You are on page 1of 6

Nama : I Komang Botha Wikrama

NPM : 10700093

APPENDISITIS
A. Definisi
Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal
di masyarakat awam sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang
sebenarnya adalah caecum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering
menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut appendiks memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(de Jong, 2010).
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang di kenal juga sebagai usus buntu. Appendisitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan.
Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi (de Jong 2010).
B. Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan
limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks,
diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat
ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya : 40% pada
kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan
ruptur.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli Bacteroides fragilis


Viridans streptococci Peptostreptococcus micros
Pesudomonas Bilophila species
aeruginosa Lactobacillus species
Enterococcus

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif


Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah
timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif yang terus-menerus dan
berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus dan
menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari
proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan
merangsang peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi
dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-
hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih
telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang lebih tinggi.
C. Anatomi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa
panjang dari apendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3
sampai 8 mm dan diameter dalam lumennya berukuran antara 1 sampai 3
mm, dan berpangkal pada sekum. Lumen appendiks sempit dibagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks
berbentuk kerucut dengan pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian
ujungnya. Bagian ujung dari appendiks dapat berlokasi dimana saja pada
kuadran kanan bawah dari abdomen atau pelvis. Basis dari appendisitis dapat
ditemukan dengan menelusuri taenia coli yang berjalan longitudinal dan
berkonfluensi pada caecum.
Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri
ileocolica. Arteri ini terletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke
mesoapendiks dekat dari basis appendiks. Percabangan arteri kecil terbentuk
pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal. Perdarahan
appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
appendiks akan mengalami gangren.
Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks

Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang


terletak sepanjang perjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal
dari elemen simpatis pleksus mesenteric superior (T10-L1), oleh karena itu
nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabut
afferentnya berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus.
D. Fisiologi
Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk
anatomisnya sebagai organ berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak
diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terdapat infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.
Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam
memproduksi cairan, musin, dan enzim-enzim proteolitik, Appendiks dapat
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
F. Patofisiologi

DAFTAR PUSTAKA
De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah; Editor, Sjamsuhidajat ...[et.al] ed 3
Jakarta: EGC, 2010. p755-762.
Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs
Principles of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.
Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on
Chapter 47 in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york:
Saunders; 2004.h 1381-1400

You might also like