You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) Paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat, dimana hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 menunjukan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian ketiga
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. TB Paru
juga menempati nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai
penularan dilakukan dengan cara penemuan dini diikuti dengan pengobatan
tepat dan cukup masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau
dapat menghilangkan sumber penularan secepatnya (Depkes RI, 2002).
Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan tuberkulosis paru sebagai
Global Health Emergency. Tuberkulosis paru dianggap sebagai masalah
kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh mikobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1998 ada 3.617.047
kasus tuberkulosis yang tecatat dieluruh dunia (Zulkifli Amin, 2006).
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat (2015-2025)
adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat
ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial.
Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh
empat faktor yaitu, Lingkungan, Prilaku, Pelayanan Kesehatan dan Keturunan.
Dari keempat faktor tersebut menurut Blum faktor lingkungan dan perilaku
adalah faktor yang paling besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.
TB Paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat
kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB
Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini di tularkan melalui udara yaitu percikan ludah,
bersin dan batuk. Penyakit TB Paru biasanya menyerang paru akan tetapi
dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002).

1
2

Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian


(mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan
terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan
penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program
MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien
TB baru dan 3 juta kematian akibat TB paru di seluruh dunia. Diperkirakan
95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-
negara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif
(15-50 tahun). Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak
daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO)
menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar
40% dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Karena jumlah
penduduknya yang cukup besar, Indonesia termasuk dalam high burden
countries, menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita TB Paru,
setelah India dan Cina. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar
antara 500 sampai 600 orang (Achmadi, 2005). Pada survei yang sama angka
kesakitan TB Paru di Indonesia ketika itu sebesar 800 orang diantara 10.000
penduduk. Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu hanya
berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Estimasi Incidence Rate
TB Paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum (Bakteri Tahan Asam
Positif) adalah 128 diantara 100.000 penduduk untuk tahun 2003, sedangkan
untuk tahun yang sama estimasi TB Paru semua kasus adalah 675 diantara
100.000 penduduk (Achmadi, 2005). Diperkirakan pada tahun 2004, setiap
tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka
kematian di Indonesia tahun 2007 sebesar 41 per 100.000 penduduk. Angka
nasional TB Paru SP (Survei Prevalensi) SKRT TB Paru tahun 2005
menunjukan angka prevalensi, ini berarti ada peningkatan yang signifikan
terbukti dengan data sebesar 119 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan
angka insidensi sebesar 110 kasus diantara 100.000 penduduk. Pada tahun
1995-1998, cakupan penderita TB paru denga strategi DOTS baru mencapai
3

10% dan error rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure
rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan
pelaporan belum seragam (Depkes 2006).
Pada tahun 1999 WHO Global Surveilance memperkirakan bahwa setiap
tahun di Indonesia akan terjadi 583.000 kasus baru tuberculosis dengan
kematian karena tuberkulosis diperkirakan menimpa 140.000 penduduk.
Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penderita barutuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2002).
Di propinsi Banten hasil data dan informasi pada tahun 2010 terdapat
7.853 kasus TB Paru dengan BTA positif, di Kota Serang sendiri pada tahun
2009 mencapai 1590 penderita. Angka kematian kasar (Crude Death Rate =
CDR) TB paru di Provinsi Banten sebesar 78,6%, angka tersebut merupakan
tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Sulawesi Utara (89,6%).
Tingginya jumlah penderita TB Paru di Provinsi Banten, menduduki
peringkat kelima terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Di Kota Serang sendiri, hasil informasi
diperoleh jumlah penderita TB paru tahun 2011 sebesar 3211 kasus, dan tahun
2012 mengalami penurunan menjadi sebesar 2417 kasus (Dinkes Kota Serang,
2012).
Kecamatan Curug Kota Serang, diketahui jumlah penderita TB paru BTA
positif periode tahun 2013 sebanyak 88 orang, sedangkan pada tahun 2014
jumlah penderita TB Paru BTA positif sebanyak 72 orang. Angka kejadian TB
paru BTA positif di Kecamatan Curug menduduki peringkat pertama
dibandingkan dengan beberapa Kecamatan lainnya yang ada di Kota Serang,
berturut-turut yaitu Kecamatan Walantaka 70 kasus, Kecamatan Serang 66
kasus, Kecamatan Taktakan 62 kasus, Kecamatan Kasemen 55 kasus,
Kecamatan Cipocok Jaya 27 kasus.
Kecamatan Curug terdiri dari desa Cilaku, Cipete, Curug, Curugmanis,
Kamanisan, Pancalaksana, Sukajaya, Sukalaksana, Sukawana, Tinggar.
Kecenderungan masih ditemukannya angka kejadian TB paru dalam
masyarakat di Kecamatan Curug, dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah kondisi rumah penderita TB paru tersebut. Karena dari hasil
4

observasi diperoleh informasi bahwa di Desa Kamanisan Kecamatan Curug


terdapat 2 orang penderita TB paru dalam 1 rumah. Hal tersebut
menggambarkan bahwa penularan TB paru sangat tinggi khususnya yang
kontak dan tinggal 1 rumah dengan penderita.
Sumber penularan penyakit TB Paru adalah penderita TB Paru dengan
BTA positif. Faktor resiko yang berperan penting dalam dalam penularan
penyakit TB Paru diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan.
Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan
kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan
dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan hunian, lantai
rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah.
(Achmad, 2005). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor
lingkungan dan sosial, kepadatan hunian, serta kemiskinan berperan dalam
timbulnya kejadian TB Paru pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau
lebih orang dewasa yang menderita TB Paru (Nelson, 2005).
TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama
lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat
mempengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang
tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor resiko sumber penularan berbagai
penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB
Paru (Depkes, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB
Paru seperti hasil penelitian Rosida (2008) mengatakan bahwa lantai rumah,
ventilasi yang buruk, dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi.
Penelitian Ayunah (2008) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah
yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru dikecamatan
Cilandak Jakarta Selatan.
5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
1. Masih tingginya penderita TB Paru dengan angka kejadian 72 per 100.000
penduduk di Kecamatan Curug sejak Januari sampai Desember 2013
2. Kondisi lingkungan di Wilayah Curug yang kurang baik dengan kepadatan
hunian yang tinggi dan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.

