Professional Documents
Culture Documents
METODE KERJA
A. ALAT
1. Jam/stopwatch
2. Kapas
3. Pinset
4. Pipet
5. Timbangan analitik (neraca analitik)
6. Toples
B. BAHAN
1. Alkohol 70%
2. Alkohol 96%
3. Aseton
4. Eter
5. Kloroform
6. Mencit
7. Methanol
C. CARA KERJA
1. Ditimbang mencit, kemudian dimasukkan ke dalam toples.
2. Diberi kapas yang telah dibasahi dengan xenobiotika, lalu toples
ditutup.
3. Dicatat onset dan durasi.
4. Dijepit ekor mencit dengan pinset dan diamati refleks yang terjadi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
A.1. Defenisi Toksikologi
A. TEORI UMUM
A.1. Defenisi Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan
kimia. Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/ cedera
pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh
suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya,
tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak
sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila
dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan
ekotoksikologi (Casarett and Doulls, 1995).
Toksikologi oleh Loomis didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Pakar lainnya,
yaitu Doull dan Bruce mendefenisikan toksikologi sebagai ilmu yang
mempelajari pengaruh zat kimia yang merugikan atas sistem biologi.
Timrel, mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari
interaksi antar zat kimia dan sistem biologi (Butler, 1978).
Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh
bahan kimia yang merugikan bagi organisme hidup. Dari definisi di atas,
jelas terlihat bahwa dalam toksikologi terdapat unsur-unsur yang saling
berinteraksi dengan suatu cara-cara tertentu untuk menimbulkan respon
pada sistem biologik dalam tubuh makhluk hidup yang dapat
menimbulkan kerusakan pada sistem biologi tersebut. Salah satu unsur
toksikologi adalah agen-agen kimia atau fisika yang mampu
menimbulkan respon pada sistem biologi. Selanjutnya cara-cara
pemaparan merupakan unsur lain yang turut menentukan timbulnya
efek-efek yang tidak diinginkan ini (Butler, 1978).
A.2. Defenisi Toksokinetik
Istilah toksikokinetik merujuk pada absorbsi, distribusi, ekskresi
dan metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai
metabolitnya. Sehingga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari perjalanan toksikan dalam tubuh seperti absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Sedangkan toksikodinamik digunakan untuk
merujuk berbagai efek kerusakan unsur pada fungsi vital (Boylan, 1983).
A.3.Defenisi Anestesi
Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes
berasal dari bahasa Yunani anaisthsia (dari an- tanpa dan aisthsis
sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu: anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi lokal
merupakan hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran,
sedangkan anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit disertai hilang
kesadaran (Katzung, 2001).
Anastesi secara umum diartikan sebagai hilangnya rasa sakit
(nyeri) atau kontrol terhadap tubuh. Biasa digunakan untuk
mendeskribsikan proses reversible yang membiarkan prosedur operasi
atau terapi apaun yang menyebabkan rasa nyeri hebat untuk dilakukan
tanpa pasien merasa stres atau tidak nyaman (Marcovitch, H., 2005).
A.4. Defenisi Toksik
Bahan kimia beracun atau biasa dikenal dengan sebutan toksik
ialah bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan
manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke dalam tubuh
karena tertelan, lewat pernafasan atau kontak lewat kulit. Apabila zat
kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa
ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat aksi, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan (Tim Penyusun, 2012).
Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan
kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh
tertentu. Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh
tertentu seperti hati, paru-paru, dan lain-lain. Tetapi dapat juga zat-zat
tersebut berakumulasi dalam tulang, darah, hati, atau cairan limfa dan
menghasilkan efek kesehatan pada jangka panjang. Pengeluaran zat-zat
beracun dari dalam tubuh dapat melewati urine, saluran pencernaan, sel
efitel dan keringat (Tim Penyusun, 2012).
Bahan-bahan dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
tergantung dari minat dan tujuan pengelompokannya. Sebagai contoh,
pengklasifikasian berdasarkan organ targetnya yaitu hati, ginjal, system
hematopotik dan lain-lain, penggunaannya seperti: pestisida, pelarut,
aditif makanan, dan lain-lain, sumbernya yaitu toksik tumbuhan dan
binatang, efeknya, seperti: kanker, mutasi, kerusakan hati, dan
sebagainya, fisiknya, yaitu gas, debu, cair, sifatnya yaitu mudah meledak
dan kandungan kimianya yaitu, amina aromatik, hidrokarbon halogen,
dan lain-lain (Alexander, 2001).
