You are on page 1of 17

0

UJI DAYA ANTI JAMUR DAUN PACAR KUKU (Lawsonia


Inermis L) TERHADAP CANCICA ALBICANS

Oleh:
YEYEN YARNIA
NPM: 10313002

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS TULANG BAWANG
BANDAR LAMPUNG
2011
1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Candida telah muncul sebagai salah satu infeksi nosokomial yang

paling penting diseluruh dunia dengan angka morbiditas, mortalitas dan

pembiayaan kesehatan yang bermakna. Penggunaan antijamur untuk

profilaksis dan penatalaksanaan infeksi candida telah mengubah

epidemiologi dan penatalaksanaan infeksi ini. Lebih dari 150 spesies

Candida telah diidentifikasi. Sebanyak paling sedikit 70% infeksi Candida

pada manusia disebabkan oleh Candida Albicans, sisanya disebabkan oleh

C. Tropicalis, C. Parapsilosis, C. Guillermondii, C. Kruzei dan beberapa

spesies Candida yang lebih jarang.

Candida albicans adalah flora normal pada membran mukosa rongga

mulut, saluran pernafasan, saluran percernaan dan organ genitalia

perempuan. Candida albicans dikenal sebagai mikroorganisme oportunistik

pada tubuh manusia, pada keadaan tertentu jamur ini mampu menyebabkan

infeksi dan kerusakan jaringan.

Akhir-akhir ini semakin banyak alternatif pengobatan menggunakan

bahan alami sebagai antimikroba karena bahan alami ini mempunyai efek

samping yang rendah, kurang toksis dan mempunyai sifat biodegrabilitas yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan obat-obatan konvensional.

World Health Organization (WHO) telah menyarankan negara-negara

membangun untuk memanfaatkan penggunaan pengobatan tradisional dalam

bidang kesehatan7. Selain itu pemerintah Indonesia juga mendukung tanaman

obat tradisional sebagai alternatif pengobatan karena negara Indonesia


2

merupakan negara yang kaya akan tumbuhan tradisional. Salah satu tumbuhan

tradisional tersebut adalah daun pacar kuku.

Hasil penelitian Soemiati (2000) tentang uji aktivitas daya antijamur

ekstrak daun pacar kuku (Lawsonia inermis L.) terhadap Candida albicans

dari Trichophyton mentagrophytes menyatakan bahwa zat aktif yang

terkandung yaitu senyawa flavonoida golongan flavanol. Zat ini

menunjukkan aktifitasnya terhadap Candida albicans. Hal inilah yang

melatarbelakangi penelitian ini sehiungga diharapkan diketahui kemampuan

daun pacar kuku (Lawsonia inermis L.) dalam menghambat pertumbuhan

jamur Candida albicans.

I.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daun pacar kuku

(Lawsonia inermis L.) terhadap jamur Candida albicans.

I.3 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat bahwa daun pacar kuku (Lawsonia inermis L.) mempunyai daya

hambat terhadap jamur Candida albicans


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tumbuhan Daun Pacar Kuku (Lawsonia inermis L.)

II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Syamsuhidayat dan Jhonny (1991), tumbuhan pacar kuku

(Lawsonia inermis L.) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Diviso : Spermatophyta

Sub Diviso : Angiospermae

Class : Dicotyledonae

Ordo : Myrtales

Famili : Lythraceae

Genus : Lawsonia

Spesies : Lawsonia inermis L.)

Tumbuhan ini mempunyai nama daerah Ineng (Aceh), Kacar (Gayo), Ine

(batak) Inae Batang (Minangkabau) Bunga Laka (Timor) Daun Laka (Ambon)

Kayu Laka (Meando) Pacar kuku (Sunda, Jawa Tengah) Pacar (Madura, Dayak),

Tilangga Tutu (Sunda) Kolondigi (Buol) Karuntigi (Ujung Padang) Paci (Bugis)

Bunga Jari (Halmahera) Laka Bobudo (Ternate) Laka Kahori (Tidore).

