You are on page 1of 22

BAB III

METODE KERJA

A. ALAT
1. Jam/stopwatch
2. Kapas
3. Pinset
4. Pipet
5. Timbangan analitik (neraca analitik)
6. Toples
B. BAHAN
1. Alkohol 70%
2. Alkohol 96%
3. Aseton
4. Eter
5. Kloroform
6. Mencit
7. Methanol
C. CARA KERJA
1. Ditimbang mencit, kemudian dimasukkan ke dalam toples.
2. Diberi kapas yang telah dibasahi dengan xenobiotika, lalu toples
ditutup.
3. Dicatat onset dan durasi.
4. Dijepit ekor mencit dengan pinset dan diamati refleks yang terjadi.

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
A.1. Defenisi Toksikologi

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan


mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap
makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Toksikologi juga merupakan
pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan
bagi organisme hidup. Pengaruh yang merugikan ini timbul sebagai
akibat terjadinya interaksi diantara agent-agent toksis (yang memiliki
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan pada organisme hidup)
dengan sistem biologi dari organisme.
A.2.Defenisi Toksokinetik
Istilah toksikokinetik merujuk pada absorbsi, distribusi, ekskresi
dan metabolisme toksik, dosis toksik dari bahan terapeutik dan berbagai
metabolitnya. Sehingga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari perjalanan toksikan dalam tubuh seperti absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Sedangkan istilah toksikodinamik digunakan
untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada fungsi vital.
A.3.Defenisi Anestesi
Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes
berasal dari bahasa Yunani anaisthsia (dari an- tanpa + aisthsis
sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu: anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi lokal
merupakan hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran,
sedangkan anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit disertai hilangnya
kesadaran.
A.4.Defenisi Gejala-gejala
Gejala (tanda-tanda) toksik adalah keadaan yang menjadi tanda-
tanda akan timbulnya (terjadinya, terjangkitnya) suatu efek toksik
(racun) terhadap makhluk hidup. Efek toksik atau efek yang tidak
diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan oleh bahan kimia
kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai
tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu
yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik.
A.5.Defenisi Toksik
Bahan kimia beracun atau biasa dikenal dengan sebutan toksik
ialah bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan
manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke dalam tubuh
karena tertelan, lewat pernafasan atau kontak lewat kulit. Apabila zat
kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa
ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat aksi, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.
Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan
kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh
tertentu. Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh
tertentu seperti hati, paru-paru, dan lain-lain. Tetapi dapat juga zat-zat
tersebut berakumulasi dalam tulang, darah, hati, atau cairan limfa dan
menghasilkan efek kesehatan pada jangka panjang. Pengeluaran zat-zat
beracun dari dalam tubuh dapat melewati urine, saluran pencernaan, sel
efitel dan keringat. Pada dasarnya semua bahan kimia adalah beracun,
tetapi bahayanya terhadap kesehatan sangat bergantung pada jumlah zat
tersebut yang masuk ke dalam tubuh.
A.6.Defenisi Toksisitas
Toksiksitas merupakan sifat relative dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan
mekanisme biologi pada suatu organisme. Toksisitas juga diartikan
sebagai ukuran relatif derajat racun antara satu bahan kimia terhadap
bahan kimia yang lainnya pada organisme yang sama. Kadar racun suatu
zat dinyatakan sebagai Lethal Dose-50 yakni dosis suatu zat yang
dinyatakan dalam miligram bahan per kilogram berat badan.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


B.1. Maksud dari praktikum ini yaitu :

1. Mahasiswa mampu mengetahui toksik Xenobiotika pada mencit


(Mus musculus).

2. Mahasiswa mampu mengetahui derajat toksiksitas Xenobiotika pada


mencit (Mus musculus).

B.2. Tujuan dari praktikum ini yaitu :

1 Mahasiswa mampu memahami toksik Xenobiotika pada mencit


(Mus musculus).

