You are on page 1of 3

DI BALIK KEHIDUPAN

PENGEMIS MALIOBORO

Berita Utama
Keindahan kota Jogja, khususnya di daerah Malioboro sebagai jantuk
perekonomiankota Jogja yang di bilang sangat maju dengan pertumbuhan
yang sangat pesat. Namun apabila kita amati, tak sedikit para pengemis
duduk di depan emperan toko atau bahkan di tepi trotoar untuk meminta-
minta, sungguh ironi, Kenapa mereka meminta-minta ? Bagaimanakan
kehidupan pengemis sebenarnya ?
Kami ingin bebas! Kami ingin bebas dari ketidakadilan, kemiskinan,
lapar dan rasa takut! Kami ingin bebas dari perlakuan sewenang-wenang!
Kami berharap untuk bisa berbahagia!,tutur pria yang sering di sapa
Slamet. Seorang pengemis yang sering mangkal di kawasan maliobori ini
mejelaskan bahwa, kebebasan kami hanya dapat diperoleh bila orang di
sekitar kami merasa bebas.
Kami hanya dapat merasa bahagia apabila orang disekitar kami pun
merasa bahagia. Kami hanya bisa nyaman, apabila orang-orang yang
kami temui dan kami lihat di dunia ini merasa nyaman. Dan kami hanya
dapat makan dengan nyaman apabila orang lain juga dapat merasa
nyaman dengan makan seperti kami. Dan untuk alasan tersebut, dari diri
kami sendiri, kami memberontak menantang setiap bahaya yang
mengancam kebahagiaan dan kebebasan kami, tegasnya .
Pria yang hampir separuh baya ini menjelaskan bahwa, Ketika ada
razia, bukannya di rehabilitasi dengan baik untuk mendapat perlindungan,
Namun yang diberikan pada kawan-kawan pengemis adalah Sat Pol PP
sering melakukan tindakan razia dengan kekerasan, terutama di wilayah
Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sampai saat ini, tuturnya
Berdasarkan info yang saya tahu dari kawan-kawan pengemis, ada
kawan-kawan pengemis yang dirazia oleh Sat Pol PP Sleman dan Jogja,
dimana mereka mengaku mengalami kekerasan fisik (dipukuli), digabur
(dilepas sembarang tempat) di daerah Besi dan Kalasan, dan bahkan ada
yang uang hasil meminta-mintanya di ambil oleh petugas sat pol PP.
Di tempat terpisah, Salah seorang pengakuan pengemis, Sumiyati
( 69 tahun ), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan bahwa sebuah
keterpaksaan ketika dirinya menjadi pengemis, karena dirinya tak punya
pilihan lain selain menjadi seorang pengemis. Fisiknya yang sudah
rentang, mengharuskan dia menjadi seorang pengemis.
Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar Bregharjo, bersama buruh
gendong, dan juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5
tahun yang lalu, mengaku bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat
6 ribu 8 ribu, dan untuk makan sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi
bungkusan seribuan.
Sumiyati, Saya ingin pemerintah adil dalam menangani masalah
pengemis seperti saya, yang saya tahu, bahwa tiap warga negara berhak
untuk mendapatkan penghidupan yang layak, namum pada kenyataannya
saya sama sekali tidak medapat keadilan, saya merasa sekarang hidup
tidak adil, karena yang kaya semakin kaya, dan yang miskin seperti saya
semakin terpinggirkan
Nenek asli Surabaya ini mengaku, bahwa dirinya Pernah sekali di razia,
namun dirinya sangat tidak betah tinggal di tempat rehabilitas, karena
terlalu banyak aturan, sedangkan saya ini sudah tua, saya ingin hidup
tenang dan lebih senang seperti sekaran ini, tuturnya dengan pasrah.
Di tempat terpisah, Slamet kembali menjelaskan bahwa, Pemerintah
juga mengalami kegagalan dengan berbagai proyek-proyek yang
seringkali atas nama rehabilitasi, Sebagai contoh, pengalaman kawan-
kawan saya yang sering terkena razia kemudian dibawa ke panti sosial,
bahkan mereka selau mengalami kekerasan fisik dan psikis, mereka di
panti sosial tidak ada pemberdayaan sama sekali, bahkan mengalami
nasib yang sangat menyedihkan dan diperlakukan sewenang-wenang,
seperti saat di panti sosial kawan-kawan dicampur dengan orang-orang
yang mengalami permasalahan dengan kegilaan.
Kalaupun ada rehabilitasi berupa pemberdayaan, hal ini banyak sisi
kelemahannya karena kawan-kawan setelah program pemberdayaan
selesai maka urusan dinas sosial pun selesai, mereka tetap dibiarkan dan
tersingkir dari arena kompetisi kerja. Indikator kegagalan program
rehabilitasi yang lain bisa terlihat dari pengemis jalanan yang sudah
berkali-kali terkena razia, berkali-kali masuk panti sosial namun mereka
tetap kembali mencari rezeki di jalanan, bahkan jumlah penduduk yang
mengalami kemiskinan dan memilih mengais rezeki dari jalanan semakin
besar. Artinya, ini ada fakta-fakta yang seharusnya bisa membuka mata
para pejabat dan bisa berkoreksi !, tegasnya.