C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian ini adalah:
Apakah ada hubungan antara kondisi fisik rumah (pencahayaan, ventilasi,
kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan kejadian TB paru di
Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah (pencahayaan,
ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan
Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun
2014
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:
a. Diketahuinya Distribusi frekuensi kasus berdasarkan kondisi fisik
rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan
kepadatan hunian) di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014
b. Diketahuinya kondisi pencahayaan ruangan di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014
c. Diketahuinya kondisi ventilasi ruangan di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014
d. Diketahuinya kondisi kelembaban ruangan di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014
6

e. Diketahuinya kondisi lantai rumah di Kecamatan Curug Kota Serang


tahun 2014
f. Diketahuinya kondisi kepadatan hunian di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014
g. Diketahuinya hubungan antara kondisi intensitas pencahayaan rumah
dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014
h. Diketahuinya hubungan antara kondisi luas ventilasi rumah dengan
kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang
tahun 2014
i. Diketahuinya hubungan antara kondisi kelembaban rumah dengan
kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang
tahun 2014
j. Diketahuinya hubungan antara kondisi jenis lantai rumah dengan
kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang
tahun 2014
k. Diketahuinya hubungan antara kondisi kepadatan hunian rumah
dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota
Serang tahun 2014

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Kesehatan dan Pemerintah
Manfaat penelitian bagi instansi kesehatan dan pemerintah adalah
diketahuinya faktor-faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan
kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang pada tahun 2014,
sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
Kejadian TB Paru agar tidak mencapai tingkat keparahan yang lebih
tinggi. Hal ini juga dapat mencegah dan mengurangi angka kesakitan dan
kematian akibat TB Paru, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
7

2. Bagi Mahasiswa
Manfaat penelitian bagi mahasiswa selain mendapat pengalaman
belajar di lapangan juga dapat, mengetahui keadaan dan kondisi kesehatan
masyarakat terutama tentang kejadian TB Paru dan faktor-faktor kesehatan
lingkungan rumah yang mempengaruhi secara langsung, sehingga dapat
mengaplikasikannya dengan ilmu kesehatan masyarakat.
3. Bagi Masyarakat
Dengan kegiatan penelitian diharapkan mendapatkan informasi
tentang kesehatan yang ada diwilayahnya, dan mendapatkan pengetahuan
tentang kesehatan, serta mengetahui syarat rumah sehat, sehingga
masyarakat dapat melakukan perbaikan dan pencegahan sendiri terutama
terhadap kejadian TB Paru.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Pada kegiatan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kondisi fisik
rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota
Serang. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan
Mei tahun 2014, dengan mengambil data primer dari responden menggunakan
metode wawancara dengan alat bantu kuesioner dan pengukuran kondisi
lingkungan, sedangkan data sekunder berasal dari Puskesmas Curug. Sampel
pada penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Curug, sedangkan desain
penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit TB Paru

1. Pengertian TB Paru
Tuberculosis Paru adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain
(Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pewarna yang disebut juga Basil Tahan Asam
(BTA).TB Paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Tuberculosis yaitu bakteri tahan asam (Suriadi,
2001).
TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis, suatu basil tahan asam yang
ditularkan melalui udara (Asih, 2004).
2. Kuman Tuberculosis

Mycobacterium Tuberculosis ini berbentuk batang, ukuran panjang 1-4


mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarna. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan
lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-
tahun. Sifat lain adalah aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen,
terutama bagian apical posterior. Secara khas kuman membentuk granula
dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat
dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun.
9

3. Cara penularan TB Paru

Penularan penyakit TB Paru adalah melalui udara yang tercemar oleh


mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh sipenderita
TBC saat batuk, dimana pada anak-anak pada umumnya sumber infeksi
adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk
kedalam paru-paru dan berkumpul dan berkembang menjadi banyak
(terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah) bahkan
bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh
yang lain seperti otak, ginjal saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening
dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.
Seseorang dengan daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel
ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang
memiliki system kekebalan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan
mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak.
Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang
didalam rongga paru, ruag inilah yang nantinya menjadi sumber produksi
sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga aprunya memproduksi
sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TB Paru.
Basil TB Paru yang masuk kedalam paru melalui broncus secara
langsung dan pada manusia yang pertama kali terinfeksi disebut
primaryinfection. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan dalam paru, yang kemudian disebut sebagai kompleks primer
sekitar 4-6 minggu (Depkes. 1999, Depkes 2005) sebagian besar kuman-
kuman TB Paru yang berada dan masuk ke paru orang yang teratur
mengalami fase domant dan muncul bila tubuh mengalami penurunan
kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS.
10

4. Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru

Mekanisme penulran TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru


positif mengeluarkan dahak yang mengandung kuman TB kelingkungan
udara sebagai aerosol (partikel yang sangat kecil). Partikel aerosol ini
terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju paru-paru
tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli kuman TB Paru mengalami
pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan terjadi
destruksi paru. Bagian paru yang telah rusak atau dihancurkan ini akan
berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh
paru untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada
umumnya batuk karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya
dengan demikian menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuning-
kuningan berbentuk butir-butir gumpalan dengan banyak hail TB
didalamnya (Danusantoso, 2001).
Kadang-kadang proses destruki paru dapat berjalan sempurna sampai
sebagian paru berubah menjadi sebuah lubang (kavitas) yang dapat
bervariasi besarnya dari kecil (1-3 cm) sampai besar (>3cm) dan besar
sekali pada foto rontgen paru kelihatan seperti flek pada paru.
Respon lain yang dapat terjadi pada darah nekrosis adalah pencairan,
dalam proses ini bahan cair akan dibuang ke broncus dan menimbulakan
suatu rongga. Bahan tuberkel yang dikeluarkan dari dinding rongga akan
masuk dalam percabangan trachea bronchial. Proses ini mungkin akan
terulang kembali dibagian lain dari paru-paru dan menjadi tempat
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah
organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan
mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
beberapa organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan namapenyebaran
hemathogen, yang biasanya sembuh sendiri. Jenis hemathogen yang lain
adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis millier.
Ini terjadi apabila nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme masuk kedalam system vaskuler dan tersebar ke organ-organ.
11

5. Gejala-Gejala TB Paru

Gejala-gejala yang menunjukan penyakit TB Paru adalah

a. Gejala Utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
b. Gejala tambahan
Gejala tambahan yang sering dijumpai yaitu :
1) Dahak bercampur darah
2) Batuk darah
3) Esak nafas dan nyeri dada
4) Badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru


selain TB Paru. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus
dianggap suspek tuberculosis atau tersangka penderita TB Paru dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

6. Diagnosis TB Paru
a. Semu aspek TB Paru diperiksa 3 spesimen dahan dalam waktu 3 hari,
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakan dengan
ditemukannya kuman TB Paru (BTA). Pada program TB Paru
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto waks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasi.
c. Tidak dibenarkan mendiagnois TB Paru hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
12

d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukan aktifitas


penyakit (Depkes RI, 2007)

7. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita


a. Klasifikasi Penderita
Klasifikasi penderita TB Paru adalah sebagai berikut :
1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
a) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru.Tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan kelenjar pada hilus.
b) Tuberkulosis Extra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalkan plerua, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lympe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lai-lain.
2) Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan dahak mikroskopis
a) Tuberkulosis Paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif specimen dahak SPS hasilnya positif dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif.
3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
a) TB Paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu batuk berat dan ringan.
Batuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced) dan atau keadaan umum pasien buruk.
b) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu :
13

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe,


pleuritis eksuditiva unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier,
parikarditis, peritonitis, pleuritis eksudative bilateral, TB
tulanng belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin (Depkes RI, 2007).
b. Tipe Penderita
Tip penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yatu :
1) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti
Tuberculosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
1 bulan (30 dosis harian).
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberculosis
dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

8. Faktor Resiko TBC


Faktor resiko ialah semua variablel yang berperan timbulnya
kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TBC saling
berkaitan satu sama lain. Berbagai faktor resiko dapat dikelompokkan
kedalam 2 (dua) kelompok yaitu kependudukan dan faktor lingkungan.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TBC


1. Pencahayaan Rumah
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang
bersumber dari sinar matahari (alami) yairu semua jalan yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalkan
melalui jendela atau genting kaca (Depkes RI, 1989: Natoadmodjo, 2003).
Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
14

a) Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena
dapat membunuh bakteri-bakteri phatogen didalam rumah, misalnya
TBC (Natoadmodjo, 2003). Oleh karena itu, rumah yang sehat harus
memiliki jalan masuk cahaya yang cukup yaitu dengan intensitas
cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan. Jalan masuk cahaya
minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan
rumah. Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah
melalui jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga
harus merupakan sinar matahari pagi yang mengandung sinar
ultraviolet yang dapat mematikan kuman, dan memungkinkan lama
menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo, 2007).
b) Cahaya Buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang
bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain.
Menurut Lubis dan Natoadmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai
sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosis.
Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberculosis hanya dapat mati oleh
sinar mataharilangsung. Oleh sebab itu, rumah dengan tandar
pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian
Tuberculosis.

Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No.


829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan
alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux
dan tidak menyilaukan mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat
diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00. Pengukuran dapat
dilakukan dengan alat luxmeter, yang diukur pada tengah-tengah ruangan
dan pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai (Nurhidayah et al., 2007).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya,
dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan panas api.
Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
15

tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar


matahari (Depkes, 2008).
Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru
dengan nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence
Interval (CI)( 3,129 20,080).
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pencahayaan alami dengan kejadian penyakit TB paru dimana
kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah < 60 Lux
(tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru
sebesar 9 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki
pencahayaan alami rumah 60 Lux (p = 0,000, OR = 4,696, 95% CI:
1,93-11,41).
Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai
tanah/semen retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar
(Badan Litbangkes, 2012).

