You are on page 1of 9

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SANJIWANI GIANYAR


FKIK UNIVERSITAS WARMADEWA

REFLEKSI KASUS
Pembimbing/Penguji : dr. I Putu Wijana, Sp.A

I. Identitas Pasien
Nama : KPS
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bunutin, Bangli
Tanggal MRS : 3 April 2017
Tanggal Pemeriksaan : 7 April 2017
Ruang Rawat : Abimanyu

II. Kasus
Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani pada tanggal 3/4/17 pada pukul 08.30 dengan
keluhan gatal di seluruh tubuh. Penderita mengeluh gatal sejak 2 jam sebelum MRS.
Gatal awalnya dikeluhkan pada dagu kemudian menyebar ke seluruh tubuh dengan cepat.
Gatal diikuti dengan bentol-bentol kemerahan pada wajah, tangan, badan dan paha.
Sebelumnya, penderita dikeluhkan demam dan batuk sejak 2 hari sebelum MRS namun
suhu tubuh tidak diukur. Saat itu penderita berobat ke bidan dan mendapat obat
paracetamol, solpenox (amoxicillin), zenirex (Promethazine HCL, Ipecacuanhae
Exractum, Guafenesin). Satu jam setelah minum obat tersebut, penderita mulai mengeluh
gatal dan bentol pada kulit. Penderita dikatakan baru pertama kali minum obat solpenox
dan zenirex. Penderita kembali dibawa berobat ke bidan dan mendapat obat CTM dan
dexametason namun keluhan tidak membaik. Penderita juga mengeluh kedua mata
bengkak bersamaan dengan timbulnya gatal. Makan, minum, buang air besar dan buang
air kecil dikatakan normal. Sesak disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan gatal seperti ini sebelumnya. Pada keluarga
tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat penyakit kronis dan alergi disangkal
oleh orang tua pasien. Riwayat persalinan ditolong oleh bidan, lahir spontan dengan berat
lahir 3100 gram dan panjang badan 48 cm. Setelah dilahirkan bayi langsung menangis.
Riwayat tumbuh kembang pasien dalam batas normal dan pasien telah mendapatkan
imunisasi dasar dengan lengkap (BCG 1x, DPT 3x, Hepatitis B 4x, Polio 4x, campak 1x).

1
Riwayat nutrisi: ASI umur 0 bulan sampai 6 bulan, bubur susu umur 6 bulan 1,5 tahun,
dan makanan dewasa diberikan dari usia 1,5 tahun hingga sekarang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis dengan
suhu aksila 36,9C, tekanan darah 80/60 mmHg, nadi 88x/menit, laju napas 26x/menit.
Pada pemeriksaan kepala masih dalam batas normal, mata ditemukan angioedema pada
kedua mata, tht, thorax, abdomen, ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan
kulit ditemukan urtika generalisata. Dari status nutrisi didapatkan BB 16 kg, TB 102 cm
dengan BB ideal 16, BB/U : z score 0 (median), TB/U : z score dibawah -1, BB/TB: z
score 0 (median). Status gizi menurut Waterlow 100% (gizi baik).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah tepi lengkap,
urinalisis, feses lengkap. Hasil pemeriksaan darah tepi lengkap WBC 11,99 K/L, Hb
11,6 g/dL, Hct 38,4%, plt 142 K/L, Neu 85,9%, Lym 12,5%, Mon 1,4%, Eos 0,1%, Bas
0,1%, pemeriksaan urinalisasi dengan hasil Protein (-), glukosa (-), keton (-), nitrit (-),
sedimen eritrosit (-), sedimen leukosit 0-1, bakteri (-), jamur (-), trichomonas (-),
pemeriksaan feses lengkap dengan hasil Konsistensi padat, amoeba (-), telur cacing
ascaris (-), leukosit 1-2, bakteri (-).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka pasien
didiagnosis dengan urtikaria generalisata dan angioedema et causa suspek alergi obat
(paracetamol, zenirex, solpenox). Pasien kemudian dirawat inap dengan terapi
eliminasi obat yang dicurigai (paracetamol, zenirex, solpenox), Epinefrin 1:1000 0,01
mL/kg/kali ~ 0,2 mL intramuscular (satu kali), Kebutuhan cairan 1300 mL/hari ~ IVFD
D5 NS 20 tetes makro/menit, Diphenhydramin 1 mg/kg/kali ~ 10 mg dalam NaCl 0,9%
20 mL habis dalam 20 menit (intravena) diberikan @ 8 jam (intravena), Ranitidin 1
mg/kg/kali ~ 16 mg dalam NaCl 0,9% 20 mL habis dalam 20 menit diberikan @ 8 jam
(intravena), Metilprednisolon 1 mg/kg/hari ~ 5 mg dalam NaCl 0,9% 20 mL habis dalam
20 menit diberikan @ 8 jam (intravena), rencana uji provokasi obat 2 minggu setelah
keluhan menghilang

