You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal
disejumlah neuron otak.1,2 Klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy
(ILAE) tahun 1981 terdapat tiga tipe epilepsi yaitu epilepsi parsial/fokal, epilepsi umum, dan
tidak tergolongkan. Epilepsi parsial/fokal meliputi parsial sederhana, parsial kompleks, dan
parsial yang menjadi umum. Bangkitan umum meliputi lena, mioklonik, klonik, tonik, tonik-
klonik, dan atonik. dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Epilepsi
dapat menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita dan
keluarganya oleh karena itu keterampilan petugas kesehatan dalam pengetahuan dan
penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.
Insiden epilepsi pada populasi umum diperkirakan 20-70 per 100.000 orang per tahun,
dan insiden tertinggi terdapat pada neonatus.2,3 Pertambahan kasus baru sebesar 70.000 setiap
tahun dan 40%-50% terjadi pada anak-anak.3 World Health Organization menyebutkan, insiden
epilepsi di Negara maju yaitu 50/100.000 penduduk, sedangkan di Negara berkembang
100/100.000. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita
epilepsi dibandingkan dengan perempuan. Ditinjau dari jenis kejang, terbanyak ditemukan
epilepsi umum tonik-klonik.3,4 Sebanyak 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui
penyebabnya.1,2 Faktor risiko epilepsi yang sudah diketahui yaitu penyakit serebrovaskular
(11%), kemudian defisit neurologis sejak lahir, retardasi mental dan atau cerebral falsy (8%),
dan riwayat kejang demam yang berlangsung lama, hal ini diduga disebabkan oleh adanya
kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama didaerah yang peka
seperti hipokampus dan amigdala.6
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik yang ditandai dengan kejang
berulang yang muncul tanpa provokasi.1,7 Terjadinya epilepsi disebabkan oleh adannya
depolarisasi berlebihan di sejumlah neuron otak.1 Neuron memiliki potensial membran, hal ini
terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron.
Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit.

1
Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi
membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran.
Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah
epilepsi. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang
berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi
bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada
eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak,
namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan
disfungsi fisik dan retardasi mental.1,2
Gejala klinis epilepsi dapat dilihat sebelum, selama, dan sesudah bangkitan. Gejala
sebelum bangkitan/gejala prodomal seperti kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk dan menjadi sensitif. Gejala selama bangkitan seperti pola bangkitan, deviasi mata,
vokalisasi, aumatisasi, inkontinensia, lidah tergigit, pucat dan berkeringat, gerakan pada salah
satu atau kedua lengan dan tungkai. Gejala pasca bangkitan seperti bingung, langsung sadar,
nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.1,2
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam
penegakkan diagnosis adalah dengan melakukan anamnesis, baik secara auto-anamnesis ataupun
allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal yang terkait seperti gejala dan
tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan. Ditanyakan apakah ada hal-hal yang memicu
munculnya bangkitan kejang seperti, kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, dan
alkohol. Ditanyakan pula usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, terapi epilepsi dan
respon terhadap Obat anti epilepsi (OAE) sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang, riwayat
epilepsi dikeluarga, Riwayat saat dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang. Ada
beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epilepsi, seperti pingsan, reaksi konversi,
panic dan gerakan movement disorder.1,2,3
Diagnosis banding epilepsi pada anak yaitu breath holding spells yaitu serangan nafas
terhenti sejenak, faktor pencetus berupa marah, takut, sakit atau frustasi. Biasanya anak
menangis kuat sebentar kemudian menahan nafas panjang dan dalam kemudian menjadi sianosis,

