Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-
sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah
yang dikenal dengan sebutan epidural hematom (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena
dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal
artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang
epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Tipe- tipe :
III. ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
duramater, arachnoid, dan piamater
1. Duramater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mgnum dengan duramater spinalis yang membungkus
medulla spinalis
V. PATOFISIOLOGI
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang
terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4)
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan
diperiksa dengan teliti.
Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Gambar 2. Gambaran CT-Scan fraktur tulang frontal kanan di anterior sutura coronalis
1. 2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.
IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-
kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.Hiperventilasi.
b.Cairan hiperosmoler.
c.Kortikosteroid.
d.Barbiturat.
a.Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b.Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,
harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali
(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang
lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4
dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg
dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d.Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan
pengawasan yang ketat.
e.Cara lain
Pala 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah:
kepala dan leher diangkat 30. sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150. telapak
kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah
3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian
intravena karena sifat-nya asam sehingga mengiritasi vena.
b.Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c.Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis
10Q-500 mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai di-perhatikan sejak dini; tidak
jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di bagian tubuh
lainnya. Anti-biotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus
kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat me-nyebabkan liquorrhoe. Luka lecet
dan jahitan kulit hanya memerlukan perawatan lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan
fungsi pembekuan normal. Per- darahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan
hemostatik. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma
tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan
250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari
per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital
tidak dianjurkan ka-rena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc desak ruang supra tentorial
> 10 cc desak ruang infratentorial
> 5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Perawatan luka dan
pencegahan dekubitus pada pasien post operasi harus mulai diperhatikan sejak dini.
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
1. Gangguan Lokomotor
Penyebab gangguan lokomotor yang paling umum adalah hemiplegia motorik akibat
gangguan pembuluh darah atau para-plegia dan quadriplegia akibat penekanan pada
sumsum tulang belakang atau penyakit demyelinasi; masalah tersebut akan
memerlukan fisioterapi tergantung dari luasnya lesi saraf ter-sebut apakah statis,
memburuk atau membaik.
2. Ketrampilan tangan
Sistim piramidalis sangat mempengaruhi kemahiran ketrampilan tangan; walaupun
proses penyakit telah sembuh namun dalam hal ini selalu ada defisit. Walaupun
kekuatan otot telah pulih, gerakan sendi telah balk, pengendalian anggota gerak telah
dikuasai namun ketrampilan tangan ini masih bagian yang penting dalam proses
rehabilitasi. Sebagian dapat dikerjakan fisioterapist tetapi lebih terperinci lagi oleh
okupasi terapist. Ketrampilan dapat dipulihkan melalui latihan terapi okupasi seperti
menulis, mengetik, memasukkan kancing baju, bertukang dan menjahit. Akhirnya
kemampuan yang semakin rumit se-hubungan dengan kebutuhan penderita dalam
pekerjaannya, memerlukan latihan yang lebih rumit pula.
3. Gangguan bicara
Gangguan berkomunikasi merupakan cacat penting yang bisa disandang oleh
penderita. Cacat demikian memerlukan evaluasi yang teliti dan penanganan khusus.
Berbagai klasifikasi gangguan berkomunikasi, diantaranya yang mudah dan praktis
adalah klasifikasi Sehuell :
Terdapat pengurangan semua bahasa, tidak ada gangguan sensorik dan motorik, ada
disarthria.
Gol. 2 : Serupa dengan gol. 1 ditambah dengan gangguan visual dan terdapat
gangguan diskriminasi, pengenal-an dan pengungkapan simbol visual.
Gol. 5 : Afasia, ireversibel dan hilangnya semua modalitas fungsi berbahasa. Dari
klasifikasi dapat diduga prognosisnya; gol. 1 afasia sederhana adalah baik sedang
gol. 5 afasia ireversibel adalah jelek. Apapun golongan penderita ada kemungkinan
memberi bantuan komunikasi yang sesuai oleh speech therapist.
