You are on page 1of 18

REFERAT

BRONKITIS AKUT

Disusun Oleh:

Bagoes Tahjono 115070107121004


Meilia Zainudin 125070100111015
Radityo Dewo Bagus Santoso 125070100111019

Pembimbing:
dr. M. Fachrul Udin, SpA, M.Kes

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkitis adalah penyakit pernafasan obstruktif yang sering dijumpai, disebabkan
oleh inflamasi bronkus. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri
atau inhalasi iritan seperi asap rokok dan zat-zat kimia yang ada di dalam polusi udara.
Penyakit ini memiliki karakteristik produksi mukus yang berlebihan. Secara umum
bronkitis dibagi menjadi dua jenis yaitu, bronkitis akut dan bronkitis kronis. Bronkitis
akut timbul karena flu atau infeksi lain pada saluran nafas dan dapat membaik dalam
beberapa hari atau beberapa pekan. Walaupun seringkali ditegakan sebagai diagnosis
bronkitis akut, namun pada anak-anak keadaan ini mungkin tidak dijumpai sebagai
wujud klinis tersendiri(Aditama,2001).
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan mycoplasma. Bakteri
yang dapat menyebabkan bronkitis akut adalah Pneumococcus, Staphyloccocus,
Haemophilus influenzae dan berbagai varian Streptokokus, kemudian virus yang dapat
menyebabkan bronkitis akut adalah Cossackie virus, influenza virus, dan respiratory
sintyccial virus . Etiologi dari penyakit bronkitis adalah faktor usia, faktor rokok, faktor
lingkungan, faktor genetik dan faktor sosial genetik (Aditama, 2001).

Penyakit dan gangguan saluran nafas masih merupakan masalah terbesar di


Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran nafas dan
paru seperti infeksi saluran nafas akut, tuberkulosis, asma dan bronkitis masih
menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering. Kemajuan
dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insiden penyakit
saluran nafas akibat infeksi. Di lain pihak, kemajuan dalam bidang industri dan
transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara.
Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok
serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita. (Cunha et al, 2002).
Di Amerika Serikat, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12
juta orang menderita bronkitis akut pada tahun 1994, sama dengan 5% populasi Amerika
Serikat. Di dunia bronkitis merupakan masalah dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak
pada populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih
banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Untuk Indonesia sendiri, data
epidemiologi masih sangat minim (Worral, 2009).
Saat ini belum ditemukan obat antiviral yang spesifik untuk memberantas virus
penyebab bronkitis akut. Perawatan yang baik dan pengawasan yang intensif diperlukan
untuk memantau dan mencegah terjadinya konvulsi, sianosis, dan dehidrasi. Oksigen
diberikan hanya jika penderita mengalami sianosis, karena pemberian oksigen berlebih
dapat menyebabkan terjadinya kekeringan mukosa. Antibiotika hanya diberikan jika
terjadi komplikasi bakterial. Untuk mencegah bronkitis akut yang disebabkan oleh virus,
sampai saat ini belum tersedia vaksin. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara
peningkatan higienitas dengan cara mencuci tangan dan menghindari lingkungan yang
tercermar (Soedarto, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara diagnosis bronkitis akut ?

2. Bagaimana tatalaksana bronkitis akut ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami cara mendiagnosis bronkitis akut

2. Untuk mengetahui dan memahami tatalaksana bronkitis akut

1.4 Manfaat

1. Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan tentang bronkitis
akut bagi tenaga kesehatan
2. Sebagai bahan masukan/informasi bagi peneliti lain yang ingin
melakukan/melanjutkan penelitian tentang penderita bronkitis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Nafas

Gambar 2.1: Organ Sistem Pernafasan


(South Dakota State University,. (2013). The Structure of The Respiratory System.
Retrievedfrom http://wiki.sdstate.edu/User:kpark26511/1._Respiration_System_and_Exercise
/%E2%91%A0_Pulmonary_Respiratory_System).
a. Saluran Nafas Atas

