You are on page 1of 6

BAB 1 PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Seorang pemikir sekaligus pejuang Hak Asasi Manusia mengungkapkan keluhannya


demikian, Persoalan kita sekarang ini adalah karena begitu banyak orang tidak lagi bertanya
tentang apa yang benar dan apa yang salah, melainkan mana yang kanan dan mana
yang kiri. Padahal, bila mau berbicara mengenai Human Rights, tidak boleh tidak yang
harus dibicarakan adalah what is human dan what is rights. Dan ketika orang menolak
adanya norma-norma yang berlaku universal tentang apa yang benar dan apa yang salah,
norma-norma yang berlaku universal mengenai harkat dan martabat manusia, maka
konsekuensinya adalah segala sesuatu dapat berlangsung tanpa dasar apa pun untuk
mengatakan bahwa ia benar atau salah, termasuk bila yang terjadi itu misalnya adalah
penganiayaan (torture) dan terorisme. Sebab apa dasarnya untuk mengatakan itu salah, bila
sudah dikatakan secara resmi bahwa itulah yang paling cocok dengan situasi dan kondisi
tertentu suatu bangsa atau suatu negara?.

Dalam kenyataan, sampai sekarang ini memang belum ada konsensus universal mengenai
konsepsi Hak Asasi Manusia. Konsepsi-konsepsi yang ada seringkali lebih berfungsi untuk
memberikan pembenaran terhadap praktek-praktek pelanggaran HAM, daripada untuk
melindungi dan memperjuangkannya. Perlu diingat, bahwa betapa pun kita yakin bahwa
HAM itu universal, janganlah universalitas itu lalu menjadikan HAM itu suatu ideal yang
abstrak dan umum. Hak Asasi Manusia yang bersifat ideal, abstrak dan umum saja tidak ada
gunanya. Sebab manusia yang menjadi fokus perhatian dan perjuangan HAM adalah manusia
yang konkret. Seperti manusia tidak pernah cuma sebuah konsep, begitu pula HAM itu
semestinya. HAM adalah sebuah realitas yang sudah ada, bukan cita-cita yang masih harus
diupayakan perwujudannya. HAM Dalam Perspektif Teologi Kristen
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia dari perspektif teologi Kristen, perlu mengakui kedua
dimensi Hak Asasi Manusia yaitu: Dimensi universalnya dan Dimensi historisnya. Perspektif
Kristen tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat melalui dua sisi yaitu:
1). Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani, apa, mengapa dan bagaimana Hak Asasi
Manusia yang berlaku universal bagi setiap orang di semua tempat; dan
2). Meletakkan upaya tersebut di dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk
mengusahakan yang terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak
asasinya sebagai manusia.Hak Asasi Manusia adalah satu hal, perumusan tentang Hak Asasi
Manusia adalah satu hal yang lain.

B.TUJUAN PENULISAN

Gereja (persekutuan, lembaga, hirarki dan organisasi kegerejaan) pada hakekatnya


dipanggilan (berpartisipasi) untuk meneruskan karya perutusan Kristus sendiri. Karya
perutusan Kristus itu adalah membangun Kerajaan Allah, menjadi tanda bahwa Allah hadir
menyertai/bersama manusia dalam seluruh pergumulan dan persoalan hidup manusia.
Keprihatinan dan kepedulian Gereja merupakan tugas untuk mengambil bagian dalam upaya
mengangkat martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna, yakni manusia sebagai
citra Allah, gambar dan wajah Allah yang penuh dengan kemuliaan di dunia ini.
Keprihatinan ini menjadi sangat kontekstual justru ketika kehidupan di dunia modern saat ini
banyak sekali menunjukkan tanda-tanda rusaknya wajah Allah, yaitu ketidakadilan,
kekerasan, penindasan, orang-orang yang terpinggirkan dan tidak terpenuhi hak-hak
hidupnya.

Konsekuensi dari iman akan Kristus adalah menjadi alter christus menghadirkan Kristus
melalui tubuh Gereja menghadirkan Kristus melalui masing-masing anggota tubuh Gereja
menjadi tanda dan kesaksian bahwa Kristus itu hidup dan Immanuel. Pengakuan bahwa
Tuhan itu Mahapencinta, Mahapengampun, atau Mahabaik, credo atau syahadat adalah
sesuatu yang esensial dalam kehidupan beragama, tetapi kepercayaan itu bukanlah sesuatu
yang ada hanya untuk diucapkan pada waktu ibadah, tetapi untuk diterjemahkan ke dalam
kehidupan nyata sehari-hari.