2
lemas, dan tidak sadar. Pada waktu sianosis diikuti kekakuan seluruh tubuh, kemudian diikuti
sentakan (jerks), kemudian anak bernafas kembali dan menjadi sadar.1,8
Diagnosis epilepsi lebih didasarkan atas gambaran klinis saat terjadi bangkitan, namun
temuan pemeriksaan Elektro Enchephalografi (EEG) dengan interpretasi yang didukung data
klinis sering dapat membantu diagnosis. Diantara temuan EEG yang memiliki kemaknaan tinggi
pada kasus epilepsi adalah gelombang interictal epileptiform discharge (IED), yaitu gelombang
epileptik yang muncul diantara bangkitan.4 Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya
bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa gambaran
epileptiform pada EEG atau adanya riwayat orang tua atau saudara kandung yang menderita
epilepsi, serta adanya riwayat trauma yang menyebabkan kerusakan SSP serta adanya riwayat
kerusakan pada pembuluh darah otak.1,2
Tujuan utama penatalaksanaan epilepsi adalah menghentikan kejang dengan menghambat
penyebaran kejang dan menghambat inisiasi kejang.1,3 Harapannya adalah bebas bangkitan,
tanpa efek samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya.
Penatalaksanaan pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologis dan non-farmakologis.1,3
Penatalaksanaan farmakologis diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimum dua bangkitan dalam setahun, penyandang dan atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan, penyandang dan atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE, bangkitan terjadi berulang walaupun faktor
pencetus sudah dihindari (misalnya : alkohol, kurang tidur, stress).1,4
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi, pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai, atau timbul efek samping. Bila dengan penggunaan OAE
pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan dengan OAE
kedua. Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
(taffering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap
diberikan. Bila respon yang didapat buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respon dengan OAE kedua, tetapi respon
tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal. OAE kedua harus
memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama.1,5

3
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
terdapat kondisi seperti, dijumpai fokus epileptogenik pada EEG, pada pemeriksaan MRI otak
dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan misalnya meningeoma, neoplasma otak, Artery
Venous Malformation (AVM) dan abses otak, pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan
yang mengarah pada adanya kerusakan otak, terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara kandung,
riwayat bangkitan simptomatis, terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi
seperti Juvenile myoclonic epilepsy, riwayat trauma pada kepala terutama yang disertai
penurunan kesadaran, stroke, infeksi system saraf pusat (SSP), dan bangkitan pertama berupa
status epileptikus.3
Pemberian OAE pada pasien epilepsi didasarkan pada tipe dari kejangnya. Untuk pasien
dengan kejang fokal, lini pertama obat yang diberikan adalah karbamazepin 10-30 mg/kgbb/hari
dibagi 2-3 dosis. Apabila obat tersebut toleransinya tidak baik, maka dapat diberikan
levetiracetam, oxcarbazepin dan sodium valproat. Pada pasien dengan kejang general tonik-
klonik, obat lini pertamanya adalah sodium valproate 15-40 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis.
Apabila obat lini pertama gagal, dapat diberikan clobazam, levetiracetam atau topiramat. Pada
tipe kejang lena (absence), obat lini pertama yang diberikan ethosuximide, sodium valproate, dan
lamotrigin. Obat lini kedua dapat diberikan kombinasi ethosuximide dengan lamotrigin atau
sodium valproat. Untuk Pasien dengan kejang tipe mioklonik, obat lini pertama yang dapat
diberikan sodium valproate, levetiracetam atau topiramat. Apabila obat lini pertama gagal harus
dirujuk ke spesialis dan dapat diberikam clobazam, clonazepam atau piracetam. Pada pasien
dengan kejang tonik atau atonik, diberikan sodium valproat sebagai lini pertama dan lamotrigin
sebagai lini kedua.5
Selama pemberian OAE harus dilakukan pemeriksaan darah rutin jika terdapat indikasi.
Indikasi pemeriksaan darah rutin yaitu: mendeteksi ketidakpatuhan meminum obat, curiga
adanya toksisitas, pengaturan dosis fenitoin, dan kondisi khusus (status epileptikus, kerusakan
organ dan kehamilan). Pemeriksaan darah yang dilakukan antara lain: darah lengkap, elektrolit,
enzim liver, level vitamin D dan kalsium serum. Apabila terdapat kelainan pada pemeriksaan
tersebut, maka dapat digunakan sebagai indikasi mengganti terapi.5
Pada pasien yang telah bebas kejang selama 2 tahun, harus didiskusikan dengan pasien dan
orang tuanya mengenai manfaat dan risiko apabila melanjutkan atau menghentikan terapi. Bila
obat akan dihentikan, sebaiknya penurunan dosis dilakukan secara perlahan pada umumnya 25%

