You are on page 1of 29

TINJAUAN PUSTAKA

Bakteri Asam Laktat (BAL)

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau

bulat, tidak membentuk spora, fermentasi fakultatif anaeorob, tidak mempunyai sitokrom,

tidak memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat dan memanfaatkan laktat, oksidasi

negatif, katalase negatif, motilitas negatif dan kemampuan memfermentasi glukosa menjadi

asam laktat (Carr et al., 2002).

Gambar 1 : Bakteri Asam Laktat

a. Produk Fermentasi BAL dan Manfaatnya sebagai Probiotik

Produk fermentasi BAL salah satunya adalah asam organik. Asam organik ini

dihasilkan selama proses fermentasi terkait spesies organisme, gabungan kultur dan kondisi

pertumbuhan (Lindgren dan Dobrogosz, 1990). Asam organik mampu menurunkan pH dan

berfungsi untuk tidak memutus beberapa ikatan molekul sehingga memiliki kemampuan

aktivitas mikroba. Lebih lanjut Lindgren dan Dobrogosz (1990), melaporkan bahwa

penurunan pH mampu menghasilkan minimum inhibitory concentration (MIC), sehingga

asam laktat dapat menghambat kerja Clostridium tyrobutyricum, E.coli, Enterobacter sp

dan Propionibacterium freudenreichii sp.


Gambar 2. Produk Fermentasi BAL (Lindgren dan Dobrogosz, 1990)

BAL juga menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) karena adanya oksigen sehingga

terjadi reaksi flavoprotein oksidasi atau nicotinamida adenin hidroxy dinucleotida (NADH)

perioksida. H2O2 berasal dari oxidation sulfhydril disebabkan karena denaturasi dari

sejumlah enzim berasal dari perioksidase membrane lipids sehingga meningkatkan

permeabilitas membran (Kong dan Davidson, 1980). H2O2 juga dapat berfungsi sebagai

prekusor untuk memproduksi bakteri radikal bebas antara lain O2 dan OH yang dapat

merusak DNA (Byczkowski dan Gessner, 1988).

Karbondioksida (CO2) merupakan hasil dari produk fermentasi BAL secara

heterofermentatif. Mekanismenya adalah CO2 bekerja dalam suasana anaerob, selanjutnya

menghambat kerja enzim dekarboksilase dalam membran lipid sehingga tidak mempunyai

fungsi sebagai permeabilitas (Eklund, 1984). CO2 dapat menghambat mikroba pembusuk

makanan dan juga mampu menghasilkan bakteri gram negatif (Hotchkiss, 1999).
Asetildehida diproduksi oleh L.delbruecki sp dan Bulgaricus yang bila direaksikan

dengan threoin aldolase maka treonin tersebut membelah ke dalam asetildehida dan glisin.

Ketiga BAL tersebut tidak dapat merombak asetildehida, hanya terakumulasi dalam produk

pangan dengan konsentrasi sekitar 25 ppm. Asetildehida dengan konsentrasi 10-100 ppm

dapat menghambat pertumbuhan S.aureus, S.typhimurium dan Escherichia coli (Piard dan

Desmazeaud, 1992).

Aktivitas lipolitik dan Lactobacillus dan Lactococci secara signitifikan dapat

menghasilkan beberapa asam lemak dalam proses pengeringan dan fermentasi susu (Rao dan

Reddy, 1984). Aktivitas antimikroba dapat memutuskan ikatan molekul dari asam lemak

bukan anionnya, selain itu menurunkan pH memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas

antimikroba (Kabara, 1993).

b. Reaksi Fermentasi Bakteri Asam Laktat (BAL)

Reaksi fermentasi BAL dibagi menjadi 2 bagian yaitu secara homofermentatif dan

heterofermentatif. Reaksi homofermentatif menghasilkan asam laktat, 2 mol ATP dari 1

glukosa/heksosa dalam kondisi normal, tidak menghasilkan CO2 dan menghasilkan

biomassa sel dua kali lebih banyak dari pada BAL heterofermentatif. Sedangkan reaksi

heterofermentatif selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan etanol, CO2, asam

asetat serta 1 mol ATP dari heksosa dan tidak mempunyai enzim aldolase. Untuk lebih

jelasnya reaksi fermentasi BAL dapat dilihat di bawah ini.

Reaksi homofermentatif

1 Heksosa + 2 ADP + 2Pi 2 laktat + 2 ATP

Reaksi Heterofermentatif

1 Heksosa + 1 ADP + Pi laktat + etanol + CO2 + 1 ATP


Atau
1 Heksosa + 2 ADP + Pi laktat + asetat + CO2 + 2 ATP
(Axelsson, 1998).
Menurut Food and Agriculture Organization/World Health Organization

(FAO/WHO) (2001), idealnya strain probiotik seharusnya tidak hanya mampu bertahan

melewati saluran pencernaan tetapi juga memiliki kemampuan untuk berkembang biak

dalam saluran pencernaan, tahan terhadap cairan lambung dan cairan empedu dalam jalur

makanan yang memungkinkan untuk bertahan hidup melintasi saluran pencernaan dan

terkena paparan empedu. Selain itu probiotik juga harus mampu menempel pada sel epitel

usus, mampu membentuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mampu menghasilkan zat anti

mikroba (bakteriosin), dan memberikan pengaruh yang menguntungkan inangnya. Syarat

lainnya adalah tidak bersifat patogen dan aman jika dikonsumsi. Strain probiotik juga harus

tahan dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan, mudah

diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses psikokimia pada makanan

(Prado et al., 2008).

Efisiensi penggunaan pakan dapat dilakukan dengan pemberian bahan imbuhan (feed

additive) atau zat pemacu tumbuh (growth promotant). Pencampuran feed additive ini

dimaksudkan untuk meningkatkan daya simpan ransum dan memacu pertumbuhan ternak.

Namun penggunaan feed additif secara terus menerus akan mengakibatkan terdapatnya

produk metabolit berupa residu antibiotik. Oleh karena itu penggunaan feed additive alami

merupakan alternatif untuk mengurangi akumulasi residu feed additive dalam daging. Salah

satu feed additive alami yang mulai digunakan yakni bakteri probiotik (Tensiska, 2008).