4. Gangguan kordinasi
Gangguan kordinasi timbul akibat kerusakan pada serebellum. Lesi serebellum, dan
campuran lesi serebellum dan piramidal mengakibatkan gangguan koordinasi dan
kurangnya gerak trampil. Suatu hal yang perlu diperhatikan apakah lesi bersifat tetap,
sembuh atau memburuk dan hubungannya dengan cacatnya apakah permanen atau
sementara.
Gangguan kordinasi anggota gerak atas dilatih dengan latihan sederhana dimulai dari
gerakan jari-jari sendiri-sendiri, ditingkatkan dengan antar jari, berarti sudah ada
kordinasi tangan dan mata. Sangat menolong adalah rekreasi permainan benda kecil
atau kerajinan tangan.
Gangguan kordinasi anggota gerak bawah, tidak perlu di-paksakan untuk latihan jalan
(walking gait); cukup dengan memulai yang sederhana menempatkan kaki dalam
berbagai posisi secara statik, dilanjutkan dengan kordinasi pergerakan sendi. Sebelum
berdiri ada baiknya posisi tegak dilatih padatilting table dulu, latihan keseimbangan
berdiri di lantai, baru latihan jalan dengan bantuan terapis. Selanjutnya dapat dilatih
dengan alat bantu seperti kruk, tripod atau tongkat untuk ber-jalan sendiri.
Gangguan kordinasi karena defek pada ekstrapiramidal lebih sulit diatasi terutama
kalau bilateral. Selain kekuatan yang menghambat untuk bergerak, ada kegagalan
mulai bergerak walaupun penderita sudah mengerti instruksi dan penerangan. Kadang-
kadang bisa ditolong dengan bantuan visual dan pendengaran; pasien dengan sindrom
Parkinson lebih sulit berjalan pada jalan yang rata daripada berlekuk-lekuk karena
rangsangan sensorik kerikil akan memudahkan gerakan.
5. Gangguan sensorik
Selain pendengaran, mengecap, penciuman dan penglihatan, perasaan merupakan
modalitas yang penting. Gangguan sensorik ini dapat dibagi 3 :
c. Stereognosis.
c. Stereognosis
Perasaan ini adalah kemampuan mengenal benda tiga dimensi dengan meraba,
tampaknya merupakan kombinasi perasaan dalam dan superfisial.
a. Perasaan superfisial
b. Suhu
c. Nyeri
d. Perasaan dafam
e. Pembedaan ringan-berat
f. Stereognosis
Untuk mengatasi gangguan sensorik ini perlu latihan berulang-ulang setiap rangsangan
untuk memulihkan fungsi anggota gerak misalnya untuk berdiri, jalan, ADL memasang
kancing baju, sikat gigi, makan dengan garpu dan sebagainya. Variasi rangsangan
bisa diberikan melalui permainan dengan bahan berlainan misalnya balok-balok kayu,
plastik dan tanah fiat. Latihan secara bertahap dari ringan sampai berat sesuai dengan
kemampuan yang telah dicapai.
6. Gangguan kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang timbul akan sangat menghambat usaha-usaha rehabilitasi
pemulihan fungsi-fungsi tubuh. Akibat kerusakan otak bisa timbul hilangnya intelek,
perubahan kepribadian dan jadi agresif. Perlu pemeriksaan dan evaluasi oleh psikiater.
Depresi, cemas, kelelahan berlebihan, konsentrasi pikiran yang rendah dan kurangnya
ingatan bisa karena defisit neurologik tetapi belum tentu karena kerusakan otak.
Gambaran gangguan jiwa dapat diobati sehingga penderita dapat diubah keadaannya,
program rehabilitasi dapat dimulai.
Peran fisiatris pada tim rehabilitasi, sebagai supervisi interaksi anggota tim pada semua
fase dalam proses rehabilitasi.
d) Mengambil keputusan apabila tim tidak bisa menentukan secara konsensus untuk
menentukan tindakan.