2 Mahasiswa mampu memahami derajat toksiksitas Xenobiotika pada


mencit (Mus musculus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TEORI UMUM
A.1. Defenisi Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan
kimia. Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas/kerusakan/ cedera
pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh
suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya,
tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak
sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila
dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan
ekotoksikologi (Casarett and Doulls, 1995).
Toksikologi oleh Loomis didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Pakar lainnya,
yaitu Doull dan Bruce mendefenisikan toksikologi sebagai ilmu yang
mempelajari pengaruh zat kimia yang merugikan atas sistem biologi.
Timrel, mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari
interaksi antar zat kimia dan sistem biologi (Butler, 1978).
Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh
bahan kimia yang merugikan bagi organisme hidup. Dari definisi di atas,
jelas terlihat bahwa dalam toksikologi terdapat unsur-unsur yang saling
berinteraksi dengan suatu cara-cara tertentu untuk menimbulkan respon
pada sistem biologik dalam tubuh makhluk hidup yang dapat
menimbulkan kerusakan pada sistem biologi tersebut. Salah satu unsur
toksikologi adalah agen-agen kimia atau fisika yang mampu
menimbulkan respon pada sistem biologi. Selanjutnya cara-cara
pemaparan merupakan unsur lain yang turut menentukan timbulnya
efek-efek yang tidak diinginkan ini (Butler, 1978).
A.2. Defenisi Toksokinetik
Istilah toksikokinetik merujuk pada absorbsi, distribusi, ekskresi
dan metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai
metabolitnya. Sehingga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari perjalanan toksikan dalam tubuh seperti absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Sedangkan toksikodinamik digunakan untuk
merujuk berbagai efek kerusakan unsur pada fungsi vital (Boylan, 1983).
A.3.Defenisi Anestesi
Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes
berasal dari bahasa Yunani anaisthsia (dari an- tanpa dan aisthsis
sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu: anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi lokal
merupakan hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran,
sedangkan anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit disertai hilang
kesadaran (Katzung, 2001).
Anastesi secara umum diartikan sebagai hilangnya rasa sakit
(nyeri) atau kontrol terhadap tubuh. Biasa digunakan untuk
mendeskribsikan proses reversible yang membiarkan prosedur operasi
atau terapi apaun yang menyebabkan rasa nyeri hebat untuk dilakukan
tanpa pasien merasa stres atau tidak nyaman (Marcovitch, H., 2005).
A.4. Defenisi Toksik
Bahan kimia beracun atau biasa dikenal dengan sebutan toksik
ialah bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan
manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke dalam tubuh
karena tertelan, lewat pernafasan atau kontak lewat kulit. Apabila zat
kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa
ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat aksi, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan (Tim Penyusun, 2012).
Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan
kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh
tertentu. Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh
tertentu seperti hati, paru-paru, dan lain-lain. Tetapi dapat juga zat-zat
tersebut berakumulasi dalam tulang, darah, hati, atau cairan limfa dan
menghasilkan efek kesehatan pada jangka panjang. Pengeluaran zat-zat
beracun dari dalam tubuh dapat melewati urine, saluran pencernaan, sel
efitel dan keringat (Tim Penyusun, 2012).
Bahan-bahan dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
tergantung dari minat dan tujuan pengelompokannya. Sebagai contoh,
pengklasifikasian berdasarkan organ targetnya yaitu hati, ginjal, system
hematopotik dan lain-lain, penggunaannya seperti: pestisida, pelarut,
aditif makanan, dan lain-lain, sumbernya yaitu toksik tumbuhan dan
binatang, efeknya, seperti: kanker, mutasi, kerusakan hati, dan
sebagainya, fisiknya, yaitu gas, debu, cair, sifatnya yaitu mudah meledak
dan kandungan kimianya yaitu, amina aromatik, hidrokarbon halogen,
dan lain-lain (Alexander, 2001).
Pada dasarnya semua bahan kimia adalah beracun, tetapi
