You are on page 1of 13

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konseling Kelompok Behavioral

1. Landasan Teoritik Konseling Behavioral

Menurut Skinner, perilaku manusia didasarkan atas konsekuensi yang

diterima. Apabila perilaku mendapat ganjaran positif/diterima, maka individu

akan meneruskan atau mengulangi tingkah lakunya, sebaliknya apabila

perilaku mendapat ganjaran negatif (hukuman)/ditolak, maka individu akan

menghindari atau menghentikan tingkah lakunya. Individu dikontrol oleh

penguat (reinforcer) dari lingkungannya. Konseling behavioral membantu

individu untuk mengontrol atau mengubah tingkah lakunya dan fungsi

konseling ini adalah memberikan perhatian khusus pada dampak lingkungan

atas dirinya.

Pendekatan behavioral lebih berorientasi pada masa depan dalam

menyelesaikan masalah.inti dari behavioral adalah proses belajar dan

lingkungan individu. Konseling behavioral dikenal sebagai ancangan yang

pragmatis (pragmatic approach).

2. Pembentukan Kelompok

Perkembangan konseling behavioral juga ditandai oleh meluasnya penerapan

prosedur kelompok.
14

Menurut Hansen cepat meluasnya prosedur konseling kelompok behavioral

dijelaskan dengan lima alasan, yaitu:1

a. Dalam konseling kelompok, konselor bukan satu-satunya individu yang

mendikte atau memberikan pengarahan kemungkinan perilaku bagi

konseli, tetapi anggota kelompok dapat memberikan positive

reinforcement atau penguatan positif bagi anggota yang lain, dan

menyumbangkan saran-saran.

b. Situasi kelompok memungkinkan anggota untuk mencoba penerapan

tingkah laku. Modelling sangat relevan dalam hal ini.

c. Setiap anggota dapat berperan sebagai pemimpin atau guru.

d. Kelompok merupakan masyarakat kecil dan konselor dapat mengevaluasi

kefektifan proses treatmen melalui observasi terhadap setiap konseli

dalam interakasi kelompok.

e. Proses kelompok dapat menyediakan sistem pendukung (support) bagi

individu yang mencoba melakukan perubahan nyata di masyarakat.

Konseling kelompok behavioral tetap memusatkan perhatian pada individu

yang ada dalam kelompok dan masih berpegang pada penerapan prinsip-

prinsip belajar. Oleh karena itu, penanganan konseli dalam prosedur

kelompok dianggap hanya merupakan perubahan latar (setting) saja.

1
Hariadi 2011. Konseling Kelompok Behavioral.
http://hariadimemed.blogspot.com/2011/06/konseling-kelompok-behavioral.html
15

3. Kondisi Perubahan

a. Tujuan Konseling

1) Konseling behavioral tidak menetapkan tujuan konseling yang berlaku

secara umum, namun tujuan konseling sesuai dengan masalah spesifik

konseli yang ingin dipecahkan. Laflleur (Burks & Stteffler, 1979)

menegaskan bahwa tujuan konseling dalam kerangka kerja behavioral

tergantung pada permasalahan konseli.2 Rumusan tujuan dibuat

spesifik dalam bentuk apa yang konseli akan perbuat, dimana tingkah

laku akan terjadi dan bagaimana sebaiknya tingkah laku itu

ditampilkan.

Selain itu diuraikan bahwa tujuan umum dan khusus konseling

behavioral adalah:

Tujuan Umum

Membantu konseli menghilangkan perilaku malasuai dan mempelajari

tingkah laku yang lebih efektif.

Tujuan Khusus

Membantu konseli mempelajari tingkah laku spesifik sesuai dengan

keunikan konseli.

2) Dalam memilih dan menentukan tujuan.

Urutan langkah dirinci oleh Cormier& Cormier dalam suatu proses

kerjasama konselor dan konseli sebagai berikut:

2
Ibid.14
16

a) Konselor menjelaskan hakikat , maksud dan tujuan.

b) Konseli memutuskan perubahan tertentu atau tujuan yang

diinginkan.

c) Konselor dan konseli mengeksplorasi dapat tidaknya tujuan-tujuan

tersebut direalisasikan.

d) Konselor dan konseli mengidentifikasi kemungkinan resiko yang

berhubungan dengan tujuan tersebut.

e) Konselor dan konseli bersama-sama membahas keuntungan dari

tujuan tersebut.

b. Peran Konselor

1) Konselor berperan sebagai guru, pengarah,dan ahli dalam

mendiagnosis tingkah laku.

2) Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau

mengkritik.

3) Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan

memberikan kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.

4) Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan

anggota untuk melakukan perubahan.

5) Konselor harus memberikan renforcement.

6) Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam

kehidupan nyata.
17

c. Peran Konseli

1) Setiap anggota mengemukakan masalahnya secara khusus, meneliti

variabel eksternal dan internal yang mungkin menstimulasi dan

mereinforce perilakunya dan lebih lanjut membuat pernyataan perilaku

baru yang diharapkan.

2) Konseli dituntut memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam

terapuetik

3) Konseli berani menanggung resiko atas perubahan yang ingin dicapai.

4. Mekanisme Perubahan

a. Tahap-tahap Konseling

1) Memulai Kelompok (Beginning The Group)

Konselor mengadakan pertemuan dengan setiap individu untuk

menentukan apakah individu-individu tersebut cocok untuk ditangani

dalam kelompok dan memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam

kelompok. Aktivitas dalam pertemuan kelompok yang pertama

dipusatkan pada pengorganisasian kelompok, mengorientasikan konseli

ke proses kelompok dan memulai membangun kebersamaan kelompok.

2) Pembatasan atau penentuan masalah (Definition of the Problem)

Masalah konseli yang diceritakan pada kelompok perlu dianalisis

terlebih dahulu. Konselor mengidentifikasi anteseden dan konsekuensi

tingkah laku dengan melakukan analisis yang sistematis tentang

tingkah laku bermasalah tersebut, sehingga konselor dapat memberikan


18

stimuli dan mengeksplorasi lebih lanjut unsur-unsur penguat yang

mungkin ada pada masalah itu.

3) Perkembangan dan Sejarah Sosial (The Development and Social

History)

Pada tahap ini, konselor dapat meminta konseli untuk

mengungkaokan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya,

kelebihan dan kekurangan dirinya, hubungan sosial, penghambat

tingkah laku, dn konflik-konflik yang dialami.

4) Pernyataan Tujuan Behavioral (Stating Behavioral Goal)

Konseli harus menyatakan masalah dan tujuan yang diharapkan

dalam bentuk behavioral. Tujuan yang spesifik ini merupakan tujun

bagi perilaku khusus yang akan diubah.

5) Siasat Pengubahan Tingkah Laku (Strategies for Behavioral Change)

Pada tahap ini akan sangat membantu jika konselor

mengembangkan kontrak behavioral yang spesifik, yaitu kontrak

mingguan dengan setiap anggota.

6) Pengalihan dan Pemeliharaan Tingkah Laku Yang Dikehendaki

(Transfer and Maintenance of Desired Behavior)

Pengalihan pengubahan tingkah laku ini dapat difasilitasi

pemanfaatan kelompok sebagai dunia kecil dari kehidupan yang

sebenarnya. Konselr perlu membangun situasi dimana anggota

kelompok dapat mencoba tingkah laku baru yang dikehendaki dalam


19

siatuasi kelompok sehingga mereka dapat memperoleh balikan

(feedback) atas usaha mereka.

b. Teknik-teknik Konseling

Teknik-teknik konseling yang digunakan antara lain:

1) Systematic Desentisisation (desensitisasi sistematis)

Teknik spesifik yang digunakan untuk menghilangkan

kecemasan dengan kondisi rileks saat berhadapan dengan situasi yang

menimbulkan kecemasan yang bertambah secara bertahap.

2) Relaxation (teknik relaksasi)

Teknik yang digunakan untuk membantu konseli mengurangi

ketegangan fisik dan mental dengan latihan pelemasan otot-ototnya dan

pembayangan situasi yang menyenangkan saat pelemasan otot-ototnya

sehingga tercapai kondisi rileks, baik fisik dan mentalnya.

3) Teknik Flooding

Teknik yang digunakan konselor untuk membantu konseli

mengatasi kecemasan dan ketakutan terhadap sesuatu hal dengan cara

menghadapkan konseli tersebut dengan siuasi yang menimbulkan

kecemasan tersebut secara berulang-ulang sehingga berkurang

kecamasannya terhadap situasi tersebut.

