Professional Documents
Culture Documents
lebih luas daripada hanya satu persil seperti yang dialami oleh bidang arsitektur. Karena dapat
dilihat sebagai ekstensi dari bidang Arsitektur, maka bidang Perancangan Kota (Urban Design)
sering pula disebut sebagai Arsitektur Kota.
Gambar II-2 :Perancangan Kota sebagai ekstensi Arsitektur dan sebagai implementasi
Perencanaan Kota
Sebagai implementasi rencana kota, perancangan kota mempunyai implikasi sebagai berikut:
a) Mengacu pada program atau isi rencana kota
Rencana kota yang berimplikasi ke kawasan dapat berupa: pelestarian kawasan
bersejarah, penataan kembali atau revitalisasi pusat kota, pengembangan kota baru,
pengembangan kawasan perumahan dan sebagainya. Perancangan kota dapat
mengimplementasikan program-program tersebut, sehingga dapat dikembangkan proyek
perancangan kota berkaitan dengan pelestarian kawasan bersejarah, dan sebagainya.
Harry Anthony (dalam buku Antoniades, 1986: 326) memberi pengertian bahwa perancangan
kota merupakan pengaturan unsur-unsur fisik lingkungan kota sedemikian rupa sehingga dapat
berfungsi baik, ekonomis untuk dibangun, dan memberi kenyamanan untuk dilihat dan untuk
hidup di dalamnya. Frederick Gutheim (dalam Antoniades, 1986: 326) menyatakan bahwa
perancangan kota (urban design) merupakan bagian dari perencanaan kota (urban planning) yang
menangani aspek estetika dan yang menetapkan tatanan (order) dan bentuk (form) kota.
Selanjutnya, Antoniades (1986: 326) juga mendukung pendapat di atas bahwa perancangan kota
menangani permasalahan keindahan kota yang tercermin dari fisik kota yang dirancang oleh
perancang kota.
2. Perbedaan Perancangan Kota dengan Perencanaan
Kota dan Perancangan Arsitektur
Perencanaan kota memandang perancangan kota sebagai salah satu implementasi rencana
kota. Perencanaan kota (urban planning), meskipun berkaitan dengan tata ruang dan juga, antara
lain, ekonomi, sosial, budaya; tapi biasanya tidak berkaitan dengan kualitas visual lingkungan.
Perancangan arsitektural, di lain pihak, berfokus pada bangunan secara individual (tunggal).
Dari bahasan tentang perbedaan di atas, dapat ditarik ringkasan tentang perbedaan
perancangan kota dibanding perencanaan kota dan arsitektur, seperti gambar berikut:
bangunan di Kebijaksanaan
persil tunggal publik
Ruang umum &
bangunan-bangunan
dari aspek publik
Rencana kota adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis
dan non-teknis, baik yang ditetapkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah yang merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah
kota termasuk ruang di atas dan di bawahnya serta pedoman pengarahan dan
pengendalian bagi pelaksanaan pembangunan kota.
Selain itu, peraturan di atas juga menjelaskan bahwa suatu rencana kota bertujuan supaya
kehidupan warga kota menjadi aman , tertib dan lancar dan sehat melalui: a) Perwujudan
pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan kota. b)
Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang sejalan dengan tujuan serta
kebijaksanaan Pembangunan Nasional dan Daerah. Rencana kota (yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK) 2) Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) 3) Rencana Teknik Ruang Kota
(RTRK). Perbedaan antar ketiga macam rencana tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel III-1: Perbandingan antara macam rencana kota
Istilah komprehensif yang arti katanya ialah menyeluruh, dalam hal ini diartikan bahwa
dalam penelitian perencanaan semua aspek perkotaan dianalisis. Aspek-aspek tersebut, menurut
PerMendagri No. 2 Tahun 1987 Pasal 22 meliputi antara lain:
5) Aspek status penguasaan tanah 6) Aspek perekonomian 7) Aspek fasilitas dan utilitas
8) Aspek sistem transportasi 9) Aspek keruangan dan pembiayaan pembangunan kota 10)
Aspke kelembagaan Pemerintahan dan Pengelolaan Kota.