bahayanya terhadap kesehatan sangat bergantung pada jumlah zat
tersebut yang masuk ke dalam tubuh. Garam dapur yang kita makan
setiap hari adalah bahan kimia yang tidak menimbulkan gangguan
kesehatan. Tetapi, jika terlalu besar jumlah yang kita makan, akan
membahayakan kesehatan kita. Demikian pula berbagai macam obat,
baru bermanfaat bagi tubuh pada dosis tertentu. Tetapi akan berbahaya
apabila diberikan dalam dosis berlebihan (Tim Penyusun, 2010).
A.5. Defenisi Toksisitas
Toksiksitas merupakan sifat relative dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan
mekanisme biologi pada suatu organisme. Toksisitas juga diartikan
sebagai ukuran relatif derajat racun antara satu bahan kimia terhadap
bahan kimia yang lainnya pada organisme yang sama. Kadar racun suatu
zat dinyatakan sebagai Lethal Dose-50 yakni dosis zat yang dinyatakan
dalam milligram bahan per kilogram berat badan (Ernst, 1986).
Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak
terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang
terabsorbsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan
kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi
penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Risiko
didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek
yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik
(Alexander, 2001).
A.6. Defenisi Sistem Saraf
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang
bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan
direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup
tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungan luar maupun dalam (Malole, 1989).
Sistem saraf diartikan sebagai serangkaian organ yang kompleks
dan berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam
mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal
dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat dan
susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan
medula spinalis (sumsum tulang belakang) (Tim Penyusun, 2010).
A.7. Pembagian Sistem Saraf
Sistem saraf pada vertebrata secara umum dibagi menjadi dua
yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri
dari otak dan sumsum tulang belakang. SST utamanya terdiri dari saraf,
yang merupakan serat panjang yang menghubungkan SSP ke setiap
bagian dari tubuh (Campbell, 2008).
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat
mengendalikan sistem saraf lainnya di dalam tubuh dimana bekerja
dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf
sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem
saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum
tulang belakang (medula spinalis) (Campbell, 2008).
Sedangkan sistem saraf tepi (SST) merupakan sistem saraf diluar
sistem saraf pusat, yang bertugas untuk menjalankan otot dan organ
tubuh. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu
neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan
tepi, serta divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP.
Fungsi sistem simpatis selain secara berkelanjutan mempertahankan
derajat keaktifan (misalnya menjaga tonus vaskular bed) juga
mempunyai kemampuan untuk memberikan respons pada situasi stress,
seperti trauma, ketakutan, hipoglikemia, kedinginan atau latihan. Fungsi
sistem parasimpatis yaitu menjaga kondisi tubuh esensial seperti proses
pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa. Jika sistem ini
bekerja, akan menghasilkan gejala yang pasif, tidak diharapkan dan tidak
menenangkan. Sistem ini bekerja untuk mempengaruhi organ-organ
spesifik seperti lambung dan mata. Secara umum, SST meliputi system
saraf motorik, sistem saraf otonom, sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis, sistem saraf enterik. (Mycek et al., 2001).
A.8. Penjelasan Tentang Toksokinetik
Sederetan proses toksikokinetik sering disingkat
dengan ADME, yaitu: adsorbsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah
xenobiotika (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke
sistem sistemik atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah
xenobiotika yang dapat masuk ke sistem sistemik dikenal
sebagai ketersediaan biologi / hayati. Keseluruhan proses
pada fase toksokinetik akan menentukan menentukan
efficacy (kemampuan xenobiotika mengasilkan efek),
efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di
reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya
(Ganiswarna,1995).

