You are on page 1of 5

INSOMNIA

1. Definisi

Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan dalam memulai tidur
atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur.
2. Klasifikasi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagitipe insomnia. Salah satu metode adalah
berdasarkan pada durasi gejala, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu insomnia dan akut. National
Institutes of Health (NIH) State of The Science 2005 menyatakan bahwa periode jangka
waktu yang berbeda telah digunakan untuk mendefinisikan insomnia kronis, mulai dari 30
hari hingga 6 bulan. Berbeda dengan insomnia akut/transien, insomnia transien selalunya
disebabkan lingkungan yang spesifik atau peristiwa sosial, seperti kerja shift, kematian orang
yang dicintai, perjalanan lewat udara, kebisingan dan mungkin lebih tepat ditangani dengan
menangani stres ini dan menangani insomnia secara langsung (dan sering sebagai
profilaksis). Di sisi lain, insomnia kronis mungkin lebih sering dikaitkan dengan gangguan
tidur intrinsik, insomnia primer atau kondisi medis dan psikiatris yang kronis dan mungkin
membutuhkan evaluasi lebih lanjut (termasuk penilaian kondisi komorbiditas) untuk
menentukan pengobatan yang tepat. Namun, perlu ditekankan bahwa hubungan antara durasi
tidur, etiologi, dan implikasi dari evaluasi belum juga diselidiki. Insomnia dapat
diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu subtipe primer dan sekunder. Istilah primer
menandakan bahwa insomnia yang tidak disebabkan oleh kondisi fisik atau mental yang
diketahui tetapi ditandai oleh satu kumpulan gejala yang konsisten, perjalanan penyakit yang
pasti dan respon umum terhadap pengobatan, meskipun etiologi insomnia primer belum
diklarifikasi, penelitian terbaru mengaitkan endokrin, neurologi, dan faktor-faktor perilaku
sebagai penyumbang terhadap pathogenesisnya. Diperkirakan bahwa diantara pasien yang
didiagnosis dengan insomnia, 25% sampai 30% menderita insomnia primer. Sebaliknya,
insomnia sekunder didefinisikan secara historis sebagai insomnia yang disebabkan oleh
penyakit medis dan psikiatris lainnya, penggunaan obat-obatan atau gangguan tidur primer
lainnya. Bagaimanapun, NIH State of The Science statement 2005, telah menyarankan
penggunaan istilah komorbid insomnia, daripada insomnia sekunder, yang berdasarkan pada
terbatasnya tingkat pemahaman mengenai hubungan kausal yang terjadi antara insomnia dan
gangguan penyerta. Insomnia primer dapat terjadi secara independen dalam konteks
gangguan lain.
3. Penyebab Insomnia
Orang yang sering terjaga dari tidurnya ternyata dapat disebabkan oleh banyak faktor,
walaupun mungkin satu faktor lebih dominan mempengauhi. Faktor tersebut antara lain:

1. Gangguan Emosional, Tekanan Batin maupun Depresi

Orang yang dalam kesehariannya banyk diliputi oleh tekanan dan ancaman akan sangat
berpotensi untuk insomnia. Hal ini dikarenakan peraaan batinnya yang tidak tenteram.
Orang tersebut akan selalu memikirkan berbagai kejadian yang telah menimpa dirinya.
Seolah tidak menerima kenyatan tentang mengapa semua tekanan datang padanya dan
bagimanapun akan keluar dari permasalahan akan tetapi tetap tidak bisa. Sehingga tidur
pun jadi terganggu karena pikiran terganggu.

2. Penggunaan Obat

Penggunaan obat dalam jumlah yang banyak atau dalam jangka waktu panjang juga akan
mengganggu kegiatan tidur kita. Ada orang yang sangat gemar mengkomsumsi obat.
Sedikit saja badan terasa tidak enak, langsung minum obat, walaupun tubuh belum benar-
benar sakit. Bahkan untukmenjaga tubuh agar tetap bugar saja juga harus minum obat.
Kebiasaan ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan insomnia, walaupun
efek samping obat adalah mengantuk. Mungkin seketika minum obat akan terasa kantuk,
tetapi ketika malam hari insomnia akan tetap datang.

3. Ketidakmampun Untuk Beristirahat dengan Santai

Tidur membutuhkan suasana yang santai selain daripada rasa kantuk. Banyak orang tetap
tidak dapat berpikir santai karena pekerjaan yang menumpuk. Saat pekerjan menumpuk
biasanya kita selalu teringat untuk segera menyelesaikannya. Kondisi seperti ini biasanya
dialami oleh para mahasiswa, khususnya ketika waktu-waktu menjelang ujian. Hampir
tidak ada waktu untuk beristirahat karena menumpuknya tugas. Sehingga ketika tidur
tidak segera tidur, pikiran masih gelisah terbayang bagaimana jika tugas tidak selesai,
sementara waktu sudah sempit dan tubuh kita juga butuh istirahat guna aktivitas esok
hari.

