You are on page 1of 14

I.

PENDAHULUAN
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-
sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah
yang dikenal dengan sebutan epidural hematom (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena
dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal
artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang
epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH dan sekitar
10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma
epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko
mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.

60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

Tipe- tipe :

1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri


2. Subacute hematoma ( 31 % )
3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

III. ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.

IV. ANATOMI OTAK


Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti
adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali
neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya dari tim medis
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik
dan bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat digerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane
dalam yang mngandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada
penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang
subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini
dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang
seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang
dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding
bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan
dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior, media, dan posterior.
Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri
ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural,
dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila ditemukan dan diobati dengan
segera.

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
duramater, arachnoid, dan piamater

1. Duramater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria

Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mgnum dengan duramater spinalis yang membungkus
medulla spinalis

1. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba


2. Piamater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.

V. PATOFISIOLOGI
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang
terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus


temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial
lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis
di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei
saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi
pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik
pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :

Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )


Sinus duramatis
o Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater
dan lamina interna tulang pelipis.

Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4)

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan
diperiksa dengan teliti.

VI. GAMBARAN KLINIS


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti
ini harus diobservasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma


Bingung
Penglihatan kabur
Susahbicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah
terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya
lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul
berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

VII. GAMBARAN RADIOLOGI


Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedera
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat
pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline
terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.

Gambar 1. Gambaran CT-Scan Hematoma Epidural di Lobus Fronal kanan.

Gambar 2. Gambaran CT-Scan fraktur tulang frontal kanan di anterior sutura coronalis

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkanmassahiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Gambar 3. Gambaran MRI Hematoma Epidural.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. 1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan
arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma
epidural yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala
yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga
merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran
CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens
berbentuk bulan sabit.

Hematoma Subdural Akut

1. 2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.

Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan


hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garis tengah ke kanan

IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-
kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a.Hiperventilasi.

b.Cairan hiperosmoler.

c.Kortikosteroid.

d.Barbiturat.

a.Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b.Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.

Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,
harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali
(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang
lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.

Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :

Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4
dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg
dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

d.Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan
pengawasan yang ketat.

e.Cara lain
Pala 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan intrakranial.

Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah:

kepala dan leher diangkat 30. sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150. telapak
kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah

3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.

a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian
intravena karena sifat-nya asam sehingga mengiritasi vena.

b.Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.

c.Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis
10Q-500 mg/hari intravena.

4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai di-perhatikan sejak dini; tidak
jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di bagian tubuh
lainnya. Anti-biotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus
kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat me-nyebabkan liquorrhoe. Luka lecet
dan jahitan kulit hanya memerlukan perawatan lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan
fungsi pembekuan normal. Per- darahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan
hemostatik. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma
tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan
250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari
per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital
tidak dianjurkan ka-rena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan.

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc desak ruang supra tentorial
> 10 cc desak ruang infratentorial
> 5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau

kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Perawatan luka dan
pencegahan dekubitus pada pasien post operasi harus mulai diperhatikan sejak dini.

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Rehabilitasi pada perdarahan otak


Hal-hal yang timbul akibat perdarahan otak menyebabkan gangguan fungsi dan
menjadi masalah pokok pada rehabilitasi medik, adalah : lokomotor, ketrampilan
tangan, gangguan bicara, gangguan koordinasi, gangguan sensorik dan kejiwaan).
Untuk menangani banyak masalah tersebut perlu kerja sama tim yang terpadu.

1. Gangguan Lokomotor
Penyebab gangguan lokomotor yang paling umum adalah hemiplegia motorik akibat
gangguan pembuluh darah atau para-plegia dan quadriplegia akibat penekanan pada
sumsum tulang belakang atau penyakit demyelinasi; masalah tersebut akan
memerlukan fisioterapi tergantung dari luasnya lesi saraf ter-sebut apakah statis,
memburuk atau membaik.