Berbagai aspek tersebut di atas juga menjadi kajian dalam perancangan kota. Selain itu,
beberapa masalah yang biasa dihadapi perancangan kota, seperti misalnya: citra kota
(image of the city), juga menjadi ba han masukan bagi proses perencanaan kota (tahap
penelitian perencanaan).
Untuk skala bagian wilayah kota, macam rencana kota yang secara umum mempengaruhi
perancangan kota adalah RDTRK, terutama bagian-bagian rencana yang berkaitan dengan:
1) macam pemanfaatan ruang kota
2) sistem jaringan fungsi jalan
3) sistem jaringan utilitas
4) kepadatan bangunan lingkungan
5) ketinggian bangunan
6) garis sempadan atau garis pengawasan jalan.
Untuk skala kawasan, bila telah ada RTRK, maka pra rencana teknis yang diatur dalam RTRK
juga menjadi pertimbangan dalam perancangan kawasan.
Disamping rencana kota, terdapat peraturan-peraturan atau kebijaksanaan Pemerintah
Daerah lainnya yang dapat mempengaruhi perancangan kota, yaitu antara lain: peraturan
bangunan, kebijaksanaan pelestarian bangunan bersejarah atau kawasan bersejarah, dan peraturan
Pemerintah tentang cagar budaya.
Untuk merumuskan unsur-unsur bentuk fisik kota, perlu dirumuskan terlebih dulu domain
atau lingkup bidang perancangan kota. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya,
perancangan kota (urban design) dalam hal ini dipandang sebagai bagian dari proses perencanaan
kota (urban planning) yang berkaitan dengan kualitas fisik lingkungan kota. Dalam hal kualitas
fisik ini, perencana dan perancang kota tidak akan dapat merancang seluruh unsur bentuk fisik
kota, kecuali bila yang dihadapi kota baru atau kawasan kosong yang akan direncanakan
(Shirvani, 1985:6).
Domain perancangan kota terbentang dari tampilan muka bangunan (eksterior) ke luar (ke
ruang publik diantara bangunan-bangunan). Berkaitan dengan ini Barnett (1974, dalam Shirvani,
1985: 6) mengatakan bahwa domain perancangan kota sebagai "merancang kota tanpa merancang
bangunan-bangunan". Dengan kata lain, domain tersebut mencakup ruang-ruang di antara
bangunan-bangunan.
Dalam hal ruang-ruang luar tersebut, berdasar pengalaman "Urban Design Plan of San
Fransisco, 1970" (Wilson et. al, 1979 dalam Shirvani, 1985: 6), ruangruang dikelompokan
menjadi empat group, yaitu: 1) pola dan citra internal: menjelaskan maksud ruang-ruang di
antara bangunan
bangunan dalam lingkup kawasan kota, terutama dalam hal focal points,
viewpoints, landmarks, dan pola gerak; 2) bentuk dan citra eksternal: berfokus
pada skyline (garis langit) kota, serta citra dan identitas kota secara
keseluruhan;
3) sirkulasi dan perparkiran: mengkaji karakteristik jalan (dalam hal: kualitas pemeliharaan,
kepadatan ruang, tatanan, kemonotonan, kejelasan rute, orientasi ke tujuan, keselamatan, dan
kemudahan gerakan), serta persyaratan dan lokasi perparkiran;
4) kualitas lingkungan: berkaitan dengan sembilan faktor, yaitu kecocokan penggunaan,
kehadiran unsur alam, jarak ke ruang terbuka, kepentingan visual dari fasad jalan, kualitas
pandangan, kualitas pemeliharaan, kebisingan, dan iklim setempat.
