertanian Bogor.

Fessenden, R.J and Fessenden, J. S. 1989. Kimia Organik jilid II. Jakarta : Erlangga.
Kastaman, Roni; Susdaryanto dan Nopianto, Budi H. 2005. Kajian Proses Pengasinan Telur
Metode Reverse Osmosis Pada Berbagai Lama Perendaman. Jurnal Teknik Industri
Pertanian 19 (1) :30-39

Lehninger, Albert. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Respati, 1980. Pengantar Kimia Organik. Aksara Baru. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Sudarmaji, S, dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Penerbit
Liberty.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Jakarta : Penebar Swadaya

Sugiono. 2007. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Suprapti, L., 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin, Tepung Telur, dan Telur Beku. Yogyakarta :
Penerbit kanisius.

Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.

Yudhie. 2010. Telur. http://yudhiestar.blogspot.com/2010/01/telur.html. Diakses pada tanggal


21 Oktober 2013.

LAMPIRAN

a. Telur asin h.
b. Ulangan 1
c. y = 0,072x + 0,168 mg 4,236
= x 100 ml=28,24
g 15 g
d. 0,778 = 0,072x + 0,168
28,24
e. 0,61 = 0,072x = x 10=2,824
i. 100
mg
f. x = 8,472 0,5 ml j. Ulangan 2
k. y = 0,072x + 0,168
mg 1
= x 8,472=4,236
g. ml 0,5 l. 0,735 = 0,072x + 0,168

m. 0,567 = 0,072x
mg 37,466
= x 10=3,746
n. x = 7,875 ml y. 100

mg 1 z.
= x 7,875=7,875
o. ml 1
2,824+5,25+3,746
x =
aa. 3
p.
11,82
mg 7,875 ab. = 3 = 3,94
= x 100 ml=52,5
g 15 g

ac. SD= =
52,5
= x 10=5,25
q. 100


2 2 2
( 2,8243,94 ) + ( 5,253,94 ) + ( 3,7463,94 )
2
r. Ulangan 3
s. y = 0,072x + 0,168 ad. =

t. 0,775 = 0,072x + 0,168

u. 0,607 = 0,072x
1,245+1,716+ 0,037
2

v. x = 8,430
mg
1,5 ml ae. = 2,998
2

mg 1 1,499
= x 8,430=5,62 af. =
w. ml 1,5

ag. SD = 1,224.
x.
ah.
mg 5,62
= x 100 ml=37,466
g 15 g 1,224
x 100
ai. RSD = 3,94

aj. = 0,310 %

ak. mg / ml = x
al. Kuning telur asin
am. % kadar protein
mg / 0,5 ml
mg / g = mg/ ml = x 1,153=

2,306
mg / g =

%=
=15,370

an. Ulangan 1
y = % =
0,072x + 0,168
0,277 =
0,072x + 0,168
X = = 1,537

1,493
mg/ ml = x 1,493 ap. Ulangan3
y =
0,072x + 0,168
= 2,986 0,237 =
mg / g =
0,072x + 0,168
0,944 mg/8 ml = x
mg/ ml = x 0,944 =

=19,907

1,889
mg / g =
% =

= 1,991 =12,593

ao. Ulangan2 % =
y =
0,072x + 0,168
0,252 =
= 1,259
0,072x + 0,168
1,153mg/8 ml = x
Rata-rata = ar. =

as. = 0,36925
at.
au. RSD =

1,596 av. =
SD =

aq. = aw. = 23,12495


ax.
ay. Kuning telur asin matang
az. Ulangan 1
ba. y = 0,072x + 0,168
bb. 0,2765 = 0,072x + 0,168
bc. 0,2765-0,168 = 0,072x x
bd. x = 1,5069 mg/0,5 ml
be. Ulangan 2
bf. y = 0,072x + 0,168
bg. 0,252 = 0,072x + 0,168
bh. 0,252-0,168 = 0,072x
bi. x = 1,166 mg/0,5 ml
bj. Ulangan 3
bk. y = 0, 0,072x + 0,168
bl. 0,237 = 0,072x + 0,168
bm. 0,237-0,168 = 0,072x
bn. x = 0,9583 mg/0,5 ml
ul 1+ul2+ul 3
bo. Rata- rata = 3
1,5069+1,166+ 0,9583
bp. = 3