Pemberian probiotik pada ternak unggas biasanya diberikan dalam bentuk campuran

ransum atau diberikan melalui air minum, atau dalam bentuk probiotik yang hanya

mengandung satu macam strain mikroba saja atau dalam bentuk campuran terdiri dari

beberapa strain mikroba seperti probiolac atau protexin. Beberapa keuntungan dari

penggunaan probiotik pada hewan atau ternak antara lain adalah dapat memacu

pertumbuhan, memperbaiki konversi ransum, mengontrol kesehatan antara lain dengan


mencegah terjadinya gangguan pencernaan terutama pada hewan-hewan muda, pengurai

faktor seperti antitripsin (Budiansyah, 2004).

Teknologi Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu teknologi dalam proses penyalutan partikel inti dapat

berbentuk cair, padat atau gas dengan suatu bahan pengisi khusus sehingga partikel-partikel

inti tersebut mempunyai sifat fisik dan kimia sesuai yang dikehendaki (Kim dan Morr,

1996). Teknologi ini berperan dalam melindungi bahan inti dari lingkungan yang

merugikan. Bakteri probiotik merupakan salah satu jenis komponen bioaktif yang sebaiknya

dilindungi kehidupannya agar dapat dimanfaatkan oleh inangnya. Manfaat enkapsulasi bagi

probiotik yaitu untuk mempertahankan viabilitas dan melindunginya dari kerusakan akibat

kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Wu et al. 2000).

Bahan yang umum digunakan sebagai enkapsulan, diantaranya alginat, gum arab, pati,

agar, gelatin, karagenan, albumin dan kasein. Masing-masing bahan tersebut memiliki

karakter tertentu sehingga perlu adanya pertimbangan agar cocok bila digunakan untuk

menyalut suatu bahan inti tertentu. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai

enkapsulasi bakteri probiotik dengan menggunakan enkapsulan tertentu diantaranya

enkapsulasi Bifidobacteria dan Lactobacillus dalam alginat-pati (Sultana et al. 2000), L.

casei dalam alginat-tepung polard dan terigu (Widodo et al. 2003), L.acidophilus dan B.

lactis dengan alginat (Kailasapathy 2006), L. acidophilus, L.helveticus, B. longum dan B.

lactis dalam alginat, gelatin dan pati pada produk yoghurt dengan metode ekstrusi dan

emulsi (Jayalalitha et al. 2011) dan L.plantarum dengan enkapsulan campuran susu skim

dan gum arab (Rizqiati et al. 2009). Dalam hal ini, metode enkapsulasi juga dapat

memperbaiki karakteristik sensori pada produk akhir terutama atribut teksturnya

(Mortazavian et al. 2007).


Gambar 3 : Prosedur enkapsulasi dengan metode ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003)

Teknik enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu ekstrusi dan

emulsi (Krasaekoopt et al. 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan

mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat, kemudian

diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe sehingga terbentuk

beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak

tetes jarum dengan larutan CaCl2.

Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan

sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak

bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam

bentuk emulsi. Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi

ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat

dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al. 2003).

Kelebihan dan kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Teknik Ekstrusi dan Emulsi
Ekstrusi Emulsi
Kelayakan teknologi Sulit untuk meningkatkan Mudah untuk meningkatkan
skala produksi (scale up) skala produksi (scale up)
Biaya Rendah Tinggi
Kemudahan Mudah Sulit
Ketahanan mikroorganisme 80 95% 80 95%
Ukuran beads 2 5 mm 25 m 2 mm
Sumber : Krasaekoopt et al. (2003)

Pada tahap pengeringan bahan pengkapsul berisi sel probiotik untuk mendapatkan sel

terenkapsulasi berbentuk serbuk atau granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu

freezedrying (Sultana et al. 2000, Capela et al. 2006) dan spray drying (Lian et al. 2003,

Picot dan Lacroix 2004). Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan

pengering beku menghasilkan probiotik terenkapsulasi kering dalam bentuk serbuk atau

granul, sedangkan teknik emulsi dan ekstrusi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam

bentuk jel (hydrocolloid beads) (Krasaekoopt et al. 2003). Namun, penggunaan teknik

freeze drying relatif mahal dan sangat sulit diaplikasikan pada skala industri (Mortazavian et

al. 2007), sedangkan penggunaan teknik spraydrying membutuhkan suhu operasi yang

tinggi sehingga kurang cocok diaplikasikan untuk enkapsulasi probiotik

(Kailasapathy 2002).

Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan

probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya

viabilitas sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan

penyimpanan, kelarutan beads dan kemampuan sel untuk keluarserta sifat mikrogeometri

beads (bentuk dan ukuran) (Mortazavian et al. 2007).


Bahan Pengkapsul

Bahan pengkapsul merupakan bahan yang berfungsi sebagai pengikat suatu materi

serta memperbaiki mutu fisik produk. Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem

polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007).

Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah

polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan

turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey,

skim, gelatin) (Rokka dan Rantamaki 2010). Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan

pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat

menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik(Kailasapthy, 2002).

1. Alginat

Alginat merupakan salah satu jenis hidrokoloid yang dihasilkan dari ekstraksi alga

coklat (Sargassum sp., Turbinaria sp., Hormophyta sp., dan Padinasp.). Alginat telah

diaplikasikan secara luas pada produk pangan sebagai penyalut. Bentuk alginat terdiri dari

dua yaitu asam alginat dan garam alginat. Asam alginat merupakan kopolimer liniar yang

tersusun atas asam D-manuronat dan asam L-guluronat. Dalam suatu larutan, alginat

mengadakan interaksi antara kopolimernya dengan kation divalen (garam) seperti kalsium,

sehingga terbentuk gel kalsium alginat. Gel tersebut dipengaruhi oleh jumlah kation divalen

yang dapat berinteraksi dengan alginat (Nussinovitch, 2010).

Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+) yang berfungsi sebagai penaut

silangantarmolekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk

jelmatriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air

dapatberdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamaki 2010). Penggunaan alginat

sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan lainnya, diantaranya dengan

penambahan probiotik (Sultana et al. 2000, Homayouni et al. 2008a), terigu dan polard
(Widodo et al. 2003) sebagai bahan pengisi, chitosan sebagai coating (Krasaekoopt et al.

2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat-pektin yang kuat (Castilla et al.