Fisiatris merupakan penghubung dengan spesialis lain yang menangani tumor otak.
3. Perawat Rehabilitasi
Perawat merupakan anggota tim yang paling dekat dan banyak waktunya dengan
pasien. Usahanya adalah membantu penderita dalam pemulihan fungsi, yang berguna,
produktif dan mandiri. Perawat mengevaluasi pasien akan kebutuhan sehari-hari,
memantau keterbatasan dan cacatnya, mengintegrasikan prinsip terapi dengan
kegiatan keseharian penderita di ruangan. Juga membantu penderita dalam hal
rawatan saluran cerna dan kemih. Komunikasi perawat dengan anggota tim yang lain
berpusat pada keadaan medik penderita dan aplikasi praktis apa yang dapat dilakukan
penderita.
4. Fisioterapis
a) Penjelasan yang baik dan demonstrasi yang mudah dimengerti dan dilakukan.
e) Pasien memerlukan latihan tersendiri dan perhatian khusus kasus demi kasus.
Komunikasi fisioterapis dengan anggota tim lain terutama mengenai kemampuan fisik
atau kognitif dan keterbatasan dalam melakukan latihan.
5. Okupasi terapis
Peran okupasi terapis adalah memulihkan penderita hingga mandiri dan hidup normal
dan produktif. Evaluasi penampilan penderita baik ADL sederhana dan rumit
berpakaian, berdandan, kordinasi motorik halus, persepsi visuospasial dan assesmen
lingkungan.
a) Evaluasi dan pemulihan kemampuan penderita dalam hubungannya dengan ADL dan
pekerjaan.
c) Memperbaiki pengertian akan cacat yang disandang dan fungsi psiko sosial
sebagai bagian dari kemanusiaan.
7. Ortotik Prostetik
Setelah ada pengarahan fisiatris tentang evaluasi penderita, pilihan alat ortosa atau
protesa yang cocok harus mempertimbangkan anatomi, fisiologi dan aspek patologi
juga harus melihat faktor-faktor keindahan gerak, terhindar dari nyeri, pekerjaan, sikap
psikologik dan sosio ekonomi penderita. Harus diusahakan sedemikian rupa bila
memakai ortosa dan protesa, penderita mendekati kehidupan biasa dan produktif.
8. Psikologi
Penderita tumor otak sebelum dan sesudah pengobatan mungkin akan mengalami
dalam situasi baru terutama bila ada defisit fungsi. Dalam hal ini psikolog sebagai
anggota tim rehabilitasi berperan untuk menilai dan mengevaluasi fungsi perasaan
dan kognitif penderita; termasuk di dalamnya adalah :
e) Persepsi penderita tentang keadaannya dan pandangan orang lain terhadap dia.
f) Peranan lingkungan.
Sikap emosi dan mental sangat menentukan keberhasilan proses rehabilitasi. Rata-rata
50% pada orang dewasa dan lebih tinggi lagi pada anak-anak.
Psikolog juga mengamati secara obyektif keberhasilan interaksi antar tim dan
bertanggung jawab akan pemberian pengertian dan mengkomunikasikan manifestasi
psikologik dan perilaku penderita akibat penyakitnya.
Pelayanan pekerja sosial medik yang diberikan kepada penderita dan keluarga
adalah : Penerangan tentang cacatnya, kehidupan sex, bantuan keuangan dan badan
sosial, situasi tempat tinggal yang hams sesuai pada keadaan penderita, halangan
bangunan yang mesti diubah, kamar mandi yang cocok dan sebagainya.
Hasil
Hasil pelaksanaan program rehabilitasi akhirnya akan dapat menggolongkan penderita
sesuai dengan fungsi yang dapat di-pulihkan atau fungsi yang masih tersisa.
b) Penderita sembuh dengan cacat dan fungsi yang tersisa dapat melakukan
pekerjaan ringan.
d) Penderita akan mengalami kemunduran dari waktu ke waktu dan selalu memerlukan
bantuan tim medik.
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.