Pacar Kuku (Lawsonia inermis L.) adalah tumubhan perdu dengan tinggi 1

- 4 Meter. Batang berbentuk bulat, berkayu, berduri warna putih kotor. Daun

tunggal, duduk berhadapan, bentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi

rata, pertualangan menyirip, panjang 1 -5 cm, lebar 1-3 cm, warna hijau. Bunga

majemuk, bentuk malai, benang sari delapan, putik satu, bulat, putih, mahkota

bentuk ginjal, warna kuning kemerahan. Buah berbentuk kotak, beruang dua,
4

diameter 7 mm, warna hitam. Biji kecil berbentuk segitiga, warna coklat

kehitaman. Akar berbentuk tunggang dengan warna kuning muda.

II.1.2 Kandungan dan Manfaat

Tumbuhan pacar kuku (Lawsonia inermis L.) mengandung senyawa saponin,

flavonoida dan tanin. Menurut Markham (1988), Flavonoid merupakan salah satu

golongan fenol alam yang terbesar, kira-kira 2% dari seluruh karbon yang

difotosintesis oleh tumbuhan yang diubah menjadi Flavonoid, atau senyawa lain

yang berkaitan erat dengannya. Senyaea golongan fenol banyak digunakan

sebagai antiseptik dan desinfektan yang mekanisme kerjanya berdasarkan

denaturasi protein sel bakteri (Tjay dan Kirana, 1979).

Tumbuhan pacar kuku (Lawsonia inermis L.) merupakan salah satu

tumbuhan obat Indonesia yang digunakan sebagai peluruh haid dan obat

keputihan. Umumnya masyarakat menggunakan pacar kayu dengan cara rebusan.

Cara yang paling sering digunakan untuk peluruh haid adalah 30 gram daun

segar Lawsonia inermis L., direbus dengan 2 gelas air selama 15 menit, setelah

dingin disaring. Hasil saringan ditambah 1 sendok teh madu, diaduk sampai rata,

diminum sehari dua kali sama banyak pagi dan sore.

II.2 Jamur Candida albicans

II.2.1 Klasifikasi

Munurut Dwidjoseputro (1978), Candida albicans dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota
5

Subphylum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Order : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Species : C. albicans

Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans

Gambar 2. Sel Candida Albicans

II.2.2 Gambaran Umum

Candida albicans adalah jamur diploid dan agen oportunistik yang mampu

menyebabkan infeksi pada daerah oral dan genital pada manusia. Candida

albicans adalah sebagian dari mikroorganisme flora normal rongga mulut, mukosa

membran, dan saluran gastrointestin.

Candida albicans mengkolonisasi di permukaan mukosa pada waktu atau

sesudah kelahiran manusia dan resiko untuk terjadinya infeksi selalu didapat.

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk

tumbuh dalam dua bentuk berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang

menjadi blastospora dan menghasilkan germ tube yang akan membentuk


6

pseudohifa. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang

mempengaruhinya yaitu suhu, pH dan sumber energi.

Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan

terus memanjang membentuk pseudohifa yang terbentuk dengan banyak

kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong disekitar septum. Pada

beberapa strain blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol,

dalam jumlah sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang

berdinding tebal dan berdiameter sekitar 8 -12.

Candida albicans dapat tumbuh pada beberapa variasi pH tetapi

pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh

pada suhu 28oC - 37oC. Candida albicans membutuhkan senyawa organik

sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses

metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat.

Jamur ini merupakan organisme fakultatif anaerob yang mampu

melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses

peragian (fermentasi) pada Candida albicans dilakukan dalam suasana anaerob.

Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukan

metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan H2O dalam

suasana aerob. Sedangkan suasana anaerob hasil fermentasi berupa asam laktat,

etanol dan CO2. Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan persediaan bahan

bakar yang diperlukan untuk proses oksidasi dan pernafasan. Pada proses

asimilasi, karbohidrat dipakai oleh Candida albicans sebagai sumber karbon

maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel.