Toksokinetik disebut juga dengan farmakokinetika. Setelah


xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan
xenobiotika siap untuk diabsorbsi menuju aliran darah atau pembuluh
limfa, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfa di
distribusikan ke seluruh tubuh dan tempat kerja toksik (reseptor). Pada
saat bersamaan sebagian molekul xenobiotika akan termetabolisme atau
tersekresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran
cerna, atau sistem ekskresi lainnya. Pada umumnya tokson melintasi
membrane saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan difusi
pasif yaitu transport dengan perbedaan konsentrasi sebagai daya
dorongannya (Wirasuanta, 2006).
A.9. Stadium Anestesi
abcdefStadium anestesi terdiri atas 4, diantaranya yaitu:
1. Stadium I (analgesia). Stadium analgesia dimulai sejak saat
pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap
sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat
dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar (Ganiswarna, 1995).
2. Stadium II (Eksitasi). Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran
sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda
dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak
mengalami delirium dan eksitasidengan gerakan-gerakan di luar
kehendak (Ganiswarna, 1995).
3. Stadium III (Pembedahan). Stadium III dimulai dengan timbulnya
kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan
spontan hilang. Keempat tingkat dalam stadium pembedahan
dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata
dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang menggambarkan
semakin dalamnya pembiusan (Ganiswarna, 1995).
a. Tingkat 1: pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara
pernapasan dada dan perut; gerakan bola mata terjadi di luar
kehendak, miosis, sedangkan, tonus otot rangka masih ada
(Ganiswarna, 1995).
b. Tingkat 2: pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai
melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat dapat
dilakukan intubasi (Ganiswarna, 1995).
c. Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan
dada karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka
sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal (Ganiswarna,
1995).
d. Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena otot interkostal
lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar
dan refleks cahaya menghilang. Pembiusan hendaknya jangan
sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk ke
stadium IV yaitu ketika pernapasan sopntan melemah. Untuk
mencegah ini, harus diperhatikan benar sifat dan dalamnya
pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal,
dan turunnya tekanan darah (Ganiswarna, 1995).
4. Stadium IV (Depresi Medula Oblongata). Stadium IV ini dimulai
dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat
4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps,
dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul
dengan kematian, kelumpuhan napas di sini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh alat bantu napas
dan sirkulasi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007: 125)
A.10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toksik Pada Makhluk Hidup
Faktor yang mempengaruhi toksisitas pada makhluk hidup
menurut (Goodman and Gilman tahun 2008) terdiri atas:

a. Faktor intrinsik racun


Faktor intrinsik racun merupakan faktor yang berasal dari
racun itu sendiri. Faktor-faktor ini yaitu:
1. Faktor kimia
Ada banyak senyawa kimia, yang membedakan senyawa
kimia yang satu dengan yang lain adalah sifat kimia-fisika dan
struktur kimianya. Contohnya metanol dan etanol. Kedua
senyawa ini sama turunan dari alkohol dan memiliki sifat fisika
dan kimia hampir sama salah satunya yaitu cairan tidak berwarna
dah mudah menguap, tetapi efek toksik yang dihasilkan antara
keduanya lebih toksik metanol. Struktur kimia dari metanol
CH3OH dan etanol C2H5OH. Faktor kimia merupakan interaksi
bahan kimia di dalam tubuh dan menimbulkan efek. Efek yang
terjadi dapat dibedakan menjadi :
a. Efek aditif yakni pengaruh yang saling memperkuat akibat
kombinasi dari dua zat kimia atau lebih.
b. Efek sinergi yaitu suatu keadaan dimana pengaruh gabungan
dari dua zat kimia jauh lebih besar dari jumlah masing-
masing efek bahan kimia.
c. Potensiasi yaitu apabila suatu zat yg seharusnya tidak
memiliki efek toksik akan tetapi apabila zat ini ditambahkan
pada zat kimia lain maka akan mengakibatkan zat kimia lain
tersebut menjadi lebih toksik.
d. Efek antagonis yakni apabila dua zat kimia yg diberikan
bersamaan, maka zat kimia yg satu akan melawan efek zat
kimia yg lain.
2. Kondisi pemejaan
Kondisi pemejaan dibagi menjadi 4 waktu menurut
(Goodman and Gilman, 2008) terdiri atas:
a. Akut yaitu pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24
jam. Contohnya, kecelakaan kerja/keracunan mendadak
b. Sub akut yaitu pemaparan berulang terhadap suatu bahan
kimia untuk jangka waktu 1 bulan atau kurang. Misalnya,
proses kerja dengan bahan kimia kurang dari 1 bulan.
c. Subkronik yaitu pemaparan berulang terhadap suatu bahan
kimia untuk jangka waktu 3 bulan. Misalnya, proses kerja
dengan bahan kimia selama 1 tahun/lebih.
d. Kronik yaitu pemaparan berulang terhadap bahan kimia
untuk jangka waktu lebih dari 3 bulan. Misalnya, bekerja
untuk jangka waktu lama dengan bahan kimia.
b. Faktor instrinsik makhluk hidup
Faktor intrinsik makhluk hidup adalah faktor yang berasal dari
makhluk hidup (organisme) itu sendiri. Adapun faktor-faktornya
yaitu:

1. Keadaan Fisiologi
a. Berat badan berpengaruh pada masuknya racun dalam tubuh.
Jika berat badannya besar terpapar racun dalam dosis
minimal tidak akan menimbulkan efek, karena berat badan
besar memiliki cadangan lemak yang banyak. Sedangkan
berat badan yang kecil terpapar racun dalam dosis minimal
akan menimbulkan efek, karena cadangan lemak yang terlalu
sedikit dalam berat badan yang kecil (Goodman and Gilman,
2008).
b. Jenis kelamin, dimana hormon antara laki-laki dan
perempuan berbeda. Zat kimia dapat mempengaruhi kondisi
hormon. Contohnya, Nikotin seperti pada rokok
dimetabolisme secara berbeda antara laki-laki dan perempuan
(Goodman and Gilman, 2008).
c. Umur berpengaruh pada dosis obat, jika dosis yang diberikan
pada pengguna tidak sesuai maka akan terjadi toksisitas.
Contohnya, tetrasiklin yang diberikan pada anak 1 tahun
dapat menyebabkan warna gigi menjadi coklat. Dan,
Ciprofloksasin jika di konsumsi pada anak dibawah umur
makan akan menghambat pertumbuhan, sehingga tidak dapat
tumbuh tinggi (Goodman and Gilman, 2008).
d. Kehamilan, penggunaan zat pada kehamilan dimana terjadi
perkembangan janin pada kandungan dapat mempengaruhi
kondisi perkembangan organ yang terbentuk (Goodman and
Gilman, 2008).
e. Status gizi, mempengaruhi aktifitas enzim metabolisme
terutama apabila kekurangan protein dan vitamin.
Ketidakcukupan sintesis protein mengakibatkan
hipoalbuminemie sehingga berkurangnya tempat pengikatan
zat racun didalam darah dan perubahan distribusi racun di
dalam tubuh sehingga peningkatan ke toksikan suatu racun
(Goodman and Gilman, 2008).
f. Genetik, penggolongan toksisitas berdasarkan mekanisme
genetika ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Pertama, akumulasi zat kimia sebagai akibat dari tidak
sempurnanya atau tidak adanya mekanisme transformasi
metabolik (sistem enzim) secara genetika, dalam hal
mana zat kimia yang diberikan merupakan zat toksik
utamanya. Kondisi ini akan segera terjadi pada obat yang
diberikan dalam dosis berganda pada interval pemberian
tertentu. Contohnya adalah adanya variasi diantara
individu berkaitan dengan asetilasi isoniazid, dan variasi
yang berkaitan dengan metabolisme tubuh dalam
berbagai macam anggota spesies tertentu (Goodman and
Gilman, 2008).
2. Kedua, perpanjangan aksi zat kimia sebagai akibat tak
sempurnanya mekanisme biotransformasi, yaitu zat kimia
yang diberikan merupakan zat toksik utamanya. Kondisi
ini ditunjukkan oleh perpanjangan apnea yang disebabkan
oleh suksinilkolina pada manusia yang secara genetika
mengalami kekurangan enzim kolinesterase (Goodman
and Gilman, 2008).
3. Ketiga, hipersensitifitas, meliputi enzim cacat yang
menyebabkan tingkat aktivitas yang minim dengan gejala
defisiensi enzim yang mini, bila zat kimia yang diberikan
merupakan zat toksik utamanya. Contoh kondisi ini
menyertakan anemia hemolitika yang disebabkan oleh
primakuina, dimana secara genetika terdapat perubahan
stabilitas glutation tereduksi dan perubahan aktivitas
glukosa-6-fosfodehifrogenesa. Contoh lainnya ialah
hemoglobin abnoramal dimana terdapat perubahan
kemampuan hemoglobin untuk bertahan pada tingkat
tereduksi. Dan, porfiria yang disebabkan oleh
sulfonamida serta barbiturat, yang terjadi karena
defisiensi sistem penghambat tertentu yang biasanya
mengendalikan tingkat asam -amino levulinat sintesa
(Goodman and Gilman, 2008).
2. Keadaan Patologi
Keadaan patologi meliputi kondisi dan jenis penyakit
menjadi faktor penting dalam menentukan keefektifan
metabolisme senyawa toksik. Berkaitan dengan aneka ragam
penyakit yang dapat mengurangi aliran darah ke tempat
metabolisme seperti komplikasi jantung, syok dan hipotensi, atau
yang berpengaruh langsung terhadap fungsi organ atau jaringan
tempat metabolisme, misalnya hepatitis, sakit kuning obstruktif,
sirosis, kanker hati, kerusakkan ginjal, tukak duodenum dan lain
sebagainya (Goodman and Gilman, 2008).

