You are on page 1of 7

3

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana


Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) merupakan salah
satu hama penting pada tanaman famili Brassicaceae. Larva C. pavonana
menyerang tanaman pada fase vegetatif dan generatif yang dapat terjadi sepanjang
tahun (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Daerah persebaran hama ini meliputi
Afrika Selatan, Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik
(Kalshoven 1981).
Telur C. pavonana biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun kubis.
Sebelum menetas, warna telur berubah menjadi oranye, lalu menjadi cokelat
kekuningan, hingga akhirnya berwarna cokelat gelap. Kelompok telur yang
diletakkan terdiri atas 9 sampai 120 butir telur dengan rata-rata 48 butir (Othman
1982). Masa inkubasi telur rata-rata 4 hari pada suhu antara 26.0 dan 33.2 oC
(Sastrosiswojo dan Setiawati 1992) dan persentase penetasan telur rata-rata dapat
mencapai 92.4% (Othman 1982).
Larva C. pavonana instar awal berwarna kuning kehijauan dengan kepala
cokelat tua yang berukuran panjang berkisar dari 2.1 sampai 2.7 mm dan lama
stadium rata-rata sekitar 2 hari. Larva instar II C. pavonana berwarna hijau muda,
dengan panjang berkisar dari 5.5 sampai 6.1 mm dan lama stadium rata-rata 2
hari. Larva instar III C. pavonana berwarna hijau, dengan panjang berkisar dari
1.1 sampai 1.3 cm dan lama stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV C.
pavonana berwarna hijau lebih tua dengan tiga titik hitam dan tiga garis
memanjang pada bagian dorsal serta satu lainnya di sisi lateral dengan lama
stadium rata-rata sekitar 3.2 hari. Menjelang berpupa, larva instar IV akan
berhenti makan dan mengalami perubahan warna kulit dari hijau menjadi cokelat.
Pupa di dalam kokon yang tipis dan berwarna cerah serta ditutupi butir-butir
tanah. Panjang pupa sekitar 9 sampai 10 mm dengan lama stadium rata-rata 11.4
hari. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih besar daripada imago jantan.
Imago jantan dapat dibedakan dari imago betina dengan adanya rambut-rambut
cokelat tua pada tepi anterior sayap depan. Siklus hidup imago betina berkisar dari
4

23 sampai 28 hari sedangkan imago jantan berkisar dari 24 sampai 29 hari


(Prijono dan Hassan 1992).
Pengendalian hama C. pavonana dengan menggunakan insektisida kimia
merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh petani. Penggunaan insektisida
secara rutin dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Karena itu,
pengendalian terhadap hama C. pavonana perlu lebih memerhatikan prinsip-
prinsip pengendalian hama terpadu (PHT).

Resistensi Hama terhadap Insektisida


Resistensi didefinisikan sebagai kemampuan bertahan yang dapat
diwariskan dari suatu strain hama untuk mengatasi dosis suatu insektisida yang
dapat membunuh sebagian besar individu dalam suatu populasi pada spesies yang
sama. Resistensi dapat pula diartikan sebagai suatu fenomena evolusi yang
merefleksikan seleksi gen resisten serangga akibat aplikasi insektisida. Gen
tersebut menyandi berbagai mekanisme, terutama peningkatan detoksifikasi
insektisida atau penurunan kepekaan bagian sasaran di dalam tubuh serangga.
Tindakan penyemprotan insektisida yang intensif dilakukan dapat menyebabkan
resistensi berkembang dengan cepat (Denholm dan Horowitz 2001; Scott 2001).
Resistensi dilaporkan pertama kali pada tahun 1908 yaitu pada kutu perisai
Quadrispidiotus perniciosus yang telah resisten terhadap belerang (Pedigo 1989).
Contoh kasus resistensi lain yang telah dilaporkan seperti pada P. xylostella,
Bemisia tabaci, Myzus persicae, Helicoverpa armigera, dan Musca domestica.
Resistensi pada C. pavonana belum banyak dilaporkan baik di dalam negeri
maupun luar negeri (Denholm dan Horowitz 2001).
Menurut Denholm et al. (1998), faktor-faktor yang memengaruhi resistensi
yaitu faktor genetika, faktor bioekologi, dan faktor operasional. Faktor genetika
terdiri atas frekuensi alela R, jumlah alela R, dominansi alela R, dan interaksi
alela R. Faktor bioekologi meliputi jumlah keturunan per generasi, siklus hidup
satu generasi, monogami/poligami atau partenogenesis, isolasi, mobilitas, migrasi,
monofag/polifag, dan adanya refugia. Faktor operasional mencakup bahan
pestisida yang digunakan, lamanya residu, formulasi, waktu aplikasi dilakukan,
fase hama sasaran, cara aplikasi, frekuensi aplikasi, dan rotasi pestisida.
5