Pertimbangan utama adalah mobilisasi dan ketergantungan penderita; anggota gerak


yang sehat harus dipelihara kekuatan-nya dan anggota yang lumpuh digerakkan
secara pasif untuk memelihara gerakan sendi yang normal jangan sampai kaku. Bila
ada spastisitas, harus diusahakan sedemikian rupa sehingga fungsi untuk berjalan bisa
terpenuhi; baik dengan cold pack atau hot pack maupun dengan vibrasi atau
menggunakan refleks hambatan. Kadang-kadang diperlukan suntikan lokal langsung
pada saraf dengan phenol atau alkohol yang bermanfaat untuk beberapa minggu
sampai beberapa bulan, sehingga penderita telah dapat diperbaiki mobilitasnya.

2. Ketrampilan tangan
Sistim piramidalis sangat mempengaruhi kemahiran ketrampilan tangan; walaupun
proses penyakit telah sembuh namun dalam hal ini selalu ada defisit. Walaupun
kekuatan otot telah pulih, gerakan sendi telah balk, pengendalian anggota gerak telah
dikuasai namun ketrampilan tangan ini masih bagian yang penting dalam proses
rehabilitasi. Sebagian dapat dikerjakan fisioterapist tetapi lebih terperinci lagi oleh
okupasi terapist. Ketrampilan dapat dipulihkan melalui latihan terapi okupasi seperti
menulis, mengetik, memasukkan kancing baju, bertukang dan menjahit. Akhirnya
kemampuan yang semakin rumit se-hubungan dengan kebutuhan penderita dalam
pekerjaannya, memerlukan latihan yang lebih rumit pula.

3. Gangguan bicara
Gangguan berkomunikasi merupakan cacat penting yang bisa disandang oleh
penderita. Cacat demikian memerlukan evaluasi yang teliti dan penanganan khusus.
Berbagai klasifikasi gangguan berkomunikasi, diantaranya yang mudah dan praktis
adalah klasifikasi Sehuell :

Gol. 1 : Afasia sederhana.

Terdapat pengurangan semua bahasa, tidak ada gangguan sensorik dan motorik, ada
disarthria.

Gol. 2 : Serupa dengan gol. 1 ditambah dengan gangguan visual dan terdapat
gangguan diskriminasi, pengenal-an dan pengungkapan simbol visual.

Gol. 3 : Afasia disertai gangguan proses pendengaran dan sensorik-motorik.

Gol. 4 : Campuran gangguan pendengaran, penglihatan dan motorik dan tanda-


tanda kerusakan otak yang me-nyeluruh.

Gol. 5 : Afasia, ireversibel dan hilangnya semua modalitas fungsi berbahasa. Dari
klasifikasi dapat diduga prognosisnya; gol. 1 afasia sederhana adalah baik sedang
gol. 5 afasia ireversibel adalah jelek. Apapun golongan penderita ada kemungkinan
memberi bantuan komunikasi yang sesuai oleh speech therapist.

4. Gangguan kordinasi
Gangguan kordinasi timbul akibat kerusakan pada serebellum. Lesi serebellum, dan
campuran lesi serebellum dan piramidal mengakibatkan gangguan koordinasi dan
kurangnya gerak trampil. Suatu hal yang perlu diperhatikan apakah lesi bersifat tetap,
sembuh atau memburuk dan hubungannya dengan cacatnya apakah permanen atau
sementara.

Gangguan kordinasi anggota gerak atas dilatih dengan latihan sederhana dimulai dari
gerakan jari-jari sendiri-sendiri, ditingkatkan dengan antar jari, berarti sudah ada
kordinasi tangan dan mata. Sangat menolong adalah rekreasi permainan benda kecil
atau kerajinan tangan.
Gangguan kordinasi anggota gerak bawah, tidak perlu di-paksakan untuk latihan jalan
(walking gait); cukup dengan memulai yang sederhana menempatkan kaki dalam
berbagai posisi secara statik, dilanjutkan dengan kordinasi pergerakan sendi. Sebelum
berdiri ada baiknya posisi tegak dilatih padatilting table dulu, latihan keseimbangan
berdiri di lantai, baru latihan jalan dengan bantuan terapis. Selanjutnya dapat dilatih
dengan alat bantu seperti kruk, tripod atau tongkat untuk ber-jalan sendiri.

