You are on page 1of 10

Nama : Putri Nabila A.A.

NPM : 240210120124

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum kali ini dilakukan praktikum perubahan fisik, kimia dan fungsional
pasca mortem daging. Daging yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
daging ikan mas. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia,
mikrobiologi, dan fisik yang terjadi belum menyebabkan kerusakan yang berat
pada ikan yang memiliki kesegaran yang masih baik. Ikan secara organoleptik
dikatakan segar jika kenampakannya cerah atau tidak suram, kelenturan
dagingnya elastis, matanya menonjol, insangnya merah dan tampak cerah, serta
sisik masih melekat pada kulit. Berikut merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan kerusakan pada daging ikan :
a) Enzimatis
Tubuh ikan terutama didalam alat pencernaan terhadap beberapa enzim.
Selama ikan masih hidup enzim masih bisa diatur kegiatannya sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Pada ikan yang mati fungsi enzim tidak bekerja lagi.
Sehingga akan terjadi peristiwa otolisis yaitu perubahan didalam tubuh ikan yang
disebabkan oleh aktivitas enzim. Pada suasana agak asam dan suhu 37 C enzim
aktif sekali bekerja.
b) Mikrobiologis
Pembusukan oleh mikrobiologi ini disebabkan karena kesalahan
pengolahan dan penanganan yang mengakibatkan luka mekanis pada ikan
sehingga memungkinkan bakteri lebih mudah masuk kedalam tubuh ikan.
c) Fisis
Disebabkan karena kesalahan dalam penyimpanan pada suhu kamar akan
mempercepat proses pembusukan.
d) Peristiwa Oksidasi Lemak
Daging ikan umumnya mengandung lemak berkisar antara 10-20% dioksidasi
oleh oksigen dari udara akibatnya ikan menjadi bau dan tengik. Selain proses
otolisis dan oksidasi ikan dapat menjadi busuk oleh bakteri. Pembusukan oleh
bakteri baru mulai setelah fase rigor mortis , yaitu pada saat daging ikan
mengeluarkan cairan. Oleh karena itu makin lama rigor mortis dapat ditahan
makin lama pula ikan dapat disimpan. Rigor mortis dapat dipercepat oleh gerakan
ikan, kekurangan oksigen dan suhu yang relatif tinggi. Sebaliknya rigor mortis
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

dapat dihambat oleh pH dan suhu yang rendah. Jaringan otot hewan pada saat
masih hidup mempunyai pH pada kisaran 7,2 sampai 7,4, dan akan menurun
setelah pemotongan (Buckle et al,1987). Setelah ikan mati (pasca Mortem) akan
terjadi perubahan-perubahan komponen penyusun daging ikan. Secara umum
perubahan pasca mortem ikan dibedakan menjadi 3 fase : fase prerigor mortis,
fase rigor mortis, dan fase pasca rigor mortis.
a) Fase pre-rigor
Pada fase pre rigor, konsentrasi ATP masih cukup tinggi dan energi yang
terbentuk masih rendah sehingga tidak cukup untuk melakukan penggabungan
antara protein aktin dan protein miosin menjadi aktomiosin, sehingga daging ikan
menjadi lunak dan lentur.
b) Fase rigor mortis
Pada fase rigor mortis, daging menjadi keras (rigid) hal ini terjadi pada selang
waktu setelah 1-7 jam setelah ikan mati, dan apabila dibekukan maka fase ini
dapat terjadi setelah 3 - 120 jam setelah ikan mati. Perubahan daging ikan yang
kaku ini disebabkan terjadinya kontraksi yang merupakan hasil interaksi protein
aktin dan protein miosin membentuk aktomiosin. Dengan terbentuknya
aktomiosin ini ukuran sarkomer akan menjadi lebih pendek sehingga daging
mengkerut dan menjadi kaku, sedangkan saat relaksasi merupakan kebalikannya.
Pada ikan yang masih hidup kontraksi dan relaksasi dipengaruhi oleh konsentrasi
ion-ion kalsium yang terdapat pada sarkoplasma retikulum. Ion-ion kalsium ini
dapat lepas dari sarkoplasma retikulum masuk ke dalam sarkoplasma dan
menstimulir terlepasnya ATP dan Mg ATP serta menstimulir pula aktivitas enzim
ATP-ase sehingga dapat terjadi pemecahan ATP menjadi ADP sambil melepaskan
energi. Sebaliknya apabila ion kalsium (Ca) terikat dan kembali (masuk) ke dalam
sarkoplasma reticulum, maka terjadilah proses relaksasi.
c) Fase Pasca Mortem
Pada fase ini terjadi kreatin dan fosfat sehingga ATP diubah menjadi ADP dan
fosfat organik. ADP ikan terurai menjadi ribosa, fosfat amonia dan hipoksantin
sehingga pH naik menjadi 6,2-6,6. Peningkatan hipoksantin yang berlebihan dapat
mengakibatkan kerusakan pada ikan. Setelah proses pasca mortem terjadi, maka
akan terjadi kerusakan mikrobiologi pada ikan, penyerangan bakteri akan melalui
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