2. Ventilasi Rumah
Ventilasi rumah yaitu usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer
menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989). Ventilasi pada
rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam
rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang
terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah
selalu dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi
akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya
proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan
yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis
(Soekidjo, 2007).
Ventilasi yang baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang
angin yang berseberangan sehingga pertukaran udara akan berjalan terus
dan ruangan menjadi segar, atau jendela yang dapat dibuka sehingga udara
16

segar dan sinar matahari dapat masuk. Cara praktis untuk memperoleh
ventilasi alami adalah jika dengan ventilasi tetap/lubang angin minimal 5%
dari luas lantai, sedangkan jika menggunakan ventilasi variabel/jendela
juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes RI, 1995).
Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan
antara luas ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll
meter. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai
rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi
syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen
dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya (Kepmenkes, 1999).
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
a) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan dari
luas lantai. Jumlah keduanya 10% dari luas lantai rumah.
b) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau
pabrik, kenalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
c) Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antara 2 (dua) dinding. Aliran udara ini
jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari,
dinding sekat dan lain-lain.
Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru,
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 16,9 dengan 95 % Confidence
Interval (CI) 2,121 134,641, dengan nilai p = 0,001.
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru
dimana kelompok masyarakat yang memiliki kondisi ventilasi < 10%
kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 36 kali dibandingkan
yang memiliki kondisi ventilasinya 10% (p = 0,000, OR = 36,417 95%
CI: 10,85-122,17).
17

Hasil penelitian Dahlan (2001) menunjukkan bahwa untuk


ventilasi rumah merupakan variabel yang paling memberikan kontribusi
yang mengatur kualitas suhu kamar untuk kejadian tuberkulosis paru,
secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan p <0,05 dengan
OR= 8,8 (p = 0,000).
Menurut Susiloawati (2012), kejadian tuberkulosis BTA positif
berpeluang atau berisiko lebih besar pada orang yang tinggal serumah
dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng, luas
ventilasi <10% luas lantai dibanding orang yang tidak tinggal serumah
dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah tidak beratap seng, luas
ventilasi 10% luas lantai pada daerah dataran tinggi Kabupaten
Temanggung dan bermakna secara statistik.

3. Kelembaban Udara
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan
kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan
pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan
ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban
tinggi dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu
ruangan normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu
memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara volume udara yang
masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan
perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi
sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana
Wilayah, 2002).
Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi
ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak
optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelah saat
bekerja dan tidak cocok untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu
dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang orang tertentu dapat
menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam
18

rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara


lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga
kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999).
Pengukuran kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer
dengan standar kelembaban ruangan minimal 40%70%, dan suhu
ruangan dengan suhu ideal antara 180C 300C. Pengukuran dilakukan
pada ruang keluarga yang lebih banyak digunakan aktivitas dan pada jam
09.00-12.00. Saat pengukuran alat diletakkan pada permukaan ruangan
yang akan diukur kelembabannya pada posisi horizontal, kemudian tunggu
1 menit dan lakukan pembacaan skalanya. Selama pembacaan haruslah
diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat tersebut, hal ini dapat
dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI, 1995).
Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan
melihat kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat
dirasakan dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa
basah saat dipegang dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995).
Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-
14,971).
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit TB Paru
dimana kelompok masyarakat yang memiliki kelembaban udara > 70%
(tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru
sebesar 3 kali dibandingkan kelompok masyarakata yang memiliki
kelembaban udaranya 40% - 70% (p = 0,009, OR = 2,935, 95% CI:1,29-
6,64),
Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian
tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi
oleh 4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.
19

4. Jenis Lantai
Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai
rumah yang ada di Indonesia bermacam-macam tergantung kondisi daerah
dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan,
plesetan semen sampai kepada pasangan lantai keramik. Komponen yang
harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab,
tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan
kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman
bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997).
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis
paru, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik
untuk berkembang biaknya kuman TB Paru. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering
sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya
(Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006)
bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan bemakna
dengan kejadian tuberkulosis paru dengan OR 2,2 (1,135;4,269).
Menurut Rusnoto et al. (2007) bahwa ada hubungan yang bermakna antara
jenis lantai rumah tidak standar dengan kejadian tuberculosis paru dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,095 dengan 95 % Confidence
Interval (CI) 2,930 17,179, dengan nilai p = 0,0001.

5. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989).
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan
dalam m2 per orang. Luas minimum perorang sangat relative, tergantung
dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan
sederhana, minimum 10 m2/orang untuk kamar tidur diperlukan minimum
3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk
suami istri dan anak dibawah dua tahun.apabila ada anggota keluarga yang
20

menderita penyakit Tuberculosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota


keluarga lainnya.
Secara umum penelitian kepadatan penghuni dengan menggunakan
ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi
syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah
penghuni > 10 m2/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat
kesehatan apabila diperoleh hasil bagi antara luas lantang dengan jumlah
penghuni <10 m2/orang (Lubis, 1989).
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru dimana
kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan hunian < 10m (tidak
memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 10
kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan
huniannnya 10m (p = 0,000, OR = 10,023, 95% CI:3,75-26,75).