bq. = 1,2104

br. SD = (xix)
n1


2 2 2
(1,50691,2104) +(1,1661,2104) +(0,95831,2104)
bs. = 31

bt. = 0,08791+0,00197+ 0,06355


2

bu. = 0,076715
bv. = 0,2769
SD
x 100
bw. RSD = x
0,2769
x 100
bx. = 1,2104

by. = 22,8767%
bz. % kadar protein :
ca. y = 0,072x + 0,168
cb. 0,2765 = 0,072x + 0,168
cc. 0,2765-0,168 = 0,072x
cd. x = 1,5069 mg/0,5 ml
1
ce. = 0,5 x 1,5069 = 3,0138 mg/ml
3,0138 mg/ml x 100 ml
cf. = 15 g = mg/g

20,092 x 10
cg. = 100 = 1,5069 %

ch. Ulangan 2
ci. y = 0,072x + 0,168
cj. 0,252 = 0,072x + 0,168
ck. 0,252-0,168 = 0,072x
cl. x = 1,166 mg/0,5 ml
1
cm. = 0,5 x 1,166 = 2,332 mg/ml

2,332 mg/ml x 100 ml


cn. = 15 g = 15,546 mg/g

15,546 x 10
co. = 100 = 1,5546 %

cp.
cq. Ulangan 3
cr. y = 0, 0,072x + 0,168
cs. 0,237 = 0,072x + 0,168
ct. 0,237-0,168 = 0,072x
cu. x = 0,9583 mg/0,5 ml
1
cv. = 0,5 x 0,9583 = 1,9166 mg/ml

mg
1,9166 x 100 ml
cw. = ml = 12,777 mg/g
15 g
12,777 x 10
cx. = 100 = 1,2777 %

cy. Putih telur

cz. Ulangan 1

da. y = 0,4185x + 0,0887


db. 0,883 = 0,4185x + 0,0887
dc. 0,883-0,0887 = 0,4185 x
dd. x = 1,897 mg/0,5 ml

de. Ulangan 2

df. y = 0,4185x + 0,0887


dg. 0,862 = 0,4185x + 0,0887
dh. 0,862-0,0887 = 0,4185 x
di. x = 1,847 mg/0,5 ml
dj. Ulangan 3

dk. y = 0,4185x + 0,0887


dl. 0,775 = 0,4185x + 0,0887
dm. 0,775-0,0887 = 0,4185 x
dn. x = 1,639 mg/0,5 ml

% kadar protein :

do. Ulangan 1

dp. y = 0,4185x + 0,0887


dq. 0,883 = 0,4185x + 0,0887
dr. 0,883-0,0887 = 0,4185 x
ds. x = 1,897 mg/0,5 ml

dt. = x 1,897 = 3,794 mg/ml


mg
3,794 x100ml
ml
15 g
du. = = 25,293 mg/g
25,293x10
100
dv. = = 2,530 %
dw.

dx. Ulangan 2

dy. y = 0,4185x + 0,0887


dz. 0,862 = 0,4185x + 0,0887
ea. 0,862-0,0887 = 0,4185 x
eb. x = 1,847 mg/0,5 ml

ec. = x 1,847 = 3,694 mg/ml


mg
3,694 x100ml
ml
15 g
ed. = = 24,626
mg/g
24,626 x10
100
ee. = = 2,463 %

ef. Ulangan 3

eg. y = 0,4185x + 0,0887


eh. 0,775 = 0,4185x + 0,0887
ei. 0,775-0,0887 = 0,4185 x
ej. x = 1,639 mg/0,5 ml

ek. = x 1,639 = 3,278 mg/ml


mg
3,278 x100ml
ml
15 g
el. = = 18,616
mg/g
21,853x10
100
em. = = 2,186 %

2,530 2,463 2,186


3
en. Rata- rata =

eo. = 2,393

( xi x) 2
n 1
ep. SD =

eq. =

(2,393 2,530) 2 ( 2.393 2,463) 2 ( 2,393 2,186) 2


3 1

er. =

0,018769 0,0049 0,042849


2

0,033259
es. =
et. = 0,1824

eu. RSD =
0,1823
x100%
2,393
ev. =
ew. = 7,62 %

ex.
ey.

You might also like