III. Analisa Masalah


Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan urtikaria generalisata dan angioedema et causa
suspek alergi obat (paracetamol, zenirex, solpenox) pada anak ?

IV. Pembahasan Masalah


Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol) berwarna
merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut,
kronik, atau berulang. Urtikaria akut umumnya berlangsung 20 menit sampai 3 jam,
menghilang dan mungkin muncul di bagian kulit lain. Satu episode akut umumnya
2
berlangsung 24-48 jam. Angioedema dapat muncul berupa pembengkakan jaringan dengan
batas yang tidak jelas seperti daerah sekitar kelopak mata dan bibir. Bengkak juga dapat
ditemukan pada wajah, badan, genitalia, dan ekstremitas1.
Terdapat banyak jenis urtikaria dan proses yang mendasarinya. Yang terbanyak adalah
pelepasan histamine, bradykinin, leukotriene C4, prostaglandin D2, dan berbagai substansi
vasoaktif dari sel mast dan basofil dalam dermis, sehingga terjadi ekstravasasi cairan kedalam
dermis, dan terjadi urtikaria. Rasa gatal disebabkan oleh histamin, yang berefek akibat ikatan
dengan reseptor Histamin 1 dan 2 yang terdapat pada berbagai sel. Aktivasi reseptor H1 pada
sel endotel dan otot polos mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sedangkan aktivasi reseptor H2, mengakibatkan vasodilatasi venule dan arteriole1,2,3.
Proses diatas didahului oleh antigen-mediated IgE immune complex yang berikatan
cross linked dengan reseptor Fc pada permukaan sel mas dan basofil, sehingga terjadi
degranulasi, dan pelepasan histamin. Pada reaksi tipe II, diperantarai Sel T sitotoksik,
mengakibatkan deposit imunoglobulin, komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah,
mengakibatkan urticarial vasculitis. Tipe III biasanya didapatkan pada SLE dan autoimmune
disease lain1,2.
Urtikaria diperantarai komplemen terdapat pada infeksi virus dan bakteri, serum sickness
dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi terjadi saat bahan alergenik dalam plasma yang
didonasikan bereaksi dengan IgE yang sudah ada pada darah penerima. Obat tertentu, seperti
opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lain-lain, juga zat kontras
mengakibatkan urtikaria akibat degranulasi sel mast melalui mekanisme Non IgE. Urtikaria
akibat obat antiinflamasi non steroid (AINS) bisa diperantarai IgE atau degranulasi sel mast .
Terdapat reaksi silang bermakna antar AINS dalam mengakibatkan urtikaria dan
anafilaksis2,3.
Reaksi terhadap obat mencakupi semua reaksi tubuh terhadap obat, tanpa
memperhitungkan mekanisme dasarnya. Hipersensitifitas terhadap obat diartikan sebagai
respon imun terhadap obat pada orang yang sudah tersensitisasi sebelumnya. Sedangkan
alergi obat adalah reaksi Imunologis dengan gejala klinis akibat reaksi imun yang dimediasi
oleh IgE. Reaksi terhadap obat dapat diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya mekanisme
imunologik. Mayoritas (75-80%) reaksi obat disebabkan mekanisme non-imunologik yang