Gangguan kordinasi karena defek pada ekstrapiramidal lebih sulit diatasi terutama
kalau bilateral. Selain kekuatan yang menghambat untuk bergerak, ada kegagalan
mulai bergerak walaupun penderita sudah mengerti instruksi dan penerangan. Kadang-
kadang bisa ditolong dengan bantuan visual dan pendengaran; pasien dengan sindrom
Parkinson lebih sulit berjalan pada jalan yang rata daripada berlekuk-lekuk karena
rangsangan sensorik kerikil akan memudahkan gerakan.
5. Gangguan sensorik
Selain pendengaran, mengecap, penciuman dan penglihatan, perasaan merupakan
modalitas yang penting. Gangguan sensorik ini dapat dibagi 3 :

a. Perasaan dalam (proprioseptif).


b. Perasaan superfisial (eksteroseptif).

c. Stereognosis.

a. Perasaan dalam (proprioseptif) :


Memberi perasaan posisi dan pergerakan badan, reseptor terletak pada jaringan tubuh
: otot, tendon, periost dan sendi juga memberi informasi tegangan otot dalam setiap
gerakan. Gangguan proprioseptif akan mengganggu hubungan sensorik motorik.

b. Perasaan superfisial (eksterosepuf) :


Reseptor terletak pada kulit sangat penting untuk perabaan, tekanan, panas dingin dan
nyeri. Gangguan sensorik superfisial ini akan menyebabkan mudah cederapada kulit
tanpa disadari.

c. Stereognosis
Perasaan ini adalah kemampuan mengenal benda tiga dimensi dengan meraba,
tampaknya merupakan kombinasi perasaan dalam dan superfisial.

Gangguan stereognosis ini menyebabkan astereognosis atau hilangnya perasaan taktil-


kinestetik.

Test yang penting secara praktis adalah :

a. Perasaan superfisial

b. Suhu

c. Nyeri

d. Perasaan dafam

e. Pembedaan ringan-berat

f. Stereognosis

g. Bentuk persepsi dsb.

Untuk mengatasi gangguan sensorik ini perlu latihan berulang-ulang setiap rangsangan
untuk memulihkan fungsi anggota gerak misalnya untuk berdiri, jalan, ADL memasang
kancing baju, sikat gigi, makan dengan garpu dan sebagainya. Variasi rangsangan
bisa diberikan melalui permainan dengan bahan berlainan misalnya balok-balok kayu,
plastik dan tanah fiat. Latihan secara bertahap dari ringan sampai berat sesuai dengan
kemampuan yang telah dicapai.

6. Gangguan kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang timbul akan sangat menghambat usaha-usaha rehabilitasi
pemulihan fungsi-fungsi tubuh. Akibat kerusakan otak bisa timbul hilangnya intelek,
perubahan kepribadian dan jadi agresif. Perlu pemeriksaan dan evaluasi oleh psikiater.
Depresi, cemas, kelelahan berlebihan, konsentrasi pikiran yang rendah dan kurangnya
ingatan bisa karena defisit neurologik tetapi belum tentu karena kerusakan otak.
Gambaran gangguan jiwa dapat diobati sehingga penderita dapat diubah keadaannya,
program rehabilitasi dapat dimulai.

Kerja sama Tim Rehabilitasi


Penanganan paripurna cacat akibat tumor otak memerlukan kerjasama multi disiplin
ilmu dan kordinasi antar disiplin yang selaras dan serasi, kesemuanya harus
berorientasi kepada pe-mulihan fungsi dan menempatkan sebagai pusat perhatian.
Pengikutsertaan keluarga merupakan hal yang penting.
1. Peranan keluarga adalah:

a. Partisipasi dalam proses rehabilitasi, pengamatan aktivitas penderita dan


membantunya melakukan gerakan tertentu yang tak bisa dilakukan sendiri oleh
penderita.

b. Partisipasi aktif dalam tim rehabilitasi.

c. Keikutsettaan dalam membuat keputusan dalam program rehabilitasi.

d. Mendapat pengertian akibat cacat fisik dan mental.

e. Melanjutkan program rehabilitasi di rumah.