C. Kerangka Teori
Menurut Beglehole (1997) dalam jurnal Hubungan Antara Karakteristik
Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis (TB) Paru Pada
Anak. Faktor resiko yang menimbulkan penyakit Tuberculosis adalah faktor
genetic, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk.
Tuberculosis terutama banyak terjadi dipopulasi yang mengalami stress,
nutrisi jelek, penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan
kesehatan yang tidak cukup dan perpindahan tempat.
Lingkungan merupakan hal yang tidak lepas dari aktivitas kehidupan
manusia. Lingkungan, baik secara fisik maupun biologis sangat berperan
dalam proses terjadinya gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan
kesehatan berupa penyakit Tuberculosis.
Rumah atau tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, seperti infeksi saluran
nafas contohnya TBC, influenza, campak, batuk, infeksi pada kulit, scabies,
lepra, pes, leptospirosis, mlaria, demam berdarah dangue, filariasis dan lain-
lain (Budiman Chandra, 2007:164).
21

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan
antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian-
penelitian. Robert dalam Notoatmodjo (2005).
Sesuai dengan tema yang diambil, maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah untuk memperlihatkan hubungan antara lingkungan rumah
(pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian)
dengan kejadian tuberculosis (TB) paru di Kecamatan Curug Kota Serang
Tahun 2014.

Bagan 3.1
Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis (TB) Paru

Variabel Independen Variabel Dependen

Kondisi Fisik Rumah

Pencahayaan
Kejadian
Ventilasi
Tuberkulosis (TB)
Kelembaban
Paru
Jenis Lantai
Kepadatan Hunian
22

B. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala


Variabel Dependen
Kejadian TB Kondisi atau riwayat Buku Kuesioner 0. Sakit TB Ordinal
Paru kejadian sakit paru Register Paru.
pada responden TB Paru 1. Tidak Sakit
yang dilihat dari TB Paru
buku register TB
Paru.
Variabel Independen
Pencahayaan Pencahayaan adalah Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ordinal
pencahayaan alami dan memenuhi
ruangan rumah Observasi syarat
adalah penerangan kesehatan,
yang bersumber dari jika sinar
sinar matahari matahari
(alami), yaitu semua masuk tidak
jalan yang langsung
memungkinkan kedalam
umtuk masuknya ruangan.
cahaya matahari 1. Memenuhi
alamiah, misalnya syarat
melalui jendela atau kesehatan,
genting kaca jika sinar
(DepKes RI, 1989; matahari
Notoatmodjo,2003) masuk
langsung
kedalam
ruangan
Ventilasi Ventilasi adalah Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ordinal
ventilasi rumah dan memenuhi
23

yaitu usaha untuk Observasi syarat jika


memenuhi kondisi ventilasi <
atmosfer yang 10% luas
menyenangkan dan lantai.
menyehatkan 1. Memenuhi
manusia. syarat jika
(Lubis,1989). ventilasi >
Persyaratan ventilasi 10% luas
yang baik adalah lantai.
sebagai berikut :
Luas lubang
ventilasi tetap
minimal 5% dari
luas lantai ruangan
dari luas lantai.
Jumlah keduanya
10% dari luas lantai
rumah.
Kelembaban Kelembaban rumah Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ordinal
yang tinggi dapat dan memenuhi
mempengaruhi Observasi syarat jika
penurunan daya kelembaban
tahan tubuh < 40% atau
seseorang dan >70%.
meningkatkan 1. Memenuhi
kerentanan tubuh syarat jika
terhadap penyakit kelembaban
terutama penyakit memenuhi
infeksi. Kelembaban 40-70%.
juga dapat
meningkatkan daya
tahan bakteri.
24

Menurut Suryanto
(2003),kelembaban
dianggap baik jika
memenuhi 40-70%
dan buruk jika
kurang dari 40%
atau lebih dari 70%
(Krieger dan
Higgins,2002).
Lantai Kontruksi lantai Wawancara kuesioner 0. Tidak Ordinal
Rumah rumah dominan dan memenuhi
terbuat dari bahan observasi syarat
yang kedap air dan kedap air.
mudah dibersihkan 1. Memenuhi
(Kepmenkes No. syarat
829/1999). kedap air.
Kepadatan Perbandingan luas Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ordinal
Hunian kamar dengan dan memenuhi
jumlah penghuni di observasi syarat bila
mana persyaratan <3m2/orang
minimal 3 m2/orang. 1. Memenuhi
syarat bila
>3m2/orang

C. Hipotesis
Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil
sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional
variabel sebagaimana di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah :
Ha: Ada hubungan antara Kondisi Pencahayaan Ruangan dengan kejadian
TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
25

Ha: Ada hubungan antara Kondisi Ventilasi Ruangan dengan kejadian TB


paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha: Ada hubungan antara Kelembaban Udara dengan kejadian TB paru di
Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha: Ada hubungan antara Jenis Lantai Rumah dengan kejadian TB paru di
Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha: Ada hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian TB paru di
Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
26

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus control
untuk mencari hubungan seberapa jauh faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif (Sastroasmoro,
2002). Yang menjadi faktor lingkungan adalah pencahayaan, ventilasi
ruangan, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian.
Pada studi kasus kontrol sekelompok kasus (pasien yang menderita penyakit
atau efek yang sedang di teliti) dibandingkan dengan sekelompok control
(mereka yang tidak menderita efek atau penyakit). Pada penelitian ini kriteria
sebagai kasus adalah semua penderita TB Paru yang tercatat dalam buku
register TB Paru dari bulan Oktober 2013 sampai Februari tahun 2014, yang
datang berobat ke puskesmas dengan hasil pemeriksaan dengan BTA positif
dan bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Sedangkan kontrol
adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal
di Wilayah Kecamatan Curug, karena mereka mempunyai resiko untuk
tertular penyakit ini dari penderita.
Penelitian ini bersifat retrospektif dimana efek atau outcome ditelusuri
kebelakang (backward) untuk diidentifikasi penyebab atau faktor risikonya,
dengan membandingkan kelompok kasus dan kontrol. Efek yang ingin dilihat
adalah kejadian penyakit TB Paru yang diidentifikasi saat ini, sementara faktor
risiko berupa faktor karakteristik dan lingkungan yang diduga sebagai pemacu
(confounding) diidentifikasi pada masa lalu.
27