dapat diprediksi, yaitu berdasarkan efek samping yang sudah diketahui atau efek
farmakokinetik. Sisanya (20-25%) adalah reaksi obat akibat mekanisme imunologik yang
kadang tidak dapat diprediksi. Yang berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE terlibat),
hanya 5-10% dari seluruh reaksi akibat obat. Reaksi hipersensitivitas terhadap obat harus
dipikirkan pada pasien yang datang dengan gejala alergi yang umum seperti anafilaksis,
3
urtikaria, asma, serum sickness-like symptoms, ruam kulit, demam, infiltrat paru dengan
eosinofilia, hepatitis, nefritis interstitial akut, dan lupus-like syndromes4.
Penegakan diagnosis urtikaria generalisata dan angioedema et causa obat didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang terperinci
merupakan tahap awal terpenting untuk membuat diagnosis urtikaria dan angioedema oleh
karena obat. Anamnesis meliputi formulasi obat, dosis, rute, dan waktu pemberian, lama dan
urutan gejala. Selain itu harus ditanyakan perjalanan, awitan, dan hilangnya gejala, kapan
obat dihentikan iwayat alergi terhadap obat yang sama atau satu golongan harus ditanyakan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa bentol kemerahan yang memutih di
bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai rasa gatal. Yang perlu diperhatikan distribusi lesi,
pada daerah yang kontak dengan pencetus, pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas, atau
seluruh tubuh. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk lesi yang mirip, bintik kecil-kecil di
atas daerah kemerahan yang luas pada urtikaria kolinergik. Yang perlu diwaspadai: Adanya
angioedema, adanya distress napas, adanya kolik - abdomen, suhu tubuh meningkat bila lesi
luas, dan tanda infeksi fokal yang mencetuskan urtikaria. Pada urtikaria kronik hal terpenting
pada urtikaria kronik adalah mencari bukti dan pola yang menunjukkan penyakit lain yang
mendasari, misalnya, mastositosis yang terjadi pada kisaran usia 2 tahun pertama dengan
predileksi pada tubuh (bukan ekstremitas)5.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis adalah
Tes kulit dapat memberikan bukti adanya sensitisasi obat, terutama yang didasari oleh reaksi
tipe 1 (IgE mediated). Namun demikian sebagian besar obat tidak diketahui imunogen yang
relevan sehingga nilai prediktif tes kulit tidak dapat ditentukan. Penisilin merupakan obat
yang sudah dapat ditentukan metabolit imunogennya. Tes kulit dapat berupa skin prick test
(SPT) atau tes intradermal. Tes intradermal lebih sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan
SPT. Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain: IgE spesifik, serum tryptase, dan cellular
allergen stimulation test (CAST)5,6.

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah lengkap untuk
mengetahui adanya infeksi dan hitung jenis eusinofil dan basofil. Pemeriksaan urinalisis
dilakukan untuk mencari fokal infeksi di saluran kemih. Feses lengkap dilakukan untuk
mencari adanya parasit cacing.
2. Tes Kulit