2010). Komposisi bahan natrium alginat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 : Komposisi Natrium Alginat


Spesifikasi Kandungan
Kadar Air (%) 13
Kadar Abu (%) 23
Berat Jenis (%) 1.59
Warna Pink
Desitas Kamba (kg/m3) 874
Suhu Pengabuan (C) 480
Panas Pembakaran 2.5
Sumber: Food and Agriculture Organization. (2007)

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa dengan metode ekstrusi menggunakan

enkapsulan alginat dapat meningkatkan ketahanan probiotik selama penyimpanan pada suhu

rendah (Godward dan Kailasapathy 2003; Krasaekoopt et al. 2006; Kailasapathy 2006;

Purwandhani et al. 2007; Aqilah dan Akhiar 2010). Ketahanan hidup bakteri probiotik

meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi alginat. Mandal et al., (2006)

mengemukakan bahwa L.acidophillus dapat lebih bertahan hidup saat konsentrasi alginatnya

ditingkatkan dari 2% menjadi 5%. Probiotik yang dienkapsulasi dengan alginat juga dapat

bertahan pada kondisi asam dalam saluran pencernaan. Hal ini dibuktikan dengan hasil

penelitian Chavarri et al.(2010) bahwa L. gasseri dan B. bifidum dengan enkapsulasi alginat-

kitosan dapat bertahan selama penyimpanan dingin dan pada kondisi simulasi saluran

pencernaan (pH 2) dan konsentrasi larutan empedu (3%) selama 2 jam. Probiotik masih

dapat hidup dan berperan dalam melawan bakteri yang tidak diinginkan dalam usus besar.
2. Maltodekstrin

Menurut FDA (The Food and Drug Administration), Maltodekstrin (C6H12O6) adalah

polimer sakarida yang bergizi, mengandung unit D-Glukose pada ikatan primer -1,4 dan

memiliki nilai dextrose equivalence (DE) kurang dari 20. Dextrose equivalence (DE)

merupakan sifat utama yang menentukan sifat dari maltodekstrin itu sendiri. DE

maltodekstrin menunjukkan bahwa bahan tersebut mudah untuk dikeringkan, sedangkan

bahan yang memiliki DE lebih besar dari 42 akan sulit untuk dikeringkan dan dipasarkan

hanya dalam bentuk sirup (Kenyon, 1995).

Maltodekstrin merupakan bahan yang sering digunakan dalam pembuatan makanan

yang dikeringkan karena selain bahan pengisi, maltodekstrin memiliki beberapa kelebihan

antara lain tidak manis mudah larut dalam air. Maltodekstrin juga dapat meningkatkan

viskositas, menghambat kristalisasi dan baik untuk kesehatan karena rendah kalori.

Maltodekstrin biasanya digunakan sebagai campuran bahan pangan dan merupakan

pembentuk produk yang baik untuk produk yang sulit kering dan biasanya dijual dalam

bentuk tepung padat berwarna putih (Kuntz,1998). Komposisi maltodekstrin pada Tabel 3.

Tabel. 3. Komposisi Maltodekstrin


Parameter Spesifikasi
Penampakan fisik Bubuk putih
Kadar Air % Maks. 5%
DE(Dextrose equivalent) 4 to 22
Berat jenis 0.3 0.5 g/ml
Total Abu 0.1 to 0.2% Max
pH 4-7
Keasaman % 1.2 to 1.5%
Ambang batas mikrobologi
Total bakteri 104 CFU/g
Salmonella 0 CFU/g
E.coli CFU/g
Sumber : Kuntz (1998)
Menurut Kenyon dan Anderson (1988), maltodekstrin dan sirup jagung padat

memiliki sifat-sifat fungsional yang berpengaruh terhadap proses enkapsulasi, meliputi

kestabilan emulsi yang rendah yang dikarenakan tidak memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik,

sifat pembentukan film, seberapa cepat pembentukan film atau membran pada proses

enkapsulasi flavor akan sangat menentukan kualitas produk akhir higroskopisitas.

3. Susu Skim

Protein merupakan komponen yang sangat penting, baik dari segi nutrisi maupun sifat

fungsionalnya seperti sebagai bahan pengemulsi, pengikat air atau lemak, serta pembentuk

buih atau gel. Selain itu protein juga dapat menghasilkan flavor, memperbaiki penampakan

dengan menghasilkan tekstur yang lebih baik (Buckle et al., 1987). Protein memiliki sifat

fungsional yang baik seperti viskositas, emulsifikasi serta pembentukan film. Dalam

penelitian ini, protein yang digunakan ialah susu skim.

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian

atauseluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan

vitaminyang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan,

susu skim hanyamengandung 0,5 2% lemak (Varnam dan Sutherland 1994).Protein susu

dapatdigolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi

protein yangmenggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 300C,

sedangkan fraksi yan tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi

dan kerbau, komposisi kaseindan whey yaitu berkisar 80 : 20 (Fox dan McSweeney, 1998).

Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-

vitamin yang larut dalam lemak. Krim mempunyai berat jenis yang rendah karena banyak

mengandung lemak. Susu skim mempunyai berat jenis yang tinggi karena banyak

mengandung protein. Susu skim adalah susu sapi yang telah diambil lemaknya dan diubah

menjadi bentuk bubuk, mempunyai bentuk seperti granula kecil, dengan warna putih
kekuningan. Susu ini banyak mengandung protein dengan kadar air 5% (Saleh, 2004).

Komposisi susu skim dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 : Komposisi Susu Skim

Produk Susu Air Abu Protein Lemak Laktosa Total Padatan


(%) (%) (%) (%) (%) (%)
Susu skim 5 8 35 1 52 96
Sumber : Saleh (2004)

Escherichia coli

Pada penelitian ini digunakan bakteri indikator E.coli sebagaipengontrol aktivitas

hambat bakteriosin yang memiliki daerah zona penghambatan yang luas.

E.coliadalahbakterigramnegatif,berbentuk batang, tidak tahan asam, hidup dengan cara

aerob dan anaerob, memilikiflagelaperitrikat,berukuran1,1 -

1,5mx26m,tersusuntunggalatauberpasangan,bersifatmotilatau nonmotildan

banyakgalurnyayangmemilikikapsuldanmikrokapsul dan sebagian spesiesnya menyebabkan

penyakit pada saluran pencernaan. Beberapagalurnyamerupakanpatogen terhadap manusia

dan hewan.E.colimempunyaitiperespirasi danfermentasidengansuhuoptimum37C dan pH

optimum7 (Drasar dan Borrow, 1985).