2. Dokter ahli rehabilitasi medik (Fisiatris)

Dokter spesialis rehabilitasi berperan sebagai kapten tim : Menentukan diagnosis,


evaluasi dan pengobatan penderita. Tujuan utama adalah mengurangi sakit, dan
memulihkan fungsi fisik, psikologik, sosial dan vokasional.

Peran fisiatris pada tim rehabilitasi, sebagai supervisi interaksi anggota tim pada semua
fase dalam proses rehabilitasi.

Termasuk diantaranya adalah :

a) Interpretasi masalah medik dan pembedahan.

b) Membant semua anggota tim rehabilitasi menemukan jalan penyelesaian masalah


yang timbul dalam pengobatan penderita.

c) Mendorong cara inovatif dan riset.

d) Mengambil keputusan apabila tim tidak bisa menentukan secara konsensus untuk
menentukan tindakan.

Fisiatris merupakan penghubung dengan spesialis lain yang menangani tumor otak.

3. Perawat Rehabilitasi

Perawat merupakan anggota tim yang paling dekat dan banyak waktunya dengan
pasien. Usahanya adalah membantu penderita dalam pemulihan fungsi, yang berguna,
produktif dan mandiri. Perawat mengevaluasi pasien akan kebutuhan sehari-hari,
memantau keterbatasan dan cacatnya, mengintegrasikan prinsip terapi dengan
kegiatan keseharian penderita di ruangan. Juga membantu penderita dalam hal
rawatan saluran cerna dan kemih. Komunikasi perawat dengan anggota tim yang lain
berpusat pada keadaan medik penderita dan aplikasi praktis apa yang dapat dilakukan
penderita.

4. Fisioterapis

Setelah masalah pasien dinilai, fisioterapis bertanggung jawab untuk evaluasi,


pengembangan dan supervisi program latihan terapi.

Program latihan akan berhasil bila :

a) Penjelasan yang baik dan demonstrasi yang mudah dimengerti dan dilakukan.

b) Supervisi latihan dan koreksi bila salah.

c) Pertimbangan toleransi nyeri dan kelelahan.

d) Penjadwalan dan diselingi penilaian ulang.

e) Pasien memerlukan latihan tersendiri dan perhatian khusus kasus demi kasus.

f) Adakalanya perlu latihan berkelompok dalam melakukan gerakan secara bersama-


sama.

g) Melanjutkan program latihan di rumah dan memberi pengertian kepada keluarga.

Komunikasi fisioterapis dengan anggota tim lain terutama mengenai kemampuan fisik
atau kognitif dan keterbatasan dalam melakukan latihan.

5. Okupasi terapis
Peran okupasi terapis adalah memulihkan penderita hingga mandiri dan hidup normal
dan produktif. Evaluasi penampilan penderita baik ADL sederhana dan rumit
berpakaian, berdandan, kordinasi motorik halus, persepsi visuospasial dan assesmen
lingkungan.

Okupasi terapis harus merencanakan penatalaksanaan berupa :

a) Evaluasi dan pemulihan kemampuan penderita dalam hubungannya dengan ADL dan
pekerjaan.

b) Memanfaatkan fungsi yang tersisa dengan alat bantu.

c) Memperbaiki pengertian akan cacat yang disandang dan fungsi psiko sosial
sebagai bagian dari kemanusiaan.

6. Speech therapist (Bina Wicara)


Gangguan komunikasi karena tumor otak ditangani oleh speech therapist yang
terlatih mengatasi gangguan berbahasa, persepsi, evaluasi dan pembentukan bahasa.
Apabila suara be-lum ada maka modalitas berkomunikasi harus dilatih seperti
memakai tulisan, lambang jari atau cara lain yang bisa di-mengerti.

Speech therapist juga melatih penderita yang mengalami gangguan menelan.


Komunikasi bina wicara dengan anggota tim rehabilitasi khususnya memberi informasi
tentang kemampuan penderita berkomunikasi berbahasa atau altematif lain.