4. Kebiasaan Merokok
Bagi siapapun juga yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya mulai dikurangi.
Merokok selain mekmberikan efek yang buruk bagi tubuh, juga dapat menahan
keinginan untuk tidur (vrisaba, 2002).

5. Suasana Ribut

Siapapun juga silahkan kenyamanan tidur anda ketika suatu saat lingkungan rumah anda
sedang dipakai pertemuan arisan, dengan pada saat malam hening disertai hujan gerimis.
Kemudian rasakanlah bedanya.

Pekerja pabrik yang selalu bekerja pada suasana bising, ternyata juga mengalami
insomnia ketika di rumah.

6. Kamar Tidur yang Berantakan

Ketika beranjak tidusur sebaiknya segala kruwetan mengenai tempat tidur, baik ranjang,
pakaian dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tidur harus dirapikan. Itu akan sangat
berpengaruh dengan kenyamanan tidur kita. Semakin rapi dan bersih akan semakin
menambah kenyamanan. Namun demikian, ada saja orang yang justru tidur nyenyak
ketika kasurnya berantakan dan banyak pakaian berserakan di situ.

Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, masih banyak lagi penyebab insomnia lainnya.
Yang jelas insomnia tidak secara langsung berhubungan dengan menurunnya suatu
hormon dalam tubuh.5

4. Patofisiologi Gangguan Tidur


Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya berhubungan dengan
interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh adalah bila dilakukan perangsangan daerah
formasio retikularis akan menyebabkan kondisi jaga/waspada pada hewan di laboratorium.
Sedangkan perusakan pada daerah itu menyebabkan hewan mengalami kondisi koma
menetap. Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas retikular bekerjanya diatur oleh
kontrol dan nukleus raphe dan locus coeruleus. Di mana sel-sel dan nucleus raphe
mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinephrine. Jika nukleus raphe dirusak
atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak tidur/berkurangnya jam tidur
pada hewan percobaan yang mirip dengan kejadian insomnia. Sedangkan bila locus
coeruleus yang dirusak, akan terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur
non REM tak berubah. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, agaknya juga
berhubungan dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa
kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan
insomnia.4, 5, 6
Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya perbedaan
antara sukarelawan yang normal dengan penderita depresi dan ansietas. Pada penderita
depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang bertambah atau dapat juga normal. Sedangkan
REM Latency jelas menjadi lebih pendek. Tidur Delta yang pada orang normal ditemukan
sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang. Hal ini yang
menyebabkan penderita depresi mengeluh tidurnya kurang pulas. Penelitian dari Zung
menunjukkan bahwa pada sukarelawan normal yang diberi rangsang suara-suara pada
stadium Delta, tidak terbangun oleh hal itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah
terbangun. Karena itu penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu
di dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase awal penyakit,
penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur REM nya sebanyak 10%. REM
menunjukkan bahwa orang itu sedang bermimpi. Di laboratorium tidur, 85% dan mereka
yang dibangunkan pada waktu tidur REM, mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi
biasanya mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun
karenanya. Dengan demikian tidur REM pun berkurang karena seringnya terbangun di malam
hari. Di samping itu, telah diterangkan bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur
REM lebih cepat datangnya. Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus dibayar
kembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan mengalami tidur
REM yang berlebihan, dan penderita akan lebih sering terbangun dan bermimpi buruk. Jadi
jelaslah mengapa di laboratorium tidur, ditemukan gambaran hipnogram yang acak-acakan
atau iregular dari perpindahan satu stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi; dan
sering terbangun di malam hari. Pada penderita ansietas, dan hipnogram ditemukan Sleep
Latency yang memanjang. Sedangkan REM Latency dapat normal atau lebih panjang dari
pada sukarelawan normal. Berbeda dengan penderita depresi, pada penderita ansietas, tidur
delta biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi bertambah, terutama pada
fase akhir dari tidur (di dini hari). Pada hipnogram juga ditemukan adanya gambaran yang
ireguler dari perpindahan satu stadium tidur ke stadium tidur yang lain. Di bawah ini,
digambarkan suatu skema perbedaan dari insomnia karena kondisi depresi dan ansietas,
dilihat dari keluhan subyektif dan gambaran obyektif menurut hipnogramnya.5, 6, 9
Referensi:

Muammar
Ghaddafi,
2013,

Tatalaksana Insomnia Dengan Farmakologi Atau Non-Farmakologi, Bagian SMF


Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar. Diunduh 19 Maret 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82538&val=970

Annurianisa. L, R. Ayu Nurafrilya F. S, 2015, INSOMNIA, Kepaniteraan Klinik Stase


Psikiatri Rumah Sakit Islam Jiwa Klender

You might also like