Gambar 2.2 : Saluran Nafas Atas


(Antranik,. (2011). Upper Respiratory Tract. Retrieved from http://antranik.org/the-
respiratory-system/)
1. Hidung
Udara inspirasi yang masuk melalui rongga hidung akan mengalami tiga
proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Rongga hidung
kaya akan anastomosis arteri dan vena sehingga dapat meningkatkan suhu udara
inspirasi sebanyak 25C (Muluk, 2009).
Rongga hidung terdiri dari dua struktur yang berbeda, yaitu vestibulum dan
fossa nasalis. Permukaan dalam vestibulum mengandung kelenjar sebasea, kelenjar
keringat dan vibrissae, yaitu rambut-rambut pendek dan tebal. Hal ini
mengakibatkan penyaringan udara inspirasi dari partikel-partikel besar. Fossa
nasalis terdiri dari dua ruang cavernosa yang dipisahkan oleh tulang septum
nasalis. Dinding lateral fossa nasalis ada yang menonjol ke dalam berbentuk seperti
papan yang disebut konka. Ada tiga buah konka, yaitu konka nasalis superior,
media, dan inferior. konka nasalis superior diliputi oleh epitel olfaktori khusus.
konka nasalis media dan inferior diliputi oleh epitel respirasi. Celah antara konka
mengakibatkan penambahan luas permukaan yang mengandung epitel respirasi dan
menimbulkan aliran udara yang turbulen. Hal ini menyebabkan bertambahnya
kontak antara arus udara dan lapisan mukosa atau epitel respirasi Sedangkan di
dalam lamina propria konka terdapat banyak pleksus venosus. Hal ini
mengakibatkan udara inspirasi dihangatkan oleh pleksus venosus, dilembabkan
oleh lapisan mukosa dan disaring oleh aliran turbulen sebelum masuk ke saluran
nafas bagian bawah (Muluk, 2009).
Sinus paranasal berfungsi sebagai resonator suara dan juga mengurangi berat
tengkorak. Terdapat empat sinus paranasal yaitu sinus frontalis, sinus etmoidalis,
sinus maksilaris, dan sinus spenoidalis (Moore, 2002).
2. Faring

Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang


menghubungkan nasal dan rongga mulut dengan laring pada dasar tengkorak. Faring
dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Nasofaring : terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas palatum molle.
Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu adanya saluran yang
menghubungkan dengan tuba eustachii dan tuba auditori. Tuba Eustachii bermuara
pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba
ini, orang harus menelan. Tuba auditori yang menghubungkan nasofaring dengan
telinga bagian tengah.
- Orofaring : bagian tengah faring antara palatum lunak dan tulang hioid. Pada bagian
ini traktus respiratori dan traktus digestif menyilang dimana orofaring merupakan
bagian dari kedua saluran ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan
permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior
orofaring, bagian orofaring ini memiliki fungsi pada sistem pernafasan dan sistem
pencernaan. Refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan
makanan terdorong masuk ke saluran cerna (esofagus) dan secara stimulan, katup
menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernafasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces adalah tempat
terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila faringeal, dan
tonsila lingual.
- Laringofaring : terletak di belakang laring. Laringofaring merupakan posisi
terendah dari faring. Pada bagian bawah laringofaring sistem respirasi menjadi
terpisah dari sistem digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam laring dan
makanan lewat posterior ke dalam esofagus melalui epiglotis yang fleksibel
(Tambayong, 1999).