Secara sederhana, rancangan kasus control pada penelitian ini dapat dilihat
pada gambar berikut:

Lingkungan memenuhi syarat Sakit TB Paru


(kasus)
Lingkungan tidak memenuhi syarat

Lingkungan memenuhi syarat Tidak TB Paru


(kontrol)
Lingkungan tidak memenuhi syarat

Gambar 4.1 : Desain penelitian

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Mei 2014, bertempat di
Kecamatan Curug dengan jumlah penduduk 47.308 jiwa. Pemilihan lokasi
penelitian karena berdasarkan Laporan Dinas Kota Serang, telah terjadi
penyakit TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang pada bulan Oktober 2013
- Februari 2014.
C. Populasi Dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek
yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah di
Kecamatan Curug.
Populasi kasus adalah penderita pada kejadian penyakit TB Paru di
Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013 Februari 2014. Populasi
kasus berjumlah 87 orang berdasarkan data yang diperoleh dari
Puskesmas Curug.
Sedangkan populasi control adalah bukan penderita pada kejadian
penyakit TB Paru di Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013
Februari 2014. Populasi control berjumlah 47221 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2007).Sampel pada penelitian ini dibedakan
menjadi sampel kasus dan sampel kontrol.
28

Sampel kasus adalah penderita yang telah didiagnosis petugas kesehatan


sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita TB Paru dengan gejala dan
tanda klinis seperti dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa
nyeri dada dan badan lemas dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug
Kota Serang pada bulan Oktober 2013- Februari 2014.
Sampel kontrol adalah orang yang tidak didiagnosis petugas kesehatan
sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita dan tidak mengalami gejala
TB Paru serta dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang
pada Oktober 2013 - Februari 2014. Lokasi rumah sampel kontrol adalah
tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di
Wilayah Kecamatan Curug.
Kriteria inklusi sampel kasus adalah:
a. Penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang
tahun 2014.
b. Penduduk yang telah didiagnosis petugas kesehatan sebagai penderita
TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014.
c. Kesediaan yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang
tahun 2014.

1) Besar Sampel
Besar sampel minimal dihitung dengan menggunakan rumus besar
sampel untuk desain studi kasus kontrol uji hipotesis perbedaan dua
proporsi (Ariawan, 2005)

/ [ ( )] [ ( ) ( )]
n=
( )

Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal
: Kesalahan tipe I, =0.05
: Kesalahan tipe II, =0,2
P2 : Proporsi terpajan pada kontrol
P1 : Proporsi terpajan pada kasus
P : (P+P)
29

Dari perumusan diatas dan berdasarkan pada perhitungan P dan OR


hasil penelitian terdahulu, dimana jumlah sampel setiap variabel
dengan =0.05 perbandingan satu kasus dan satu kontrol dapat
dihitung besar sampel minimal seperti tabel berikut.
Tabel 4.2 Jumlah Sampel Untuk Setiap Variabel Dengan
Perbandingan Satu Kasus Satu Kontrol
No. Variabel Peneliti P OR P P N
Ventilasi
1. Dahlan, 2001 0,44 3,27 0,72 0,58 36
Ruangan
Kepadatan Helda Suarni,
2. 0,50 3,57 0,78 0,64 45
Hunian 2009
Contoh perhitungan dengan P = 0,50, OR= 3,57 dan n=45 (Helda suarni,
2009).
( )
P1 =
( ) ( )
, ,
=
( , , ) ( , )
= 0,78

/ [ ( )] [ ( ) ( )]
n=
( )

, [ , ( , )] , , ( , ) , ( , )
=
( , , )
= 45

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas,


maka diperoleh hasil jumlah sampai minimal yang dapat diambil
adalah 45 orang, dengan perbandingan sampel antara kasus dan kontol
1:1, dimana 45 responden sebagai kelompok kasus dan 45 responden
sebagai kelompok kontrol, sehingga jumlah sampel secara
keseluruhan adalah 90 orang.
30

2) Teknik Dan Cara Pengambilan sampel


Sebagai sampel pada penelitian ini adalah penduduk di Kecamatan
Curug Kota serang. Sampel kasus yang diambil adalah total populasi
kasus berdasarkan daftar nama penderita TB Paru di Kecamatan
Taktakan Kota Serang. Daftar nama penderita di peroleh dari data
Puskesmas Curug dan Kader setempat. Sedangkan sampel kontrol
adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat
tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Pengambilan sampel kontrol
diambil secara simple random sampling, artinya seluruh penduduk
Kecamatan Curug Kota Serang yang tidak menderita TB Paru dapat
dijadikan sebagai sampel kontrol.

D. Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data Faktor Lingkungan
Data lingkungan fisik dapat dengan melakukan Observasi dan pengukuran
dilapangan melalui kunjungan rumah pasien TB Paru sebagai kasus
setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium. Meteran untuk mengukur
luas ventilasi dan luas lantai rumah. Sedangkan alat ukur untuk kepadatan
hunian rumah dengan melakukan observasi dan wawancara menggunakan
kuisioner. Hal sama juga dilakukan untuk kontrol.
2. Pengumpulan Data Kejadian TB Paru
Data kejadian TB Paru didapat dengan melihat dokumen status pasien
yang sebelumnya melakukan pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data ini dibantu oleh petugas
puskesmas dan kader denan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Melakukan verifikasi semua tersangka penderita TB Paru BTA
positif di puskesmas Curug yang tercatat pada buku register TB Paru
mulai bulan Oktober 2013 sampai Februari 2014.
b. Memilih semua penderita TB Paru BTA Posotif sebagai kasus
sebagai jumlah yang diperlukan untuk penelitian.
c. Memilih tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang
bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug.
31

d. Melakukan wawancara, observasi, dan pengukuran untuk


mendapatkan informasi mengenai lingkungan fisik rumah.
E. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan langkah-
langkah sebagai berikut (Hastono, 2007).
1. Pemeriksaan (Editing) data, yaitu pengecekan isian daftar pertanyaan
ataukuisioner dari sisi kelengkapan, kejelasan, relevansi dan konsistensi
jawaban. Kegiatan ini langsung dilakukan pada hari yang sama dengan
pengisian kuesioner. Jika ditemukan data belum lengkap, maka
mengambil data akan diminta untuk melengkapi atau memperbaiki
kuesioner dengar cara menemui responden kembali.
2. Pemberian kode (Coding) data, yaitu kode pada variabel dengan jenis data
kategori yaitu variabel kejadian penyakit TB Paru, pencahayaan, ventilasi,
kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian. Dalam pemberian kode
berdasarkan tingkat resiko pada variabel yang terdiri 2 kategori, maka
untuk hasil pengukuran yang tidak berisiko diberi kode yang lebih tinggi
(misalnya : 1). Yang berisiko untuk variabel yang terdiri lebih dari 2
kategori, pada saat dilakukan analisis bivariat akan dirubah menjadi 2
katergori dengan cara menggunakan (collaps) beberapa kelompok data.
3. Processing adalah kegiatan memproses data setelah semua kuisioner terisi
penuh dan benar, serta sudah melewati pengkodean agar data yang sudah
di entry dapat di analisis. Pemrosesan data dilakukan dengan
menggunakan program computer yaitu Sofware Statistik, pada saat proses
pengolahan data dilakukan compude data.
Fungsi compute digunakan pada :
Variabel pencahayaan ruangan diperoleh dari pengukuran dengan
menggunakan luxmeter.
Variabel ventilasi ruangan diperoleh dari pengukuran dengan
menggunakan rollmeter.
Variabel kelembaban ruangan diperoleh dari pengukuran dengan
menggunakan hygrometer.
32

Variabel lantai rumah diperoleh dari observasi yang kemudian


dijumlahkan keseluruhan. Hasil beresiko diberi nilai 0 dan yang tidak
beresiko diberi nilai 1. Jika pada nilai total diperoleh nilai nol, maka
dinyatakan tidak memenuhi syarat kedap air.
Variabel kepadatan hunian diperoleh dengan cara membagi luas
rumah dengan jumlah penghuni dalam satu rumah.
4. Membersihkan (cleaning) data, merupakan kegiatan pemeriksaan kembali
data yang sudah dimasukan kedalam program komputer. Jika ditemukan
data yang tidak sesuai maka dilakukan pengulangan dalam proses entry
data sehingga menjadi sesuai dengan isi yang ada pada kuisioner.

F. Analisa Data
Setelah dilakukan pengolahan data langkah berikutnya adalah menganalisis
data sehingga data tersebut mempunyai arti/makna yang dapat berguna untuk
memecahkan masalah penelitian. Analisia data pada penelitian ini akan
dilakukan dengan bantuan program computer yang sesuai. Tahapan kegiatan
analisa data yang akan dilakukan meliputi analisis univariat dan analisis
bivariat.
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran data mengenai
distribusi frekuensi dan proporsi dari tiap variabel dalam penelitian ini.
Pada penelitian ini diperoleh data mengenai distribusi frekuensi variabel
dependen yaitu, kejadian penyakit TB Paru dan distribus ifrekuensi
variabel independen yaitu faktor lingkungan yang disajikan dalam bentuk
proporsi (persentase).
2. Analisis Bivariat
Dilakukan dengan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan = 0,05
untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dan variabel lainnya. Uji Chi Square bertujuan untuk
menganalisis ada atau tidaknya hubungan variabel independen dan
variabel lainnya dengan variabel kejadian TB Paru BTA positif, yang
semuanya merupakan data kategorik untuk melihat kebermaknaan secara
33

statistic. Jika nilai P yang didapat lebih kecil dari nilai =0,05akan
diinterpretasikan bahwa variabel-variabel tersebut memiliki hubungan
dengan kejadian TB Paru. Penyajianan analisis bivariat dilakukan dengan
membuat table dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi. Sedangkan
untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor resiko
dan faktor efek dilihat melalui nilai Odds Ratio (OR). OR dalam hal ini
untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat dan menunjukan terjadinya penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar.
Interval estimasi OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan sebesar 95% CI
(confident Interval).
P value , maka uji statistic menunjukan adanya hubungan yang
bermakna.
P value , maka uji statistic menunjukan tidak adanya hubungan
yang bermakna.

