You are on page 1of 6

Egoisme: Memilih Yang Paling

Menguntungkan Untuk Diri Sendiri


JAN 23

Posted by forumkuliah
Karena teori etika Egoisme Etis mendasarkan diri pada teori Egoisme Psikologis, maka
sebelum membahas Egoisme Etis ada baiknya kita kaji dulu Egoisme Psikologis.
1. Egoisme Psikologis
1.1. Pendapat pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya
secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (y.i. sikap mau mencintai dan
berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos belaka.Kalau dalam praktek
kehidupan sehari-hari nampaknya terjadi, hal itu memang hanya nampaknya saja
demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong
dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk
terselubung dari cinta diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak kemungkinan adanya sikap altruissungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan
pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang
yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa
bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk
menonton film bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang
masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan
bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain
merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini
yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang
menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi
sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari
oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah
melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur
dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik.
Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya
terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai
pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian
dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai
suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan
untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu
tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu
dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya. Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi
yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang
disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah
mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang
ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa
belaskasih terhadap sesama manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar
kalau kita berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong
kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan atau
kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels,[1]argumentasi yang
mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya
sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian. Kalau kerancuan tersebut dapat
diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat
dipertahankan. Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam
argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis.
Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam artimendahulukan
kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-
interest). Keduanya tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di
kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan
diri saya sendiri. Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat
bernilai) untuk diri saya sendiri. Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois.
Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak
mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri melulu.
Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan
diri (self-interested behavior) danperilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of
pleasure). Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita
menyukainya. Tetapi kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita
menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan
sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam
arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Kalau ada orang yang suka menghisap rokok kretek
dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat
mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme. Baru kalau
dalam menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang
sedang sakit flu, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan
diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena
sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang
menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap
orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang
lain. Anggapan ini tentu saja keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya
bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan
antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain. Tetapi hal ini tidak selalu
terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan
diri kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang
secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi
pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada dasarnya secara
psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut
egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks.
Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois
merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas tersebut. Pernyataan yang
bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu
sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa
yang sesungguh-nya menjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat
curiga akan maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut
faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang
menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar
kepentingannya sendiri dapat terjamin.
Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi
pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu
mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan bahwa tindakan itu
membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan
tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang
usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.
Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya,
seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis
melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak
menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa
yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (A person ought
to do whatreally is to his or her own best advantage, over the long run.)Egoisme Etis memang
menganjurkan selfishness tetapi bukanfoolishness.
2.2. Argumen-argumen untuk mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan
bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing
orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa
yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita
cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan
semua pihak.
Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968),
The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own
best long-range interests (Masing-masing individu akan paling menyumbang pada perbaikan
sosial [kalau masing-masing individu] dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka
panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik). Masing-masing orang sendiri lah
yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa
yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain,
campurtangan ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi
kebebasannya untuk menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar
prinsip privacy seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan
karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan
orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai kemampuan
serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis dibandingkan dengan
Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-masing individu. Seperti dinyatakan
oleh Ayn Rand (dalam bukunya The Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-
satunya filsafat moral yang menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut
dia, Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia ini. Etika
Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang hidupmu hanyalah sesuatu yang bersifat
sementara dan pantas dikorbankan, dapat dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi
manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya di
dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini) bagi orang lain.
Perhatian pokok macam ini dapat membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan
hidupnya semaksimal mungkin.
Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang
setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai
dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah
penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti
direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang
hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup
masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan
satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah
kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-
kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam
aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang
lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu
prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat
diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh
menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang
lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita
menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena
kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan
menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan
keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang
sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen
tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok
yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau
setiap orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang
paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan
terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau
Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan
sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa
dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap
egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip
dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik.
Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik
atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika
Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya
diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan
bahwa kepentingan diri sendiri itusama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan
orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan orang lain
wajib dipenuhi.
Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai
penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim
dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup
masing-masing individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-
satunya nilai dan juga bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia
tidak lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi
manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena nilai hidup masing-masing
individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak akan tercapai.
Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia,
Egoisme Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling
menunjang bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis
sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu
menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih
menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan
sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang
lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak
selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti
orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang
lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk
mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada
akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa
keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang
miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang
kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau
merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul
bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan
selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan orang yang ditolong yang
menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk
berterima kasih, karena melulu hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si
penolong saja.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme
Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat
dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi
tindakan manusia pada motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak
sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas
dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri,
belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban
moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi
kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.

You might also like