7

II.2.3 Struktur Fisik

Dinding sel Candida albicans berfungsi sebagai pelindung dan sebagai

target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan dalam proses perlekatan

dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel tersebut memberi

bentuk pada sel dan melindungi sel yeast dari lingkungannya. Candida albicans

mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm.

Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein

berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat kering dinding sel, -1,3-D-glukan dan 1,6-

D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7 %.

Dalam bentuk yeast, kecambah dan miselium, komponen-komponen ini menunjukkan

proporsi yang serupa tetapi bentuk miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak

dibandingkan dengan sel yeast. Dinding sel Candida albicans terdiri dari lima lapisan

yang berbeda yaitu fibrillar layer, mamoprotein, glucan, glucan-chitin dan

membran plasma.

II.2.4 Patogenesis

Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel pejamu menjadi syarat

mutlak untuk berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi

antara mikroorganisme dan sel pejamu diperantari komponen spesifik dari dinding

sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor. Manan dan manoprotein merupakan

molekul-molekul Candida albicans yang mempunyai aktifitas adhesif. Khitin,

komponen kecil yang terdapat pada dinding sel Candida albicans juga berperan

dalam aktifitas adhesif. Setelah terjadi proses perlekatan, Candida albicans

berpenetrasi ke dalam sel epitel mukosa. Enzim yang berperan adalah


8

aminopeptidase dan asam fosfatase. Proses penetrasi yang terjadi tergantung dari

keadaan imun dari pejamu.

Pada umumnya Candida albicans berada dalam tubuh manusia sebagai

saprofit dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh

pejamu. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan meningkatnya kasus kandidiasis

antara lain disebabkan oleh :

1. Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk, misalnya: bayi

baru lahir, orang tua rentan, penderita penyakit menahun, orang-orang dengan

gizi rendah.

2. Penyakit tertentu, misalnya: diabetes mellitus

3. Kehamilan

4. Permukaan kulit yang lembab karena terpapar oleh air, keringat, urin atau

saliva.

5. Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.

Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan Candida

albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena

adanya perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang

menjadi pseudohifa dan tekanan dari pseudohifa tersebut merusak jaringan,

sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi ditentukan oleh

kemampuan jamur tersebut merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan.

Enzim-enzim yang berperan sebagai faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik

seperti proteinase, lipase dan fosfolipase.

Keberadaan daripada pseudohifa Candida albicans yang ditemukan merupakan

indikator daripada infeksi Candida (kozinn & Taschidjian, 1962). Hifa atau
9

pseudohifa lebih sering ditemukan pada pasien denture stomatitis daripada pasien

yang menggunakan protesa tanpa denture stomatitis.

Candida albicans yang dikultur pada media Sabouraud Dekstrosa Agar (SDA)

pada temperatur 37oC setelah 48 jam akan memperlihatkan koloni berbentuk bulat

dengan permukaan sedikit cembung, licin, berwarna krem, halus, berbentuk pasta,

mempunyai bau jamur, dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat pada koloni yang

sudah tua.

II.3 Antimikroba

Menurut Ganiswarna (1995), antimikroba adalah zat pembasmi mikroba,

khusunya mikroba yang merugikan manusia.

Berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi menjadi:

1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba

2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba

4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba

5. Antimikroba yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel

mikroba.

Menurut Tjay (2007) penggolongan antimikroba berdasarkan mekanisme

kerjanya adalah sebagai berikut:

1. Antibiotika: griseofilvin dan senyawa polyen (amfoterisin B dan Nistatin)

yang pada umunya bekerja fungistatik. Mekanisme kerjanya adalah

melalui pengikatan diri pada zat-zat zterol di dinding sel jamur. Akibatnya

adalah kerusakan membran sel dan peningkatan permeabilitasnya,


10

sehingga komponen intraseluler yang penting untk kehidupan sel jamur

merembes keluar. Akhirnya sel-sel jamur tersebut mati.

