You are on page 1of 7

ALERGI OBAT

Definisi

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasiklinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat di
sebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruptions
itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat secara sistemik.

Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh seseorang. Beberapa
jenis obat termasuk obat yang dijual bebas ataupun resep dokter bisa berpotensi menimbulkan
alergi terhadap orang yang sensitif terhadap obat tersebut, jadi bisa saja obat A menimbulkan
alergi bagi si B namun tidak menimbulkan reaksi alergi bagi si C.

Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih
makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk
berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama.

Epidemiologi

Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi mencapai
2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3%
pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat
alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% 3%.

Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari
seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan
kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria
(Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir 90%
penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat (Adithan, 2006).

Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson, 2009):

1. Jenis kelamin dan usia

Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki prognosis
buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak anak, ruam merah yang timbul akibat virus
sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita
lebih sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan misalnya pada kasus
nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte
antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6%
remaja tersebut juga memiliki alergi obat yang sama.

3. Pajanan obat sebelumnya

Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang sebelumnya menimbulkan alergi
ataupun obat obatan lain yang memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak
bersifat persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat bertahan dari 55 hongga 2000 hari.

4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita dermatitis atopi.

5. Bentuk obat

Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida memiliki potensial untuk
mensensitisasi tubuh.

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan erupsi alergi obat.
Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis
dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat.

Patogenesis Erupsi Obat Alergi


Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.

Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak
ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi,
tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai
antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme
kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan
imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem imunoglobulin M dengan
antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang
berakhir dengan lisis.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana antibodi yang berikatan
dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini
mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi
sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe
lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap
antigen (Lee & Thomson, 2006).

Ada dua macam mekanisme pada alergi obat.


1. Mekanisme Imunologis
2. Mekanisme non Imunologis.
Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam
metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).

Reaksi Imunologis dan Non Imunologis

Tipe Contoh Kasus


Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte
globulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid
Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome
Toxic epidermal necrolysis
Non imunologis
Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate
Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian
lidokain
Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin
Manifestasi Klinis

Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme
kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV).

1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)

Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah
terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi
kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang kadang kejang bronkus disertai
kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b)
Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit
setelah suntikan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena
hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut
sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;

b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel
mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi;

c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator.

2. Tipe II

Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan
antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan
antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik,
trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi
tipe ini.

3. Tipe III

Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan.
Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh
yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :


a. Demam;

b. Limfadenopati;

c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;

d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai
pruritis;

e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus
sistemk serta vaskulitis.

Gejala tadi timbul 5 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat
tersebut gejalanya dalam waktu 1 5 hari.

4. Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel
T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :

a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity;

b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);

c. Reaksi tuberkulin;

d. Reaksi granuloma.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat
paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis
intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering.
Kadang kadang gejala baru timbul bertahun tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat
tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 24 jam
setelah obat dioleskan.

Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada
umumnya

1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan
selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul
dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, obat
anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.

2. Urtikaria dan angioedema


Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-kadang disertai angioedema. Pada
angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya umumnya
gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24
jam. Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala dan
vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan
kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan segera. Penyebab
tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.

3. Fixed drug eruption

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005). Fixed drug eruption
merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema dan
vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil
kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya
di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit
kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas
setempat. Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat
disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis,
penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada
eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila ditekan. Erupsi
purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di sekitar
kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna
merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable purpura yang
mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.
Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin,
sulfonamid, obat anti inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada
pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum.

You might also like