3. Laring

Laring atau tenggorok merupakan saluran udara dan bertindak sebagai


pembentukan suara yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat
ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-
tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring
(Alsagaff, 2001).

b. Saluran Nafas Bawah

Gambar 2.3 : Saluran Nafas Bawah


(UNSW Embryology,. (2016). Adult upper respiratory tract conducting system. Retrieved
from https://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php/Respiratory_System__Upp
er_Respiratory_Tract)
4. Trakea

Tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea berawal dari
kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada
esofagus, turun kedalam thoraks di mana membelah menjadi dua bronkus utama pada
karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah
lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak diatas trakea
disebelah depan dan lateral. Isthmus melintasi trakea di sebelah anterior, biasanya
setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada
sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian
depan adalah otot-otot suprasternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hioid
(Davies, 1997)

5. Bronkus

Merupakan lanjutan dari trakea. Bronkus ada 2 yaitu: bronkus kanan dan
bronkus kiri. Bronkus kanan lebih pendek, lebih besar, dan mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang, lebih ramping, dan mempunyai 2 cabang (Pearce, 2002)

6. Bronkiolus

Merupakan cabang yang lebih kecil dari bronkus. Pada ujung bronkiolus
terdapat gelembung atau alveoli (Pearce, 2002).

7. Alveoli

Alveoli adalah kantung udara, didalam alveoli darah hampir langsung


bersentuhan dengan udara dan didalam alveoli ada jaringan pembuluh darah kapiler,
didalam alveoli inilah terjadi pertukaran gas. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta
alveoli. Terdapat tiga jenis sel sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang
membentuk dinding alveolar. Sel alveolar tipe II sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositosis yang besar
memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting (Pearce,
2002).
8. Paru

Paru-paru mengisi rongga dada, terletak di sebelah kanan - kiri dan di tengah
dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang
terletak di dalam mediastinum. Paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian
besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung-gelembung
ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara.
Hilus paru-paru dibentuk oleh beberapa struktur yaitu arteri pulmonalis yang
mengembalikan darah tanpa oksigen ke dalam paru-paru untuk diisi oksigen. Vena
pulmonalis yang mengembalikan darah berisi oksigen dari paru-paru ke jantung.
Bronkus yang bercabang dan beranting membentuk pohon bronkial merupakan jalan
utama. Arteri bronkialis keluar dari aorta dan mengantarkan darah ke arteri ke
jaringan paru-paru. Vena bronkialis mengembalikan sebagaian darah dari paru-paru ke
vena kava superior, dan pembuluh limfe. Fungsi utama paru-paru adalah untuk
pertukaran udara dari atmosfir ke dalam tubuh manusia dan sebaliknya, untuk
pertukaran udara dalam paru-paru ini harus melalui alveoli. Dalam alveoli ini terjadi
pertukaran gas oksigen dari atmosfer dengan CO2 dibawa ke seluruh tubuh (Alsagaff,
1989).

2.2 Fisiologi Saluran Pernafasan


Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Pernafasan
terdiri atas dua bagian, yaitu : inspirasi dan ekspirasi. Selama pernafasan normal dan
tenang, hampir semua kontraksi otot pernafasan hanya terjadi selama inspirasi,
sedangkan ekspirasi adalah proses yang hampir seluruhnya pasif akibat elastisitas
paru dan struktur rangka dada (Guyton, 1997).
Pernafasan mencakup 2 proses, yaitu:
a. Pernafasan luar: proses penyerapan oksigen (O2) dan pengeluaran karbondiosida
(CO2) secara keseluruhan (Caroline, 2010).
b. Pernafasan dalam: proses pertukaran gas antar sel jaringan dengan cairan sekitarnya
(penggunaan oksigen dalam sel). Proses fisiologi pernafasan dalam menjalankan
fungsinya mencakup 3 proses, yaitu:

Ventilasi pulmoner :

Saat bernafas, udara bergantian masuk-keluar paru melalui proses ventilasi sehingga
terjadi pertukaran gas antara lingkungan eksternal dan alveolus. Proses ventilasi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jalan nafas yang bersih, sistem saraf pusat dan
sistem pernafasan yang utuh, rongga toraks yang mampu mengembang dan berkontraksi
dengan baik, serta komplians paru yang adekuat.

