Professional Documents
Culture Documents
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global yang dapat
menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan
vaskular (WHO 1983). Stroke pada prinsipnya terjadi secara tiba-tiba karena gangguan pembuluh darah otak
(perdarahan atau iskemik), bila karena trauma maka tidak dimasukkan dalam kategori stroke, tapi bila gangguan
pembuluh darah otak disebabkan karena hipertensi, maka dapat disebut stroke.
Epidemiologi Stroke
Setiap tahun, hampir 700.000 orang Amerika mengalami stroke,dan stroke mengakibatkan hampir 150.000
kematian. Di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian
akibat stroke.
Pada suatu saat, 5,8 juta orang di Amerika Serikat mengalami stroke, yang mengakibatkan biaya kesehatan
berkenaan dengan stroke mendekati 70 miliar dolar per tahun. Pada tahun 2010, Amerika telah menghabiskan$73,7
juta untuk menbiayai tanggungan medis dan rehabilitasi akibat stroke. Selain itu, 11% orang Amerika berusia 55-64
tahun mengalami infark serebral silent; prevalensinya meningkat sampai 40% pada usia 80 tahun dan 43% pada usia
85 tahun.
Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI
Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Terjadi peningkatan prevalensi
stroke berdasarkan wawancara (berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga
meningkat dari 8,3 per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013) (Riskesdas 2013). Organisasi Stroke Dunia mencatat
hampir 85% orang yang mempunyai faktor resiko dapat terhindar dari stroke bila menyadari dan mengatasi faktor
resiko tersebut sejak dini. Badan kesehatan dunia memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat seiring
dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030
(Yastroki, 2012).
Faktor Resiko Stroke
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat di klasifikasikan sebagai berikut (Sjahrir, 2003) :
1. Non modifiable risk factors : b. Physiological risk factors
a. Usia 1. Penyakit hipertensi
b. Jenis kelamin 2. Penyakit jantung
c. Keturunan / genetic 3. Diabetes mellitus
2. Modifiable risk factors 4. Infeksi/lues, arthritis, traumatic, AIDS, Lupus
a. Behavioral risk factors 5. Gangguan ginjal
1. Merokok 6. Kegemukan (obesitas)
2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam 7. Polisitemia, viskositas darah meninggi &
urat, kolesterol, low fruit diet penyakit perdarahan
3. Alkoholik 8. Kelainan anatomi pembuluh darah
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, 9. Dan lain-lain
antiplatelet, obat kontrasepsi hormonal
Klasifikasi Stroke
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan,
pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 1999).
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 3. Completed stroke
1. Stroke Iskemik III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
a. Transient Ischemic Attack (TIA) 1. Sistem karotis
b. Thrombosis serebri 2. Sistem vertebrobasiler
c. Emboli serebri Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi,
2. Stroke Hemoragik 2007) :
a. Perdarahan intraserebral 1. Partial Anterior Circulation Infark (PACI)
b. Perdarahan subarachnoid 2. Total Anterior Circulation Infark (TACI)
II. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu 3. Lacunar Infark (LACI)
1. Transient Ischemic Attack (TIA) 4. Posterior Circulation Infark (POCI)
2. Stroke in evolution
Patofisiologi Stroke
1. Patofisiologi Stroke Iskemik
Stroke iskemik disebabkan oleh adanya penyumbatan di pembuluh darah otak yang mengakibatkan perubahan
dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir, 2003).
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan melibatkan permeabilitas patologis dari sawar
darah otak, kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel,asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler,
eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas (Sherki dkk,2002).
Keterangan :
1. SSS > 1: stroke hemoragik
2. SSS -1 s.d. 1 : perlu dikonfirmasi dengan CT-scan kepala
3. SSS < -1 : stroke iskemik
II. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Pada pasien stroke, tekanan darah diperiksa pada kedua tangan untuk mengetahui adanya gangguan aliran
darah. Denyut nadi dan pernapasan berhubungan dengan saraf otonom. Suhu diukur untuk menyingkirkan
adanya keterlibatan infeksi.
Status Generalis
Menilai pasien secara keseluruhan dari head to toe.
Status Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mengkonfirmasi anamnesis yang telah ditanyakan. Komponen status
neurologis yang dinilai :
GCS Nervus cranialis Fungsi otonom
Pupil Fungsi motorik Gait dan
Tanda rangsang Fungsi sensorik koordinasi
meningeal
III. Pemeriksaan Penunjang
IV. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang yaitu untuk diagnosis, preventif dalam menanggulangi
faktor resiko, dan untuk menentukan prognosis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi terdiri dari CT-scan kepala non kontras dan foto thoraks AP.