tiga tempat yakni dari selaput lendir permukaan ikan, insang, dan saluran
pencernaan menerobos ke dalam daging. Bakteri ini akan berkembang biak dan
akan menguraikan komponen-komponen daging yang akan menyebabkan
pembusukan.

5.1 Perubahan pH Pasca Mortem Daging Ikan


Perubahan yang pertama diamati adalah perubahan pH. Ikan mas yang
telah disembelih atau dipotong diambil dagingnya saja dan ditimbang dengan
neraca analitik seberat 5 gram. Kemudian daging ikan mas dimasukkan kedalam
beaker glass dan ditambahkan aquades sebanyak 5 ml dan kemudian dicacah
dengan menggunakan mortar hingga daging halus. Setelah itu dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH-meter. Pengukuran pH dilakukan pada menit ke
0, 10, 20, 30, 40, 50, sampai ke-60. Berikut adalah hasil pengamatan pengukuran
pH ikan :
Tabel 1. Hasil pengukuran pH ikan
Waktu pH
0 8,08
10 7,89
20 7,98
30 7,88
40 8,05
50 7,99
60 7,98
(sumber : dokumentasi pribadi, 2013)

Pengukuran pH dan Suhu Kondisi pH pada daging akan berpengaruh pada


struktur, pengembangan (swelling) dan daya larut protein. Kondisi protein tersebut
akan berpengaruh terhadap daya ikat (Water Holding Capacity) dan juiciness
(kemampuan untuk menghasilkan cairan), daya emulsi, kemampuan membentuk
gel, kekerasan, warna dan umur simpan.
Menurut literatur, fase rigor mortis pada umumnya memiliki pH lebih dari
5,8 dan pH akhir yang baik adalah 5,6. Daging dengan pH akhir tinggi akan
berwarna gelap dengan daya ikat air baik. Namun, pH yang tinggi akan
menyebabkan daging sangat mudah rusak oleh mikroba. Pada umumnya, ikan
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