Pertukaran gas alveolar :

Setelah oksigen masuk ke alveolar, proses-proses pernafasan berikutnya adalah difusi


oksigen dari alveolus ke pembuluh darah pulmoner. Difusi adalah pergerakan molekul
dari area berkonsentrasi atau bertekanan tinggi ke area berkonsentrasi atau bertekanan
rendah. Proses ini berlangsung di alveolus dan membran kapiler, dan dipengaruhi oleh
ketebalan membran serta perbedaan tekanan gas.

Transpor oksigen dan karbon dioksida :

Tahap ke tiga pada proses pernafasan adalah transpor gas-gas pernafasan. Pada
proses ini, oksigen diangkut dari paru menuju jaringan dan karbon dioksida
diangkut dari jaringan kembali menuju paru (Pearce, 2002).

2.3 Definisi
Bronkitis merupakan peradangan pada saluran bronkus atau saluran
pernafasan bawah yang terjadi secara mendadak selama 3 sampai 10 hari (ALA,
2016), seringnya diikuti oleh infeksi saluran pernafasan atas tanpa disertai tanda tanda
gangguan paru kronis. Bronkitis adalah suatu infeksi akut saluran besar paru (yaitu
trakea dan bronkus) karena infeksi virus atau bakteri. Gejala yang muncul biasanya
ditandai dengan Flu-like syndrome seperti coryza. Batuk demam yang tidak terlalu
tinggi, lemas, nyeri otot. Batuk biasanya disertai dengan keluarnya sekret dari hidung,
baik yang berair maupun sekret kental. Saat Penyakit bronkitis akut sudah
berlangsung dalam 7-10 hari, mukosa hidung menjadi bengkak dan sekret menjadi
lebih tebal. Bronkitis akut yang berlangsung lebih dari 10 hari, sekret menjadi bening
dan konsistensinya seperti air (Neal R, 2014). Batas nafas cepat adalah frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau
lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002).

2.4 Epidemiologi
Bronkitis akut adalah Penyakit inflamasi pada saluran nafas bawah yang
bersifat kronis. Hasil penelitian mengenai penyakit bronkitis di India, data yang
diperoleh untuk usia penderita ( 60 tahun) sekitar 7,5%, untuk yang berusia ( 30-
40 tahun) sekitar 5,7% dan untuk yang berusia ( 15-20 tahun) sekitar 3,6%. Selain
itu, penderita bronkitis ini juga cenderung kasusnya lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan, hal ini dipicu dengan aktivitas merokok yang lebih
cenderung banyak dilakukan oleh kaum laki-laki (McKay, 2012).

Suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2005


didapatkan angka insidensi dari bronkitis akut berkisar 4,6 per 100. Di Amerika
Serikat, bronkitis akut adalah penyakit yang paling umum urutan sembilan diantara
pasien rawat jalan atau sekitar 4,60% atau 12,5 juta orang di Amerika Serikat. Sebuah
data insiden ekstrapolasi di Amerika Serikat untuk bronkitis akut: 12.511.999 per
tahun, 1.042.666 per bulan, 240.615 per minggu, 34.279 per hari, 1.428 per jam, dan
23 per menit. Sedangkan peneltian pada tahun 2006 di kota London, Inggris bronkitis
akut mempengaruhi 44 dari setiap 1000 orang dewasa > 16 tahun, dengan sebagian
besar episode yaitu sekitar 82% episode terjadi pada musim gugur atau musim dingin.
Di Australia, bronkitis akut ditemukan menjadi alasan yang paling umum kelima
untuk berkonsultasi dengan dokter umum (Jazeela, 2013).

2.5 Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan bakteri dan virus. Namun, Virus merupakan
penyebab tersering bronkitis akut. Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
- Infeksi virus 90% : adenovirus, influenza virus, parainfluenza virus, rhinovirus, dan
lain-lain.
- Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia pneumonia, Legionella)
- Noninfeksi : polusi udara dan rokok.