4
Tes kulit untuk preparat penisilin diperlukan metabolit imunogennya, major antigenic
determinant yaitu penicylloil. Untuk obat dan antibiotika yang lain, belum ada preparat
khusus untuk tes kulit. Untuk beberapa jenis antibiotika yang sering digunakan dan kita ragu
apakah pasien alergi atau tidak,
dapat dilakukan tes kulit dengan pengenceran yang tidak menimbulkan iritasi (nonirritating
concentration). Meskipun demikian, tes kulit untuk diagnosis alergi obat terutama antibiotika
tidak dianjurkan karena nilai prediksi rendah. Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi
terhadap obat tersebut, tetapi kalau negatif belum tentu tidak alergi.
3. Graded Challenge
Graded challenge tes provokasi dengan dosis yang ditingkatkan, dilakukan dengan hati-hati
pada pasien yang diragukan apakah alergi terhadap sesuatu obat atau tidak. Tes provokasi ini
biasanya dilakukan secara oral. Anak yang jelas dan nyata menunjukkan reaksi yang berat
setelah terpajan dengan obat, tidak dilakukan tes provokasi ini. Graded challenge biasanya
aman untuk dikerjakan, tetapi tetap dengan persiapan untuk mengatasi bila terjadi reaksi
anafilaksis. Biasanya dosis dimulai dengan 1/10 sampai 1/100 dari dosis penuh dan dinaikkan
2 sampai 5 kali lipat setiap setengah jam, sampai mencapai dosis penuh. Bila pada waktu
peningkatan dosis terjadi reaksi alergi, maka tes dihentikan dan pasien ditata laksana seperti
prosedur pengatasan reaksi alergi. Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan
diagnosis alergi obat masih meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk menyingkirkan
sensitifitas terhadap obat dan menegakkan diagnosis alergi obat.

Penatalaksanaan utama dari urtikaria adalah menghindari pencetus . Medikamentosa


untuk urtikaria adalah mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis
0.01 ml/kg intramuskular(maksimum 0.3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat
H11 seperti dipenhidramin untuk pemberian i.m, dengan dosis 1 mg/kg BB. Pilihan lain
hidroksizin Pemberian obat oral, dipakai untuk mengganti pemberian obat injeksi bila
keadaan membaik, misalnya dengan memberikan Anti histamine generasi 1 : Cetirizine, dosis
0,2 mg/kg, 2 x sehari, pada anak usia 6 bulan-2 tahun, sedangkan setelah itu, diberikan 1 kali
sehari. Bila gatal sangat hebat, bisa diberikan tambahan CTM malam hari 0.1 mg/kg/kali
pemberian. Antihistamin 2 diberikan untuk meningkatkan efektifitas AH1. Pilihan bisa
Cimetidine, Ranitidine atau Famotidin. AAH1 dan AH2 memiliki efek sinergis, dan
memberikan hasil lebih cepat dan lebih baik. Kortikosteroid misalnya prednison 1mg/kg/hari
dibagi 3 dosis sehari 3 kali, diberikan untuk urtikaria yang disertai angioedema6.

V. Pembahasan Kasus

5
Teori Kasus
A. Urticaria adalah kondisi yang ditandai Pada kasus didapatkan adanya Bengkak
munculnya bintik merah bengkak pada kulit dengan ukuran bervariasi dengan
pada kulit disertai rasa gatal tepi eritema disertai rasa gatal yang
Gambaran khas:
menghilang dengan cepat setelah
1. Bengkak pada kulit dengan ukuran
pemberian obat, serta ditemukan bengkak
bervariasi dengan tepi eritema
2. Disertai gatal atau rasa terbakar pada kedua kelopak mata yang tidak
3. Dapat menghilang dengan cepat
disertai rasa gatal
dalam 1-24 jam atau lebih singkat
B. Angioedema adalah munculnya
bengkak kemerahan atau sesuai
dengan warna kulit yang melibatkan
jaringan dermis bawah dan subkutan
dan kadang membran submukosa
Gambaran khas:
1. Lebih sering disertai nyeri daripada
gatal
2. Menghilang lebih lambat
dibandingkan urticaria dan dapat
mencapai 72 jam
Penegakan diagnosis berdasarkan Penegakan diagnosis pada kasus ini
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan berdasarkan dari anamnesis dengan keluhan
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan gatal pada seluruh tubuh, dan bengkak pada
urtikaria dan angioedema oleh karena obat kelopak mata setelah 1 jam meminum obat.
biasanya datang dengan keluhan gatal Pada pemeriksaan fisik ditemukan urtika
disertai bentol pada tubuh. Pada pada seluruh tubuh dan bengkak pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan kelopak mata, dan dilakukan pemeriksaan
urtikaria dan angioedema. Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan feses lengkap.
penunjang yang dapat dilakukan adalah Pasien didiagnosis dengan urtikaria
tes kulit, darah lengkap, graded challenge. generalisata dan angioedema et causa obat.