Gambar 4 : Bakteri Escherichia coli (Drasar dan Borrow, 1985).


Pada ayam broiler, infeksi dari bakteri E.coli ini berdampak sangat buruk. Penyakit

ini dapat menyebabkan kematian selama periode pemeliharaan hingga perolehan berat badan

ayam saat panen akan dibawah standar. Bakteri E.coli ini sangat banyak terdapat di usus,

dan akan dikeluarkan dari tubuh dalam jumlah yang sangat besar bersama feses (kotoran).

Bakteri ini dapat bertahan sampai beberapa minggu di dalam feses, dengan kondisi yang

sangat mendukung. Akan tetapi, E.coli tidak tahan pada kondisi asam, kering, dan akan mati

dengan desinfektan (Pierard et al., 1990).

E.coliyang merupakan infeksi bakteri yang paling umum dijumpai pada peternakan

broileryang dikenal dengan penyakit kolibasilosis. Infeksi E.colipada unggas umumnya

bersifat sistemik dan menimbulkan bakteriemia (Costa et al., 2002). Infeksi

E.colimenyebabkan kematian embrio pada telur tetas, infeksi kuning telur, koliseptisemia,

peradangan kantung udara, radang usus, infeksi saluran reproduksi, radang persendian dan

bahkan menyebabkan kematian. Mortalitas dari penyakit ini adalah 10% - 15%. Penularan

kolibasilosis biasanya terjadi secara oral melalui pakan, air minum atau debu yang tercemar

oleh E.coli. Bakteri E.coli juga mampu menyebar melalui peredaran darah sehingga dapat

menyebabkan kerusakan pada berbagai organ sehingga mengganggu pertumbuhan dari ayam

tersebut (Djaafar et al.,1996) hal ini akan menyebabkan kerugian yang cukup besar untuk

peternak broiler. Menurut Fuller (1989) bakteri ini termasuk bakteri enterotoksigenik yang

dapat menyebabkan penyakit diare. Strain bakteri ini memproduksi dua tipe enterotoksin,

yaitu toksin yang tidak tahan panas dan toksin yang stabil pada suhu tinggi.
Bakteri dalam Saluran Pencernaan

Lebih dari 99% bakteri tinggal di dalam usus besar atau colon dan lebih dari 99%

berupa bakteri anaerob mutlak diantaranya adalah Clostridium, Bacterioides,

Bifidobacterium dan lain-lain. Hanya kurang dari 1% berupa bakteri fakultatif anaerob

seperti E.coli, Enterobacter dan bakteri patogen lainnya. Dengan demikian diperlukan

adanya efek antagonis terhadap bakteri patogen (Surono, 2004).

Lebih lanjut Surono (2004) menyatakan bahwa berbagai rintangan yang harus

dihadapi mikroba dalam saluran pencernaan dari mulut sampai anus. Pada perjalannya

melintasi berbagai sistem pencernaan khususnya yang dijumpai diantaranya enzim lisosom

pada air liur, asam lambung, garam empedu dan senyawa metabolit oleh BAL terutama

asam laktat. Pada usus besar hampir tidak ditemukan lagi hambatan yang cukup berarti

kecuali terjadinya kompetisi terhadap nutrisi. Bakteri probiotik harus mampu bertahan

menghadapi rintangan-rintangan tersebut, agar mencapai usus dalam keadaan hidup dalam

jumlah yang cukup memadai untuk berkembangbiak dalam menyeimbangkan mikrobiota

usus. Untuk mengetahui pH dan waktu transit dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5: Derajat Keasaman (pH) di dalam Saluran Pencernaan Ayam

Organ pencernaan pH Lama Transit (menit)

Tembolok 5.5 50
Proventriculus & gizzard 2.5 3.5 90
Duodenum 5.6 5-8
Jejenum 6.5 7 20 - 30
Ileum 7 7.5 50 - 70
Rektum 8 25
Sumber: Surono (2004)

Populasi bakteri semakin kompleks baik jenis dan jumlahnya dengan bertambahnya

umur disepanjang saluran pencernaan. Lambung hanya mengandung bakteri yang tahan

terhadap asam, sebagaimana diketahui bahwa pH atau keasaman lambung sangat rendah

sekitar 1,7 dan BAL bisa bertahan dalam bilangan ribuan (103). Usus kecil ditempati 400
500 jenis bakteri yang jumlahnya trilyunan (1012 - 1014) bakteri dan BAL sekitar 104 - 109

bakteri. Mikroba dalam saluran pencernaan bisa membantu pencernaan makanan bahkan

beberapa jenis menghasilkan beberapa vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh, namun

demikian beberapa efek negatif yang secara umum adalah dihasilkan senyawa-senyawa hasil

pembusukan protein, produksi toksin (Surono, 2004).

Penampilan Ayam Broiler terhadap Probiotik

Saat ini telah beredar produk probiotik yang mengandung mikroba lipolitik,

selulolitik, lignolitik, dan mikroba asam lambung. Beberapa penelitian pada broiler

menunjukkan bahwa penambahan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan

bobot badan, menurunkan konversi pakan dan mortalitas. Penelitian Kim et al., (1988)

menunjukkan bahwa penambahan probiotik yang terdiri dari Lactobacillus sporegenes

ke dalam pakan broiler yang mengandung jagung meningkatkan pertambahan bobot badan.

Probiotik dapat mengubah pergerakan pada populasi mikroba di dalam usus halus

ayam, sehingga keberadaannya dapat meningkatkan fungsi dan kesehatan usus,

memperbaiki mikroflora pada sekum, serta meningkatkan penyerapan zat makanan

(Mountzouris et al., 2010). Probiotik dapat memperbaiki saluran pencernaan dan

meningkatkan kecernaan pakan, yaitu dengan cara menekan bakteri patogen dalam saluran

pencernaan sehingga mendukung perkembangan bakteri yang menguntungkan yang

membantu penyerapan zat-zat makanan (Kompiang et al., 2002).

