You are on page 1of 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit paru yang disebabkan oleh mycobacterium


tuberculosis

2.2. Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di


dunia ini. Pada tahun 1992, WHO tlah mencanangkan TB sebagai Global
Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru TB pada tahun 2002 dengan 3,9 juta adalah kasus BTA positif (PDPI, 2006).

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia adalah negara dengan
prevalensi TB ke-3 tertnggi di dunia setelah China dan India. Sedangkan
berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TB secara perlahan bergerak ke arah
kelompok umur tua (dengan puncak pada 55 64 tahun), meskipun saat ini
sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15 64 tahun (Amin,
2007).

1
Gambar 1. Perkiraan jumlah insidensi TB berdasarkan negara pada tahun 2010

2.3 Etiologi

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman


berbentuk batang dengan ukuran panjang 14 m dan tebal 0,30,6 m, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam
lemak (60%), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan
asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Hal ini
terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman
dapat bangkit lagi dan menjadikan TB menjadi aktif lagi (Amin, 2007).

2.4 Patogenesis

Paru merupakan port dentr lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB yang terhirup melalui droplet nuclei
dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan

2
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan parut disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkana. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bagian bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman Tb sehingga terbentuknya


komplek primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasaya berlangsung dalam waktu 48 minggu dengan rentang waktu
antara 212 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencpai 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yag berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap

3
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga anak
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang


terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau pratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat


terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran


hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB

4
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, misalnya otak, tulang, ginjal dan paru, terutama di apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai
fokus SIMON. Bertahun-tahun kemdian, bila daya tahan tubuh penjamu (host)
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis TB, TB tulang dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (miller seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 13 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.

5
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),


biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru
kronik. Sebanyak 0,53 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB millier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 36 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (39 bulan).
Tejadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarag terjadi pada
anak-anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis esktrapulmonal dapat terjadi pada 2530 % anak yang


terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 510 % anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 23 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 525 tahun setelah infeksi primer.

2.5 Klasifikasi

A. Tuberkulosis Paru
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

6
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan rediologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa
2. Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru: penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps): penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkuosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In): penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah
d. Kasus lalai berobat: penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus gagal: penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

7
pengobtan) atau penderita dengan hasil BTA negatif, gambaran
radiologi positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologi ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik: penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB:
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologi serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologi
B. Tuberkulosis Ekstraparu
Batasan: Tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif atau histologi atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan
oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2. TB di luar paru berat: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan TB alat kelamin

8
Catatan:

1. Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab


itu pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada keainan radiologi
paru, dianggap sebagai penderita TB di luar paru.
2. Bila ada seseorang penderita TB paru juga mempunai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat
sebagai penderita TB paru.
3. Bila seorang penderita TB ekstraparu pada beberapa organ, makan
dicatat sebagai ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat

2.6 Diagnosis

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkait adalah paru maka gejala lokal
adalah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratorik

Batuk > 2 minggu


Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
Demam
Malaise
Keringat malam
Anoreksia dan berat badan menurun

9
Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan


struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) ,
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess

Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH).

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

10
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu /spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung


dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup
berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen
tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan


pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

Kertas sring dengan ukuran 10x10 cm, dilipat 4 agar terlihat again
tengahnya
Dahak yang representative diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil

11
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidah
apikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukandengan cara:

Mikroskopik
Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif


1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
Bila 3 kali negatif BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease):
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

12
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan M. Tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara:
Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul
Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

Fibrotic
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura

Luluh Paru (destroyed lung):

Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru

13
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):

Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
Lesi luas

Gambar 2. Alur Diagnosis TB

14
Gambar 3. Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa

Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode


radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth index oleh mesin ini. Sistem ini

15
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13)

Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth


Indicator Tube (MGIT).

2. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,


termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.Hasil
pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak
ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb
tersebut diatas, bahan/spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun
ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:

a. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap
dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT
Uji Immuno chromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38
kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1

16
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk
garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk
garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membrane.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi anti mikobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke
dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik
anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi
antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji
IgG berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa
dan kombinasi lainnya akan memberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang
dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini
lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup
baik untuk diagnosis TB pada anak. Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

17
Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Analisis cairan pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:

Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka)
Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histology.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan

18
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dariuji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.