3. Kapasitas Fungsional Cadangan


Pada dasarnya berbagai organ memiliki kapasitas
cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya. Satu
peragaan tentang kerusakan pada organ hidup yang disebabkan
oleh zat kimia biasanya melibatkan satu atau lebih bentuk uji
yang dirancang untuk mengukur fungsi organ tersebut. Karena
telah dinyatakan bahwa sebagian besar organ dapat dirusak
sebelum kapasitas cadangannya berkurang cukup banyak untuk
mendorong terjadinya gangguan fungsionalnya, maka mungkin
sekali terjadi bahwa uji fungsi yang dilakukan tidak akan
memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang sedikit.
Sepanjang organ tersebut masih mempertahankan kapasitas
(kelebihan) cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya,
maka organ melangsungkan fungsinya pada tingkat maksimal
(Goodman and Gilman, 2008).
4. Penyimpanan racun dalam diri makhluk hidup
Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat
itu harus dieliminasi dari sistem sirkulasi itu sebelum makhluk
hidup bebas dari zat kimia. Bila zat kimia itu ada dalam bentuk
larutan sebagai gas pada suhu tubuh, maka zat tersebut akan
muncul didalam udara yang duhembuskan pada pernafasan
makhluk hidup, dan bila merupakan suatu senyawa yang tak
menguap, maka mungkin melibatkan ekskresi oleh ginjal melalui
sistem kencing, keringat, ataupun ludah. Zat kimia yang di
metabolisme dan dideposit di dalam lemak mengalami rentang
kehidupan yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak.
Hal ini terjadi karena zat kimia yang berada didalam darah
dengan segera mengalami perubahan menjadi bentuk tidak
anestesia dan sisanya dideposit didalam lemak. Kemudian begitu
obat menyebar dari lemak kedalam darah segera diubah menjadi
bentuk obat tak aktif supaya darah tetap secara esensial bebas
dari kadar efektifnya (Goodman and Gilman, 2008).
5. Toleransi dan resistensi
Toleransi adalah kemampuan makhluk hidup untuk
memperlihatkan respon yang kurang terhadap dosis xenobiotika
yang diperlihatkan sebelumnya dengan dosis yang sama.
Sedangkan resisten adalah lebih tahan terhadap dosis toksis suatu
xenobiotika dari pada yang ditunjukan oleh individu lainnya.
Toleransi terhadap zat kimia sangat penting dalam toksikologi,
sebab kita menggambarkan suatu mekanisme dengan jalan mana
spesimen biologi tertentu dilindungi dari serangan efek
berbahaya dari zat kimia. Toleransi antara zat kimia yang serupa
adalah suatu mekanisme dari adaptasi atau kekebalan terhadap
efek berbahaya zat kimia yang deperoleh secara alami, dan
mungkin bertanggung jawab terhadap variasi dalam reaksi zat
kimia-biologi diantara anggota spesies tertentu (Goodman and
Gilman, 2008).
A.11. Mekanisme Toksik Xenobiotika
A.11.1. Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Adapun mekanisme kerja alkohol yaitu merangsang
sekresi asam lambung dan salivasi.
A.11.2. Kloroform (Dirjen POM, 1979)
Mekanisme kerjanya klorofom yaitu merusak sel hati
melalui metabolit reaktifnya, radikal triklorometil yang secara
kovalen mengikat protein dan lipid tidak jenuh dan
menyebabkan peroksidasi lipid. Membran sub sel sangat kaya
akan lipid sehingga mengakibatkan bersifat sangat rentan.
Perubahan kimia dalam membran dapat menyebabkan
pecahnya membran terebut.