Beberapa laporan menunjukan bahwa penggunaan probiotik dapat meningkatkan laju

pertumbuhan yang berhubungan dengan manfaat probiotik dapat meningkatkan nafsu makan

dan menghasilkan vitamin serta enzim-enzim pencernaan. Memungkinkan probiotik tersebut

dapat berperan sebagai stimulasi pertumbuhan, sehingga dapat meningkatkan pertambahan

bobot badan sekaligus bobot karkas ayam broiler (Abrar dan Raudhati, 2006).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan April November 2014. Penelitian dilaksanakan

di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi dan Bahan Pakan Ternak Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini dilakukan atas 3 tahap yaitu isolasi dan

karakteristik BAL asal ayam kampung, pembuatan kapsul BAL dan uji kualitasnya, daya

simpan kapsul BAL dan pembuatan enkapsulasi BAL dalam bentuk kering.

Metode Penelitian

Tahap I: Isolasi dan Karakteristik BAL Asal Ayam Kampung terhadap Bakteri Uji

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I ini yaitu isolat bakteri asam laktat

(BAL) yang telah diisolasi dari usus ayam kampung, bakteri indikator Escherichia coli yang

diisolasi dari feses ayam, media yang digunakan adalah medium selektif MRSA (deMan

Rogosa Sharp Agar), deMan Rogosa Sharp Broth (MRSB), Eosin Methylene Blue Agar

(EMBA), Nurient Broth (NB), Nutrient Agar (NA), Muller Hilton Agar (MHA), penicilin, PP

1%, NaOH 0,1N, aquades, NaCl fisiologis 0,85%, kristal violet, iodin, alkohol asam, safranin,

HCl, etanol 70%, CaCO3 1%, reagen H2O2 3%, garam empedu sintetik (Ox bile) 1% dan 5%,

kertas cakram, alkohol 70%, medium SIM (Sulfid Indol Motility), minyak emersi.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, laminar flow, jarum ose,

inkubator, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, inkubator shaker, sentrifuse, mikropipet,

gelas objek, neraca analitik, desikator, pipet tetes, pH meter, holder milipore dan milipore

0,22 m, pipet valumetrik, pipet 5 ml, kapas, aluminium foil, kertas saring, pemanas bunsen,

jangka sorong, oven, lemari pendingin, water bath, termometer, gelas ukur, hot plate,

preparat, mikroskop, kertas cakram, pipet pasteur, jangka sorong, scapel (pisau kecil),

penjepit tabung, rak tabung reaksi, spoit, termos


Prosedur Penelitian Tahap I

1. Isolasi dan Karakteristik BAL Asal Ayam Kampung

BAL diisolasi dari berbagai segmen pada saluran pencernaan ayam kampung yaitu

pada proventriculus, ventriculus, yeyenum, ileum, usus besar dan cecum. Isolasi dilakukan

dengan mensuspensikan 1 gram dari masing-masing saluran pencernaan ayam kampung

kedalam 100 ml larutan NaCl 0,85% secara aseptis. Kemudian dibuat pengenceran 10-2 107.

Sebanyak 1 mL hasil pengenceran tadi kemudian diinokulasikan pada medium MRSA

(Man Ragosa Sharpe Agar) yang mengandung CaCO3 1 % kemudian diinkubasikan pada

suhu 370C selama 48 jam. Koloni yang menunjukkan zona bening disekitar koloni

menunjukkan bahwa koloni tersebut adalah bakteri asam laktat (BAL).

Setiap koloni yang terbentuk diamati dan diidentifikasi berdasarkan morfologi, reaksi

pengecatan gram, pembentukan gas, pengujian katalase kemudian penamaan taksonomi

dilakukan menggunakan Bergeys manual of Determinative Bacteriology (Buchanan and

Gibbons, 1974). Masing-masing koloni yang teridentifikasi ditumbuhkan kembali dalam

medium MRSB. Inkubasi pertumbuhan BAL dilakukan pada suhu 37oC selama 48 jam.

Koloni yang terpisah dengan bentuk dan ukuran yang berbeda diambil menggunakan

jarum ose steril dan digoreskan pada MRSA yang telah beku dan diinkubasi pada kondisi

yang sama membentuk goresan kuadran. Penggoresan dilakukan sampai diperoleh koloni

yang seragam. Koloni yang murni dipilih, lalu dilakukan pewarnaan gram dan uji katalase.

2. KarakteristikBAL Berdasarkan Morfologi

Tahap awal pemurnian dimulai dengan memilih koloni tunggal yang tumbuh pada

medium MRSA setelah diinkubasi selama 24 jam. Selanjutnya mengambil koloni tunggal

pada kultur, kemudian diinokulasikan secara goresan pada medium MRSA dan diinkubasi

pada temperatur 370C selama 48 jam. Koloni dari kultur murni selanjutnya diamati

morfologinya. Identifikasi isolat BAL berdasarkan bentuk (coccus, rod-shape,


coccobacillus) dan penataan bentuk (tunggal, berpasangan, rantai) dilakukan dengan

pengamatan menggunakan mikroskop (Buchanan and Gibbons, 1974).

3. KarakteristikBAL BerdasarkanReaksi Pewarnaan Gram

Prosedur pewarnaan mengikuti metode (Djide dan Sartini, 2008), dalam Trisna (2012),

biakan bakteri diambil dari stok dan diratakan diatas preparat yang telah dibersihkan

menggunakan etanol 70%. Kemudian difiksasi diatas api bunsen lalu ditetesi dengan zat

warna kristal violet selama 1 menit agar zat warna meresap pada bakteri. Preparat kemudian

dibilas dengan aquades mengalir dan ditetesi dengan larutan iodine kompleks. Kemudian

ditunggu selama 1 menit lalu dibilas dengan aquades mengalir. Preparat dicuci dengan

alkohol asam. Kemudian ditetesi dengan zat warna safranin, lalu ditunggu 30 detik. Setelah

itu dikeringkan dan diperiksa dibawah mikroskop dengan menggunakan minyak imersi.

4. Karakteristik BAL Berdasarkan Uji Motilitas

Sebanyak 1 ose isolat diambil dari stok kemudian diinokulasikan dengan cara ditusuk

pada medium SIM tegak. Selanjutnya diinkubasi pada temperatur 370C selama 48 jam. Hasil

positif (motil) jika terdapat rambatan rambatan disekitar bekas tusukan jarum pada

medium dan hasil negatif (non motil) bila tidak terdapat rambatan-rambatan disekitar bekas

tusukan jarum ose pada medium.