2.7 Tatalaksana

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:


Rifampisn
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Empat OAT dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg, dan
Tiga obat dalam 1 tablet, yaiitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT

1. Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2 3 kali/minggu atau


BB> 60 kg: 600 mg
BB 4060 kg: 450 mg
BB < 40 kg: 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
2. INH: 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali seminggu, 15 mg/kg
BB 2 kali seminggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. Intermiten: 600 mg/kali

19
3. Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50
mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg: 1500 mg
BB 4060 kg: 1000 mg
BB < 40 kg: 750 mg
4. Etambutol: fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg
BB 3 kali seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg: 1500 mg
BB 40 60 kg: 1000 mg
BB < 40 kg: 750 mg

Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali

5. Streptomisin: 15 mg/kg BB atau


BB > 60 kg: 1000 mg
BB 4060 kg: 750 mg
BB < 40 kg: sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap

Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya


minum obat 34 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat
menggunakan kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini telah digunakan
sesuai dengan pedoman pengobatan.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/fasilitas yang
mampu menanganinya.

20
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg/kgBB)
(mg/kgB maks
Harian Intermitten <40 40- >60
B/hari) (mg)
(mg/kgBB/hari (mg/kgBB/hari 60
) )

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S Sesuai 750 1000


15-18 15 15 1000 BB

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Panduan OAT

Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:


1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Panduan obat
yang dianjurkan
2 RHZE / 4 RH
Atau 2 RHZE / 6 HE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3

Panduan ini dianjurkan untuk:

a. TB paru BTA (+), kasus baru


b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh
paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal. Panduan
obat yang dianjurkan:

21
2 RHZE / 4 RH
Atau 6 RHE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3
3. TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan
4. TB paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-
18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TB paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan
OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
2) BTA saat ini (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

22
b. Berobat < 4bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT
6. TB paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)
ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan.
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Kategori Kasus Paduan obat yang Keterangan
diajurkan
I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau

BTA-,lesi 2 RHZE / 6 HE
luas
*2RHZE / 4R3H3

II - Kambuh -RHZES/1RHZE/sesuai hasil Bila


uji resistensi atau streptomisin
-Gagal
2RHZES/1RHZE/5RHE 3-6 alergi, dapat
pengobatan
kanamisin, ofloksasin, diganti
etionamid, sikloserin/15-18 kanamisin
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE

23
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi minimal
6 RHE atau

*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT
lini 2 atau H seumur hidup

Tabel 2. Ringkasan paduan obat

Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.

24
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat
pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang


Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah:

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

25
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3
kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba


disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr.

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan


pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

26
Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak
perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan obat

Gatal dan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan


kemerahan dievaluasi ketat
pada kulit
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
(vertigo dan
nistagmus)
Ikterik / Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Hepatitis sampai ikterik
Imbas Obat menghilang dan boleh
(penyebab lain diberikan hepatoprotektor
disingkirkan)
Muntah dan Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
confusion dan lakukan uji fungsi
(suspected hati
drug-induced
pre-icteric

27
hepatitis)
Gangguan Etambutol Hentikan etambutol
penglihatan
Kelainan Rifampisin Hentikan rifampisin
sistemik,
termasuk syok
dan purpura
Tabel 3. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila


keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap:
TB paru disertai keadaan / komplikasi sbb:
a. Batuk darah massif
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotorak
d. Empiema
e. Efusi pleura massif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

28
TB di luar paru yang mengancam jiwa
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat

Terapi Pembedahan
Indikasi operasi:
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. Indikasi Relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan)

1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemawangan WSD (water sealed drainage)
Kriteria Sembuh

1. BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologik serial tetap sama / perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat

29
Evaluasi Klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya


setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik

Evaluasi bakteriologik (026/9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologi (026/9 bulan pengobatan)


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untukdata dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman

30
Evaluasi keteraturan obat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum
/ tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya
2. Ketidak teraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi
Kriteria sembuh
1. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensifdan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak
dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

2.8 Tatalaksana pada keadaan khusus

A. TB Milier
Panduan obat: 2 RHZE / 4 RH
Rawat inap
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang sampai dengan 7 bulan 2 RHZE / 7 RH
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan:
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi

31
Kortikosteroid: prednison 3040 mghari, dosis diturunkan 510 mg
setiap 57 hari, lama pemberian selama 46 minggu

B. Pleuritis Eksudativa TB (Efusi Pleura TB)

Panduan obat: 2 RHZE / 4 RH

Evaluasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan


penderita dan berikan kortikosteroid
Dosis steroid: predniso 3040 mg/hari, diturunkan 510 mg setiap 5
7 hari, pemberian selama 34 minggu
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
ulangan evaluasi cairan bila diperlukan

C. TB Ekstraparu

Panduan obat: 2 RHZE / 10 RH

Prinsip pengobatan sama dengan TB paru, misalnya pengobatan


untuk TB tulag, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bayi dan anak
lama pengobatan 12 bulan. Pada TB ekstraparu lebih sering dilakukan
tindakan bedah, dengan tujuan untuk:

Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)


Pengobatan:
- Perikarditis konstriktiva
- Kompresi medula spinalis pada penyakit Potts

Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB


untuk mencegah konstriksi jantung dan pada meningitis TB untuk
menurunkan gejala sisa neurologik.

D. TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM)

Panduan obat:

- 2 RHZ (E-S) / 4 RH dengan regulasi baik / gula darah terkontrol

32
- Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan: 2 RHZ (E- S)
/ 7 RH

DM harus dikontrol
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping ke mata:
sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat
oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru dengan HIV / AIDS

Panduan obat: 2 RHZE / RH diberikan sampai 6 9 bulan setelah


konversi dahak

Menurut WHO, panduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru
tanpa HIV / AIDS
Jangan diberikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat
pada kulit
Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
Jangan lakukan desensitasi OAT pada penderita HIV / AIDS (misal: INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
INH diberikan terus-menerus seumur hidup
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

F. TB Paru pada Kehamilan dan Menyusui


Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB pada kehamilan
OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
Di Amerika, OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan pirazinamid
untuk wanita hamil

33
Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi
konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga
mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi
tidak mendapat dosis berlebihan
Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat
kontrasepsi hormonal berkurang

G. TB paru dan Gagal Ginjal


Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat
diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum,
kreatinin)
Rujuk ke ahli paru

H. TB paru denga Kelainan Hati

Panduan obat: 2 SHRE / 6 RH atau 2 SHE / 10 HE

Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
Sebaiknya rujuk ke ahli paru

34
I. Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan:
- Bila klinis (+) (ikterik +, gejala mual muntah +) OAT stop
- Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 OAT stop
SGOT, SGPT > 5 kali OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-) teruskan pengobatan dengan
pengawasan

Panduan OAT yang dianjurkan:

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)


Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan INH desensitasi
sampai dengan dosis penuh (300 mg). selama itu perhatikan klinis dan
periksa laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinis dan laboratorium
normal, tambahkan rifampisin, desensitasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga panduan obat menjadi RHES
Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.

2.9 Komplikasi
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

35
2.10 prognosis

Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan


yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang
biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara
dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di
negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung pada
selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah
telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan
sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi
faktor yang mempengaruhi prognosis.

2.11. RESISTENSI GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE / MDR)

Resistensi ganda menunjukkan M. tuberkulosis resisten terhadap rifampisin


dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap OAT
dibagi menjadi:

1. Resistensi primer: apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat


pengobatan TB
2. Resistensi inisial: apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
3. Resistensi sekunder: apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya

Penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis


2. Penggunaan panduan obat tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang
tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal
pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat
resistensi yag tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat tersebut sudah cukup tinggi

36
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter
dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi,
demikian seterusnya
4. Fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
panduan pengobatan yag tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka penambahan
satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang
resistem
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
7. Pemakaian OAT cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
8. Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB

Pengobatan TB MDR

Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang
distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada
dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 23 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan
lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin),
etionamid, sikloserin, klofamizin, amoksilin + asam klavulanat. Saat ini
panduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 23 OAT dari
obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan kuinolon yaitu
ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasi 1 x 400 mg.
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai
24 bulan
Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini kurang
menggembirakan. Pada penderita non-HIV, konversi hanya didapat sekitar

37
50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan
kesembuhan pada 56% kasus
Pemberian OAT yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah
satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah ressten ganda.
Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan
salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita
dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda
Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan
MDR-TB

38

You might also like