Professional Documents
Culture Documents
Untuk menjaga penegakkan HAM, maka dibutuhkan suatu lembaga yang memantau
proses penegakkan HAM. Di dalam PBB sendiri terdapat beberapa badan yang mengatur
tentang penegakkan HAM secara internasional. Hal ini membuat Indonesia membangun
suatu mekanisme penegakkan HAM untuk mengawasi proses penegakkan HAM di
Indonesia. Berikut ini adalah lembaga lembaga ( internasional dan nasional ) yang
mengawasi proses penegakkan HAM di dunia internasional :
1. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights Agen PBB
ntuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia yang dijamin di bawah
hukum internasional dan ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
1948
2. United Nations Security Council Salah satu organ utama Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang bertugas memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Kekuasaannya, yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk
pembentukan operasi penjaga perdamaian , pembentukan sanksi internasional, dan
memiliki otorisasi tindakan militer. Kekuasaan tersebut telah ditinjau melalui Resolusi
Dewan Keamanan PBB Resolusi.
6. UNESCO Sebuah badan khusus PBB yang didirikan pada tanggal 16 November
1945. Bada ini memiliki tujuan untuk memberikan kontribusi pada perdamaian dan
keamanan internasional dengan mempromosikan melalui kolaborasi pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan budaya dalam rangka mensosialisasikan hormat kepada keadilan,
aturan hukum, dan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar seperti yang
dinyatakan dalam Piagam PBB. Badan ini merupakan perwujudan dari Liga Bangsa-
Bangsa pada bagian Komisi Kerjasama dalam bidang Intelektual.
Dalam lingkup nasional juga terdapat beberapa lembaga yang mengawasi proses penegakkan
HAM, diantaranya :
1. Mahkamah Konstitusi
Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk
melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang
dalam instrumen interasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to promote, to
implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan
di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang
bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa mekanisme
penyampaian keluhan publik (public complaints procedure), peradilan administrasi/tata-
usaha negara, peradilan dibawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia,
komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), maupun pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara kategoris, jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945
mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas
pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam
sejumlah pasal antara lain 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama), 31-32
(Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30 (Bab
Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia
tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM. Di sini perlu diberikan catatan tentang perumusan
hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pertama, pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau
individual rights. Hanya beberapa hak saja yang dirumuskan sebagai hak warga negara,
misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan (berturut-turut lihat Pasal 28D ayat
(3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).
Kedua, perbedaan perumusan ini membawa implikasi. Perumusan hak asasi manusia
sebagai hak perseorangan (individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam sistem
hukum manapun (berdasarkan prinsip universalitas hak asasi manusia), meskipun peluang ini
dapat terhalang oleh ketentuan prosedural hukum acara yang hanya memberi akses peradilan
nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak
warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua
orang).
Ketiga, meskipun dirumuskan sebagai hak asasi manusia tetapi pelaksanaan hak
konstitusional tertentu memang terkait dengan hubungan konstitusional (constitutional and
political relations) pemegang hak yang bersangkutan dengan konstitusi dan negara. Ini
mencakup, misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opprtunity and
treatment) di muka pemerintahan. Sebagai hak asasi manusia, hak seperti ini hanya dapat
dipenuhi kepada warga negara. Begitu pula, hak konstitusional untuk menikmati kewajiban
negara dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),
merupakan hak warga negara (perhatikan bahwa besaran anggaran merupakan pilihan politik
dan hanya beberapa negara yang menentukan besaran tersebut).
Pertama, hak politik eks-PKI dan tahanan politik untuk menyalonkan diri sebagai
anggota legislatif dalam Putusan No. 11-017/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD).
Kedua, hak sipil berupa larangan penerapan Undang-Undang Anti Terorisme 2001
secara retroaktif dalam Putusan No. 013/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali). Hak yang
ditegakkan melalui putusan merupakan hak yang secara konstitusional termasuk kategori tak
dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Ketiga, dalam kaitan ini perlu disebut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-
IV/2006 (pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Dua hal yang kontradiktif perlu dicermati dari putusan ini. Pembatalan ketentuan pemberian
amnesti terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights), yang
terdapat dalam UU KKR 2004, memang sesuai dengan rezim hak asasi manusia
internasional. Tetapi, di sisi lain, keberadaan ketentuan tersebut tidak dengan cukup menjadi
dasar untuk menihilkan keseluruhan UU KKR 2004 maupun makna KKR dalam
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Keempat, hak sipil dan politik tentang kebebasan berpendapat dalam kaitan dengan
penghinaan terhadap kepala negara di dalam Putusan No. 013-022/PUUIV/2006 (pengujian
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP).
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001)
dan baru bekerja sejak akhir tahun 2003, mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia
oleh Mahkamah Konstitusi masih harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu, pengujian
undang-undang pun belum merupakan tradisi yang mapan dan kehidupan konstitusional yang
baru, pascaamandemen konstitusi, masih dalam tahap pembentukan.
Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993.
Enam tahun kemudian, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum
dirubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini juga memberi
wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat untuk :
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, baik
yang ada dalam perangkat hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan Piagam PBB,
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok, yaitu :
a. Pemantauan,
b. Penelitian/pengkajian,
c. Mediasi,
d. Pendidikan
Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu :
Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota sub
komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota
yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial,
organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha
dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak
perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181
tahun 1998, sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan
peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi perkosaan massal terhadap
perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat itu, negara dianggap
telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu,
negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap
bahwa negara harus bertanggung jawab kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang
sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun
2005, maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk :
Dalam mencapai tujuan tersebut, Perpres No. 65 tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus
dijalankan oleh Komnas Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan
penelitian, pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan
penjabaran sebagai berikut:
Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada
saat dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas di
kalangan masyrakat. Walaupun tidak serta merta tujuan perlindungan hak asasi manusia tidak
ada, namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional lebih dikarenakan
tuntutan reformasi birokrasi. Dilihat dari mekanisme pertanggung jawabannya, ombudsman
dapat dibedakan menjadi :
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun,
dengan pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden,
telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan
para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini
mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemimpin
negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas warga dan
pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini dilakukan oleh pemegang
kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya
good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang. akuntabilitas,
penegakan hukum yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma
aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan sebagai
pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung
untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun
Perserikatan Bangsa- Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya
menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan
martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik,
bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang hak asasi
manusia belum mampu melindungi perempuan.