2. Derivat inidazol: mikonazol, ketokonazol, klotrimazol, bifonazol,

ekonazol, isokonazol dan tiokonazol. Mekanisme kerjanya berdasarkan

berdasarkan pengikatan pada enzim sitokrom P450, sehingga sintesa

ergosterol yang perlu untuk pembinaan membran sel jamur. Pada

penggunaan sistemik, sistem enzim manusia juga dapat dirintangi yang

mengakibatkan adanya efek samping. Bekerja fungistatik terhadap

dermatofit dan ragi, juga bakteriostatik lemah terhadap kuman gram

positif.

3. Derivat triazol: flokonazol dan itrakonazol. Pada umumnya bekerja

fungistatik dengan mekanisme kerja seperti imidazol, tetapi bersifat

selektif bagi sistem enzim jamur daripada terhadap sistem enzim manusia,

maka kurang menghambat sintesa steroida. Bekerja terhadap dermatofit

dan Candida, itrakonazol juga terhadap Aspergillus. Obat-obat ini khusus

digunakan secara sistemik.

4. Asam-asam organik : asam benzoat, salisilat, propionat, kaprilat dan

undesilinat.

5. Lainnya: terbinafin, flusitosin, tolnaftat, haloprogin, naftifin, selenium

sulfida.
11

Menurut Lay dan Sugyo (1992), uji daya antimikroba dapat dilakukan dengan

cara:

1. Uji pengenceran (Delution Test)

Pada uji ini zat antimikroba diencerkan, kemudian ditambahkan bakteri

penguji. Pengamatan didasarkan pada kekeruhan yang terjadi dalam

tabung. Cara ini dapat ditentukan jumlah terendah yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan mikroba secara in vitro, jumlah terendah ini

disebut minimal inhibitory concentration (MIC)

2. Uji Difusi (Diffusion Test)

Pada uji ini zat yang akan ditentukan aktivitas antimikrobanya berdifusi

pada lempeng agar yang telah ditanami mikroba yang akan diuji. Dasar

pengamatannya adalah terbentuk atau tidaknya zona hambat disekeliling

cakram yang berisi zat antimikroba. Uji difusi ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara:

a. Metode Cakram Kertas

Pada cara ini digunakan cakram kertas yang mengandung antimikroba

dengan konsentrasi tertentu. Cakram kertas yang mengandung zat

antimikroba diletakkan diatas lempeng agar yang telah ditanami

mikroba, kemudian diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang

sesuai dengan jenis mikrobanya. Selanjutnya dilihat ada atau tidaknya

zona hambat disekeliling kertas cakram.

b. Metode Parit

Pada medium agar yang ditanami mikroba dibuat parit, kemudian diisi

dengan zat antimikroba dan diinkubasi pada suhu dan jangka waktu
12

yang sesuai untuk jenis mikrobanya. Pengamatan dilakukan atas ada

atau tidaknya zona hambat disekeliling parit

c. Metode Lubang atau Cawan

Pada medium agar yang ditanami mikroba dibuat lubang, kemudian

diisi dengan zat antimikroba, setelah diinkubasi pada suhu dan jangka

waktu yang sesuai dengan jenis mikrobanya, pengamatan dilakukan

dengan melihat ada atau tidaknya zona hambat disekeliling lubang.


13

III.METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium FMIPA Farmasi

Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung pada bulan Februari sampai dengan

bulan April Tahun 2011.

III.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, jarum ose,

autoklaf, oven, rak tabung reaksi, tabung reaksi, erlemeyer, pipet, gelas ukur,

lampu busen, mikroskip, timbangan, haemocytometer, dan Spektrofotometer

Spectronic 20. bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pacar kuku

(Lawsonia inermis L), kultur jamur Candida Albicans, media Sabourauds Dextra

Agar (SDA), media Sabourauds Cair, kertas saring, kertas cakram, aquades,

metilen biru, dan alumunium foil.