4) Reinforcement Technique

Teknik yang digunakan konselor untuk membantu meningkatkan


20

perilaku yang dikehendaki dengan cara memberikan penguatan

terhadap perilaku tersebut.

5) Modelling

Teknik untuk memfasilitasi perubahan tingkahlaku konseli

dengan menggunakan model.

6) Cognitive Restructuring

Teknik yang menekankan pengubahan pola pikiran, penalaran,

sikap konseli yang tidak rasional menjadi rasional dan logis.

7) Assertive Training

Teknik membantu konseli mengekspresikan perasaan dan pikiran

yang ditekan terhadap orang lain secara lugas tanpa agresif

8) Self Management

Teknik yang dirancang untuk membantu konseli mengendalikan

dan mengubah perilaku sendiri melalui pantau diri (swa pantau atau

swa monitoring), kendali diri (self control), dan ganjar diri (self

reinforcement).

9) Behavioral rehearsal

Teknik penggunaan pengulangan atau latihan dengan tujuan agar

konseli belajar keterampilan antarpribadi yang efektif atau perilaku

yang layak.
21

10) Behavior contract (kontrak perubahan tingkahlaku)

Suatu kesepakatan tertulis atau lisan antara konselor dan

konseli sebagai teknik untuk memfasilitasi pencapaian tujuan

konseling. Teknik ini memberikan batasan, motivasi, insentif bagi

pelaksanaan kontrak, dan tugas-tugas yang ditetapkan bagi konseli

untuk dilaksanakan antar pertemuan konseli.

11) Homework assignment (Pekerjaan Rumah)

Teknik yang digunakan dengan cara memberikan

tugas/aktivitas yang dirancang agar dilakukan konseli antara pertemuan

konseling seperti mencoba perilaku baru, meniru perilaku tertentu, atau

membaca bahan bacaan yang relevan dengan maslah yang dihadapinya.

12) Role Playing (bermain peran)

Teknik yang digunakan konselor untuk membantu konseli

mencapai tujuan yang diharapkan dengan permainan peran. Konseli

memerankan perilaku tertentu yang ingin dikuasainya sehingga dapat

tujuan yang diharapkan.

C. Hakikat Disiplin dan Perilaku tidak Disiplin

Disiplin merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin disciplina,

yang pada dasarnya berarti pelajaran, belajar, patuh pada guru, patuh pada

atasan, patuh pada peraturan dan hukum, pengendalian diri atau

pengawasan. Dalam perspektif ini, ada dua unsur penting sebagai ka- rakteristik
22

disiplin, yaitu: (1) keinginan akan adanya keteraturan diri, dan (2) keinginan

adanya pengendalian diri.3 Disiplin pertama-tama adalah sikap taat pada tata

tertib. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan internal, yaitu adanya dorongan

dari dalam dirinya sendiri.

Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan disiplin pada hakikatnya

adalah pengendalian diri (self control), yang didasarkan pada keinginan untuk

menumbuhkan keteraturan diri, ketaatan pada peraturan/tata tertib yang muncul

dari kesadaran internal individu. Pengendalian diri dimaksudkan sebagai suatu

keadaan sadar akan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaanya. Pengendalian diri

adalah tindakan cinta dan merupakan pilihan dari dalam dirinya sendiri

(kesadaran internal), bukan merupakan pilihan yang dipaksakan dari luar, yang

di dalamnya mengandung tiga aspek utama, yaitu: (a) kontrol perilaku

(behavioral control) merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang

dapat secara langsung mempengaruhi atau memodikasi suatu keadaan yang

tidak menyenangkan, (b) kontrol kognitif (cognitive control), adalah kemampuan

individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara membuat

interpretasi, penilaian, atau mengkorelasikan suatu peristiwa atau kejadian

dalam kerangka kog- nitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mereduksi

tekanan dan (c) kontrol keputusan (decisional control) adalah kemampuan

3
Durkheim, E. 1990. Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama
23

individu untuk memilih hasil atau tindakan berdasarkan pada sesuatu yang

diyakini atau disetujuinya.

