You are on page 1of 14

1.2.1 Bagaianakah implementasi HAM dalam Pancasila?

1.2.2 Bagaimanakan upaya penegakan HAM di Indonesia?


1.2.3 Bagaimanakah praktik pelanggaran HAM di Indonesia?

3.1 Implementasi HAM dalam Pancasila


Ham merupakan salah satu contoh dari penerapan pancasila sila kedua. Maksudnya
disini adalah bagaimana HAM benar-benar dilaksanakan dan dijunjung tinggi dengan tetap
berpegang pada pernyataan pancasila yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di dalam kehidupan bangsa, manusia mempunyai kedudukan sebagai warga masyarakat dan
warga negara. Oleh karena itu, mereka berhak untuk memiliki suatu kedudukan (harkat,
martabat, dan drajat) yang sama. Sila kedua pancasila ini mengandung nilai-nilai
kemanusiaan yang mengakui adanya harkat dan martabat manusia, mengakui bahwa semua
manusia adalah bersaudara, mengakui bahwa setiap manusia berhak diperlakukan secara adil,
dan pengakuan bahwa setiap manusia wajib mengembangkan kehidupan bersama yang
semakin berbudaya (beradab).
Atas dasar tersebut, sila kemanusiaan tidak akan membedakan manusia dalam
memperlakukan dan mengakui harkat dan martabatnya baik karena perbedaan kulit, suku,
jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Setiap warga negara diberi kebebasan yang sama, tidak
ada perbedaan apapun misalnya kebebasan memeluk agama. Dalam melaksanakan perintah
agama, diwajibkan saling menghormati. Kita tidak boleh melecehkan agama dan keyakinan
orang lain.
Peraturan pelaksanaan hak asasi manusia berbentuk peraturan perundang-undangan
yang bersumber pada pancasila. Dalam pelaksanaannya, hak asasi perlu dilindungi dengan
pelaksanaan kewajibannya. Setiap orang mempunyai hak asasi. Sesuai dengan ajaran hak
asasi dalam berbagai peraturan yang berlaku, hak asasi manusia tidak dapat dilaksanakan
secara mutlak sebab kalau dilaksanakan secara mutlak maka akan melanggar hak asasi orang
lain. Jadi batas pelaksanaan hak asasi adalah hak milik orang lain.
Mertoprawiro (dalam Margono, dkk, 2002: 60) menyatakan bahwa pelaksanaan hak
asasi manusia dalam pancasila harus selalu ada keserasian atau keseimbangan antara hak dan
kewajiban itu sesuai dengan hakikat kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakatnya. Kedua saling membutuhkan dan mempengaruhi. Keseimbangan tersebut
harus dicapai sehingga dapat memberikan ketenangan dan keberhasilan setiap manusia.
Oleh karena itu, upaya pemajuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia di
Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip keseimbangan. Prinsip keseimbangan mengandung
pengertian bahwa diantara Hak-hak Asasi Manusia perorangan dan kolektif serta tanggung
jawab perorangan terhadap masyarakat dan bangsa memerlukan keseimbangan dan
keselarasan. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab
merupakan faktor penting dalam pemajuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia. Di
dalam era globalisasai sekarang ini, tidak ada negara yang bisa menutup dirinya dari
masyarakat internasional, mengucilkan diri dari komunitas internasional, dan sebaliknya
kalau ingin menjalin hubungan dengan banyak negara, pemerintah yang berkuasa tidak bisa
berbuat sewenang-wenang, sehingga kehilangan kelayakan sebagai suatu pemerintah.
Demikian pula dengan warga negara juga tidak bisa melanggar hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Semua pihak, yakni pemerintah, organisasi-organisasi sosial politik dan
kemasyarakatan, maupun berbagai lembaga-lembaga swadaya masyarakat, serta semua
kalangan dan lapisan masyarakat dan warga negara perlu terlibat dalam penegakan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
menegakan Hak Asasi Manusia di antaranya melalui pembentukan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) dan pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
Pemerintah juga memberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini merupakan payung dari seluruh peraturan
perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota PBB dalam
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ternyata
penegakan Hak Asasi Manusia masih jauh dari harapan masyarakat. Banyak hambatan dan
tantangan dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sejarah Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaran, dan kesenjangan sosial. Hal tersebut disebabkan
oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa,
agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya. Kenyataan memang menunjukan
bahwa pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau pengakuan Hak Asasi Manusia masih
jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah
tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta kelurganya dan sebagainya.
Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat publik dan
aparat negara. Mereka yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan
pelindung rakyat, kadang kala justru mengintimidasi, menganiaya atau bahkan
menghilangkan nyawa rakyat. Adapun hak hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi: (1)
Hak-hak asasi pribadi meliputi kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama, bergerak,
dan sebagainya; (2) Hak-hak asasi ekonomi yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan
menjual serta memanfaatkannya; (3) Hak-hak asasi politik yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih, hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya; (4) Hak-hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Implementasi HAM dapat dipahami secara benar maka perlu dilakukan upaya untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya HAM dalam kehidupan sosial maupun kehidupan
individu yang tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari, upaya tersebut harus
diupayakan secara terus menerus ke setiap orang sedini mungkin melalui pendidikan HAM
baik pendidikan formal maupun non formal. Implementasi HAM tidak hanya disadari dengan
pikiran tetapi harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar tercipta keseimbangan hidup
di dalam masyarakat.

