You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Lupus eritomatosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisystem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibody, termasuk antibody terhadap antigen nuclear
(ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis
yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama
menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetic, imunologik, hormonal serta
lingkunagn berperan dalam proses patofisiologi.
LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio
wanita dan laki-laki 5 : 1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian kehamilan
dengan LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi didaptkan di Negara
CIna dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia, RS Dr. Soetomo Surabaya
melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 April 2004). Dari 2000
kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES.
Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi. Sekitar
75% kehmilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya premature, 25%
sisanya mengalami keguguran. Resiko bayi dengan lupus neonates yang lain, sekitar
3% kehamilan SLE, dan biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan
jantung, namun hal ini dapat diobati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Sistemik Lupus Eritematosus


a. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan komplek imun dan disregulasi system imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Penyakit
autoimun ini ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas,
mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun,
sehiingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Karakteristik primer penyakit ini berupa kelemahan, nyeri
sendi, dan trauma berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan
hamper semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi,
darah, membrane serosa, jantung dan ginjal.
b. Epidemiologi
SLE dapat ditemukan ditemukan pada semua usia, namun
paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibandingkan dengan pria berkisar (5,5-9) :1.
Beberapa data yang ada di Indonesua diperoleh dari 3
penelitian yang berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976
ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah
37,7/10.000 perawatan. Penelitian Purwanto dkk di Yogyakarta tahun
1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan.
Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986
mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua
wilayah Indonesia, namun pada tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklikilk Reumatologi Penyakit Dalam,
dementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau
10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
tahun 2010.
Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun
pertama dan 53-64% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas
akibat penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Di RSCM survival rate 5 tahun pasien SLE adalah 88% dari
pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun
1990-2002. Pada beberapa tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan
protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit
vaskuler aterosklerosis.
c. Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas.
Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain
autoimun, kelainan genetic, faktor lingkungan dan obat-obatan.
Autoimun:
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses
kompleks dimana system imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada
SLE, sel T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan
berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut,
terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibody, suatu
molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika
antibody tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut
autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut
interleukin, seperti IL-10 dan IL-6, memegang peranan penting dalam
SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh Sel B.
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuclear antibody (ANA)
adalah antibody spesifik yang menyerang nucleus dan DNA sel yang
sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-double stranded DNA (anti-
ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan
ani-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan
antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi sehingga pengaturan system imun pada SLE
tergangggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang
larut, ganguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan
uptake kompleks imun oleh ginjl. Sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit kompleks imun di laur system fagosit
mononuclear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ
tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan
radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ
yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibody fosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada
membrane sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya
darah dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta
rendahnya jumlah hitung darah.
Antibodi tersebur termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA
yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat
ditemukan pad aorang normal, namun mereka juga dihubungkan
dengan sindrom antibody fosfolipid, dengan gambaran berupa
thrombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan
janin, terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau
gangguan autoimun lainnya.
Genetik
Faktor genetic memegang peranan penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat
dekat yang juga menderita SLE (Saudara kembar identic sekitar 25-
70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda)
sedngakan non indentik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE maka
kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir
menunjukan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur
system imun.
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang
mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian
lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien
SLE yang mendorong terbentuknya kompleks imun dan menyebabkan
kerusakan ginjal.
Faktor Lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respn
autoimun pada seseorang dengan kerentangan genetic. Pemicu SLE
termasuk, flu, kelelahan, stress, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar
matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus, pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada
sel T. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE.
Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian
tiap-tiap virus, misalkan cytomegalovirus yang mempengaruhi
pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan
darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting bagi
pemicu terjadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah
struktur DNA dari sel di bawah kulit dan system imun menganggap
perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon
autoimun.
Drug Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan
obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE.
Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam,
ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika
obatobatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan
manifestasi klinik dan hasil laboratorium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi
antibody dan menimbulkan flare sementara tstosteron mengurangi
produksi antibody. Sitokin berhubungan langsung dengan hormone
sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormone androgen yang
rendah dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen
yang abnormal.
d. Gejala Klinis
Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada
ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya
morbiditas dan mortilitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit
ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonephritis progresif
disertasi dengan gagal ginjal.
Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukan manifestasi pada
musculoskeletal. Athralgia, deformitas sendi, kelainan sendi
temporomandibular dan nekrosis avascular telah dilaporkan terjadi
pada pasien SLE.
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis.
Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus
(DLE) dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE).
Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi discoid yang
umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada
wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut butterfly rash
karena membentuk seperti sayap kupu-kupu pada telinga, dagu, daerah
leher, punggung atas dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5%
individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan
SLE, sebanyak 20% memilik DLE.
Tingkat keparahan butterfly rash, kadang disertai dengan
serangan penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah
bersisik mirip degan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan.
Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki
antibody terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya
dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-
like, bulla, dan panikulitis.
Timbulnya manifestasi system saraf pusat (SSP) dapat terjadi
pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis
serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari
psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memburuk keseluruhan
prognosis dari penyakit SLE.
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan
pericarditis. Selain itu, kerusakan endocardium, miokarditis dan cacat
konduksi biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien
SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit
arteri coroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting.
Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal
jantung dan stroke adalah 8,5 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi
pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum.
Kecenderungan peningkatan thrombosis pada SLE dipengaruhi oleh
adanya kelainan pada fibrinolysis, protein antikoagulan (protein S),
dan adanya antibody antifosfolipid. SSP dan thrombosis vena dengan
emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien. Sebagai
pencegahan pasien Sle membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.
e. Diagnosis
Dianosis penyakit SLE sangat sulit untuk dtegakkan. Selain
Dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari
penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap
penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan,
foto sensitifitas, perrubahan berat badan, kelenjar limfe yang
membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital
lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran
seperti penyakit lain misalnya artritis rheumatoid, glomerulonephritis,
anemia, dermatitis dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan
diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan,
mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.
Pada tahun 1982, American College of Rheumatology membuat
suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu
sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi.
Dari table tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka
diagnosis SLE mempunyai spesifitas 95% dapat ditegakkan. JIka
hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi
kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil ANA, jika hasil ANA
negative, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika tes ANA positif
dan tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE,
sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.