yang telah mati namun belum diberi perlakuan pengawetan akan mengalami
penurunan pH.
Berdasarkan hasil data pengukuran pH ikan diatas, pH ikan dari selang
waktu 0 hingga 60 menit relatif selalu berubah, naik dan turun. Nilai pH dari ikan
menentukan tingkat kesegaran ikan tersebut. pH ikan yang baru ditangkap
memiliki nilai pH yang agak basa (8,08). Pada menit ke-0 setelah ikan mati pH
ikan masih cukup tinggi tetapi kurang mendekati pH yang ditetapkan literature.
Kemudian pada menit ke-20 pH naik. Penurunan pH terjadi pada menit ke-30.
Penurunan pH daging ikan mas tersebut akibat terbentuknya asam laktat hasil
dari pembongkaran glikogen secara anaerob. Apabila ikan telah mati maka ikan
akan berhenti mengambil O2 akan tetapi kebutuhan energi masih terus
berlangsung untuk mempertahankan integritas sel sel jaringan. Akhirnya untuk
memenuhi kebutuhan energi tersebut, energi diperoleh dari pembongkaran
cadangan energi yang berbentuk glikogen dengan merubahnya menjadi asam
laktat dan mengeluarkan sejumlah energi yang berbentuk ATP (adenosine
triphosphat). Semakin banyak asam laktat yang terbentuk maka pH daging ikan
tidak dapat dipertahankan sehingga bakteri dengan mudah menghidrolisis
senyawa hasil hidrolisis senyawa-senyawa yang kompleks yang ada didalam sel.
Senyawa senyawa hasil hidrolisis tersebut bersifat basa sehingga pH daging
ikan, meningkat kembali. pH akhir dari ikan menurun yaitu dari 8,08 menjadi
7,98.
Selain suhu, faktor lain yang mempengaruhi penurunan pH adalah
interaksi daging ikan dengan logam serta jumlah praktikan yang berada dalam
laboratorium. pH dan suhu daging ikan dapat mempengaruhi sifat fisik dari ikan
tersebut. Perubahan pH dapat menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan
perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antara
serat- serat daging sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap dan
memantulkan cahaya dimana hal tersebut akan mempengaruhi penampakan
(warna) daging secara visual. pH yang semakin menurun menyebabkan warna
daging memucat. Warna pucat tersebut disebabkan oleh karena banyaknya air
bebas yang berada diluar serabut daging. Kandungan air ekstraseluler yang tinggi
tersebut dapat menyebabkan kemampuannya untuk memantulkan cahaya akan
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

meningkat dan penyerapan cahaya menurun sehingga intensitas warna akan


menurun.

5.2 Perubahan Suhu Pasca Mortem Daging Ikan


Selanjutnya adalah pengukuran suhu pada ikan mas pasca mortem. Ikan mas
yang telah disembelih ditusukkan thermometer kedalam nya dan suhunya diukur
pada menit ke 0, 10, 20, 30, 40, 50 hingga menit ke-60. Berikut adalah hasil
pengamatan terhadap pengukuran suhu ikan pasca mortem :
Tabel 2. Hasil pengukuran suhu ikan
Waktu Suhu
0 27
10 27
20 27
30 27
40 26
50 26
60 26
(sumber : dokumentasi pribadi, 2013)

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pengukuran suhu ikan konstan dan


tidak mengalami penurunan suhu yang banyak. Penurunan suhu pada ikan pasca
mortem disebabkan karena kadar O2 dalam tubuh ikan sudah habis sehingga tidak
terjadi proses pembakaran dalam tubuh yang menggunakan bantuan energi ATP
yang menimbulkan panas dalam respirasi. Karena tidak adanya proses
pembakaran tersebut mengakibatkan suhu tubuh ikan akan semakin menurun.
Pembusukan ikan berlangsung lebih cepat pada suhu di atas 5 oC. Ikan sebaiknya
berada pada suhu dingin dibawah 40oC. Berdasarkan data hasil pengamatan, suhu
akhir dari ikan adalah 8oC. Suhu ini mendekati suhu optimum membusuknya ikan.
dan memungkinkan tumbuhnya mikroba yang tergolong mikroba psikrofilik yaitu
mempunyai suhu optimum pertumbuhan 5-15oC.

