You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.1 Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.2
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus
tuberkulosis.4
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan
4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati.3 Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala
sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak


(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.1 Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.2

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis. 1

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik


gram positif, berukuran 0,4 3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium
tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
Mycobacterium. bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.1,3

1.2 Anatomi
Anatomi sistem saraf terutama sistem saraf pusat perlu dipahami dalam
membahas meningitis. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis.
Otak yang berada di dalam tengkorak dan medula spinalis yang berada di dalam
kolumna vertebralis diselimuti oleh tiga lapis membran pelindung yang disebut
meningen. Tiga lapisan itu adalah dura mater, araknoid mater, dan pia mater.5

2
1. Dura mater
Dura mater terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan dura mater ini bersatu dengan dengan sangat erat
kecuali pada bagian tertentu berpisah dan membentuk sinus venosus. Lapisan
endosteal tidak lebih hanya periosteum yang melapisi bagian dalam
permukaan tengkorak. Lapisan meningeal adalah bagian dura mater yang
tebal, membran fibrosa kuat yang melapisi otak yang melalui foramen
magnum bersambung melapisi medula spinalis.5
2. Araknoid mater
Araknoid mater adalah membran tipis impermeabel yang berada diantara
pia mater (pada sisi dalam) dan dura mater (pada sisi luar). Lapisan ini
dipisahkan oleh ruang luas yang disebut ruang subaraknoid. Ruang
subaraknoid berisi cairan serebrospinal.5
3. Pia mater
Pia mater merupakan membran dengan vaskularisasi yang dilapisi oleh
sel mesotelial. Lapisan ini sangat melekat pada otak melapisi girus bahkan
sampai sulkus terdalam.5

Gambar 2. Lapisan Meningen6


1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus
tuberkulosis.4

3
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan
4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati.3 Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala
sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.5
1.4 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak
ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.6
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen
selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik
walaupun jarang.6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka
akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan
meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi
dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi
tersebut adalah trauma kepala5.

4
Gambar 3. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis Dari Tempat Infeksi.6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi
radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.6
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberkulosis:6
A. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh
darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat
gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat
terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium
lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila
mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul
gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial
II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan
pendengaran yang sifatnya permanen.

B. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah


Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan

5
tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan,
hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima,
degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan
anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak
dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak
jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin.
C. Hidrosefalus komunikans
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.3 Gambaran patologi yang terjadi
pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu :6
a. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
b. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus;
c. Acute inflammatory caseous meningitis
- Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
- Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
d. Meningitis proliferatif
- Terlokalisasi, pada selaput otak
- Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor
yang mempengaruhi.
1.5 Manifestasi Klinis
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa
dikelompokkan dalam tiga stadium :7
A. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
- Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
- Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis

6
- Demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah
- Nafsu makan menurun (anorexia), nyeri perut
- Sakit kepala, tidur terganggu
- Mual, muntah, konstipasi
- Apatis, irritable, Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan
manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua
memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah
menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul
kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
- Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung
masuk ke stadium III.
B. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
-
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
-
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk
diatas lengkung serebri.
-
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali
pada bayi.
-
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu)
di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.
-
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran,
papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis
menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis
dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
-
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada
anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan
kesadarannya makin menurun.
-
Gejala : Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah
(keluhan utama)
-
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea

7
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
- Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
o Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
o Tanda: - strabismus - diplopia
o ptosis - reaksi pupil lambat
o gangguan penglihatan kabur
A. Stadium III (koma / fase paralitik)
- Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu
- Gangguan fungsi otak semakin jelas.
- Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau
strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.
- Gejala:
o Pernapasan irregular
o Demam tinggi
o Edema papil
o Hiperglikemia
o Kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor,
koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil
melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
o Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
o Hiperpireksia, akhirnya, pasien dapat meninggal.

Tabel 1. Klasifikasi menurut British Medical Research Council


Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum
pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1
minggu.

8
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.7
1.6 Kriteria Diagnosis
Dari anamnesis, diemukanadanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran
(tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis
(baik yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran
klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis
tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai
sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah,
diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada
33,3% kasus).3
Dari pemeriksaan fisik : tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang
meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang
dari 2 tahun.3
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak
dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi.8
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
10
1 Pembengkakan (Indurasi) 0-4 mm uji mantoux negatif
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa
2 Pembengkakan (Indurasi) 3-9 mm uji mantoux meragukan
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mycobacterium atypic / setelah vaksinasi BCG
3 Pembengkakan (Indurasi) 10 mm uji mantoux positif
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium

9
Gambar 5. Uji Mantoux. 10

Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Gurin) terjadi


reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak
dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.8

Dari hasil pemeriksaan laboratorium :9

Darah : anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.

Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara
pungsi lumbal) :9
- Warna : jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk
batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya
telah berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
- Jumlah sel : 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel
polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-
kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.
- Kadar glukosa: biasanya menurun liquor cerebrospinalis dikenal
sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor
cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat
ditemukan kuman.

10
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi
lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa
menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.9
Dari pemeriksaan radiologi :4
Foto toraks : Dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-
kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
CT-scan kepala : Dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan
CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien
meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang
disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.
Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus.
1.7 Diagnosa Banding
Gejala pada seluruh tipe meningitis hampir sama, sehingga baku
standar dari diagnosis merupakan pemeriksaan CSS dari lumbal pungsi.
Berikut adalah perbedaan dari jenis meningitis :

11
Tabel 2. Perbandingan perbedaan jenis meningitis. 11

1.8 Pengobatan
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.4

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:


- Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
- Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis :4
a.) Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa,
dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral.
Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis
maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

12
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit
selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid
dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi
pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya
neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali
sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.4
b.) Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar
serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral,
dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi
rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput
otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan
air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah
mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya
tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.4
c.) Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada
saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis
maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu

13
2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat
baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang
masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis,
anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.4
d.) Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-
tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml
dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial
VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa
telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus
plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan
menderita tuli berat.4
e.) Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari,
maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada

14
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan
toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau,
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan
kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak
dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan.4

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis


sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen.4 Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus
tirah baring total.4
1.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan
saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang
hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi

15
prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin.5
1.10 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang
lebih tua usianya.5

BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. LK
Umur : 22 tahun
Alamat : bangkinang
Pekerjaan : mahasiswi
Agama : Islam
Status perkawinan : belum menikah
Tanggal masuk : 01 maret 2017
B. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Nyeri kepala sejak lebih kurang 3 bulan ini
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri kepala yang terasa semakin meningkat sejak 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan di belakang kepala, terasa seperti ditekan. Nyeri
bertambah saat pasien beraktivitas dan berkurang jika pasien beristirahat dan

16
meminum obat penghilang rasa nyeri. Awalnya, nyeri kepala telah dirasakan
sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Demam 3 bulan yang lalu, hilang timbul, tidak tinggi, tidak menggigil,
berkeringat banyak, dan demam turun dengan mengkonsumsi obat penurun
panas.
Pasien mengeluhkan mata juling sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasakan
melihat ganda saat melihat ke kanan dan ke kiri.
Penglihatan kabur sejak 15 hari yang lalu. Sekarang pasien hanya mampu
melihat lambaian tangan.
Muntah ada dalam 15 hari terakhir, frekuensi 2-3 kali per hari, berisi apa yang
dimakan, banyaknya sekitar gelas.
Kejang ada dalam 15 hari terakhir, 4 kali, terjadi pada seluruh tubuh, tidak
sadar saat kejang, dan sadar setelah kejang. Saat kejang, mata mendelik ke
atas, mulut tidak berbuih.
Pasien dirawat di puskesmas selama lebih kurang 1 minggu sebelum dirujuk
ke RSUD Bangkinang karena nyeri kepala, dirujuk karena tidak ada
perbaikan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat menderita TB milier sejak 3 bulan yang lalu dan telah mendapat
obat paket TB, namun tidak tuntas minum .
Riwayat batuk-batuk lama sejak 3 tahun yang lalu..
Riwayat penurunan berat badan lebih dari 20 kg dalam 3 tahun ini.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
5. Riwayat Pribadi dan Sosial :
Pasien seorang karyawan swasta dengan aktivitas fisik sedang dan tidak
merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS :15 (E4M6V5)
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 46 kg
Tanda vitas

17
Nadi/ irama : 69x/menit, teratur
Pernafasan : 21x/menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,7oC
Kulit : turgor kulit kembali cepat, tidak ditemukan adanya kelainan
Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : pupil bulat isokor dengan diameter 4mm/4mm, reflek cahaya
+/+, gerak bola mata terbatas ke lateral kanan dan kiri, reflek
kornea +/+
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorok : reflek muntah (+), uvula ditengah
Gigi dan Mulut : plika nasolabialis simetris kiri dan kanan
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor
Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi +/+ di apeks, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama murni, teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak membuncit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibus (-)
Alat kelamin : tidak diperiksa
II. Status Neurologis
1. Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (+)
Tanda Kernig : (+)
Lasegue sign : (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil : isokor dengan diameter 4mm/4mm, reflek cahaya +/+
Muntah : (+) proyektil ada

18
3. Pemeriksaan nervus kranialis
N.I (N. Olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Positif Positif
Obyektif dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II (N. Optikus)


Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan menurun menurun
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Tidka dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III (N. Okulomotorius)


Kanan Kiri
Bola mata terbatas terbatas
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan bulbus Normal Normal
Strabismus ada ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Bentuk Normal Normal
Refleks cahaya Positif Positif