7. Ortotik Prostetik
Setelah ada pengarahan fisiatris tentang evaluasi penderita, pilihan alat ortosa atau
protesa yang cocok harus mempertimbangkan anatomi, fisiologi dan aspek patologi
juga harus melihat faktor-faktor keindahan gerak, terhindar dari nyeri, pekerjaan, sikap
psikologik dan sosio ekonomi penderita. Harus diusahakan sedemikian rupa bila
memakai ortosa dan protesa, penderita mendekati kehidupan biasa dan produktif.

8. Psikologi

Penderita tumor otak sebelum dan sesudah pengobatan mungkin akan mengalami
dalam situasi baru terutama bila ada defisit fungsi. Dalam hal ini psikolog sebagai
anggota tim rehabilitasi berperan untuk menilai dan mengevaluasi fungsi perasaan
dan kognitif penderita; termasuk di dalamnya adalah :

a) Efek psikologik dan intelek yang terganggu akibat tumor otak.

b) Fungsi sebelum menderita dan sekarang.

c) Akibat kronik tumor otak.

d) Kemampuan penderita menerima keadaannya.

e) Persepsi penderita tentang keadaannya dan pandangan orang lain terhadap dia.

f) Peranan lingkungan.

Sikap emosi dan mental sangat menentukan keberhasilan proses rehabilitasi. Rata-rata
50% pada orang dewasa dan lebih tinggi lagi pada anak-anak.

Psikolog juga mengamati secara obyektif keberhasilan interaksi antar tim dan
bertanggung jawab akan pemberian pengertian dan mengkomunikasikan manifestasi
psikologik dan perilaku penderita akibat penyakitnya.

9. Pekerja Sosial Medik


Anggota tim rehabilitasi yang masih jarang diIndonesiaadalah pekerja sosial medik
yang mempunyai peran penting. Dia menyiapkan laporan tentang penderita dan
keluarga, menentukan diagnosis sosial dan memberi informasi yang diperlukan tim.
Diagnosis sosial termasuk kemampuan penderita menerima defisit fungsinya dan
penerimaan penderita terhadap program rehabilitasi.

Pelayanan pekerja sosial medik yang diberikan kepada penderita dan keluarga
adalah : Penerangan tentang cacatnya, kehidupan sex, bantuan keuangan dan badan
sosial, situasi tempat tinggal yang hams sesuai pada keadaan penderita, halangan
bangunan yang mesti diubah, kamar mandi yang cocok dan sebagainya.

10. Ahli Gizi


Gizi yang cukup dan bermutu adalah mutlak untuk penyembuhan penderita. Tujuan
ahli gizi adalah melakukan evaluasi keadaan gizi penderita, menghitung gizi yang
diperlukan, dan kemampuan mencukupi kebutuhan gizinya, dan merencanakan
makanan khusus standar gizi yang diperlukan hams mempertimbangkan faktor-faktor
keadaan tubuh pen-derita. Data laboratorium dan biokimia, pengamatan klinis dan
evaluasi gizi seleksi makanan harus mempertimbangkan selera penderita, budaya
makan selain kemampuan penderita menelan, sering diperlukan kerjasama speech
therapist, okupasi terapis dan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan gizi.

11. Anggota tim rehabilitasi yang lain

Tim rehabilitasi masih bisa bertambah berdasarkan ke-butuhan penderita uthtuk


mencapai pemulihan fungsi. Pada saat rehabilitasi medik telah selesai, akan
dilanjutkan dengan program rehabilitasi vokasional dan sosial yang pada umumnya
dilakukan di luar rumah sakit.

Hasil
Hasil pelaksanaan program rehabilitasi akhirnya akan dapat menggolongkan penderita
sesuai dengan fungsi yang dapat di-pulihkan atau fungsi yang masih tersisa.

a) Penderita sembuh tanpa cacat dapat kembali ke pekerjaan semula.

b) Penderita sembuh dengan cacat dan fungsi yang tersisa dapat melakukan
pekerjaan ringan.

c) Penderita sembuh dengan cacat memerlukan bantuan dari keluarga untuk


kehidupan sehari-hari.

d) Penderita akan mengalami kemunduran dari waktu ke waktu dan selalu memerlukan
bantuan tim medik.

X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.

You might also like