Pengelompokan di atas belum menunjukkan unsur-unsur bentuk fisik kota dalam perancangan
kota. Unsur-unsur tersebut, dijelaskan oleh Shirvani (1985: 7-8), meliputi delapan butir, yaitu: 1)
guna lahan 2) bentuk dan massa bangunan 3) sirkulasi dan perparkiran 4) ruang terbuka 5) jalan
pedestrian 6) pendukung kegiatan 7) perpapanan - nama 8) preservasi.
Tiap unsur dijelaskan di bagian berikut ini dengan pola bahasan yang dimulai dengan pengertian
unsur tersebut (bila perlu, dan termasuk pula penjelasan mengapa unsur tersebut diperlukan
dalam perancangan kota dan keterkaitannya dengan unsur lainnya), isu atau permasalahan utama
berkaitan dengan unsur tersebut, serta solusi atau konsep perancangan unsur tersebut 1.
2. Guna Lahan
Pengertian
Guna lahan merupakan kebijakan Pemerintah kota yang bersifat dua dimensional (dalam
bentuk peta) tapi berpengaruh pada rancangan tiga dimensi (bangunan) di atas lahan tersebut.
Guna lahan juga berkaitan dengan sirkulasi dan perparkiran.
menjadi mall, misalnya. Contoh lain, pergudangan atau bangunan indistri yang sudah tidak
terpakai dapat disulap menjadi "tokok gudang rabat" (seperti toko "Alfa" di Yogyakarta).
Pengertian
Umumnya, peraturan bangunan mengatur ketinggian, sempadan dan coverage bangunan.
Pengalaman beberapa proyek perancangan kota menyarankan untuk meliputi pula "penampilan
dan konfigurasi bangunan", misal berkaitan dengan warna, bahan bangunan, tekstur, bentuk muka
(fasad). Secara tradisional, hal-hal ini menjadi hak arsitek bersama kliennya. Tapi, sebenarnya hal
ini menyangkut kepentingan masyarakat dan berdampak pada lingkungan kota. Contohnya:
penggunaan kaca pantul cahaya untuk bangunan tinggi, dan pengubahan tampilan muka
bangunan bersejarah.
2) Jalan dapat memberi orientasi kepada para pengemudi kendaraan dan membuat lingkungan
menjadi jelas, dengan cara: a) menyediakan palet lansekap untuk menegaskan batas
lingkungan atau
kawasan yang terlihat dari jalan; b) membuat perlengkapan jalan dan
pencahayaan sehingga jalan terlihat jelas di siang maupun malam hari;
c) mengkaitkan unsur jalan dengan obyek pandang penting (vistas) dan referensi penting
(vistas) dan referensi visual (memudahkan untuk mengingat-ingat suatu tempat atau jalan)
ke guna lahan terdekat atau landmark;
d) membedakan tingkatan jalan dengan pembedaan sempadan,
tampilan ruang jalan, dan sebagainya. 3) Pemerintah dan
masyarakat perlu bekerja sama dalam mencapai tujuan ini.
Solusi lain terhadap isu sirkulasi dapat dilakukan dengan strategi manajemen lalulintas,
serta penyebaran kegiatan antar kawasan di kota (desentralisasi kegiatan yang menimbulkan
lalulintas banyak). Secara umum, kecenderungan penanganan lalu lintas perkotaan meliputi: (1)
peningkatan mobilitas gerak di pusat perdagangan kota, (2) tidak mendorong penggunaan
kendaraan prib adi, (3) mendorong pemakaian kendaraan umum, dan (4) peningkatan akses ke
pusat perdagangan kota.
5. Ruang Terbuka
Pengertian
Pengertian "ruang terbuka" (open space) bagi tiap orang mungkin berbedabeda, tapi
dalam hal ini, ruang terbuka meliputi: lansekap, hardscape (jalan, trotoar, dan sebagainya),
taman, dan ruang rekreasi di kota. Unsur-unsur ruang terbuka
mencakup: taman dan alun-alun, ruang hijau kota, perabot jalan/ruang kota, kioskios, patung, jam
kota, dan sebagainya.