A.11.3. Eter (Dirjen POM, 1979)


Eter melakukan kontraksi pada otot jantung, terapi in
vivo ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpati sehingga
curah jantung tidak berubah, eter menyebabkan dilatasi
pembuluh darah kulit. Eter diabsorbsi dan diekskresi melalui
paru-paru, sebagian kecil diekskresi urin, air susu, dan keringat.

A.11.4. Aseton (Dirjen POM, 1979)


Aseton menyerang sistem pernapasan dan sistem saraf
pusat sehingga menyebabkan gangguan pernapasan, depresi,
dan nekrosis serta ketidaksadaran.
A.11.5. Methanol (Dirjen POM, 1979)
Didalam tubuh metanol mudah terabsorsi dan dengan
cepat akan terdistribusi kedalam cairan tubuh. Sehingga
menimbulkan gangguan kesadaran. Metabolitnya akan
menyebabkan asidosis metabolik, kebutaan yang permanen
karena menyerang saraf mata.

A.12. Tabel Pemeriksaan Gejala-gejala


Sistem Organ Pemeriksaan Tanda-tanda gejala
Perilaku Perubahan sikap, Gelisah
Sistem syaraf pusat Gerakan Tremoor, Ataksia, Straub
Serebral Lemah, Berdiam diri
Ukuran pupil Miosis, Midriasis
Sistem saraf otonom
Sekresi Salivasi, Lakrimasi
Pernapasan Sifat dan lajur nafas Bradipnea, Dispnea, Grooming
Kardio Vaskuler Denyut jantung Vasokontriksi, Vasodilatasi
Peristiwa perut Diuresis
Saluran cerna
Konsistensi tinja Defikasi
Kulit dan bulu Peristiwa perubahan Floaming
Membrane mukosa Bola mata Eksofalmus, Nistaqmus
(Firman Imran, 2017).
B. URAIAN BAHAN
B.1. Uraian Sampel
B.1.1. Alkohol (Ditjen POM edisi III 1979 : 65)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol
Rumus Molekul : C2H6O
BM : 46,0
Rumus Struktur :

Pemeriah : cairan tak berwarna, jernih, mudah


menguap, dan mudah bergerak, bau khas dan rasa panas.
Farmakodinamik :iDepresi SSP, penggunaan pada saat tidur
dapat imengurangi waktu tidur. Merangsang sekresi asam
lambung, dan salivasi.
Farmakokinetik : Absorpsi dalam lambung dan usus halus
dan kolon berlangsung cepat,uap alkohol diabsorpsi lewat paru-
paru dan menimbulkan keracunan
Kelarutan : Hampir larut dalam larutan.
Penyimpanan : dalam wadah tertututp rapat
Kegunaan : Anestesi umum