Struktur dan Cara Kerja Insektisida


Cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi
tiga kelompok yaitu sebagai racun lambung (racun perut, stomach poison), racun
kontak, dan racun pernapasan. Insektisida yang bekerja sebagai racun perut
membunuh serangga sasaran jika termakan dan masuk ke dalam organ pencernaan
serangga. Selanjutnya, insektisida tersebut diserap dinding saluran pencernaan
makanan kemudian dibawa oleh hemolimfe ke bagian tempat kerja insektisida
tersebut. Oleh karena itu, serangga harus memakan bagian tanaman yang sudah
disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya.
Insektisida yang bekerja sebagai racun kontak masuk ke dalam tubuh serangga
sasaran melalui kulit (lapisan kutikula). Serangga akan mati bila bersinggungan
dengan insektisida tersebut. Pada umumnya racun kontak juga berperan sebagai
racun perut. Insektisida yang bersifat racun pernapasan merupakan insektisida
yang bekerja melalui saluran trakea, sehingga dapat menyebabkan kematian pada
hama bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup (Djojosumarto 2008).
Larva serangga umumnya paling peka terhadap insektisida racun kontak
sesaat setelah ganti kulit dan ketahanannya meningkat dengan bertambahnya
umur, kemudian menurun kembali saat menjelang ganti kulit. Perubahan
ketahanan larva terhadap insektisida racun kontak selama perkembangannya
disebabkan oleh perubahan kutikula, seperti ketebalan kutikula, kekerasan
kutikula, dan penurunan kandungan lipid dalam kutikula. Laju penetrasi
insektisida pada suatu bagian kutikula bergantung pada struktur dan ketebalan
kutikula pada bagian tersebut. Insektisida umumnya cenderung memasuki tubuh
serangga melalui bagian yang dilapisi oleh kutikula yang tipis, seperti selaput
antarruas, selaput persendian pada pangkal embelan dan kemoreseptor pada
tarsus. Perubahan kepekaan ulat terhadap insektisida racun perut dapat disebabkan
oleh peningkatan ketahanan dinding saluran pencernaan terhadap penetrasi
insektisida, peningkatan kadar dan aktivitas enzim-enzim yang dapat menguraikan
insektisida, dan peningkatan ketahanan bagian sasaran terhadap insektisida
tersebut (Matsumura 1985).
6

Abamektin
Abamektin merupakan campuran antara avermektin B1a dan avermektin B1b
(Wood 2012a) yang strukturnya ditunjukkan pada Gambar 1. Abamektin adalah
insektisida kelompok avermektin yang termasuk golongan senyawa laktona
makrosiklik. Insektisida tersebut diisolasi dari bakteri tanah Streptomyces
avermitilis yang bersifat racun perut dan racun kontak (Ishaaya 2001;
Djojosumarto 2008). Avermektin bekerja dengan mengganggu fungsi reseptor
asam -amino butirat (GABA) sehingga terjadi peningkatan pemasukan ion
klorida ke dalam sel saraf (Matsumura 1985; Ishaaya 2001). Gejala pada serangga
akibat aplikasi insektisida abamektin yaitu paralisis, berhenti makan, dan akhirnya
menyebabkan kematian (Xin-Jun et al. 2010).

Avermektin B1a
(komponen utama)

Avermektin B1b
(komponen minor)

Gambar 1 Struktur kimia abamektin (Wood 2012a)


7

Salah satu formulasi insektisida berbahan aktif abamektin yang terdaftar di


Indonesia adalah Agrimec 18 EC. Insektisida tersebut terdaftar untuk
mengendalikan Aphis pomi pada apel; Thrips parvispinus pada cabai;
Phyllocnistis citrella pada jeruk; S. litura, Phaedonia inclusa, Lamprosema
indicata, Etiella zinckenella, dan Riptortus linearis pada kedelai; Maruca
testulalis pada kacang panjang; Coptotermes curvignathus pada kelapa sawit;
Liriomyza huidobrensis dan Thrips palmi pada kentang; L. chrysanthemi pada
krisan; P. xylostella pada kubis; dan L. huidobrensis pada tomat (PPI 2012).

