You are on page 1of 18

REFERAT

SYOK ANAFILAKSIS
Sovian Anugrah
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr.Regina M. Manubulu, Sp.A, M.Kes dan dr.Hendrik Tokan, SpA

I. PENDAHULUAN

Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan

tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan metabolik (konsumsi

oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran oksigen). Patofisiologi syok

bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai gambaran klinis yang berbeda pula.

Salah satu etiologi terjadinya syok adalah reaksi anafilaksis.1

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat menyebabkan kematian

dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen maupun pencetus yang lainnya.

Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE) diperantarai reaksi hipersensitif yang

dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh

pada sistem kardiovaskular, pernapasan, dan gastrointestinal.1

Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Amerika Serikat pada seluruh

populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan 0,002%-nya meninggal dunia. Hal ini

menunjukkan bahwa syok anafilaktik merupakan keadaan kegawatdaruratan pada anak.2,7

Penyebab dari syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan, makanan,

seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian obat-obatan dan makanan

tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya syok anafilaktik. Manifestasi klinis yang

muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun

sistemik. Bentuk reaksi ringan dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress
atau syok. Jika sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat

dengan penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang

dapat mengancam jiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas. Oleh karena itu pentingnya

memahami dan mengetahui tentang syok anafilaktik disertai segala macam penanganan yang

diperlukan.1,5

II. TINJAUAN PUSTAKA

Anafilaksis berasal dari kata Yunani ana, atau berbalik, dan phylaxis atau perlindungan

dimana seharusnya terjadi reaksi imun yang melakukan perlindungan namun berbalik

sehingga menyerang dirinya sendiri.7

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator kimia seperti sel

mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan

curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi

nafas, dan sistem gastrointestinal.5

Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:3,7

1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan

alergen

2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan alergen

3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian anafilaksis berkisar antara 21 kasus/100.000 penduduk. Diperkirakan angka kejadian

reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal dunia sebanyak 1500 per tahun, dan 1300
orang meninggal disebabkan karena obat-obatan seperti penggunaan antibiotik golongan

penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02%

dan yang lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras.4

Anafilaksis lebih sering terjadi pada usia setelah 19 tahun tetapi lebih sering pada anak-

anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi Masih

terjadi silang pendapat mengenai keberadaan konstitusi atopik sebagai hal yang

mempermudah terjadinya reaksi ini. Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih sering

dibanding pria dengan perbandingan 1 : 3 wanita dimana wanita yang lebih dewasa muda

meningkat sekitar 35%. 4,7

Secara etiologi, anafilaksis dibagi atas reaksi anafilaksis alergi dan reaksi anafilaksis

non alergi (reaksi anafilaktoid). Reaksi anafilaksis alergi adalah reaksi antara antigen spesifik

dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan Basofil akan

mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ,

sedangkan reaksi anafilaktoid secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak

disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi
disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan

terlepaskan mediator.6

Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis


Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah
lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction)

oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.

Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang

menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase:1,5

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya

dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama

dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap

oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,

dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B

berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk

antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.

Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan

granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat

pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata

dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin

(meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat

degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula

rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan

trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada

vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya
obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya

mediator.9

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.

Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera

yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa

bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.9

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu

setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu

terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit

atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan

efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan

edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan

bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.

Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.9

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran

darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.

Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia

jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.9


Faktor - faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara lain:5

a) Atopi

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki

riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko

untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik,

anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal

ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

b) Cara dan waktu pemberian

Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih

sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat,

meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelahmenelan

makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil

kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan

katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.

c) Asma

Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena

anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.


Gejala klinis dari anafilaksis dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi

berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan sistemik, anafilaksis

juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.6

a) Reaksi sistemik ringan


Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh,

biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat

disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa

gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul

dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan,

umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.

b) Reaksi sistemik sedang

Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada

reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu,

batuk, dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual, dan muntah.

Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan

lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.

c) Reaksi sistemik berat

Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi

sistemik ringan dan reaksis sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit

(kadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak,

stridor, dispnu beratm sianosism dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring

gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare, dan

muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat

atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok,

dan koma.9

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal nafas dan kolaps kardiovaskular sering

sangat cepat dan mungkin merupakan gejala obyektif pertama pada anafilaksis. Beratnya

reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi

pada orang dewasa, Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.3,9
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat,

makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan

terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sitemik

ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.8

Mekanisme Penegakan Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih

setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka

American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.5,8,10
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga

beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-

bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,

uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,

stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang

berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah

terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),

yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh

tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise

(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);

penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,

inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,

muntah).5

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen

yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-

anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih

dari 30%.5

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis adalah sebagai berikut:7

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang cepat dari gejala

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih

lambat dari onset


- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan lebih cepat

onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat onsetnya dari

trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak

(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan

tertutup.

- Suara Hoarse

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami

obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas

- Wheezing

- Pasien menjadi lelah

- Kebingungan karena hipoksia

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign

- Respiratory arrest

Circulation Problems:

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)


- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun

individu dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah

muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.

Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering

pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.

Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi
anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.5
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen
5-10 liter/menit melalui masker. Oksigen harus diberikan pada penderita yang
mengalami sianosis, dispnu yang jelas, atau penderita dengan mengi.
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau sengatan/gigitan

hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan

tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit. 5

Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis atau Ringer

Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi, lalu dilanjutkan dengan cairan

maintenance. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta

mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap

merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan

kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat

kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.3

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi

pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.

Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam

keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian

subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB

untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah

dan nadi menunjukkan perbaikan. Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin,

resusitasi cairan agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah
dengan solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis

maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan untuk

mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus meskipun disebutkan di atas intervensi,

vasopresin atau vasopressor potensial lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif.1,5,7

Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk

antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa

antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang terjadi

setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi

telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada

antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan

parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis. Dalam hal terjadi

spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan

aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.40.9 mg/kgBB/menit

dalam cairan infus.5

RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk

itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya. Bilamana penderita akan

dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam

keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis

yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan

fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai

penanganan kasus gawat darurat. 9

Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami reaksi

anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat terjadi pada 72 jam

akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi harus didasarkan pada keparahan

dari reaksi awal, kecukupan pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke
perawatan medis. Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam,

namun waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.3

Pencegahan paling baik dalam menanggulangi permasalahan anafilaksis adalah

memberikan edukasi, terutama pada pasien muda dengan anafilaksis terhadap makanan.

Edukasi yang utama adalah meghindari faktor alergen seperti makanan, obat obatan

ataupun sengatan serangga. Edukasi juga dilakukan kepada orang tua bilamana mempunyai

anak dibawah umur 12 tahun sehingga orang tua pun tidak langsung panik dalam menghadapi

hal hal yang terjadi.3,5


DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Richard.E, et all.2014.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia: W.B Saunders


Company. Page 797-799.

2. Bohlke K, Davis RL, et al.2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among Children And


Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization. Journal Allergy Clin
Immunology. 113(3):536 542.

3. Cheng, A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children: Pediatric Child


Health. Vancouver. 2011; Jan 16(1): 35-40

4. Neugut AI, Ghatak AT,et all.2001. Anaphylaxis in the United States: an investigation into
its epidemiology. Arch Intern Med.161(1):15 21.

5. Simon, Ledit R, et all.2011.World Allergy Organization anaphylaxis guidelines.J Allergy


Clin Immunol.p ; 587-593

6. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill
New York-Toronto.pp 242-6

7. Rudolph at al. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol I. Page 532. JAKARTA : EGC

8. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and
Treatment. Medscape. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2

9. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th Ed. Jilid I. 2011. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, p: 190-193

10. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of
allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71

You might also like