III.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap

(RAL) dengan tiga kali ulangan. Pada penelitian ini digunakan dau pacar kuku

(Lawsonia inermis L) dengan konsentrasi 100%b/v, 80%v/v, 60%v/v, 40%v/v,

20%v/v, dan kontrol.


14

III.4 Pembuatan Ekstrak Daun Pacar Kuku

Sebanyak 100 gram daun pacar kuku (Lawsonia inermis L) segar dicuci

bersih. Tambahkan aquades 100 ml, rebus pada suhu 90 C. Selama 30 menit,

disaring kemudian ditambah aquades steril sampai volume 100 ml. Ekstrak yang

diperoleh merupakan ekstrak dengan konsentrasi 100%b/v. Lakukan pengenceran

dengan menggunakan aquades steril untuk mendapatkan konsentrasi 80%v/v,

60%v/v, 40%v/v, 20%.

III.5 Pembuatan Suspensi Jamur Candida Albicans

Biakan murni jamur candida albicans yang diperoleh dari Laboratorium

Balai Kesehatan Bandar Lampung, diperbanyak dalam media agar miring SDA

dan diinkubasi selama 2 hari pada suhu 27-30 C. Candida Albicans disuspensikan

ke dalam aquades steril yang menggunakan jarum ose sampai homogen,

kemudian diukur transmitannya dengan Spektrofotometer Spectronic 20, diatus

sampai 90% T pada panjang gelombang 530 nm.

III.6 Penguji Daya Antijamur Daun Pacar Kuku (Lawsonia inermis L)

III.6.1 Tehnik difusi dengan menggunakan metode kertas cakram (Anonim,

1993)

Sebanyak 15 ml media SDA dicampur homogen dengan 0,05 ml suspensi

jamur, kemudian dituang kedalam cawan petri steril dan dibiarkan menjadi padat.

Cakram kertas yang telah dicelupkan kedalam larutan diletakkan diatas lempeng

agar dengan menggunakan pinset. Cawan petri diinkubasi pada suhu 27-30C

selama 2 hari diamati zona jernih yang terbentuk disekitar cakram kertas.
15

III.6.2 Tehnik dilusi dengan menggunakan Metode Pengenceran (Lay, 1994)

Beberapa tabung reaksi, diisi dengan 5 ml campuran media Sabourauds Cair

dengan konsentrasi eksktrak yang akan diuji. Masing-masing tabung ditambah

0,02 ml suspensi jamur Candida albicans. Selain itu digunakan beberapa tabung

reaksi sebagai kontrol media yang berisi media tanpa biakan dan ekstrak, kontrol

biakan yang berisi media dengan biakan tanpa ekstrak, kontrol ekstrak dengan

media tanpa biakan. Masing-masing tabung diinkubasi selama 2 hari dengan suhu

27-30 C. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang hidup.

III.7 Pengamatan

III.7.1 Pengukuran Zona Jernih

Setelah 2 hari diinkubasi, zona jernih yang terbentuk disekitar cakram kertas

diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong.

III.7.2 Penghitungan Jumlah Sel

Data diperoleh berdasarkan perhitungan jumlah sel candida albicans yang

hidup setelah 2 hari diinkubasi pada suhu 27-30C dengan menggunakan

haemocytometer dibawah mikroskop. Zat warna digunakan sebagai indikator

untuk membedakan sel yang hidup dan sel yang mati. Sel mati akan berwarna biru

sedangkan sel yang hidup tidak berwarna.

Menurut Hadioetomo (1993), jumlah sel dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

Jumlah sel = U sel/ml = N x 104sel/ml


ml 10-4
16

Keterangan:

N : Jumlah sel dalam 25 kotak besar

Luas 25 Kotak besar : 1 mm2

Volume 25 Kotak Besar : 0,1 mm3 = 10-4cm3 = 10-4ml

III.8 Analisa Data (Hanafiah, 1987)

Data zona hambat dan jumlah sel yang diperoleh dianalisa dengan analisa

ragam, dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata

5%.

You might also like