Pada dasarnya semua bahan kimia adalah beracun, tetapi
bahayanya terhadap kesehatan sangat bergantung pada jumlah zat
tersebut yang masuk ke dalam tubuh. Garam dapur yang kita makan
setiap hari adalah bahan kimia yang tidak menimbulkan gangguan
kesehatan. Tetapi, jika terlalu besar jumlah yang kita makan, akan
membahayakan kesehatan kita. Demikian pula berbagai macam obat,
baru bermanfaat bagi tubuh pada dosis tertentu. Tetapi akan berbahaya
apabila diberikan dalam dosis berlebihan (Tim Penyusun, 2010).
A.5. Defenisi Toksisitas
Toksiksitas merupakan sifat relative dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan
mekanisme biologi pada suatu organisme. Toksisitas juga diartikan
sebagai ukuran relatif derajat racun antara satu bahan kimia terhadap
bahan kimia yang lainnya pada organisme yang sama. Kadar racun suatu
zat dinyatakan sebagai Lethal Dose-50 yakni dosis zat yang dinyatakan
dalam milligram bahan per kilogram berat badan (Ernst, 1986).
Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak
terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang
terabsorbsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan
kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi
penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Risiko
didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek
yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik
(Alexander, 2001).
A.6. Defenisi Sistem Saraf
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang
bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan
direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup
tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungan luar maupun dalam (Malole, 1989).
Sistem saraf diartikan sebagai serangkaian organ yang kompleks
dan berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam
mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal
dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat dan
susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan
medula spinalis (sumsum tulang belakang) (Tim Penyusun, 2010).
A.7. Pembagian Sistem Saraf
Sistem saraf pada vertebrata secara umum dibagi menjadi dua
yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri
dari otak dan sumsum tulang belakang. SST utamanya terdiri dari saraf,
yang merupakan serat panjang yang menghubungkan SSP ke setiap
bagian dari tubuh (Campbell, 2008).
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat
mengendalikan sistem saraf lainnya di dalam tubuh dimana bekerja
dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf
sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem
saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum
tulang belakang (medula spinalis) (Campbell, 2008).
Sedangkan sistem saraf tepi (SST) merupakan sistem saraf diluar
sistem saraf pusat, yang bertugas untuk menjalankan otot dan organ
tubuh. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu
neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan
tepi, serta divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP.
Fungsi sistem simpatis selain secara berkelanjutan mempertahankan
derajat keaktifan (misalnya menjaga tonus vaskular bed) juga
mempunyai kemampuan untuk memberikan respons pada situasi stress,
seperti trauma, ketakutan, hipoglikemia, kedinginan atau latihan. Fungsi
sistem parasimpatis yaitu menjaga kondisi tubuh esensial seperti proses
pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa. Jika sistem ini
bekerja, akan menghasilkan gejala yang pasif, tidak diharapkan dan tidak
menenangkan. Sistem ini bekerja untuk mempengaruhi organ-organ
spesifik seperti lambung dan mata. Secara umum, SST meliputi system
saraf motorik, sistem saraf otonom, sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis, sistem saraf enterik. (Mycek et al., 2001).
A.8. Penjelasan Tentang Toksokinetik
Sederetan proses toksikokinetik sering disingkat
dengan ADME, yaitu: adsorbsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah
xenobiotika (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke
sistem sistemik atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah
xenobiotika yang dapat masuk ke sistem sistemik dikenal
sebagai ketersediaan biologi / hayati. Keseluruhan proses
pada fase toksokinetik akan menentukan menentukan
efficacy (kemampuan xenobiotika mengasilkan efek),
efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di
reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya
(Ganiswarna,1995).
1. Keadaan Fisiologi
a. Berat badan berpengaruh pada masuknya racun dalam tubuh.