Gambar 1. Penyebab Bronkitis Akut (Knutson, 2002)

2.6 Patofisiologi
Patofisiologi bronkitis akut bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada
keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence,
yaitu sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Silia epitel
respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir membentuk sistem
mekanisme pertahanan penting dalan sistem respiratorius yang kemudian dikenal
sebagai mucocilliary defence. Silia yang terdapat pada permukaan epitel memiliki
gerakan-gerakan teratur, bersama dengan palut lendir akan mendorong partikel-
partikel asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring,
orofaring dan selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung (Heilger,2005).
Mucocilliary defence yang baik akan mencegah terjadinya infeksi. Pada pasien
dengan bronkitis akut, sistem mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan
sehingga silia tidak berfungsi dengan baik sehingga lebih mudah terserang infeksi.
Kotoran yang seharusnya disaring lalu di dorong ke proksimal oleh silia jadi
tertumpuk di bronkus atau bronkiolus. Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran
mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan
hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan
meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkial meradang, menebal (sering
kali sampai dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya
mukus kental dari dinding bronkial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam
jumlah banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit
saluran udara besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstruksi
jalan nafas terutama selama ekspirasi. Jalan nafas selanjutnya mengalami kolaps dan
udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Pasien mengalami kekurangan
02, jaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan
PO2. Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai PCO, sehingga pasien
terlihat sianosis (Melbye H, 2009).

2.7 Manifestasi Klinis


- Batuk mula-mula kering, setelah 2 atau 3 hari batuk mulai berdahak dan
menimbulkan suara lendir . Intensitas batuk, jumlah, dan frekuensi produksi sputum
bervariasi. Dahak berwarna bening, putih, atau hijau kekuningan (Ngastiyah 2003).
- Dyspnea (sesak nafas) secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan
penyakit. Biasanya orang dengan bronkitis kronik mendapatkan sesak nafas dengan
aktivitas dan mulai batuk.
- Gejala kelelahan, sakit tenggorokan , nyeri otot, hidung tersumbat, dan sakit kepala
dapat menyertai gejala utama.
- Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri
(Schiffman, 2004).
2.8 Diagnosis
Pendekatan dalam mendiagnosis bronkitis akut dapat dilakukan dengan
anamnesa serta pemeriksaan fisik yang cermat. Dalam anamnesa didapatkan keluhan
utama pada pasien berupa gejala batuk kering pada awal dan atau berlanjut disertai
sputum dan menetap selama 3 minggu (Peiser, 2015). Hal ini perlu dibedakan dengan
batuk pada common cold yang disertai kongesti nasal dan rhinorrhea (Albert, 2010).
Diagnosa pneumonia dapat disingkirkan bila tidak didapatkan demam tinggi atau
demam terus menerus dan takipneu (Knutson, 2002).
Dalam pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan berupa tanda-tanda vital
seperti adanya demam atau tidak dan takipneu. Pada bagian lapangan paru apakah
didapatkan suara nafas tambahan seperti wheezing, ronki, perpanjangan ekspirasi.
(Knutson, 2002)
Dari sebuah studi yang dilakukan oleh Scaparotta (2013), pemeriksaan
penunjang dalam mendiagnosis bronkitis seperti pewarnaan gram dan kultur sputum
tidak diperlukan karena sering menunjukkan flora normal. Pemeriksaan seperti foto
rontgen dapat dilakukan bila terdapat dugaan pneumonia atau gagal jantung. Jurnal
lain menyebutkan pemeriksaan sputum dengan perwarnaan gram atau kultur dapat
mengetahui penyebab secara langsung bakteri patogen. Tes fungsi paru atau
spirometri dapat dilakukan apabila ada kecurigaan obstruktif pada jalan nafas
(Knutson, 2002). Pengambilan sampel darah dengan melakukan pemeriksaan darah
lengkap cukup disarankan untuk mengetahui adanya infeksi melalui peningkatan
jumlah leukosit (Peiser, 2015).