3.2 Upaya Penegakan HAM

Untuk menjaga penegakkan HAM, maka dibutuhkan suatu lembaga yang memantau
proses penegakkan HAM. Di dalam PBB sendiri terdapat beberapa badan yang mengatur
tentang penegakkan HAM secara internasional. Hal ini membuat Indonesia membangun
suatu mekanisme penegakkan HAM untuk mengawasi proses penegakkan HAM di
Indonesia. Berikut ini adalah lembaga lembaga ( internasional dan nasional ) yang
mengawasi proses penegakkan HAM di dunia internasional :

1. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Agen PBB
ntuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia yang dijamin di bawah
hukum internasional dan ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
1948

2. United Nations Security Council Salah satu organ utama Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang bertugas memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Kekuasaannya, yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk
pembentukan operasi penjaga perdamaian , pembentukan sanksi internasional, dan
memiliki otorisasi tindakan militer. Kekuasaan tersebut telah ditinjau melalui Resolusi
Dewan Keamanan PBB Resolusi.

3. United Nations Human Rights Council Badan antar-pemerintah dalam Sistem


Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bertindak sebagai penghubung ke Komisi PBB tentang
Hak Asasi Manusia dan sebagai bagian dari Majelis Umum PBB. Dalam menjalankan
pekerjaannya badan ini bekerja sama dengan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi
Manusia dan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa

4. International Criminal Court Pengadilan yang berfungsi untuk menuntut individu-


individu yang melakukan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan agresi.

5. OSCE Representative on Freedom of the Media Pengawas dalam bidang


perkembangan media di 56 negara anggota yang berpartisipasi di OSCE (
Organization for Security and Cooperation in Europe ). Perwakilan akan memberikan
peringatan dini apabila terjadi pelanggaran kebebasan berekspresi dan akan
melanjutkan ke perwakilan OSCE sesuai dengan prinsip-prinsip dan komitmen
tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

6. UNESCO Sebuah badan khusus PBB yang didirikan pada tanggal 16 November
1945. Bada ini memiliki tujuan untuk memberikan kontribusi pada perdamaian dan
keamanan internasional dengan mempromosikan melalui kolaborasi pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan budaya dalam rangka mensosialisasikan hormat kepada keadilan,
aturan hukum, dan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar seperti yang
dinyatakan dalam Piagam PBB. Badan ini merupakan perwujudan dari Liga Bangsa-
Bangsa pada bagian Komisi Kerjasama dalam bidang Intelektual.

Dalam lingkup nasional juga terdapat beberapa lembaga yang mengawasi proses penegakkan
HAM, diantaranya :

1. Mahkamah Konstitusi

Lembaga tinggi negara ini dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan


pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Menurut
Undang Undang Mahkamah Konstitusi memiliki tugas sebagai berikut :
a. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum

b. Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai


dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh


perubahan politik setelah turunnya Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR
bulan November 1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia
dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun 2000),
meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998.

Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk
melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang
dalam instrumen interasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to promote, to
implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan
di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang
bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa mekanisme
penyampaian keluhan publik (public complaints procedure), peradilan administrasi/tata-
usaha negara, peradilan dibawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia,
komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), maupun pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang


terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas sehingga dikenal sebagai
constitutional review. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai negara, uji
konstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-
undang yang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional pemohon
constitutional review. Rumusan ini perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan sebagai
hak dan atau wewenang. Wewenang konstitusional lebih terkait dengan kewenangan
lembaga negara yang berhak pula untuk memohon constitutional review terhadap undang-
undang dalam hal suatu undang-undang dinilai bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini
menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon pengujian). Kedua, hak konstitusional
lebih dekat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara.