Satu hal yang kita pelajari dari sejarah atheisme modern di Barat ialah bahwa kemunculan
atheism itu pada awalnya tidak disebabkan oleh penolakan secara sadar terhadap eksistensi
Tuhan. Beberapa studi (misalnya yang dilakukan oleh filsuf Perancis Ignace Lepp dalam The
Psychoanalysis of Modern Atheism) menunjukkan bahwa atheisme muncul mula-mula
sebagai reaksi terhadap kecenderungan teologi Kristen yang memusatkan seluruh perhatian
dan pembicaraannya pada adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, tanpa memberikan perhatian
sedikit pun terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia sendiri. Kesimpulan yang
diajukan Lepp: suatu teologi yang mengabaikan manusia pada akhirnya akan melahirkan
antropologi yang mengabaikan Tuhan, yaitu atheisme. Orang Kristen mengingkari tokohnya
sendiri.

Dengan uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa hubungan antara Gereja dan HAM
itu saat erat, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Gereja pada hakekatnya
dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu adalah kehidupan yang
damai, bahagia dan berkeadilan. Hidup damai, bahagia dan adil itu hanya mungkin terjadi
ketika terjadi keselarasan hidup harmonis antara sesama ciptaan, baik antara sesama
manusia maupun manusia dengan seluruh alam ciptaan. Dunia dilandasi oleh persaudaraan
universal.

Ketika Gereja diam, tutup mata atau masa bodoh dengan segala bentuk penindasan,
kesewenang-wenangan, pembodohan, penindasan, kekerasan dan segala bentuk yang
mengurangi mutu dan kwalitas hidup seseorang dalam memperoleh hak untuk hidup bahagia,
maka Gereja telah mengingkari kodratnya sendiri. Gereja mengingkari perutusan yang telah
dimulai oleh Yesus sendiri, Aku datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-
orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Selain itu ada contohnya yaitu:
Mengubah struktur masyarakat sehingga benar-benar menjadi suatu masyarakat sosialis
Pancasila sehinnga memberikan kemungkinan kepada para warga masyarakat untuk dapat
menikmati hak-hak asasi manusia,dan untuk dapat membuktikan tugasnya untuk kepentingan
kemanusiaan.

Memberikan penerangan yang luas dan terus-menerus kepada lapisan masyarakat agar
rakyat benar-benar merasakan bahwa hak-hak asasi manusia,serta kewajiban-kewajiban yang
bernilai.
Mengetuk perasaan tanggung jawab wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga tinggi
Negara tentang telah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dengan cara
mengajukan petisi-petisi dan surat-surat pengaduan
Para pemimpin, penguasa,dan alat Negara harus memiliki rasa keseimbangan Antara
hak-hak dan kewajibannya.
Dalam pendidikan perlu ditanamkan perasaan welas kasih,disamping mendidik para
siswa untuk menghormati hak-hak orang lain, juga untuk mengetahui akan hak-hak mereka
sendiri.
Harus terdapat control langsung misalnya pelanggar keadilan, tidak langsung
misalnya public opinion terhadap para pelanggar,sehigga mereka insaf bahwa setiap
pelanggaran akan diberikan control dengan konsekuen.

BAB 2 LANDASAN TEORI

3. GEREJA DAN HAM


Gereja merupakan persekutuan umat Allah yang dipersatukan oleh Kristus sebagai satu tubuh
dalam Kristus yang dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Kerajaan
Allah yakni kerajaan cinta sebagaimana kodrat penciptaan manusia dalam perspektif Allah
Pencipta manusia hidup bahagia. Untuk mencapai hidup bahagia itu, Yesus sendiri
mengamanatkan tugas perutusannya ke dunia ini, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang, [Lukas 4 : 18 - 19]

Dengan demikian Gereja (persekutuan, lembaga, hirarki dan organisasi kegerejaan) pada
hakekatnya dipanggilan (berpartisipasi) untuk meneruskan karya perutusan Kristus sendiri.
Karya perutusan Kristus itu adalah membangun Kerajaan Allah, menjadi tanda bahwa Allah
hadir menyertai/bersama manusia dalam seluruh pergumulan dan persoalan hidup manusia.
Keprihatinan dan kepedulian Gereja merupakan tugas untuk mengambil bagian dalam upaya
mengangkat martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna, yakni manusia sebagai
citra Allah, gambar dan wajah Allah yang penuh dengan kemuliaan di dunia ini.
Keprihatinan ini menjadi sangat kontekstual justru ketika kehidupan di dunia modern saat ini
banyak sekali menunjukkan tanda-tanda rusaknya wajah Allah, yaitu ketidakadilan,
kekerasan, penindasan, orang-orang yang terpinggirkan dan tidak terpenuhi hak-hak
hidupnya.