2.9 Diagnosis Banding

Berdasarkan Carolan (2016) bronkitis memiliki beberapa diagnosis banding


seperti asma, pneumonia, bronkiolitis, dan tuberkulosis, berikut adalah tabel yang
membedakan pneumonia dengan penyakit-penyakit tersebut berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikasaan penunjang:

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Bronkitis

Pneumonia Asma Bronkitis Bronkiolitis Tuberkulosis


Anamnesa -demam -batuk kronis -batuk -batuk -batuk lama
-batuk malam hari awalnya -takipneu >2 bulan
-distres nafas atau adanya kering -demam lama
pencetus menjadi -penurunan
seperti debu, berdahak berat badan
dingin, atau
bulu hewan
-riwayat
atopik
-riwayat
keluarga
dengan asma

Pemeriksaan -ekspirasi -wheezing -ronkhi -wheezing -limfadeno-


Fisik memanjang, episodic palpable ekspirasi pati
wheezing -suara -krepitasi -suara nafas
ekspirasi nafas halus pada bronkial
-krepitasi bronko- akhir
lebih vesikular inspirasi atau
terdengar saat awal
inspirasi ekspirasi
-suara nafas
bronkial
Pemeriksaan -rontgen: -rontgen: -rontgen: -uji
Penunjang konsolidasi general hiperinflasi, tuberkulin (+)
(lobar), empisema saat kolaps -rontgen:
patchy serangan segmental lobar
infiltrate -challenge test konsolidasi,
(bronko (+) infiltrate
pneumonia), -skin test (+) pulmonary
peribronkial -acid-fast
infiltrate bacilli stain
(interstisial) smear (+)

Diambil dari El-Naggar, M. 2008.Pediatric Clinical Diagnosis 6th Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) LTD

2.10 Tatalaksana
Pemberian obat-obatan yang digunakan pada pasien dengan bronkitis akut
dibagi menjadi dua yaitu pemberian terapi suportif dan definitif. Pada literatur di
Amerika menyebutkan bahwa pemberian terapi definitif seperti antibiotik tidak
disarankan karena sering disebabkan oleh virus. Tetapi bila dicurigai adanya infeksi
dapat diberikan antibiotik broad spektrum seperti amoxicillin dengan dosis 20-40
mg/kgBB/hari (Nelson, 2014). Pemberian terapi suportif seperti analgesik dan
antipiretik (contoh: paracetamol) cukup membantu dalam menangani gejala yang
dialami pasien sedangkan pemberian antitusif dan ekspetoran tidak disarankan untuk
diberikan pada anak kurang dari 2 tahun dan dari hasil studi tidak didapatkan hasil
yang efektif (Carolan, 2016).

Gambar 3. Alogaritma Tatalaksana Bronkitis Akut

2.11Prognosis

Prognosis dalam bronkitis akut bisa dikatakan baik. Bronkitis akut berakhir
dalam beberapa hari sampai satu minggu. Bronkitis akut sering disertai dengan gejala
Flu-like syndrome seperti demam, batuk, lemas, dan sakit kepala. Perlu diperhatikan
bahwa bronkitis akut juga harus ditangani dengan benar karena salah satu komplikasi
tersering bronkitis akut menjadi bronkitis kronis.(Mayo, 2008). Komplikasi selain
bronkitis kronis bisa didapatkan aspirasi trankeobronkial, bronkopneuomnia, sampai
gagal nafas (Carolan, 2012).