Secara kategoris, jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945
mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas
pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam
sejumlah pasal antara lain 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama), 31-32
(Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30 (Bab
Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia
tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM. Di sini perlu diberikan catatan tentang perumusan
hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pertama, pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau
individual rights. Hanya beberapa hak saja yang dirumuskan sebagai hak warga negara,
misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan (berturut-turut lihat Pasal 28D ayat
(3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).

Kedua, perbedaan perumusan ini membawa implikasi. Perumusan hak asasi manusia
sebagai hak perseorangan (individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam sistem
hukum manapun (berdasarkan prinsip universalitas hak asasi manusia), meskipun peluang ini
dapat terhalang oleh ketentuan prosedural hukum acara yang hanya memberi akses peradilan
nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak
warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua
orang).

Ketiga, meskipun dirumuskan sebagai hak asasi manusia tetapi pelaksanaan hak
konstitusional tertentu memang terkait dengan hubungan konstitusional (constitutional and
political relations) pemegang hak yang bersangkutan dengan konstitusi dan negara. Ini
mencakup, misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opprtunity and
treatment) di muka pemerintahan. Sebagai hak asasi manusia, hak seperti ini hanya dapat
dipenuhi kepada warga negara. Begitu pula, hak konstitusional untuk menikmati kewajiban
negara dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),
merupakan hak warga negara (perhatikan bahwa besaran anggaran merupakan pilihan politik
dan hanya beberapa negara yang menentukan besaran tersebut).

Dalam konteks pemahaman di atas, beberapa hak telah secara meyakinkan


ditegakkan (dalam arti dikabulkan) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang. Beberapa contoh dikemukakan di sini.

Pertama, hak politik eks-PKI dan tahanan politik untuk menyalonkan diri sebagai
anggota legislatif dalam Putusan No. 11-017/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD).

Kedua, hak sipil berupa larangan penerapan Undang-Undang Anti Terorisme 2001
secara retroaktif dalam Putusan No. 013/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali). Hak yang
ditegakkan melalui putusan merupakan hak yang secara konstitusional termasuk kategori tak
dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

Ketiga, dalam kaitan ini perlu disebut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-
IV/2006 (pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Dua hal yang kontradiktif perlu dicermati dari putusan ini. Pembatalan ketentuan pemberian
amnesti terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights), yang
terdapat dalam UU KKR 2004, memang sesuai dengan rezim hak asasi manusia
internasional. Tetapi, di sisi lain, keberadaan ketentuan tersebut tidak dengan cukup menjadi
dasar untuk menihilkan keseluruhan UU KKR 2004 maupun makna KKR dalam
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Keempat, hak sipil dan politik tentang kebebasan berpendapat dalam kaitan dengan
penghinaan terhadap kepala negara di dalam Putusan No. 013-022/PUUIV/2006 (pengujian
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP).

Kelima, hak sosial-kultural dalam Putusan No. 011/PUU-III/2005 (pengujian UU No.


20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Putusan ini membatalkan penjelasan
UU Sisdiknas 2003 yang menentukan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam
APBN dan APBD dipenuhi secara bertahap. Tidak semua putusan yang dicontohkan di atas
berdampak langsung dalam kenyataan sosiologis, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat. Legal efficacy putusan sering ditentukan dalam putusan yang
bersangkutan, misalnya hak eks-PKI dan tapol tidak berlaku meskipun putusan dijatuhkan
sebelum Pemilu 2004, dan terutama karena terdapat ketentuan bahwa undang-undang yang
diuji tetap berlaku sebelum dibatalkan dan dipandang sebagai prinsip bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi tidak bersifat retroaktif.

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001)
dan baru bekerja sejak akhir tahun 2003, mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia
oleh Mahkamah Konstitusi masih harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu, pengujian
undang-undang pun belum merupakan tradisi yang mapan dan kehidupan konstitusional yang
baru, pascaamandemen konstitusi, masih dalam tahap pembentukan.

2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993.
Enam tahun kemudian, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum
dirubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini juga memberi
wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat untuk :

1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, baik
yang ada dalam perangkat hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan Piagam PBB,

2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna


berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan

Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok, yaitu :

a. Pemantauan,

b. Penelitian/pengkajian,

c. Mediasi,

d. Pendidikan

Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu :

i. Sub Komisi Pemantauan,


ii. Sub Komisi Penyuluhan,

iii. Sub Komisi Pengkajian/Penelitian, dan

iv. Sub Komisi Mediasi

Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota sub
komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.

3. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pengadian Hak Asasi Manusia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26


Tahun 2000 tentang Pengadilan hak asasi manusia,Pengadilan Hak Asasi Manusia
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan umum dan
berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota.Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial
wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga Negara Indonesia.

4. Pengadilan HAM Ad Hoc

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan alternative bahwa penyelesaian


pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dapat dilakukan di luar Pengadilan Hak Asasi
Manusia, yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk berdasarkan
undang-undang.

6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang selanjutnya akan disebut
dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan tentang adanya kekerasan,
penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia. Keputusan politik
untuk membentuk KPAI juga tidak dapat dilepaskan dari dorongan dunia internasional.
Komunitas internasional menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di
Indonesia. Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam
konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya angka putus sekolah,
busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain sebagainya telah memantik
perhatian komunitas internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar membuat
lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi perlindungan anak di Indonesia. KPAI
memiliki tugas sebagai berikut :

a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,

b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam


rangka perlindungan anak.

KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota
yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial,
organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha
dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

7. Komisi Nasional Perempuan

Institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak
perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181
tahun 1998, sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan
peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi perkosaan massal terhadap
perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat itu, negara dianggap
telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu,
negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap
bahwa negara harus bertanggung jawab kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang
sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun
2005, maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk :

a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan


terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia,

b. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan


terhadap perempuan di Indonesia.

Dalam mencapai tujuan tersebut, Perpres No. 65 tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus
dijalankan oleh Komnas Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan
penelitian, pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan
penjabaran sebagai berikut:

1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan


(KTP) Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta
penghapusan segala bentuk KTP,

2. Melakukan Kajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundangundangan


yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang berlaku serta instrumen
internasional yang relevan bagi perlindungan hak asasi manusia perempuan,

3. Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian


tentang segala bentuk KTP dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta
penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah langkah
yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan,

4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan


yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan
pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang m endukung upaya upaya
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak asasi manusia perempuan,

5. Mengembangkan kerjasama regional dan internasional guna meningkatkan upaya


upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP Indonesia serta
perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia perempuan.

8. Komisi Ombudsman Nasional


Terbentuknya Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari secara khusus oleh
semangat untuk melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak asasi warga negara
Indonesia. Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi
yang bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam rangka
melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.

Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada
saat dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas di
kalangan masyrakat. Walaupun tidak serta merta tujuan perlindungan hak asasi manusia tidak
ada, namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional lebih dikarenakan
tuntutan reformasi birokrasi. Dilihat dari mekanisme pertanggung jawabannya, ombudsman
dapat dibedakan menjadi :

1. Ombudsman Parlementer, yaitu Ombudsman yang dipilih pleh parlemen dan


bertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen.

2. Ombudsman Eksekutif, yaitu Ombudsman yang dipilih oleh Presiden, Perdana


Menteri atau Kepala Daerah, dan bertanggungjawab (laporan) kepada Presiden,
Perdana Manteri atau Kepala Daerah.

Komisi Ombudsman, memiliki tujuan :

a. Membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam


melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

b. meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan


umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik.

Tujuan tersebut diharapkan akan tercapai dengan cara :

1. Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai lembaga Ombudsman


kepada masyarakat luas,

2. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan


Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan
lain-lain,

3. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai


terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya
maupun dalam memberikan pelayanan umum,
4. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman
Nasional.

3.3 Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia

Pendekatan pembangunan yang mengutamakan "Security Approach" selama lebih


kurang 32 tahun orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai kunci menjaga stabilitas
dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi nasional.
Pola pendekatan semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran hak asasi
manusia oleh pemerintah, karena stabilitas ditegakan dengan cara-cara represif oleh
pemegang kekuasaan.

Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun,
dengan pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden,
telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan
para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini
mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemimpin
negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas warga dan
pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini dilakukan oleh pemegang
kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.

Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya
good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang. akuntabilitas,
penegakan hukum yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma
aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan sebagai
pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung
untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.

Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan


kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat,
perorangan, maupun oleh aparat.

Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun
Perserikatan Bangsa- Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya
menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan
martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik,
bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang hak asasi
manusia belum mampu melindungi perempuan.

You might also like