Jika berat badannya besar terpapar racun dalam dosis
minimal tidak akan menimbulkan efek, karena berat badan
besar memiliki cadangan lemak yang banyak. Sedangkan
berat badan yang kecil terpapar racun dalam dosis minimal
akan menimbulkan efek, karena cadangan lemak yang terlalu
sedikit dalam berat badan yang kecil (Goodman and Gilman,
2008).
b. Jenis kelamin, dimana hormon antara laki-laki dan
perempuan berbeda. Zat kimia dapat mempengaruhi kondisi
hormon. Contohnya, Nikotin seperti pada rokok
dimetabolisme secara berbeda antara laki-laki dan perempuan
(Goodman and Gilman, 2008).
c. Umur berpengaruh pada dosis obat, jika dosis yang diberikan
pada pengguna tidak sesuai maka akan terjadi toksisitas.
Contohnya, tetrasiklin yang diberikan pada anak 1 tahun
dapat menyebabkan warna gigi menjadi coklat. Dan,
Ciprofloksasin jika di konsumsi pada anak dibawah umur
makan akan menghambat pertumbuhan, sehingga tidak dapat
tumbuh tinggi (Goodman and Gilman, 2008).
d. Kehamilan, penggunaan zat pada kehamilan dimana terjadi
perkembangan janin pada kandungan dapat mempengaruhi
kondisi perkembangan organ yang terbentuk (Goodman and
Gilman, 2008).
e. Status gizi, mempengaruhi aktifitas enzim metabolisme
terutama apabila kekurangan protein dan vitamin.
Ketidakcukupan sintesis protein mengakibatkan
hipoalbuminemie sehingga berkurangnya tempat pengikatan
zat racun didalam darah dan perubahan distribusi racun di
dalam tubuh sehingga peningkatan ke toksikan suatu racun
(Goodman and Gilman, 2008).
f. Genetik, penggolongan toksisitas berdasarkan mekanisme
genetika ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Pertama, akumulasi zat kimia sebagai akibat dari tidak
sempurnanya atau tidak adanya mekanisme transformasi
metabolik (sistem enzim) secara genetika, dalam hal
mana zat kimia yang diberikan merupakan zat toksik
utamanya. Kondisi ini akan segera terjadi pada obat yang
diberikan dalam dosis berganda pada interval pemberian
tertentu. Contohnya adalah adanya variasi diantara
individu berkaitan dengan asetilasi isoniazid, dan variasi
yang berkaitan dengan metabolisme tubuh dalam
berbagai macam anggota spesies tertentu (Goodman and
Gilman, 2008).
2. Kedua, perpanjangan aksi zat kimia sebagai akibat tak
sempurnanya mekanisme biotransformasi, yaitu zat kimia
yang diberikan merupakan zat toksik utamanya. Kondisi
ini ditunjukkan oleh perpanjangan apnea yang disebabkan
oleh suksinilkolina pada manusia yang secara genetika
mengalami kekurangan enzim kolinesterase (Goodman
and Gilman, 2008).
3. Ketiga, hipersensitifitas, meliputi enzim cacat yang
menyebabkan tingkat aktivitas yang minim dengan gejala
defisiensi enzim yang mini, bila zat kimia yang diberikan
merupakan zat toksik utamanya. Contoh kondisi ini
menyertakan anemia hemolitika yang disebabkan oleh
primakuina, dimana secara genetika terdapat perubahan
stabilitas glutation tereduksi dan perubahan aktivitas
glukosa-6-fosfodehifrogenesa. Contoh lainnya ialah
hemoglobin abnoramal dimana terdapat perubahan
kemampuan hemoglobin untuk bertahan pada tingkat
tereduksi. Dan, porfiria yang disebabkan oleh
sulfonamida serta barbiturat, yang terjadi karena
defisiensi sistem penghambat tertentu yang biasanya
mengendalikan tingkat asam -amino levulinat sintesa
(Goodman and Gilman, 2008).
2. Keadaan Patologi
Keadaan patologi meliputi kondisi dan jenis penyakit
menjadi faktor penting dalam menentukan keefektifan
metabolisme senyawa toksik. Berkaitan dengan aneka ragam
penyakit yang dapat mengurangi aliran darah ke tempat
metabolisme seperti komplikasi jantung, syok dan hipotensi, atau
yang berpengaruh langsung terhadap fungsi organ atau jaringan
tempat metabolisme, misalnya hepatitis, sakit kuning obstruktif,
sirosis, kanker hati, kerusakkan ginjal, tukak duodenum dan lain
sebagainya (Goodman and Gilman, 2008).