5. Karakteristik BAL Berdasarkan Uji Katalase

Sebanyak 2 tetes larutan hidrogen peroksida (H2O2) 3% diteteskan pada gelas obyek

bersih, kemudian ditambahkan inokulum BAL. Uji positif ditandai denganterbentuknya

gelembung oksigen dan uji negatif tidak adanya gelembung gas (isolat tidak tumbuh)

(Madigan et al., 2003).


6. Uji Ketahanan BAL terhadap Keasaman Lambung (pH), Garam Empedu dan Suhu

a. Uji Ketahanan terhadap Keasaman Lambung (pH)

Menurut Djide dan Wahyuddin (2008), uji ketahanan terhadap asam dilakukan dengan

menggunakan medium MRSB yang ditambahkan dengan HCl 0,1 N untuk mendapatkan pH

2,5 dan 3 (sesuai dengan pH lambung). Sebanyak 1 ose (ose bulat) masing-masing isolat

bakteri yang diambil dari stok kultur kemudian diinokulasikan pada medium MRSB-HCl.

Diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C. Hasil positif apabila terjadi pertumbuhan bakteri

pada medium dan hasil negatif apabila tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada medium.

b. Uji Ketahanan terhadap Garam Empedu

Ketahanan isolat mikroba terhadap garam empedu digunakan untuk mengkaji

kemampuan isolat bertahan pada saluran pencernaan yang terdapat garam empedu pada

permukaan atas usus. Pengujian dilakukan menurut metode Djide dan Wahyuddin (2008).

Metode ini dilakukan dengan menambahkan garam empedu sintetik (oxbile) dengan

konsentrasi 1 % dan 5 % pada medium MRSB. Selanjutnya isolat bakteri diambil dari stok

sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan pada medium MRSB garam empedu. Diinkubasi

selama 48 jam dengan temperatur 370C. Ketahanan terhadap garam empedu ditentukan

berdasarkan ada tidaknya pertumbuhan bakteri pada medium. Hasil positif jika ditandai

dengan adanya endapan pada dasar tabung dan adanya perubahan media menjadi lebih keruh

dibandingkan sebelum diinkubasi.

c. Uji Ketahanan terhadap Suhu

Isolat bakteri diambil dari stok sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan pada medium

MRSB. Selanjutnya medium yang telah berisi isolat diinkubasi pada temperatur 150C, 370C,

dan 450C selama 48 jam. Kemudian diamati apakah terjadi petumbuhan bakteri pada

medium. Hasil positif apabila terjadi pertumbuhan bakteri pada medium dan hasil negatif

apabila tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada medium.


7. Penentuan Jumlah Koloni BAL

Jumlah koloni BAL dari isolat diukur menggunakan metode Total Plate Count (TPC)

(Fardiaz, 1992). Sebanyak 1 g isolat hasil sentrifugassi dimasukkan ke petri dalam 9 ml

NaCl fisiologis 0.85%, lalu diencerkan sampai pengenceran 7 kali secara serial. Sebanyak

0,1 ml dari pengenceran 6 dan 7 kali ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar.

Media agar yang ditanam kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Koloni yang

tumbuh berbentuk bulat miring berwarna agak kekuningan. Kemudian dihitung sebagai

beirikut:

Populasi BAL (cfu/g) = Jumlah koloni X Pengenceran

8. Uji Daya Hambat BAL terhadap Bakteri E.coli

a. Isolasi Bakteri Uji E.coli

Sampel feses segar dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi NaCl fisiologis 10 ml.

Diambil 1 tetes feses yang sudah dihomogenkan dengan larutan NaCl fisiologis. Sebanyak

15 ml media Eosin Methylene Blue (EMB) dimasukkan ke dalam cawan petri untuk

disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah sterilisasi media

diambil dari strerilisator untuk selanjutnya didiamkan pada suhu kamar agar media menjadi

padat. Dari pengenceran sampel yang dikehendaki, sebanyak 0,1 ml larutan tersebut

dimasukkan ke dalam cawan petri dengan metode sebar menggunakan gelas bengkok.

Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama 18-24 jam. Setelah akhir inkubasi, koloni yang

tumbuh dan berwarna hijau metalik dengan titik hitam pada bagian tengahnya dihitung

sebagai koloni E. coli. Koloni yang tumbuh dikoleksi dengan cara diinokulasikan pada

media nutrien agar (NA) miring untuk pemeriksaan selanjutnya.


b. Uji Daya Hambat BAL terhadap E.coli

Untuk mengetahui bahwa isolat bakteri mempunyai potensi yang bagus sebagai

bakteri BAL maka perlu dilakukan uji daya hambat terhadap bakteri patogen. Bakteri

patogen yang digunakan adalah E.coli (bakteri gram negatif).Untuk perlakuan kontrol positif

digunakan kertas cakram yang telah berisi antibiotika amoksilin, karena kloramfenikol

memiliki sensitivitas yang sangat tinggi, dimana pada dosis 30 g/kertas cakram mampu

menghasilkan diameter zona hambat sebesar 25-31 mm (Fardiaz, 1992).

Langkah awal yang dilakukan adalah menginokulasi 1 ose (ose bulat) isolat dari stok

kultur pada medium MRSA miring dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C. Hal yang

sama dilakukan terhadap bakteri uji (E. coli) yang diinokulasikan pada medium NAmiring

dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37C. Sebanyak 1 ml isolat E. coli

diinokulasikan pada medium NA dengan metode tuang sebanyak 20 ml dan dibiarkan

memadat membentuk ketebalan agar. Campuran dihomogenkan dengan cara cawan petri

digerakkan membentuk angka delapan diatas bidang datar. Sementara itu disiapkan kertas

cakram steril lalu direndam sebanyak 10 l dalam masing-masing suspensi isolat BAL

selama 10 menit. Kemudian kertas cakram diletakkan di permukaan medium NA yang telah

memadat, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37C untuk memberikan kesempatan

supernatan beraktivitas terhadap bakteri uji. Zona bening yang terbentuk menunjukkan

adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri uji oleh supernatan. Diameter zona bening

(mm) diukur dengan jangka sorong sebanyak tiga kali pada posisi yang berbeda dan dirata-

ratakan.