Rrefleks akomodasi Normal Normal

Refleks konvergensi Normal Normal

N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia ada ada

N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Normal Normal
Menggerakkan rahang Normal Normal

Menggigit Normal Normal

19
Mengunyah Normal Normal
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Divisi Maksila
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks masseter
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas
Divisi Mandibula
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas

20
N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. VII (N. Facialis)


Kanan Kiri
Raut wajah Simetris Simetris
Sekresi air mata Normal Normal
Fisura palpebral Tidak dinilai Tidak dinilai
Menggerakkan dahi Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Mencibir/bersiul Normal Normal
Memperlihatkan gigi Normal Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Normal Normal

N. VIII (N. Vestibulocochlearis)


Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Scwabach test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Webber test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memanjang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memendek Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus : Tidak ada Tidak ada
Pendular Tidak ada Tidak ada
Vertikal Tidak ada Tidak ada

Siklikal Tidak ada Tidak ada


Hiperakusis Tidak ada tidak ada

N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Normal Normal

N. X (N. Vagus)

21
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
Nadi 80 x/menit 80 x/menit

N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (N. Hipoglossus)


Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Normal Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada

4. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi


Keseimbangan Koordinasi
Cara berjalan Normal Tes jari hidung Normal
Romberg test Normal Tes jari jari Normal
Stepping tes Normal Tes tumit lutut Normal
Tandem Walking tes Normal Disgrafia tidak ada
Ataksia Tidak ada Supinasi pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak ada

5. Pemeriksaan fungsi motorik


A. Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
Gerakan spontan Normal Normal
Tremor Tidak ada Tidak ada
Atetosis Tidak ada Tidak ada
Mioklonik Tidak ada Tidak ada
Khorea Tidak ada Tidak ada

Ekstremitas Superior Inferior

22
Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Normal Normal Normal Normal

Kekuatan Normal Normal Normal Normal


Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi

Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal

Sensibilitas nyeri Normal

Sensibilitas termis Normal

Sensibilitas kortikal Tidak dilakukan

Stereognosis Tidak dilakukan

Pengenalan 2 titik Normal

Pengenalan rabaan Normal

7. System Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Kornea Normal Normal

Berbangkis Tidak dinilai Tidak dinilai

Laring Normal Normal

Masseter Normal Normal

Dinding perut

Atas Normal Normal

Bawah Normal Normal

Tengah Normal Normal

Biseps Normal Normal

Triseps Normal Normal

APR Normal Normal

23
KPR Normal Normal

Bulbokavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kremaster Tidak dilakukan

Sfingter Tidak dilakukan

Refleks Patologis Kanan Kiri

Lengan

Hoffman-Tromner Negatif Negatif

Tungkai

Babinski positif positif

Chaddoks Negatif Negatif

Oppenheim Negatif Negatif

Gordon Negatif Negatif

Schaeffer Negatif Negatif

Klonus kaki Negatif Negatif

8. fungsi otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Sekresi keringat : Normal
9. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia

Reaksi bicara Normal Reflek glabella Tidak ada

Fungsi intelek Normal Reflek snout Tidak ada

Reaksi emosi Normal Reflek menghisap Tidak ada

Reflek memegang Tidak ada

Refleks palmomental Tidak ada

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

24
Darah :
Rutin : Hb : 11,6 gr/dl
Leukosit : 9.900/mm3
Trombosit : 245.000/mm3
Hematokrit : 35%
Hitung jenis leukosit : 0/0/3/71/24/2
Kimia darah : Ureum : 26 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Gula darah sewaktu : 83 mg/dl
E. RENCANA PEMERIKSAAN TAMBAHAN
EKG : irama sinus, HR 69x/menit, ST elevasi (-), ST depresi (-)
Rontgen Foto Thorak
Lumbal Pungsi :
-
Warna : xantokrom
-
Aliran : cepat
-
None :+
-
Pandi : ++
Lab :
-
Volume : 8 cc
-
Kekeruhan : negatif
-
Warna : bening
-
Jumlah sel : 95/mm3
-
PMN : 20%
-
MN : 80%
-
Glukosa : 52 mg/dl

25
F. MASALAH
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Meningitis tuberkulosa stadium II
Dianosis Topik : Leptomeningen
Diagnosis Etiologi : Mycobacterium TB
Diagnosis Sekunder : TB milier
G. PEMECAHAN MASALAH
Terapi Umum:
- IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
- MB TKTP 2200 kkal
Terapi khusus
- Inj Dexametason 4x10 mg tapp off
- Inj Ranitidin 2x50 mg
- Asetazolamid 3x250 mg
- KSR 2x600 mg
- Curcuma 2x1
- B6 2x1
- INH 1x 450 mg
- Rifampisin 1x600 mg
- Pirazinamid 1x1000 mg
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

28

You might also like