CT-scan kepala non kontras merupakan pemeriksaan gold standard yang dilakukan untuk menyingkirkan
perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik, sedangkan foto thoraks AP untuk melihat ada atau tidaknya
hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan salah satu faktor resiko stroke. Foto thoraks PA merupakan pilihan
terbaik, tetapi karena pada pasien stroke yang umumnya mengalami kelemahan anggota gerak, maka dilakukan
foto thoraks AP. EKG dilakukan untuk menyingkirkan faktor resiko stroke.
Perbandingan hasil CT-scan kepala pada stroke hemoragik dan iskemik :
V.
VI. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk tujuan preventif yaitu Hb, profil lipid darah
(kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida), gula darah puasa (GDP), G2PP, HbA1c, asam urat, dan hemostasis
lengkap (aPTT, INR, D-dimer, fibrinogen). Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk
menentukan prognosis terdiri dari pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) dan differential count. Semakin tinggi
kadar gula darah sewaktu, prognosis semakin buruk karena semakin banyak sel neuron otak yang rusak.
Hiperglikemia karena stress yang terjadi pada manusia dapat merupakan suatu keadaan yang menguntungkan
tetapi dapat juga tidak menguntungkan bagi kelanjutan hidup. Sehingga evaluasi keadaan hiperglikemi pada
keadaan seperti ini harus diputuskan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengobatan. Terdapat 3 mekanisme yang
mungkin dapat menerangkan hubungan besarnya akibat stroke dan derajat hiperglikemia (Habib, dkk, 2001;
Martin, dkk, 1987) :
1. Keadaan hipoksia yang terjadi pada stroke, glukosa akan mengalami metabolisme anaerob menjadi asam
laktat dan hasil akhirnya akan menyebabkan asiosis intra dan ekstraseluler, yang akan menyebabkan
terjadinya kerusakan neuron, jaringan glia, dan jaringan vascular. Pada keadaan tersebut mungkin produksi
asam laktat pada daerah iskemik akan dibantu oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada sawar darah otak
atau pada membrane sel neuron dan sel glia yang memungkinkan masuknya glukosa ke dalam sel.
2. Selama proses iskemik akan terjadinya peningkatan kadar neurotransmitter glutamate dan aspartat, yang
keduanya mempunyai sifat eksitasi dan neurotoksik, pada keadaan normal pelepasan glutamate akan
merangsang saraf pada lokasi pasca reseptor dan depolarisasi. Dalam keadaan hiperglikemia dan hipoksia
maka kadar asam amino ekstraseluler yang akan merangsang neuron makin meningkat, karena pelepasan yang
berlebihan bersama kegagalan reuptake yang biasanya terjadi pada detoksikasi glutamate dan aspartat.
Keadaan ini akan mengakibatkan hiperstimulasi neuron pasca sinaptik yang kemudian akan menyebabkan
kematian neuron.
3. Dengan adanya iskemik, hiperglikemia, dan hiperstimulasi neuron akan terjadi peningkatan kalsium
intraseluler, yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan neural.
VII. Pemeriksaan differential count untuk melihat ada atau tidaknya leukositosis relatif. Prognosis buruk
jika ada leukositosis relatif. Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang iskemik akan memanggil leukosit yang berada
di marginal pool dan leukosit matur di sumsum tulang masuk ke dalam sirkulasi. Leukosit sendiri dapat
mengakibatkan kerusakan yang lebih luas pada daerah yang mengalami kerusakan tersebut karena menyumbat
mikrovaskularisasi, vasokontriksi, dan infiltrasi ke sel neuron dan mengeluarkan enzim hidrolitik, pelepasan lipid,
dan radikal bebas. Peningkatan leukosit pada keadaan ini disebut leukositosis reaktif, yakni terdapat peningkatan
kadar leukosit di dalam darah tanpa disertai dengan adanya pergeseran proporsi ke arah kanan (shift to right)
maupun ke kiri (shift to left).
VIII. Diagnosis neurologis terdiri dari 4 macam, yaitu :
1. Diagnosis klinis
IX. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Diagnosis klinis dapat berupa suatu sindrom.