Diameter Zona Bening (mm2/ml) = LZ LS


V
Keterangan:
LZ : Luas zona bening (mm2)
LS : Luas sumur (mm2)
V : Volume contoh (ml)
9. Pengukuran Total Asam Tertitrasi

Pengukuran total asam tertitrasi dilakukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak

10 ml filtrat dari sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan 3 tetes

larutan indikator fenolftalein 1%, selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N hingga

terbentuk warna merah muda. Tepat saat warna merah muda terbentuk, titrasi dihentikan.

Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam laktat. Total asam dapat diperoleh

melalui perhitungan berikut.

% Asam laktat = V NaOH X V NaOH X FP X BM Asam Laktat X 100%


Bobot Sampel X 1000

Keterangan: BM asam laktat = 90.08

Tahap II : Pembuatan Kapsul BAL dan Uji Kualitasnya

Tujuan tahap ini adalah menentukan komposisi bahan enkapsulasi (biopolimer) yang

tepat untuk mengenkapsulasi BAL dengan teknik ekstrusi. Enkapsulasi yang digunakan

adalah natrium alginat, maltodeksttri dan skim. Maltodekstrin dan skim digunakan sebagai

bahan pengisi. Tahap ini terdiri atas beberapa kegiatan yaitu: penentuan total padatan bahan

pengkapsul, penentuan perbandingan natrium alginat dengan bahan pengisi optimum serta

pengujian viabilitas, efisiensi dan jumlah populasi BAL terenkapsulasi serta pembuatan

BAL enkapsulasi dalam bentuk kering.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian penelitian ini adalah BAL, natrium alginat,

CaCl2 0,1M, NaCl 0,85%, alkohol 70%, aquadest, susu skim, maltodekstrin, MRSB, MRSA.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah magnetic stirer, syiringe, gelas

ukur, erlenmeyer, jarum ose, cawan petri, neraca analitic, tabung reaksi, kertas saring, pipet

tetes, oven, refrigerator, aluminium foil, bunsen.


1. Penentuan Total Padatan Bahan Pengkapsul

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan total padatan enkapsulasi optimum.

Enkapsulasi yang digunakan untuk menentukan total padatan optimum adalah natrium

alginat. Pembentukan beads jel kalsium alginat dilakukan dengan metode ekstrusi

(Krasaekoopt et al., 2003). Sebanyak 20 gram `suspensi natrium alginat (1%, 2%, 3%, 4%,

5%, dan 6% b/v) yang telah didinginkan pada suhu ruang diteteskan dalam 60 ml CaCl2

0,1M menggunakan syringe berukuran 0,7 mm dengan jarak tetes 1 cm dan diaduk

menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 150 200 rpm. Waktu pengerasan jel dalam

larutan CaCl2 0,1M dilakukan selama 30 menit, kemudian beads disaring secara steril dan

dibilas dengan NaCl 0,85% lalu ditiriskan selama 2 menit. Selanjutnya beads ditimbang.

Parameter yang diamati rendemen (yield), bentuk dan ukuran beads:

Rendemen = (massa beads/massa larutan natrium alginat) x 100%

Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap factor

tunggal (single factor), yaitu konsentrasi biopolimer (natrium alginat). Faktor ini terdiri dari

empat taraf perlakuan, yaitu alginat 1% (A1), alginat 2% (A2), alginat 3% (A3), alginat 4%

(A4), alginat 5% (A5), alginat 6% (A6). Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Model

rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = + Ai + ij

Keterangan:
Yij= Pengamatan pada faktor A taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
Ai = Pengaruh faktor A taraf ke-i
ij = Pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis

varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,

analisis dilakukan dengan uji lanjut Duncan.


2. Penentuan Perbandingan Natrium Alginat dengan Bahan Pengisi Optimum

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan perbandingan natrium alginat dengan bahan

pengisi optimum pada masing-masing bahan pengisi. Tahap ini diawali dengan menyiapkan

sebanyak 20 gram suspensi bahan pengkapsul yang terdiri atas natrium alginat dan bahan

pengisi dengan perbandingan 1:1, 2:1, 3:1 (b/v) dari masing-masing bahan pengisi.

Pada tahap ini analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor

tunggal (single factor) yaitu komposisi bahan pengkapsul yang terdiri dari natrium alginat

dan bahan pengisi. Faktor ini terdiri dari 7 taraf perlakuan yaitu natrium alginat tanpa bahan

pengisi (B0), natrium alginat-skim 1:1 (B1), natrium alginat-skim 2:1 (B2), natrium alginat-

skim 3:1 (B3), natrium alginat-maltodekstrin 1:1 (B4), natrium alginat-maltodekstrin 2:1

(B5), natrium alginat-maltodekstrin 3:1 (B6). Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali.

Dengan model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = + Bi + ij

Keterangan:
Yij= Pengamatan pada faktor B taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
Bi = Pengaruh faktor B taraf ke-i
ij = Pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis

varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,

analisis dilakukan dengan uji lanjut Duncan.

a. Pengujian Viabilitas dan Efisiensi BAL Terenkapsulasi

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui viabilitas dan efisiensi BAL terenkapsulasi.

Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan adalah komposisi optimum yang didapat dari

tahap penentuan perbandingan natrium-alginat dan bahan pengisi optimum. Preparasi BAL
terlebih dahulu diaktivasi dalam 10 ml MRS broth sebanyak 23 kali dan diinkubasi pada

suhu 370C selama 24 jam. Suspensi kultur disimpan dalam refrigerator pada suhu 40C

sebagai kultur stok. Suspensi sel yang akan digunakan untuk enkapsulasi merupakan kultur

berumur 18 jam dalam MRS broth (Homayouni et al., 2008a).

Suspensi biopolimer steril yang telah didinginkankemudian ditambahkan suspensi

sel sebanyak 0,1% (Homayouni et al. 2008a) atau denganperbandingan 9:1 (Castilla et al.