B.1.2. Kloroform (Dirjen POM. 1979:151)


Nama resmi : CHLOROFORMUM
Nama lain : kloroform
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,38
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan, mudah menguap, tidak berwarna


bau khas, rasa manis dan membakar
Kelarutn :iLarut dalam lebih kurang 200 bagian air;
mudah larut dalam etanol mutlak P, dalam eter P, dalam sebagian
besar pelarut organik, dalam minyak atsiri dan dalam minyak
lemah
Farmakodinamik : Kloroform dapat menurunkan stabilitas
kecepatan kontraksi obat, gelisah.
Farmakokinetik :idiabsopsi cepat dan sempurna melalui
saluran cerna, konsentarasi tertinggi dalam plasma dicapai iidalm
waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-ii3 jam, obat ini
tersebar keseluruh cairan tubuh. iiMetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian iiparasetamol dikonjugasi dengan asam
glukoronat iidan sebagian kecil lainnya dengan asam iisulfat.
Efek samping : Merusak hati dan bersifat karsinogenik
Penyimpanan :iDalam wadah tertutup baik bersumbat
kaca,iterlindung dari cahaya
Kegunaan : Anestesi umum
B.1.3. Eter (Dirjen POM. 1979:66)
Nama resmi : AETHER ANAESTHETICUS
Nama lain : Eter anestesi/etoksietana
Rumus molekul : C4H100
Berat molekul : 74,12
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan transparan, tidak berwarna, bau


khas, rasa manis dan membakar. Sangat mudah menguap, sangat
mudah terbakar, campuran uapnya dengan oksigen, udara atau
dinitrogenoksida pada kadar tertentu dapat meledak.
Kelarutan : Larut dalam 10 bagian air, dapat bercampur
dengan etanol (95%), dengan kloroform, dengan minyak lemak
dan dengan minyak atsiri.
Farmakodinamik : Eter melakukan kontraksi pada otot
jantung, terapi in vivo ini dilawan oleh meningginya aktivitas
simpati sehingga curah jantung tidak berubah, eter imenyebabkan
dilatasi pembuluh darah kulit.
Farmakokinetik : Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui
paru-paru, sebagian diekskresi urin, air susu, dan keringat
Efek samping : Iritasi saluran pernafasan, depresi nafas,
mual, imuntah, salivasi.
Kegunaan : Anestesi umum.
B.1.4. Aseton (Ditjen POM, FI IV. 1995 : 27)
Nama Resmi : ACETONIUM
Nama Lain : Aseton
Rumus Molekul : CH3COCH3
Berat Molekul : 58,08
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jenih tidak berwarna, bau khas,


mudah terbakar.
Penyimpanan : Dapat bercampur dengan air, etanol dan
eter
Pemerian : Cairan transparan; tidak berwarna; bau
khas; rasa manis dan membakar. Sangat mudah menguap; sangat
mudah terbakar; campuran uapnya dengan oksigen, udara atau
dinitrogenoksida pada kadar tertentu dapat meledak.
Kegunaan : Anestesis umum.

B.1.5. Methanol ( Ditjen POM edisi III 1979 : 706)


Nama Resmi : METHANOL
Nama lain : Hidroxymethane, Methyl alcohol.
Rumus Molekul : CH3OH
Berat Molekul : 34,00
Rumus Struktur :
Pemeriah : Cairan tidak berwarna, gliserin, bau khas
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk
cairan jernih tidak berwarna.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
Kegunaan : Anestesis umum.
B.1.6. Aquadest (Dirjen POM. 1979:96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak


berwarna dan tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
B.2. Klasifikasi Hewan Coba (Mus musculus)
Adapun klasifikasi dari mencit menurut (Handayami, 2013)
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Classis : Mammalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
B.3. Karakteristik Hewan Coba (Mus musculus)
Adapun karakterikstik dari mencit menurut (Handayami, 2013)
sebagai berikut:
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : poliestrus
Berat dewasa : 20-40 gram.

You might also like