Konsekuensi dari iman akan Kristus adalah menjadi alter christus menghadirkan Kristus
melalui tubuh Gereja menghadirkan Kristus melalui masing-masing anggota tubuh Gereja
menjadi tanda dan kesaksian bahwa Kristus itu hidup dan Immanuel. Pengakuan bahwa
Tuhan itu Mahapencinta, Mahapengampun, atau Mahabaik, credo atau syahadat adalah
sesuatu yang esensial dalam kehidupan beragama, tetapi kepercayaan itu bukanlah sesuatu
yang ada hanya untuk diucapkan pada waktu ibadah, tetapi untuk diterjemahkan ke dalam
kehidupan nyata sehari-hari.

Satu hal yang kita pelajari dari sejarah atheisme modern di Barat ialah bahwa kemunculan
atheism itu pada awalnya tidak disebabkan oleh penolakan secara sadar terhadap eksistensi
Tuhan. Beberapa studi (misalnya yang dilakukan oleh filsuf Perancis Ignace Lepp dalam The
Psychoanalysis of Modern Atheism) menunjukkan bahwa atheisme muncul mula-mula
sebagai reaksi terhadap kecenderungan teologi Kristen yang memusatkan seluruh perhatian
dan pembicaraannya pada adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, tanpa memberikan perhatian
sedikit pun terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia sendiri. Kesimpulan yang
diajukan Lepp: suatu teologi yang mengabaikan manusia pada akhirnya akan melahirkan
antropologi yang mengabaikan Tuhan, yaitu atheisme. Orang Kristen mengingkari tokohnya
sendiri.

Dengan uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa hubungan antara Gereja dan HAM
itu saat erat, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Gereja pada hakekatnya
dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu adalah kehidupan yang
damai, bahagia dan berkeadilan. Hidup damai, bahagia dan adil itu hanya mungkin terjadi
ketika terjadi keselarasan hidup harmonis antara sesama ciptaan, baik antara sesama
manusia maupun manusia dengan seluruh alam ciptaan. Dunia dilandasi oleh persaudaraan
universal.

Ketika Gereja diam, tutup mata atau masa bodoh dengan segala bentuk penindasan,
kesewenang-wenangan, pembodohan, penindasan, kekerasan dan segala bentuk yang
mengurangi mutu dan kwalitas hidup seseorang dalam memperoleh hak untuk hidup bahagia,
maka Gereja telah mengingkari kodratnya sendiri. Gereja mengingkari perutusan yang telah
dimulai oleh Yesus sendiri, Aku datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-
orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.
Kotbah, doa dan kehikmatan beribadah yang senantiasi kita perlihatkan dalam hidup kita
sebagai orang Kristen akan menjadi hambar dan tidak ubahnya seperti seorang Farisi yang
dikecam Yesus, seperti kuburan yang indah di luar tetapi busuk dan bau di dalamnya. Kita
menjadi orang yang munafik dan apakah masih berani kita menyebut diri sebagai pengikut
Kristus sebagai seorang Kristen? Maka seorang Kristen yang tidak ambil bagian dalam
penegakan hak-hak asasi manusia serta turut berjuang untuk terpenuhinya hak-hak asasi ini
tidak layak disebut sebagai seorang Kristen.

4. BEBERAPA CATATAN UNTUK GEREJA (AGAMA)

Manusia merupakan citra wajah Allah imago Dei. Sebagai citra Allah, Allah sendiri
menghendaki bahwa setiap manusia itu hidup bahagia. Hidup bahagia menjadi hak
hakiki, anugerah Allah sendiri.
Manusia diutus dengan berkat untuk mengusahakan dan memelihara hidup bahagia itu.
Segala rumusan Hak Asasi Manusia yang telah dideklarasikan merupakan bagian dari
usaha dan memelihara hidup manusia untuk bahagia.
Gereja (agama) (baik pribadi, lembaga, organisasi, atau hirarki) yang mengaku
sebagai tanda/wujud kehadiran Allah di dunia ini harus menjadi PROMOTOR dalam
menegakkan hak-hak manusia yang paling asasi itu, yakni hidup bahagia; dan
sekaligus menjadi garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan hak-hak
orang-orang yang diabaikan
Gereja harus berpihak dan berani berpihak kepada keharusan terwujudnya hak asasi
setiap orang.
Gereja (agama) tidak mempunyai bobot dan mengingkari hakekatnya sendiri ketika
alpa, mengabaikan dan diam terhadap segala bentuk pemandulan, pembodohan dan
pemerkosaan hak-hak asasi orang lain.
Gereja (agama) harus berani menyetop segala bentuk perselingkuhan dengan para
penguasa, pemerintah, pemodal, dan mammon yang menyebabkan Gereja enggan,
sungkan, malu, tutup mata, pura-pura tidak tahu, mandul, bisu dan masa bodoh
terhadap penindasan, ketidakadilan, kekerasan dan kesewenang-wenangan.

inipasswordwifi

You might also like