BAB 3
KESIMPULAN

Bronkitis akut merupakan inflamasi saluran bronkus dan trakea yang terjadi selama 3
sampai 10 hari bisa disebabkan oleh virus atau bakteri atau inhalasi iritan dengan tanda nafas
cepat. Gejala yang umum terjadi berupa batuk kering lalu menjadi berdahak setelah 2 atau 3
hari. Gejala penyerta yang dapat terjadi berupa sakit tenggorakan atau hidung tersumbat dan
adanya demam bisa menjadi indikasi infeksi pada paru-paru. Anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang cermat menjadi kunci utama dalam penegakan diagnosis pada bronkitis akut.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap dapat membantu dalam
memperkirakan penyebab dari bronkitis. Sedangkan pemeriksaan sputum seperti pewarnaan
gram dan kultur masih kurang efektif. Penanganan pada bronkitis akut dapat diberikan obat
analgesik dan antipiretik sebagai terapi suportif. Sedangkan pemberian antibiotik sebagai
terapi definitif masih kurang efektif karena penyebab umum bronkitis akut adalah virus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, 2001. Paru Kita Masalah Kita. Majalah Kesehatan Medika


tahunXXVIII.No.11 hal : 743-745
2. ALA, 2016. Acute Bronchitis. http://www.lung.org/lung-health-and-diseases/lung-
disease-lookup/acute-bronchitis/learn-about-acute-bronchitis.html. Diakses pada
tanggal 24 Desember 2016
3. Albert, Ross. 2010. Diagnosis and Treatment of Acute Bronchitis. Hartford
4. Alsagaff dkk., 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: UNAIR
5. Caroline, R., 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal.
330-332. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta..
6. Carolan, Patrick. 2012. Pediatric bronchitis workup. University of Nebraska :
America.
7. Davies, D.M., 1997. Textbook of adverse drug reactions. 2 nd edition. New York,
Oxford University Press: 142-143.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman pengendalian infeksi
saluran pernafasan akut. Jakarta.
9. Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC. P. 208 212, 219 223, 277 282, 285 287.
10. Heilger P.A, 2005. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Penerbit Buku kedokteran
EGC. Jakarta.
11. Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al. 2008. Acute bronchitis in adults.How
close do we come to its aetiology in generalpractice? Scand J Prim Health Care.;
15:156160
12. Knutson, Doug. 2002. Diagnosis and Management of Acute Bronchitis. American
Family Physician. Ohio
13. Mayo Clinic. 2008. Bronchitis . http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/bronchitis/basics/definition/con-20014956. Diakses 26 januari 2017.
14. McKay, Alisa J., 2012. Prevalensi PPOK di India : review sistematis.
http://www.google/terjemahan/journale/prevalens/PPOK/india.htm diakses tanggal 24
desember2016 pukul 15.00 WIB.
15. Melbye H, Kongerud J, Vorland L. 2009. Reversible airflow limitation in adults with
respiratory infection. Eur Respir J 2009 7:12391245
16. Moore, K.L., Agur, A.M.R., Dalley, A.F. 2002. Essential Clinical Anatomy 8 ed. San
Fransisco: Lippincott Williams and Wilkins.
17. Muluk, A. 2009. Pertahanan Saluran Nafas. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 42:
55-58.
18. Graham Worall. 2009. Acute bronchitis. Can Fam Phyiscian : Canada.
19. Neal R 2014. Syllabus of infectious disease. Kirskville University
20. Ngastiyah, 2003, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
21. Pearce EC., 2002. Anatomi dan Fisiologi Paru untuk Paramedis. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
22. Peiser, Christian. 2015. Bronchitis in Children. Germany
23. Jazeela Fayyaz, H et al, 2013. Acute Bronchitis. http://www.emedicinehealth.com
diakses tanggal 14 desember 2016 pukul 13.00 WIB
24. Schiffman, George. 2004. Pulmo diseases and disorder respiratory, edisi 4, volume
kedua, EGC, Jakarta, halaman 123 sampai 139.
25. Soedarto.2010.Virologi Klinik.Jakarta:Sagung Seto.
26. Wenzel, Richard. 2006. Acute Bronchitis. Massachusetts

You might also like