4
dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan dan jika menggunakan lebih dari 1
obat, maka diturunkan satu persatu mulai dari obat yang tidak utama. Khusus untuk obat
golongan benzodiazepine dan barbiturat, penurunan dosis dilakukan tiap 6 bulan sekali karena
sering terjadi gejala withdrawal atau dapat kejang kembali.1,5
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab,
saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik.
Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50%
pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.1

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.I dentitas Pasien


Nama : DPPD
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 11 tahun
Alamat : Banjar Intaran,Pejeng, Gianyar
Agama : Hindu
Suku/bangsa : Bali/Indonesia
Ruang Rawat : Abimanyu
MRS : 26 Mei 2017
KRS : 27 Mei 2017
Lama Rawat : 1 hari
2.2 Anamnesis (Heteroanamnesis)
Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama: Kejang
Riwayat keluhan:
Pasien perempuan DPPD usia 11 tahun datang ke IGD RSUD Sanjiwani pukul 04.30 wita
dengan keluhan kejang. Kejang hanya 1 kali pada pukul 04.15 (15 menit sebelum tiba di
rumah sakit). Sampai di IGD kejang sudah hilang. Saat kejang tangan dan kaki pasien
menghentak-hentak, mata mendelik ke atas, dan saat kejang pasien tidak sadar. Durasi
kejang 5 menit. Sebelum kejang pasien melakukan gerakan mengunyah dan memanggil-
manggil nama ibunya, setelah kejang pasien lemas, diam, malas bicara, namun ibu pasien
tetap mengajak pasien untuk mengobrol agar tidak tertidur karena takut pasien kejang lagi.
Keluhan lain seperti panas, batuk, pilek tidak ditemukan. Keluhan seperti mual, muntah, dan
sakit kepala juga tidak ditemukan.

6
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien memiliki riwayat kejang sejak usia 3 tahun, kejang saat itu didahului oleh demam.
Tahun 2011 pasien dikatakan oleh dokter mengalami epilepsi, dan pasien mendapatkan
pengobatan sirup sodium valproat. Pasien kejang terakhir pada tahun 2014, saat itu kejang
didahului dengan demam, kemudian pasien MRS di RSUD Sanjiwani Gianyar selama 7
hari. Ibu pasien memutuskan untuk menghentikan pengobatan untuk epilepsinya sejak bulan
januari 2017 karena pasien dikatakan sudah tidak kejang lagi selama lebih dari 2 tahun.
Riwayat penyakit kronis seperit diabetes melitus, penyakit jantung, disangkal oleh keluarga
pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pada orang tua tidak ada yang mengalami riwayat kejang demam atau epilepsi.

Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak pertama dan tinggal bersama orang tuanya. Saat ini pasien
bersekolah di SLB yang ada di Gianyar, pasien sudah kelas 4. Pasien dikatakan aktif
bermain bersama temannya baik di sekolah maupun di rumah.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan, usia kehamilan kurang bulan, ibu pasien melahirkan pada usia
kehamilan 6 bulan karena mengalami perdarahan serta ketuban pecah sebelum waktunya.
Ibu pasien melahirkan di RS MAS ditolong oleh dokter dengan BBL 1000 gr, PB, LK dan
LD lupa. Saat lahir pasein dikatakan menangis lemah, kemudian pasien dirawat di NICU
selama 3 bulan, pasien dipulangkan dengan berat badan 1600 gram.

Riwayat Imunisasi
Riwayat Imunisasi pasien dikatakan lengkap dan sesuai jadwal.

7
Riwayat Nutrisi
ASI : 0 6 bulan
Susu formula : 0 bulan 18 bulan
Bubur susu : 8 bulan
Bubur saring : 10 bulan
Nasi tim : 12 bulan
Makanan dewasa : 12 bulan-sekarang

Riwayat Perkembangan
Menegakkan kepala : lupa
Membalik badan : lupa
Duduk : lupa
Merangkak : lupa
Berdiri : 2 tahun
Berjalan : 3 tahun
Bicara : 4 tahun

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status present
Kesadaran : Baik
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
Respirasi : 20 x/menit,
Temp. Aksila : 36,5 C
Status general
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sclera ikterik -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT

8
Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret (-), konka kongesti (-/-), konka hiperemis (-/-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), Tonsil T1/T1
Mulut : celah palatum (-), sianosis (-)
Leher : Inspeksi : benjolan (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Auskultasi : bruit (-)
Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tak tampak (-)
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS IV MCL Sinistra, thrill (-)
Perkusi : batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Paru : Inspeksi : simetris (+), retraksi (-)
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+), hepar dan lien tidak membesar
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Anus : (+)
Ekstremitas : CRT: <2 detik, akral hangat (+/+), edema (-/-)
Status Neurologis:
Tenaga Reflek fisiologis

Tonus Reflek patologis

Trofik

9
Meningeal sign : ( - )

Status Antropometri
Berat Badan : 40 Kg
Tinggi Badan : 155cm
Berat Badan Ideal (CDC): 37 Kg
Status Gizi berdasarkan CDC :
BB/U : P50-P75 (Normal)
TB/U : P95 (Normal)
Status Gizi menurut Waterlow : 108% (gizi baik)

2.4 Diagnosis
Epilepsi

2.5 Penatalaksanaan
- MRS
- Asam Valproat 25 mg/kg/hari ~10 ml tiap 12 jam (oral)
- KIE
- Planing EEG
Monitoring:
Keluhan
Vital sign
Kejang

2.6 Follow Up Pasien Selama Dilakukan Perawatan


Tanggal S O A P
Pemeriksaan
26 Mei 2017 Kejang (-) St. Present Epilepsi Asam Valproat
Hari ke I TD:110/70mmHg membaik 25 mg/kg/hari

10
Perawatan jam HR:88 x/menit ~10 ml tiap 12
ke-5. RR:20 x/menit jam (oral)
Tax:36,5oC
St.General:
Dalam batas
normal
St.Neurologis:
Dalam batas
normal

27 Mei 2017 Kejang (-) St. Present Epilepsi Stabil Asam Valproat
Hari ke II TD:110/70mmHg 25 mg/kg/hari
HR:88 x/menit ~10 ml tiap 12
RR:20 x/menit jam (oral)
Tax:36,5oC Rencana pulang
St.General: KIE untuk
Dalam batas minum obat
normal secara teratur dan
St.Neurologis: sesuai dosisnya.
Dlama batas KIE agar tidak
normal menghentikan
obat secara tiba-
tiba dan tanpa
anjuran dokter.

11
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus ini termasuk kasus epilepsi karena pada kasus pasien mengalami kejang dengan durasi
lima menit, saat kejang pasien tidak sadar kejang sebanyak empat kali dalam waktu empat tahun
terakhir dan pasien memiliki riwayat epilepsi saat umur tiga tahun dan kejang terjadi tanpa
provokasi. Kasus sesuai dengan teori yaitu epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus-menerus, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal disejumlah neuron otak.1,2
Pada kasus pasien perempuan berusia 11 tahun mengalami kejang selama lima menit
selama kejang tangan dan kaki menghentak-hentak, dan selama kejang pasien tidak sadar. Kasus
ini sesuai dengan teori dimana insiden epilepsi terbanyak terjadi pada anak-anak, kasus
terbanyak terjadi pada laki-laki, namun tidak ada perbedaan ras. dan ditinjau dari jenis kejang,
terbanyak ditemukan epilepsi umum tonik-klonik.6,7
Etiologi epilepsi sampai saat ini belum diketahui, namun penyebab terbanyak adalah
idiopatik yang berhubungan dengan faktor genetik, penyebab lain epilepsi yaitu adanya
kerusakan SSP,bayi prematur, dan adanya riwayat kejang demam.1,2 Sesuai dengan teori pada
kasus penyebab pasti epilepsi belum diketahui, namun ada faktor risiko pada pasien yaitu lahir
dengan berat badan lahir sangat rendah yaitu 1000 gram,dengan usia kehamilan kurang bulan (6
bulan) dan pada usia 3 tahun pasien pernah mengalami kejang demam sebanyak dua kali.
Gejala klinis epilepsi dapat dilihat sebelum, selama, dan sesudah bangkitan. Gejala
sebelum bangkitan/gejala prodomal seperti kondisi fisik dan psikis. Gejala selama bangkitan
sesuai pola bangkitan. Gejala pasca bangkitan seperti bingung, langsung sadar, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah.1,2 Sesuai pada kasus dimana pasien menunjukkan gejala epilepsi yaitu
sebelum bangkitan pasien mengalami perubahan prilaku yaitu melakukan gerakan mengunyah,
dan selama kejang tangan dan kaki pasien menghentak-hentak, dan mata mendelik keatas.
Setelah kejang pasien kelelahan dan tertidur.