Penatalaksanaan utama dari urtikaria Pasien kemudian dirawat inap dengan terapi
adalah menghindari pencetus. eliminasi obat yang dicurigai (paracetamol,
Medikamentosa untuk urtikaria adalah zenirex, solpenox)
- Epinefrin 1:1000 0,01 mL/kg/kali ~ 0,2
mula-mula diberikan injeksi larutan
mL intramuscular (satu kali),
adrenalin 1/1000 dengan dosis 0.01 ml/kg

6
intramuskular(maksimum 0.3 ml) - Kebutuhan cairan 1300 mL/hari ~ IVFD
dilanjutkan dengan antihistamin D5 NS 20 tetes makro/menit,
- Diphenhydramin 1 mg/kg/kali ~ 10 mg
penghambat H11 seperti dipenhidramin
dalam NaCl 0,9% 20 mL habis dalam 20
untuk pemberian i.m, dengan dosis 1
menit (intravena) diberikan @ 8 jam
mg/kg BB. Antihistamin 2 diberikan
(intravena),
untuk meningkatkan efektifitas AH1.
- Ranitidin 1 mg/kg/kali ~ 16 mg dalam
Pilihan bisa Cimetidine, Ranitidine atau
NaCl 0,9% 20 mL habis dalam 20 menit
Famotidin. AAH1 dan AH2 memiliki efek
diberikan @ 8 jam (intravena),
sinergis, dan memberikan hasil lebih cepat - Metilprednisolon 1 mg/kg/hari ~ 5 mg
dan lebih baik. Kortikosteroid misalnya dalam NaCl 0,9% 20 mL habis dalam 20
prednison 1mg/kg/hari dibagi 3 dosis menit diberikan @ 8 jam (intravena),
sehari 3 kali, diberikan untuk urtikaria rencana uji provokasi obat 2 minggu
yang disertai angioedema. setelah keluhan menghilang.

Berdasarkan pembahasan kasus ini, didapatkan adanya kesesuaian antara teori dan kasus.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang dilakukan pada kasus ini,
mendukung kearah diagnosis dari urtikaria dan angioedema et causa obat. Demikian juga
penatalaksanaan kasus ini sudah sesuai dengan panduan penanganan urtikaria dan
angioedema et causa obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI, 2009, Pedoman Pelayanan Medis, hal: 61, Jakarta, IDAI


2. Aberer W, Bircher A, Romana A et al,. Drug provocation testing in the diagnosis of
drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy 2003; 58;854-638.
3. Aisah. Urtikaria. Dalam : Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Jakarta:
FKUI. 2005: 169-76.

4. Habif. Urticaria. Dalam : Baxter. Clinical Dermatology. Edisi 3. USA : Mosby-year


Book Inc. 1996 : 145-67.

5. Melissa.S. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. CDK vol.44. No.3


6. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR et al,. BSCAI guidelines for the management of
drug allergy. ClinExp Allergy 2009; 39;43-6.

7
8
Refleksi Kasus

URTIKARI GENERALISATA DAN ANGIOEDEMA ET CAUSA SUSPEK ALERGI


OBAT (PARACETAMOL, ZENIREX, SOLPENOX)

Oleh:
Putu Shinta Pramitha
167008019

Pembimbing:
dr. I Putu Wijana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SANJIWANI GIANYAR/PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
TAHUN 2017

You might also like