Profil Pengemis
KETIKA PENGEMIS BERBICARA

Berita pendukung
Tua dan Rentang, adalah kesan pertama ketika melihat sosok
nenek tua, di pojok trotoar Malioboro, Dengan wajah kusamnya, nenek
tua itu duduk sambil menunggu orang yang lalu-lalang, dan berharap
memberinya uang. Sungguhkan ia seorang pengemis atau perampok
bertopeng pengemis ?, bagaimana ketika pengemis itu bicara ?
Sumiyati ( 69 tahun ), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan
bahwa sebuah keterpaksaan ketika dirinya menjadi pengemis, karena
dirinya tak punya pilihan lain selain menjadi seorang pengemis. Fisiknya
yang sudah rentang, mengharuskan dia menjadi seorang pengemis.
Nenek asli Surabaya ini, mengaku bahwa dirinya sudah tidak
memiliki siapa-siapa lagi, suaminya yang telah meninggal sejak tahun
2005 lalu, dan dirinya juga tidak memiliki anak, bahkan sodara laki-laki
satu-satunya pun telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar bregharjo, bersama buruh
gendong, dan juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5
tahun yang lalu, mengaku bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat
6 ribu 8 ribu, dan untuk makan sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi
bungkusan seribuan. Dirinya bersyukur, tidak sakit-sakitan, walaupun dia
harus kedinginan dan tidak memiliki apa-apa, namum dia berusaha
menjaga dirinya yang ringkih dengan sabuah selendang pemberian orang
pada saat hari raya idul fitri tahun lalu.
Nenek yang tiap harinya muali mangkal di tepi trotoar Malioboro
ini mengaku bahwa ia mulai mengemis dari jam 3 sore hingga 10 malam,
namum bila hari jumat, ia mulai mengemis dari jam 10 pagi hingga 5 sore.

KATA ORANG JOGJA,


TENTANG PENGEMIS DI MALIOBORO
Berita pendukung
Tutut ( 14 tahun ) Siswa SMP 1 Bangun Papan, Jogjakarta
Sangat Terganggu!, adalah jawaban pertama ketika di tanya soal
keberadaan pengemis di sekitar kawasan malioboro. Saya di satu sisi
kadang juga kasihan, namun disisi lain saya sangat terganggu dengan
keberadaan pengemis di kawasan malioboro, karena bagi saya malioboro
merukapan salah satu icon objek wisata kota Jogja, yang harus di jaga
kebersihannya, baik secara fisik, maupun non fisik, yaitu dengan
keberadaan pengemis akan merusak keasrian pemandangan di malioboro.
Gadis manis asli Jogja ini juga menambahkan, Saya baru duduk
sekitar 5 menit di sini saja, tadi sudah ada 2 pengemis yang meminta-
minta uang, yah, bila ada ya saya beri uang, namun bila tak ada uang
receh, ya saya tidak beri, jawabnya dengan santai.
Menutut saya, pemerintah DIY harus lebih tegas dalam menangani
masalah pengemis, karena bagaimanapun juga, ini sangat mengganggu
ketenangan dan kenyamanan pengunjung, tegasnya.

Marlina ( 36 tahun ), Ibu Rumah Tangga


Keberadaan pengemis di kawasan malioboro, sangat saya
sayangkan, karena ini juga dapat merusak keindahan tata kota, yang
seharusnya rapi, namun karena adanya pengemis sehingga menjadi
terlihat kumuh dan yang jelas juga dapat mengganggu pengunjung yang
ingin santai di taman malioboro.
Ibu dua anak, asli Condong catur ini mengaku, bahwa kalau sore
dirinya dan salah seorang anaknya senang duduk santai di taman
malioboro, depan benteng. Namun dengan adanya keberadaan pengemis,
menjadikan dirinya harus selalu sedia uang reseh untuk memberi
pengemis yang sering meminta-minta.
Dari dulu hingga sekarang, pengemis tidak pernah habis, namun
jumlahnya terus bertambah, saya merasa bahwa pemerintah DIY telah
merehabilisasi mereka, namun mungkin mereka lebih senang meminta-
minta dari pada harus bekerja, saya sunggung menyayangkan hal ini.
Tutur Marlina, dengan muka kesahnya.

You might also like