Dalam penelitian kasus control, dikenal dengan adanya nilai Ods Ratio
(OR), yaitu nilai yang dihitung untuk mengetahui perbandingan benar
resiko antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan, dengan
ketentuan :

Bila OR < 1 artinya faktor protektif, yaitu faktor yang dapat


mencegah untuk terjadinya suatu penyakit.
Bila nilai OR = 1 artinya faktor yang diteliti bukan merupakan faktor
risiko.
Bila nilai OR > 1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor risiko.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


1. Uji Validitas
Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner)
dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara masing-masing variabel
dengan skor totalnya. Suatu variabel (Pertanyaan) dikatakan valid bila
34

skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya


(Hastono, 2007 : 54)
( ) ( ).( )
r=
{ . ( ) }.{ . ( ) }
Ket:
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah responden
i = Jumlah skor item
i = Jumlah skor total

Keputusan uji:
Bila r hitung > r tabel Ho ditolak, artinya item valid
Bila r hitung < r tabel Ho gagal ditolak, artinya item tidak valid

2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dengan alat ukur yang sama, (Hastono, 2007).
Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan one shot/ skala ukur. Penelitian dilakukan dengan
perangkat lunak pengolahan data, langkah-langkah yang digunakan antara
lain: mengajukan kuisioner kepada sejumlah responden, kemudian
dihitung validitas masing-masing pertanyaan. Suatu instrument dikatakan
reliable jika r alpha () lebih besar dari r tabel.
35

KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH (PENCAHAYAAN,
VENTILASI, KELEMBABAN, JENIS LANTAI, DAN KEPADATAN
HUNIAN) DENGAN KEJADIAN TB PARU DI KECAMATAN CURUG
KOTA SERANG TAHUN 2014
Nama Pewawancara : .
Nama Responden : .
Umur Responden : .. Tahun
Jenis Kelamin : L/P
Alamat : .. Rw : .. Rt :

Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah 5. Tamat SMA


2. Tidak Tamat SD 6. Akademi
3. Tamat SD 7. Sarjana
4. Tamat SMP 8. Pasca Sarjana

Pekerjaan : 1. Pegawai Negeri 6. Pedagang/ Wiraswasta


2. Pegawai Swasta 7. Ibu Rumah Tangga
3. TNI/Polri 8. Pelajar
4. Petani 9. Lainnya, sebutkan: ..
5. Nelayan

IDENTIFIKASI GEJALA TB PARU

1. Apakah anda mengalami batuk terus menerus atau berdahak selama 3 minggu
atau lebih?
a) Ya
b) Tidak
2. Jika ya, apakah batuk yang terus menerus disertai mengeluarkan dahak dan
demam meriang?
a) Ya
b) Tidak
36

3. Saat menderita gejala tersebut apakah anda mengalami batuk darah?


a) Ya
b) Tidak
4. Apakah ibu/bapak merasa sesak nafas dan nyeri dada?
a) Ya
b) Tidak
5. Apakah ibu/bapak merasa lemas?
a) Ya
b) Tidak
6. Apakah ibu/bapak sedang mengalami penurunan berat badan?
a) Ya
b) Tidak
7. Apakah ibu/bapak sering mengalami keringat saat malam hari?
a) Ya
b) Tidak
8. Apakah nafsu makan ibu/bapak berkurang?
a) Ya
b) Tidak

PENGUKURAN PENCAHAYAAN

1. Apakah dirumah anda cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan rumah?
a) Ya
b) Tidak
2. Apakah disetiap ruangan rumah anda ada pencahayaan?
a) Ya
b) Tidak
3. Apakah setiap hari anda suka membuka jendela?
a) Ya
b) Tidak pernah sama sekali
c) Jarang
37

PENGUKURAN VENTILASI RUANGAN (KAMAR TIDUR)

1. Berapa luas lantai kamar tidur . m2 (ukur oleh pewawancara)


2. Apakah di dalam kamar tidur anda terdapat ventilasi?
1. Ya
2. Tidak (Langsung ke pengukuran pencahayaan)
3. Bagaimana kondisi ventilasi kamar tidur? (Lihat oleh pewawancara)
1. Ditutup permanen
2. Tidak ditutup permanen
4. Berapa luas ventilasi/jendela kamar tidur? (ukur oleh pewawancara) ..
m2
5. Bagaimana hasil pengukuran ventilasi kamar tidur?
1. Memenuhi syarat
2. Tidak memenuhi syarat

KELEMBABAN

1. Berapakah kelembaban ruangan rumah anda? (ukur oleh pewawancara)


. %
2. Berapakah suhu ruangan rumah anda? (ukur oleh pewawancara)
C
3. Bagaimana kondisi kelembaban rumah anda?
a) Gelap dan lembab
b) Terang tapi lembab
c) Terang dan hangat

JENIS LANTAI

1. Apakah jenis lantai rumah anda?


a) Semen
b) Keramik/porselin
c) Ubin
d) Tanah
e) Kayu
f) Lainnya, sebutkan : .
38

2. Bagaimana kondisi lantai rumah anda?


a) Lembab, kotor dan sulit dibersihkan
b) Kering, rapat dan mudah dibersihkan
3. Seberapa seringkah anda membersihkan lantai rumah anda?
a) 1 kali sehari
b) 2 kali sehari
c) > 2 kali sehari

KEPADATAN HUNIAN

1. Berapa jumlah anggota keluarga yang menempati rumah anda?


a) 1 orang
b) 2-3 orang
c) Lebih dari 3 orang
2. Berapa jumlah kamar tidur dirumah anda?
a) 1 buah
b) 2 buah
c) Lebih dari 3 buah
3. Apakah luas bangunan fisik rumah anda lebih dari 10 m2/orang?
a) Ya
b) Tidak
4. Apakah semua anggota keluarga mempunyai ruang kamar tidur sendiri?
a) Ya
b) Tidak
5. Berapa jumlah orang yang tidur dalam satu kamar?
a) < 2 orang
b) > 2 orang

You might also like