II. Sistemik Lupus Ertematosus pada Kehamilan


Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko
tinggi. Sekitar 75% kehmilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25%
diantaranya premature, 25% sisanya mengalami keguguran. Resiko
bayi dengan lupus neonates yang lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan
biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan jantung,
namun hal ini dapat diobati.
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare
selama kehamilan. Sebagian besar terjadi pada trimester pertama dan
kedua, dan dua bulan setelah persalinan. Wanita telah mengalami
remisi selama 6 bulan beresiko rendah untuk mengalami flare.
Terdapat peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang
diakiabtkan baik oleh obat anti-SLE maupun oleh SLE itu sendri.
Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan SLE.
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan
pustaka terhadap aktivitas penyakit dan mortalitas morbiditas wanita
hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa terdapat eksaserbasi aktivitas
penyakit pada 50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau
postpartum.
Hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal yang baru terjadi
pada wanita hamil dengan lupus dapat menggambarkan terjadinya
lupus nefritis aktif atau pembentukan preeclampsia. Membedakan
antara permulaan SLE dan preeclampsia sulit. Penelitian Buyon dkk
menemukan bahwa kadan C4 lebih rendah pada kehamilan dengan
preeclampsia dibandingkan kehamilan normal, dan pada ibu dengan
SLE mempunyai kadar C3 dan C4 yang lebih tendah secara nyata
dibandingkan kehamilan normal. Menurunya kadar C3 dan C4 pada
kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit
tersebut. Satu pasien dengan SLE yang mengalami preeclampsia tidak
memiliki perubahan pada kadar komplemennya. Penemuan ini
menyebutkan bahwa pengujian terhadap kadar komplemen mungkin
berguna untuk membedakan kejadian preeclampsia dengan flare
penyakit pada pasien SLE. Insiden preeclampsia meningkat pada
pasien SLE.
Menurut Chamley (1997), trombosit dapat dirusak langsung
oleh antibody antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui
ikatannya dengan B2-glikoprotein I, yang menyebabkan trombosit
mudah beragregasi. Menurut Rand dkk (1997a, 1997b, 1998)
fosfolipid pada sel endotel atau membrane sinsitiotrofoblas mungkin
dirusak secara langsung oleh antibody fosfolipid atau secara tidak
langsung melalui ikatannya dengan B2-glikoprotein I atau annexin V.
Hal ini mencegah sel membrane untuk melindungi sinsitiotrofoblas
dan endotel sehingga membrane basal terbuka. Telah diketahui bahwa
kerusakan trombosit mengikuti terbukanya membrane basal endotel
dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan thrombus. Terdapat
mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan
bahwa antibody antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator
prostaglandin E2 oleh desidua. Telah digambarkan pula terjadinya
penurunan aktivitas fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein oleh
lupus antikoagulan (Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula
laporan lain mengenai penurunan aktivitas protein C atau S disertai
sedikit peningkatan aktivitas prothrombin (Ogunyemi dkk, 2001 ;
Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa
thrombosis dengan sindrom antifosfolipid disebabkan oleh jalur faktor
jaringan.
Pengaruh kehamilan terhadap SLE masih belum dapat
dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan SLE, eksaserbasi
SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE
keterlibatan organ-organ vital seperti ginjal. Penderita SLE yang telah
mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko
25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik.
Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6
bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50%
dengan luaran kehamilan yang buruh. Apabila kehamilan terjadi pada
saat SLE sedang aktif maka resiko kematian janin 50-75% dengan
angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur
kehamilan maka resiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada
trimester I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23%
pada masa nifas.
Masalah utama yang terjadi pada kehamilan dengan SLE yaitu
meningkatnya komplikasi kehamilan terkaitnya dengan penyakit SLE
dan terjadinya flare akibat kehamilan. Kondisi penyakit SLE yang
buruk pada wanita hamil atau penyakit aktif sebelum dan selama
kehamilan akan berdampak terjadinya flare sehingga dapat
mempengaruhi terhadap kondisi ibu maupun janin. Flare menurut
Arfaj dan Khail (2010) dapat didefinisikan sebagai serangan yang tidak
terduga dari penyakit setelah periode remisi. Flare penyakit SLE
sering terjadi pada kehamilan dan berdampak terhadap meningkatnya
resiko morbiditas, kelahiran premature bahkan kematian janin.
Flare penyakit SLE pada kehamilan merupakan predictor yang
sangat kuat berhubungan dengan dampak buruk yang terjadi seama
kehamilan seperti terminasi kehamilan, kelahiran premature dan
Intraurine Growth Retardation (IUGR). Komplikasi umum kehamilan
pada wanita SLE menurut Roy, Das dan Datta (2010) terkait dengan
adanya faktor predictor diantaranya hipertensi, preeklampsi, eklampsi,
perdarahan antepartum, IUGR, prematuritas, abortus dan still birth
dan diabetes dalam kehamilan. Komplikasi lainnya yang terjadi pada
wanita hamil akibat penyakit SLE diantaranya infeksi, hipertensi
pulmonal, stroke, emboli paru thrombosis vena dan lupus neonatal.
Pengaruh SLE terhadap kehamilan terdapat nasib kehamilan
penderita SLE sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi
yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang baik.
Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan
yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita normal,
bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin
menjadi 50%. Kelainan premature juga bisa terjadi sekitar 30-50%
kehamilan dengan SLE yang sebagian besar akibat preeclampsia atau
gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita SLE dapat
meningkatkan resiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat sekitar
25% demikian juga resiko terjadinya preeclampsia-eklampsia
meningkat sekitar 25-30% pada penderita SLE yang disertai lupus
nefritis kejadian preeclampsia menjadi 2 kali lipat.
Komplikasi lanjut ini terjadi karena kehamilan dapat
mempengaruhi perjalanan penyakit SLE. Plasenta dan fetus dapat
menjadi targer dari autoantibodi maternal sehingga dapat berakhir
dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritomatosus
neonatal. Pada penderita SLE kematian janin dihubungkan dengan
adanya antibody antifosfolipid yang merupakan antikoagulan lupus
(Varghese, Crocker, Bruce dan Tower, 2011). Antibodi antifosfolipid
merpakan indicator yang paling sensitive untuk kematian janin, pada
beberapa penelitian dikatakan bahwa adanya antibody fosfolipid dan
riwayat kematian janin memberikan angka prediksi kematian janin
iatas 85% pada wanita SLE. Pada wanita hamil dengan penderita SLE
dapat menderita preeklampsi, sindrom antifosfolipid atau keduanya,
sehingga kemungkinan terjadi kelainan pertumbuhan janin sangat
tinggi pada kasus ini.