X. Gejala Awal XI. Stroke XII. Stroke Iskemik
Perdarahan
XIII. Gejala Peningkatan XVIII. Muncul pada XIX. Dapat muncul
TIK awal kemudian, atau
XIV. -Nyeri Kepala serangan tidak muncul
XV. -Penurunan Kesadaran
XVI. -Muntah Menyemprot
XVII. -Pandangan Ganda
XX. Gejala Lateralisasi XXIV. Dapat XXV. Muncul pada awal
XXI. -Kelemahan anggota muncul serangan
gerak sesisi kemudian,
XXII. -Baal sesisi atau tidak
XXIII. -Otonom (BAB, BAK, muncul
keringat)
XXVI.
XXVII.
2. Diagnosis topis
XXVIII. Diagnosis topis ditegakkan berdasarkan lokasi kelainan. Pada stroke iskemik, lokasi kelainan yang
ditemukan dapat berasal dari korteks atau subkorteks. Jika lesi terdapat di korteks, kelemahan pada satu
sisi anggota gerak berbeda nilainya. Pada bagian yang dipersarafi oleh daerah yang mengalami kerusakan,
nilai motorik lebih berat dibanding bagian yang lain. Sedangkan pada subkorteks, nilai motorik pada satu
sisi anggota gerak sama.
XXIX. Pada stroke hemoragik, lokasi kelainan yang ditemukan dapat berasal dari intraserebral atau
subarakhnoid. Untuk membedakannya dapat diketahui dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis. Dari
anamnesis, pasien mengeluhkan nyeri tengkuk pada pasien stroke perdarahan subarachnoid dan kaku kuduk
positif pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal. Sedangkan pada stroke perdarahan intraserebral tidak
ditemukan kelainan tersebut.
3. Diagnosis etiologis
XXX. Diagnosis etiologis ditegakkan berdasarkan penyebab. Pada stroke iskemik, dapat disebabkan oleh
trombus atau embolus. Penyebab tersebut dapat diketahui dari anamnesis yang telah dilakukan. Untuk
membedakannya dilihat dari kelemahan anggota gerak progresif dan hal yang dilakukan pasien sebelum
serangan. Pada stroke hemoragik, penyebabnya yaitu pecah / ruptur pembuluh darah.
4. Diagnosis patologis
XXXI. Diagnosis patologis ditegakkan berdasarkan keadaan patologis yang terjadi, yaitu iskemik atau
hemoragik.
XXXII.Penatalaksanaan Stroke
XXXIII. Sasaran pengobatan stroke ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati,
dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu / mengancam fungsi otak. Pengobatan
yang cepat dan tepat diharapkan dapat menekan mortalitas dan mengurangi kecacatan. Tujuan utama
pengobatan adalah untuk memperbaiki aliran darah ke otak secepat mungkin dan melindungi neuron dengan
memotong kaskade iskemik. Pengelolaan pasien stroke akut pada dasarnya dapat di bagi dalam :
38. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting
pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi
wicara, dan psikoterapi. Jika seorang pasien tidak lagi menderita sakit akut setelah suatu stroke, staf perawatan
kesehatan memfokuskan pada pemaksimalan kemampuan fungsi pasien. Hal ini sering dilakukan di rumah sakit
rehabilitasi atau area khusus di rumah sakit umum. Rehabilitasi juga dapat bertempat di fasilitas perawat.
39. Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini:
41. Hari 1-3 (di sisi tempat Kurangi penekanan pada daerah yang sering tertekan (sakrum, tumit)
tidur) Modifikasi diet, bed side, positioning
Mulai PROM dan AROM
42. Hari 3-5 Evaluasi ambulasi
Beri sling bila terjadi subluksasi bahu
43. Hari 7-10 Aktifitas berpindah
Latihan ADL: perawatan pagi hari
Komunikasi, menelan
44. 2-3 minggu Team/family planing
Therapeuthic home evaluation
45. 3-6 minggu Home program
Independent ADL, tranfer, mobility
46. 10-12 minggu Follow up
Review functional abilities
47. Ketika seorang pasien stroke telah siap untuk pulang ke rumah, seorang perawat sebaiknya datang ke
rumah selama periode waktu tertentu sampai keluarga terbiasa dengan merawat pasien dan prosedur untuk
memberikan bermacam obat. Terapi fisik dapat dilanjutkan di rumah.
48. Pada akhirnya pasien biasa ditinggalkan di rumah dengan satu atau lebih orang yang menjaganya,
yang sekarang mendapati hidupnya telah sangat berubah. Merawat pasien stroke di rumah dapat sangat mudah atau
sangat tidak mungkin. Pada waktunya, ini akan menjadi jelas bahwa pasien harus ditempatkan pada fasilitas
perawatan yang terlatih karena perawatan yang sesuai tidak dapat diberikan di rumah walaupun keluarga bermaksud
baik untuk merawatnya.