6. Jalan Pedestrian
Pengertian
Pada masa lalu, perancangan pedestrian di kota jarang dilakukan. Ketika suatu mall
dirancang dengan memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, maka mall tersebut berhasil menarik
banyak pengunjung. Jalan pedestrian (jalan pejalan kaki) di samping mempunyai unsur
kenyamanan bagi pejalan kaki juga mempunyai andil bagi keberhasilan pertokoan dan vitalitas
kehidupan ruang kota. Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi ketergantungan pada
kendaraan bermotor di pusat kota, menambah pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau
mempromosikan sistem skala manusia, menciptakan kegiatanan usaha yang lebih banyak, dan
juga membantu meningkatkan kualitas udara.
Isu dan permasalahan utama
Isu utama perancangan jalan pedestrian menyangkut "keseimbangan" seberapa untuk
pejalan kaki dan seberapa untuk kendaraan. Di samping itu, keselamatan pejalan kaki juga
menjadi isu utama. Selain itu, di Indonesia, dan juga di beberapa negara berkemba ng lainnya
(antara lain: Muangthai), jalan pedestrian sering berkaitan dengan masalah kakilima (pedagang
sektor informal).
7. Pendukung Kegiatan
Pengertian
Pendukung kegiatan diartikan sebagai semua guna lahan dan kegiatan yang memperkuat
ruang publik perkotaan. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu kawasan akan menarik fungsi-
fungsi guna lahan, dan kegiatan yang spesifik. Sebaliknya, suatu kegiatan cenderung memilih
lokasi yang paling cocok untuk kegiatan tersebut.
Dengan demikian, penempatan kegiatan yang tepat akan menarik kegiatan-kegiatan pendukung.
Kegiatan pendukung tidak hanya termasuk penyediaan pedestrian atau plaza (ruang
terbuka yang berlantai perkerasan) tapi juga termasuk fasilitas kota yang menarik kegiatan
lainnya. Fasilitas tersebut misalnya: pusat perbelanjaan, taman rekreasi, pusat pertemuan
masyarakat (civic center), perpustakaan kota, dan lain-lain.
8. Perpapanan-nama / Reklame
(4) keharmonisan papan nama/reklame dengan arsitektur bangunan di dekatnya; perlu juga
pengendalian ukuran tanda/papan yang mengganggu vistas kota;
(5) pengendalian pemakaian lampu kedip untuk reklame (kecuali untuk tanda keselamatan
lalulintas/tanda "hati-hati", atau untuk bioskop dan sebagainya.
9. Preservasi
Pengertian
Preservasi atau perlindungan tidak hanya diberlakukan untuk bangunan bersejarah, tapi
juga untuk bangunan dan tempat yang dianggap perlu dilestarikan. Preservasi biasanya juga
mempertimbangkan faktor ekonomis dan kultural.
Rencana pemanfaatan ruang (rencana guna lahan), sebagai bagian dari rencana kota
(RDTRK), menjadi alat pengendali pembangunan fisik kota (lewat perijinan lokasi dan ijin
mendirikan bangunan). Peta rencana pemanfaatan ruang menunjukkan lokasi/zona/kawasan
dengan guna lahan atau guna ruang tertentu.
Dalam implementasinya, terdapat dua cara interpretasi rencana pemanfaatan ruang kota,
yaitu: 1) Cara "eksklusif", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk permukiman maka
permohonan peruntukan yang lain untuk suatu lokasi di zona tersebut akan
ditolak (usulan peruntukan yang berbeda dengan yang telah direncanakan tidak
diperbolehkan sama sekali). 2) Cara "dominasi", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk
permukiman maka
bila ada permohonan peruntukan lain maka akan dilihat apakah peruntukan lain tersebut
mendominasi zona tersebut atau tidak. Bila tidak mendominasi atau dengan kata lain dominasi
guna lahan masih sesuai dengan rencana, maka usulan peruntukan yang berbeda tersebut masih
akan dikabulkan.