a. ACA dan APLA


Antibodi antifosfolipid adalah antibody yang diujukan terhadap
fosfolipid bermuatan negative dan mencakup antikoagulan lupus dan
antibody antikardiolipin (Lenevo, J. Kenneth, 2009). Sindrom anti
fosfolipid merupakan antibody abnormal yang menimbulkan
pembekuan darah sehingga menyebabkan tidak saja keguguran
berulang, tetapi juga kemandulan, keracunan kehamilan, jantung,
stroke, ginjal, hati hingga buta dan tuli mendadak. Sindrom anti
fosfolipid bukanlah penyakit menular tetapi bisa merupakan penyakit
keturunan karena berhubungan dengan genetika langsung dari
penderita.
Antibodi antifosfolipid mendorong terjadinya thrombosis atau
pembekuan darah dalam pembuluh darah. Jika terjadi di plasenta,
bekuan darah akan mengganggu pasokan zat gizi dan oksigen bagi
janin sehingga terjadi keguguran pada usia kehamilan tiga atau empat
bulan. Jika tidak keguguran, biasanya janin tidak berkembang atau
meninggal dalm kandungan. Antibodi ini ditemukan pada 2% wanita,
tetapi tidak semua orang yang dideteksi memiliki antibody ini akan
mengalami gangguan.
Antibodi fosfolipid (aPL) juga ditemukan pada pasien dengan
penyakit SLE dan kemudian dinamakan Lupus Antikoagulan (LA).
Secara paradox, walupun antibody ini mengakibatkan pemanjangan
waktu pada pemeriksaan pembekuan secara in vitro, serorang dengan
antibody aPL tidak menunjukan gejala perdarahan, namun adanya aPL
meningkatkan resiko thrombosis pada arteri dan vena.
Gangguan utama yang terjadi pada SLE adalah pembentukan
autoantibodi. Autoantibodi terhadap DNA (anti double-stranded) dapat
dijumpai pada lebih dari 75% pasien. Telah diketahui bawa titer
antibody antiDNA bervariasi sesuai waktu dan aktifitas penyakit,
Selain itu terdapat hubungan yang kuat antara antibody antiDNA
dengan glomerulonephritis. Kejadian flare lebih tinggi pada pasien
dengan kadar antibody anti dsDNA tinggi dan persistensi dari
autoantibodi, ini dapat terjadi beberapa tahun sebelum flare terjadi,
Meskipun ikut berperan dalam diagnosis dan sebaai predictor terhadap
aktifitas penyakit SLE, namun peranan terhadap angka survival mash
diperdebatkan. Yee CS dkk dan Mirzayan menemukan bahwa
kerusakan organ dan survival tidak berhubungan dengan ras, usia,
kadar anti kardiolipin, anti-Ro dan antibody dsDNA. Hasul berbeda
ditunjukan oleh temuan Toloza dkk, terdapat faktor-faktor yang
berhubungan dengan perjalanan penyakit dan luaran dari SLE sangat
penting untuk tata laksana dan intervensi terapi.
Pada penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mulai
tahun2007 hingga April 2012, didaptkan 46 anak memenuhi kriteria
inklusi, terdiri dari 24 subyek pasien SLE dengan antibody ani d-DNA
positif dan 22 subyek pasien SLE dengan antibody anti ds-DNA
negative. Tidak ada sampel yang dieksklusi dan seluruh sampel dapat
diikutkan sampai akhir pengamatan. Subyek penelitian terdiri dari 38
perempuan (82,6%) dan delapa laki-laki (17,4%) dengan perbandingan
antara keduanya 6,9 : 1. Kelompok usia pubertas tampak lebih
dominan pada dua kelompok pengamatan dengan renata usia 11,9 (SD
3,2) tahun. (Tabel 1). Rerata survival pasien SLE 1903, 0 (SD 458,8)
hari. Penyebab kematian terbanyak adalah infeksi (38,1%), sepsis
(28,6%), penyakit aktif (23,8%) dan gagal ginjal (9,5%).
Analisis survival menunjukan bahwa pasien SLE dengan
antibody anti ds-DNA positif mengalami mortalitas lebih cepat
dibandingkan pasien dengan antibody anti ds-DNA negative. Rerata
waktu follow up pasien dengan antibody anti ds-DNA 885,5 hari
tampak lebih pendek secara bermakna dibandingkan pasien dengan
antibody anti ds-DNA negative. Pasien dengan derajat penyakit SLE
berat tampak mengalami mortalitas yang lebih cepat apabila
dibandingkan dengan kelompok dengan derajat SLE tidak berat.

Terdapat hubungan jelas antara lupus antikoagulan dengan


antibody antikardiolipin dengan vaskulopati desidua, infark plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, preeclampsia dini dan kematian janin
berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga
memiliki insiden tinggi terhadap thrombosis arteri dan vena, serta
hipertensi paru. (Khamashta dkk 1997 ; Silver dkk, 1994) Resiko
keguguran lebih tinggi pada wanita dengan antibody fosfolipid,
penyakit ginjal aktif atau hipertensim atau kombinasi lainnya. Selama
kehamilan antibodi fosfolipid dapat melintasi plasenta dan
menyebabkan trombositopenia pada janin, namun biasanya bayi tetap
dapat lahir dengan aman.
Penelitian secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10
plasenta SLE oleh Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua
vaskulopati pada 5 dari 10 plasentta yang diteliti. Hanly dkk, meneliti
11 pasien SLE dan menemukan bahwa plasenta tersebut lebih kecil
dan lebih ringan dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu
diabetes. Kurangnya berat plasenta berhubungan dengan SLE aktif,
lupus antikoagulan, trombositopenia dan hipokomplemenemia, tappi
tidak berhubungan dengan berkurangnya berat lahir. Infark plasenta,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan sindrom antibody
fofolipid, sangat jelas berhubungn dengan pertumbuhan janin mungkin
menyebabkan kematian janin, tapi prematuritas dan bayi kecil masa
kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE.

b. SLE pada kehamilan dengan RPK (+)

You might also like