Klorantraniliprol
Klorantraniliprol mempunyai nama kimia 3-bromo-N-[4-kloro-2-metil-6-
[(metilamino)karbonilfenil]-1-(3-kloro-2-piridinil-1H-pirazol-5-karboksamida
(PCPA-R 2012) yang strukturnya ditunjukkan pada Gambar 2. Insektisida tersebut
termasuk golongan senyawa antranilik diamida yang bersifat racun perut dan
racun kontak (Djojosumarto 2008; Wang dan Wu 2012). Klorantraniliprol bekerja
mengganggu saraf otot dengan mengaktifkan reseptor rianodin serangga yang
menyebabkan ion kalsium intraselular berkurang sehingga serangga mengalami
kelumpuhan otot kemudian mengalami kematian (Perry et al. 1998). Gejala pada
serangga akibat aplikasi insektisida klorantraniliprol yaitu paralisis, berhenti
makan, dan mati dalam beberapa hari (Cordova et al. 2006).

Gambar 2 Struktur kimia klorantraniliprol (PCPA-R 2012)


8

Salah satu formulasi insektisida berbahan aktif klorantraniliprol yang


terdaftar di Indonesia adalah Prevathon 50 SC. Insektisida tersebut terdaftar untuk
mengendalikan hama S. exigua pada bawang merah; S. litura pada cabai; M.
testulalis dan L. huidobrensis pada kacang panjang; Conopomorpha cramerella
pada kakao; S. litura pada kedelai; Metisa plana, C. curvignathus, dan Setora
nitens pada kelapa sawit; Phthorimaea opercutella dan L. huidobrensis pada
kentang; P. xylostella dan C. pavonana pada kubis; Scirpophaga incertulas dan
Cnaphalocrosis medinalis pada padi; S. excerptalis pada tebu; S. litura, Heliothis
assulta, dan Helicoverpa armigera pada tembakau; dan H. armigera pada tomat
(PPI 2012).

Profenofos
Profenofos mempunyai nama kimia O-(4-bromo-2-klorofenil) O-etil S-
propil fosforotioat (Wood 2012b) yang strukturnya ditunjukkan pada Gambar 3.
Profenofos termasuk golongan organofosfat yang bersifat racun perut dan racun
kontak (Djojosumarto 2008). Profenofos bersifat non-sistemik dan mempunyai
spektrum yang luas. Mekanisme kerja profenofos yaitu menghambat kerja enzim
asetilkolinesterase sehingga neurotransmitter asetilkolin yang berikatan dengan
reseptornya di daerah pascasinapsis saraf pusat tidak terurai dan menimbulkan
impuls saraf secara terus menerus. Gejala yang ditimbulkan berturut-turut eksitasi
(kegelisahan), konvulsi (kekejangan), paralisis (kelumpuhan), dan akhirnya
kematian (Matsumura 1985; Siegfried dan Scharf 2001; Djojosumarto 2008).

Gambar 3 Struktur kimia profenofos (Wood 2012b)

Salah satu formulasi insektisida berbahan aktif profenofos yang terdaftar di


Indonesia adalah Curacron 500 EC. Insektisida tersebut terdaftar untuk
mengendalikan hama M. persicae, Dacus ferrugineus, S. litura, dan Thrips sp.
9

pada cabai; Diaphorina citri pada jeruk; Trichoplusia chalcites dan Spodoptera
sp. pada kacang hijau; Earias sp. dan Heliothis sp. pada kapas; P. operculella dan
Thrips sp. pada kentang; C. pavonana dan P. xylostella pada kubis; M. persicae,
Thrips sp., Aulacophora sp., Aphis sp., dan Dacus sp. pada semangka; Chilo
auricillius dan C. sacchariphagus pada tebu; Heliothis sp. dan S. litura pada
tembakau; dan H. armigera pada tomat (PPI 2012).

You might also like