Individu dengan pengendalian diri (self control) tinggi, sangat

memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang

bervariasi. Perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih

eksibel, berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengabaikan

tanggung jawab, norma/aturan-aturan yang ada. Individu ini memiliki

kemampuan dalam menahan keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku

yang tidak sesuai dengan norma- norma sosial. Sebaliknya individu dengan

pengendalian diri (self control) rendah, cenderung bertingkah laku yang tidak

sesuai atau perilakunya meyimpang dari kaidah atau norma-norma dan aturan-

aturan yang ada, termasuk di antaranya adalah melanggar tata tertib sekolah,

individu kurang memiliki kemampuan dalam menahan dorongan atau

keinginan untuk bertingkah laku positif atau yang sesuai dengan norma

social.4 Tidak adanya pengendalian diri, kehidupan seseorang akan cenderung

diombang-ambingkan oleh keinginan orang lain. Ini artinya bahwa seseorang

atau individu tersebut akan mudah dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa

keinginan-keinginan yang mendukung untuk berperilaku menyimpang/

berperilaku tidak disiplin.

4
Gunarsa, Singgih;Yulia Singgih Gunarsa. 2006 . Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
24

Perilaku tidak disiplin sebagai ekspektasi gangguan pelanggaran peserta

didik terhadap kelancaran pembelajaran di sekolah. Denisi ini merujuk kepada

perilaku tidak disiplin yang terjadi di lingkungan sekolah berupa pelanggaran

terhadap tata tertib sekolah, yang dampaknya: (1) mengganggu kegiatan

pembelajaran, (2) mengganggu hak- hak orang lain untuk belajar, (3)

mendatangkan rasa tidak aman bagi orang lain, baik sik maupun secara

psikologis/kejiwaan, dan (4) dapat merugikan dirinya sendiri. Perilaku tidak

disiplin dikategorikan ke dalam 4 katagori, yaitu: (1) perilaku tidak sesuai yang

dilakukan peserta didik dalam kelas berupa tindakan membantah atau men-

jawab kata-kata guru dengan kasar, tidak memperhatikan penjelasan guru,

menggangu teman lain, melakukan pengerusakan, mengucapkan kata-kata kotor,

menyontek, dan menyerang teman, (2) perilaku tidak sesuai yang dilakukan di

luar kelas, meliputi berkelahi, merokok, mengkonsumsi obat-obat

terlarang, mencuri, berjudi, membuang sampah sembarangan, melakukan

tindakan yang digerakkan seseorang, misalnya: demonstrasi, berada di tempat-

tempat terlarang di lingkungan sekolah, misalnya bermain-main di laboratorium,

(3) membolos, dan (4) terlambat, berupa terlambat hadir di kelas dan hadir di

sekolah.

Beberapa pengertian tentang perilaku tidak disiplin di atas dapat

disimpulkan bahwa perilaku tidak disiplin adalah kegagalan peserta didik

dalam mematuhi peraturan-peraturan di sekolah, dalam bentuk perilaku melanggar


25

tata tertib, seperti membolos, membuat keributan di kelas, mengganggu

teman di kelas, tidak memperhatikan saat guru menjelaskan materi pelajaran,

menyontek, tidak mengenakan atribut sekolah. Perilaku tersebut tidak dapat

diterima, karena mengurangi makna belajar, mengganggu ketertiban dan

keamanan orang lain serta lingkungan sekolah, mengganggu kegiatan

guru atau beberapa peserta didik lain selama beberapa saat.

Faktor-faktor penyebab perilaku tidak disiplin peserta didik, dapat

dilihat dari tiga sisi, yaitu (1) sumber dari diri peserta didik sendiri, yang

pertama-tama disebabkan oleh kurangnya pengendalian diri, baik pengendalian

diri terhadap perilaku, emosi, maupun kognitifnya, (2) sumber pada diri guru,

yang antara lain dapat dalam bentuk: (a) sikap guru (atitudes of teachers), (b)

metode dan teknik yang digunakan dalam mengelola dan mengendalikan kelas,

serta tujuan pengajaran (classrooms methods), (c) kurangnya penguasaan guru

mengenai bidang studi yang diajarkan (knowledge of subject maker), dan (d)

faktor lingkungan keluarga dan masyarakat.

You might also like