12
Pada kasus pasien didiagnosis dengan epilepsi karena pasien mengalami kejang berulang
tanpa provokasi. Sesuai pada teori diagnosis epilepsi ditegakkan apabila terdapat bangkitan
epilepsi berulang tanpa provokasi (minimal 2x) dengan atau tanpa gambaran epileptiform pada
EEG, atau dapat ditegakkan apabila orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat epilepsi,
adanya riwayat trauma yang menyebabkan kerusakan pada SSP.1,2
Diagnosis epilepsi lebih didasarkan atas gambaran klinis saat terjadi bangkitan, namun
temuan pemeriksaan Elektro Enchephalografi (EEG) dengan interpretasi yang didukung data
klinis sering dapat membantu diagnosis. Diantara temuan EEG yang memiliki kemaknaan tinggi
pada kasus epilepsi adalah gelombang interictal epileptiform discharge (IED), yaitu gelombang
epileptik yang muncul diantara bangkitan.4 Pada pasien diagnosis sudah bisa ditegakkan dari
gambaran klinis pasien, dan tidak dilakukan pemeriksaan EEG.
Pasien dengan riwayat kejang demam akan lebih mudah mengalami epilepsi serta akan
mengalami keterlambatan dalam perkembangan, hal ini disebabkan karena adanya kerusakan
pada sejumlah neuron-neuron otak ketika terjadinya kejang, selain itu terdapat kerusakan pada
system limbik yaitu hipokampus dan amigdala menyebabkan penderita mengalami gangguan
emosi dan mengalami kelainan pada fungsi intelektual dan defisit pada kemampuan adaptif yang
terjadi sebelum usia dewasa.2 Sesuai pada kasus pasien memiliki riwayat kejang demam, serta
mengalami keterlambatan dalam perkembangan.
Pasien diberikan obat sodium valproat dengan dosis 25 mg/kgBB/hari~10 ml/kali, serta
ibu pasien diberikan KIE untuk mengontrol pemberian obat agar selalu tepat waktu, dan tidak
menghentikan pengobatan secara tiba-tiba. Penatalaksanaan epilepsi pada kasus sudah sesuai
dengan teori, pada pasien anak dengan jenis bangkitan tonik-klonik umum dapat diberikan terapi
farmakologis yaitu sodium valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis, serta keluarga harus
diberikan edukasi mengenai kepatuhan minum obat, serta penghentian pengobatan.5
Prognosis pasien dengan epilepsi berdasarkan pada beberapa hal, diantaranya saat
pengobatan dimulai, jenis epilepsi, dan ketaatan minum obat. pada umumnya prognosis epilepsi
cukup baik.1 Pasien pada kasus sempat menghentikan pengobatan secara tiba-tiba sehingga
mengalami serangan epilepsi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumastuti, K, Gunadharma, S,Kustiowati,E.2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok


Studi Epilepsi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Universitas
Airlangga.Surabaya.pp.1-55.
2. Tracy,A, Tobias,L. 2013. Management of Childhood Epilepsy. American Academy of
Neurology. America. pp. 656-680.
3. Pedoman Pelayanan Medis RSUP Sanglah Denpasar. 2010. Bayi Berat Lahir Rendah . pp. 315-
319.
4. Neeta,N. 2009. Guidline for Diagnosis and Management of Childhood Epilepsy. Expert
Committee on Pediatric Epilepsi, Indian Academy of Pediatric. pp. 681-698.
5. NICE Clinical Guidline. 2013. The diagnosis and management of the epilepsies in adults and
children in primary and secondary care.NICE.UK, pp.1-116.
6. Major P,Thiela EA. 2007.Seizure in Children: laboratory, diagnosis, and management. Pediatric
Rev;28: 405-14
7. Preux PM,Cabanac MD.2007.Epidemiology and aetiology of epilepsy in sub Saharan Africa.
Lancet Neurol;4:21-31
8. World Health Organizatio.2005. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of Epilepsy.
Fact Sheet. URL. http : // www.who.in/inf-fs/en/fact 165.html.

14

You might also like