5.3 Pengamatan Keadaan Ikan Secara Subjektif


Selanjutnya adalah pengamatan warna, bau, dan kekerasan ikan pasca
mortem secara subjektif. Pengamatan ini cukup dilakukan dengan menggunakan
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

penglihatan secara subjektif saja. Berikut adalah hasil pengamatan ikan secara
subjektif :
Tabel 3. Hasil Pengamatan Keadaan Ikan Secara Subjektif
t=0 t=30 t=60
Insang Merah Merah tua (+) Merah tua(++)
Mata Segar (++++) Segar (++) Segar (+) kehitaman
kecoklatan
Sisik Menempel pada badan Menempel pada Mudah lepas dari
badan badan
Warna Hitam Hitam Hitam
Aroma Khas ikan segar Khas ikan segar Khas ikan amis
Tekstur Keras (++++) Keras (++) Keras (+++)
Lendir (+) (++) (+++)
(sumber : dokumentasi pribadi, 2013)
Berdasarkan data hasil pengamatan, bagian tubuh ikan yang dekat dengan
mata yang semula berwarna merah segar semakin lama berubah menjadi semakin
pucat. Warna pucat tersebut disebabkan karena terdapat air bebas yang berada
diluar serabut daging. Karena protein ini telah terpecah maka kekuatan benang-
benang atau dinding sel sudah menurun. Disamping bekerjanya enzim proteolitik
pada proses post rigor ini juga akan terjadi hidrolisa kreatin posfat dan ATP oleh
fosfatase. Kreatin posfat akan diubah menjadi kreatin dan posfat. Sedangkan ATP
menjadi ADP dan fosfat organik. ADP akan terurai menjadi ribosa, fosfat amonia
dan hipoksantin. Peruraian ini akan mengakibatkan pH-nya naik. Faktor yang
menyebabkan ikan cepat busuk adalah kadar glikogennya yang rendah sehingga
rigor mortis berlangsung lebih cepat dan pH akhir daging ikan cukup tinggi yaitu,
serta tingginya jumlah bakteri yang terkandung didalam perut ikan. Bau ikan
semakin lama semakin berbau amis. Hal ini disebabkan karena proses degradasi
protein yang membentuk berbagai produk seperti hipoksantin, trimetilamin,
terjadinya proses ketengikan oksidatif dan pertumbuhan mikroorganisme.
Kekerasan ikan pasca rigor mortis semakin lama semakin keras. Hal ini
disebabkan karena terjadinya kontraksi yang merupakan hasil interaksi protein
aktin dan protein miosin membentuk aktomiosin. Dengan terbentuknya
aktomiosin ini ukuran sarkomer akan menjadi lebih pendek sehingga daging
mengkerut dan menjadi kaku, sedangkan relaksasi merupakan kebalikannya.
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

5.4 Perhitungan WHC


Selanjutnya adalah perhitungan Water Holding Capacity (WHC). WHC
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan oleh protein daging itu sendiri. Ada
tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh
protein otot sebesar 4 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air
terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik,
sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila
tekanan uap air meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas
diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein tidak akan
mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua),
sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat protein
daging mengalami denaturasi. Pengukuran WHC pada praktikum kali ini
dilakukan dengan menggunakan 2 ikan, ikan yang pertama langsung dihitung
setelah disembelih, yang kedua didiamkan selama 60 menit. 10 gram daging cacah
halus dimasukkan kedalam tabung sentrifus dan kedalamnya dimasukkan aquades
10 ml dan kemudian tabung disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 3000
rpm. Berikut merupakan tabel hasil pengamatan WHC daging ikan mas :
Tabel 4. Water Holding Capacity pada Ikan Mas
Kelompok Volume t=10 menit Volume t=60 menit
(ml) (ml)
8 8,5 8,0
6 6,0 4,5
(sumber : dokumentasi pribadi, 2013)
Ikan yang pertama langsung dihitung perubahan volumenya, dan kemudian
dapat dihitung WHC nya dengan menggunakan persamaan :
VawalVakhir
% WHC = Berat x 100 %