2010) lalu dikocok hingga homogen. Suspensi biopolimer-seldimasukan kedalam syringe

steril dan diteteskan kedalam larutan CaCl2 0,1 M steril(perbandingan suspensi biopolimer-

sel dan CaCl2 0,1 M adalah 1:3) dengan jarak tetes 1 cm dandilakukan pengadukan 150

200 rpm menggunakan magnetic stirer. Pengerasan jel dilakukanselama 30 menit. Beads

kemudian disaring dan dibilas menggunakan NaCl 0,85% yang telahdisterilisasi. Beads

basah kemudian dimasukan ke dalam wadah atau botol steril. Jumlah selyang terenkapsulasi

di dalam beads dihitung dengan metode yang digunakan Sheu dan Marshal (1993).

Viabilitas (%) = Log cfu/gram suspensi biopolimer sel X 100%


Log cfu/gram beads basah

Efisiensi enkapsulasi (%) = P X Q X 100%


R

Keterangan:
P = Populasi BAL per gram beads (cfu/g beads)
R = Total BAL didalam suspensi biopolimer sel (cfu)
Q = Massa beads yang dihasilkan dari total suspensi biopolimer sel yang digunakan (g)

b. Jumlah Populasi BAL Produk Enkapsulasi

Pengujian jumlah koloni BAL didalam kapsul pada masing-masing perlakuan diukur

dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC) menurut Fardiaz (1992). Sebanyak

0,5 g kapsul BAL dimasukkan ke dalam 4,5 ml NaCl fisiologis 0,85% dan divortex untuk

proses pelarutan kapsul, lalu diencerkan secara serial (4,5,6 dan 7) dan kemudian diambil
sebanyak 0,1 ml untuk ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar. Kultur diinkubasi

pada suhu ruang selama 2 hari. Koloni yang tumbuh kemudian dihitung sebagai berikut:

Populasi BAL (cfu/g) = Jumlah Koloni X Pengenceran

Tahap III : Daya Simpan Kapsul BAL dan Uji Kualitasnya

a. Daya Simpan Kapsul BAL dan Uji Kualitas

Sebanyak 5 g kapsul BAL disimpan dalam 30 kantong plastik steril pada suhu kamar

(270C - 280C) dengan kelembaban relatif (75% - 89%) selama 4 minggu. Masing-masing

sampel setiap minggu diambil untuk dianalisis jumlah koloni dan daya hambat BAL

melawan E.coli. Pengujian jumlah koloni BAL didalam kapsul pada masing-masing

perlakuan penyimpanan diukur dengan menggunakan metode Total Plate Count

(TPC)menurut Fardiaz (1992). Kapsul yang berisi BAL dilarutkan terlebih dahulu

menggunakan NaCl sebelum dilakukan penghitungan jumlah koloni BAL. Begitu juga

pengujian terhadap daya hambat E.coli. Jumlah koloni dan daya simpan BAL yang

diperoleh selanjutnya dapat diukur dengan viabilitas dan pH BAL.

Kestabilan BAL dalam menghambat E.coli dihitung berdasarkan daya hambat BAL

yang diperoleh sebelumnya dengan asumsi bahwa daya hambat BAL yang tertinggi (awal)

mempunyai nilai 100%, selanjutnya diperoleh % penurunan kestabilan BAL seiring dengan

semakin menurunnya juga daya hambat yang dihasilkan.

Kestabilan BAL menghambat E.coli = Daya hambat BAL terendah X 100%


Daya hambat BAL tertinggi

Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

dengan pola faktorial 2 X 5 dengan 3 kali ulangan. Dimana faktor tersebut adalah:
Faktor A : Enkapsulasi BAL

A1 = BAL (Tanpa Kapsul)

A2 = Kapsulasi BAL

Faktor B : Lama Penyimpanan (Minggu)

B0 = 0 Minggu

B1 = 1 Minggu

B2 = 2 Minggu

B3 = 0 Minggu

B4 = 4 Minggu

Maka, kombinasi perlakuan yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut:

A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4

A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4

Yijk = + i + j + ()ij + ij

Keterangan:
i = 1,2 dan 3
j = 1,2 dan 3
k = 1,2 dan 3
Yijk = Nilai kestabilan data ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan penambahan
enkaspulasi ke-i dan lama penyimpanan ke-j
= Rataan umum
()ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan ke-j
ijk = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j pada satuan percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis

varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,

analisis dilakukan dengan uji lanjut Duncan.


b. Pembuatan Enkapsulasi BAL dalam Bentuk Kering.

Tahap ini bertujuan untuk menentukan waktu pengeringan optimum untuk

menghasilkan BALterenkapsulasi kering. Pengeringan dilakukan menggunakan oven pada

suhu 470C. Waktu pengeringan ditentukan dengan mengukur perubahan kadar air probiotik

terenkapsulasi selama pengeringan hingga dicapai kadar air konstan selama pengeringan.

Pada tahap ini juga dikaji pengaruh bahan pengkapsul yang digunakan terhadap viabilitas

dan ketahanan sel selama proses pengeringan.

Sebanyak 5 g BALterenkapsulasi dalam beads disebarkan kedalam cawan petri steril

kemudian dimasukan ke dalam oven bersuhu 470C. Setiap jam dilakukan penimbangan

beads hingga massa beads telah cukup konstan (tidak mengalami penurunan). Kadar air

probiotik terenkapsulasi dihitung sebagai berikut:

Kat = MBt - MBk X 100%


MBt

Keterangan :
Kat = Kadar air probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (%)
MBt = Massa probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (gram)
MBK = Massa kering (dry matter) probiotik terenkapsulasi (1050C) (gram)
t = Waktu (lama) pengeringan (jam)

Setelah didapat waktu pengeringan optimum, BALterenkapsulasi selanjutnya

dikeringkan pada suhu 470C selama waktu pengeringan optimum yang didapat. Sebelum dan

setelah proses pengeringan dilakukan perhitungan populasi BALterenkapsulasi untuk

menguji pengaruh bahan pengkapsul terhadap ketahanan probiotik selama proses

pengeringan. BALterenkapsulasi kering disimpan di dalam refrigerator pada suhu 40C.

Ketahanan (%) = Log cfu/gram massa kering setelah pengeringan X 100%


Log cfu/gram massa kering sebelum pengeringan
Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor

tunggal (single factor), dengan perlakuan yaitu natrium aginat 5% dengan natrium alginat

maltodekstrin (2:1) Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = + Ci + ij

Keterangan:
Yij = Pengamatan pada faktor C taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
Ci = Pengaruh faktor C taraf ke-i
ij = Pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis

varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,

analisis dilkukan dengan uji t.

You might also like