Pada prakteknya, dua cara tersebut dipandang tidak memuaskan. Cara pertama dipandang "terlalu
kaku". Beberapa orang berpendapat tidak menjadi masalah bila dalam permukiman ada toko, ada
bengkel dan sebagainya; asal tidak mengganggu. Cara kedua juga dikritik orang, karena sulitnya
menentukan tingkat dominasi. Berapa tingkat dominasinya? apakah lebih dari 50 % ? apakah itu
75 % ? Apakah satu industri kulit di antara seratus ribu rumah tidak menjadi masalah, karena
industri tersebut hanya satu yang berarti tidak dominan? (meskipun industri tersebut
menimbulkan polusi bau kemana-mana?).
Untuk beberapa peruntukan yang penting, seperti industri, hotel, diperlukan AMDAL
(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), yang dapat menjadi alat kendali lain di samping
rencana pemanfaatan ruang. Tetapi, peruntukan yang "kecil-kecil", seperti bengkel, warung,
tidak diharuskan mendapat kajian AMDAL; dan yang "kecil-kecil" ini bila terjadi dalam jumlah
banyak di suatu tempat juga akan dapat "mewarnai" suatu zona (yang kebetulan direncanakan
untuk peruntukan lain).
Permasalahan lain menyangkut pengendalian guna lahan perkotaan berkaitan dengan
bangunan temporer. Di negara tropis, penduduk golongan berpenghasilan tingkat bawah dapat
saja memulai bangunan rumahnya dengan wujud bangunan temporer (bahan bambu, ijuk, lantai
tanah, dan sebagainya). Bangunan seperti ini, pada praktek umumnya, lepas dari pengawasan
IMB. Padahal, sedikit demi sedikit bangunan tersebut dibuat permanen, yang akhirnya perlu
dikaji kesesuaian guna lahannya. Apakah bila guna lahannya melanggar aturan, bangunan yang
telah bertahun-tahun tersebut harus dibongkar (tanpa menimbulkan masalah sosial?).
Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang kota dalam praktek nyatanya menjadi
tantangan yang berat bagi para pelaksana rencana kota. Dalam hal ini, diperlukan penelitian yang
mendalam untuk mendapatkan model-model pengendalian yang sesuai dengan kondisi kota yang
berbeda-beda di negara kita. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia perguruan tinggi yang perlu
bekerja sama dengan para praktisi pengendalian pelaksanaan rencana kota. Para praktisi banyak
berpengalaman dalam hal ini, dan digabung dengan landasan teori para akademisi, maka dapat
dikembangkan model-model yang tepat.
2. Belajar dari Pengalaman Pengendalian
Pemanfaatan Ruang di Amerika
Di Amerika Serikat, dipakai dua katagori tindakan untuk membentuk ruang kota, yaitu
(menurut Levy, 1997: 113): 1) Pembangunan prasarana dan fasilitas umum (public capital
investment), antara
lain: jaringan jalan, jaringan utilitas kota, sekolah, dan gedung pemerintahan.
2) Pengendalian oleh Pemerintah terhadap penggunaan lahan oleh perorangan/ swasta (land-use
controls). Pengendalian ini umumnya dilakukan lewat perijinan dan pelarangan pembangunan
fisik (penggunaan lahan). Terdapat dua katagori pengendalian ini, yaitu: (a) peraturan
pengkaplingan lahan luas menjadi persilpersil (subdivision regulations), dan (b) peraturan
pemintakatan (zoning ordinances) yaitu penetapan peruntukan guna lahan bagi persil-persil.
mengurangi luas minimal sampai dengan 90 m2 asal sisa yang 30 m kali sejumlah rumah yang
akan dibangun dikumpulkan pada suatu lokasi dan disitu dibangun fasilitas umum tambahan di
luar persyaratan pada umumnya.
Upper Saddle River, NJ.: hal 113-140 (Chapter 9 "The Tools of Land
Use Planning").
Patterson, T. William, 1979, Land Use Planning: Techniques of Implementation, Van Nostrand
Reinhold, New York: hal 26-91 (Chapter 2: "Zoning").