Ikan yang didiamkan selama 60 menit memiliki volume cairan yang lebih
banyak sehingga kadar WHC nya juga lebih besar. Apabila dibandingkan dengan
pengukuran WHC pada menit ke-0, ikan memiliki WHC yang lebih kecil
dibandingkan dengan ikan yang telah 60 menit disimpan. WHC mempengaruhi
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

beberapa sifat fisik dari daging yaitu warna, tekstur, kekenyalan, juiceness, dan
kekerasannya. Kapasitas mengikat air oleh jaringan otot akan berdampak pada
pengekerutan daging ikan selama penyimpanan. (Forrest, 1975). Daging ikan
dengan kapasitas mengikat air yang rendah dapat menyebabkan banyaknya cairan
yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar
pula. Kehilangan berat merupakan salah satu hal yang akan merugikan konsumen
serta produsen. Pada umumnya, water holding capacity akan dipengaruhi oleh
pH. Penurunan pH otot daging yang semakin cepat akan mengakibatkan
kemampuan daging untuk mengikat air semakin rendah. Hal tersebut disebabkan
oleh meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk sehingga cairan dalam
daging akan keluar. Apabila melihat hubungan antara suhu dengan pH pada
praktikum sebelumnya, didapatkan pernyataan bahwa suhu yang tinggi dapat
mempercepat penurunan pH otot daging pasca mortem dan menurunkan kapasitas
mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya
perpindahan air ke ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996).
Menurut literatur, semakin lama suatu daging disimpan pada suhu ruang
maka kemampuannya dalam mengikat air juga akan menurun. Hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh penurunan pH otot dari jumlah asam laktat yang
terakumulai dari proses glikolisis.
Ada beberapa cara dalam melakukan penanganan ikan pasca mortem,
salah satunya adalah dengan pembekuan. Beberapa metode pembekuan (freezing)
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Sharp freezing; produk yang dibekukan ditaruh di atas lilitan pipa evaporator
(refrigerated coil). Pembekuan ini termasuk pembekuan lambat, karena itu
tidak dianjurkan, kecuali pada wadah yang kecil.
b. Air blast freezing; produk yang dibekukan ditaruh dalam ruangan yang
ditiupkan udara beku di dalamnya dengan blower yang kuat. Pembekuan ini
dianjurkan karena terjadi pembekuan cepat.
c. Contact-plate freezing; pembekuan di antara rak-rak yang direfrigerasikan.
Pembekuan ini dianjurkan karena berlangsung cepat.
d. Immersion freezing; membekukan produk dalam air (larutan garam) yang
direfrigerasi. Pembekuan berlangsung cepat, sering dipraktekkan di kapal
penangkap (udang dan tuna).
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

VI. KESIMPULAN

1. pH awal ikan pasca rigor mortis masih basa mendekati netral yaitu 8,08.
Sedangkan pH akhir ikan yang telah dimasukkan kedalam refrigator
mengalami penurunan.
2. Penurunan pH disebabkan karena pembongkaran cadangan energi yang
berbentuk glikogen dengan merubahnya menjadi asam laktat. Semakin
banyak asam laktat yang terbentuk maka pH daging ikan tidak dapat
dipertahankan.
3. Kekerasan pada ikan pasca rigor terjadi karena kontraksi, interaksi protein
aktin dan protein miosin membentuk aktomiosin. Dengan terbentuknya
aktomiosin ini ukuran sarkomer akan menjadi lebih pendek
4. Perhitungan Water Holding Capacity dapat dihitung dengan persamaan :
VawalVakhir
a. % WHC = Berat x 100 %

5. Perhitungan Water Holding Capacity pada ikan rigor mortis (menit ke-0)
lebih rendah dibandingkan dengan WHC ikan pada menit ke-60
Nama : Putri Nabila A.A.
NPM : 240210120124

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.A. Fleet, dan M. Wooton.1987. Ilmu Pangan
Terjemahan Hari P. dan Adiono.Universitas Indonesia Press.Jakarta

Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, dan R.A. Merkel. 1975.
Principles of Meat Science. W.H. Freemanand Co.,San Fransisco

Lawrie, R.A. 1996. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin P. Penerbit Universitas


Indonesia Press, Jakarta

You might also like