You are on page 1of 19

BAB I

RINGKASAN

Pasien perempuan berusia 43 tahun dengan berat badan 80 kg ini didiagnosis


Hidronefrosis Dextra et causa batu u.v.juntion, akan dilakukan tindakan Pielolitotomi dengan
teknik anetesi yang digunakan adalah General Anestesi (GA) dengan Intubasi menggunakan
ETT No. 7. Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA 2.

Obat anestesi yang digunakan untuk premedikasi adalah fortanest 3 mg, dan fentanyl 100
mcg, untuk induksi general anastesi menggunakan propofil 130 mg, maintenance dengan O2,
N2O dan Isoflurane, lalu dilanjutkan dengan pemberian Ondancentron 4 mg dan Efedrin 10 mg.

Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu


anestesiolog mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, agar dapat bekerja
dengan aman. Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena Ringer
Laktat. Teknik yang digunakan pada pasien ini sudah sesuai dengan indikasi General Anastesi
pada tindakan URS. Pada monitoring, didapatkan TD: 90/48 mmHg Efedrin 10 mg, SpO2:
86%, HR: 68x/menit ambu (+) HR: 52x/menit Efedrin 10 mg + SA 0,5 mg, tidak
respon. HR : 49x/menit SA 0,5 mg, sianotik (+). Saturasi oksigen tidak terdeteksi. SA 0,5 mg
bagging Adrenalin 1 amp, TD 118/58 mmHg, HR: 58x/menit Pasien masuk ruang ICU.

Pasien dipindah ke ruang ICU, dilakukan tindakan RJPO dan dilakukan monitoring.
Resusitasi tidak berhasil, dan melalui rekaman EKG dinyatakan pasien meninggal dunia pukul
15.40 wib.

1
BAB II

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. E.S


NRM : 000833566
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Rawa Badung RT 006/007, Jakarta Timur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen
Suku : Batak
Berat badan : 80 kg
Tinggi Badan : 165 cm
Diagnosis pra bedah : Hidronefrosis Dextra et causa batu u.v.junction
Jenis Pembedahan : Pielolitotomi
Diagnosis pasca bedah : Pionefrosis et causa stricture u.v.junction
Tanggal masuk RS : 24 Januari 2017
Tanggal Operasi : 25 Januari 2017
Dr. Anestesi : dr. Robert Sirait, Sp.An
Dr. Bedah : dr. Ruyandi Hutasoit, Sp.U
Jenis anestesi : General Anastesia
Lama Operasi : 60 menit

2
B. Keadaan Pra Bedah
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 160/90 mmHg

Frekuensi nadi : 82 x/menit

Frekuensi nafas : 20 x/menit

Suhu tubuh : 36,5 oC

Berat badan : 80 kg

Tinggi badan : 165 cm

Airway/Respiratory :

Clear; snoring (-), gurgling (-), crowing (-), BND vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-, gigi caries

(-), gigi palsu (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-), mallampati 2.

Sirkulasi :

Akral hangat, CRT < 2, sianosis (-), BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-), riwayat penyakit

jantung (-), riwayat hipertensi (-).

Saraf :

Kesadaran compos mentis, GCS E4M6V5, riwayat kejang (-), riwayat stroke (-), riwayat penyakit

saraf (-). Defisit neurologis (-).

3
Gastro Intestinal : Mual-muntah (-), riwayat maag (-).

Renal : Kateter (-), CVA -/-

Metabolik : Riwayat DM (-), GDS 117 mg/dl

Hati : Riwayat hepatitis (-)

Status fisik : ASA II

Riwayat Alergi : Disangkal

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Hb : 11,1 g/dL
Leukosit : 9,0 x103/L
Hematokrit : 35 %
Trombosit : 452 x103/L
Ureum : 50 mg/dl
Creatinin : 1,22 mg/dl
SGOT : 19 U/L
SGPT : 13 U/L
Masa perdarahan : 2 menit
Masa pembekuan : 14 menit
Na : 141 mmol /L
K : 3,9 mmol/L
Cl : 107 mmol/L
Gula darah sewaktu : 117 ng/dl
2. Pencitraan
Foto Thoraks : Cardiomegali ringan
BNO-IVP : Non visualized ginjal kanan
3. Echocardiografi : Normal cardiac

4
D. DIAGNOSIS KERJA
Hidronefrosis dextra et causa ureterovesical junction dengan status fisik ASA 2
Rencana General Anestesi pada tindakan Pielolitotomi

E. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
Lengkapi Informed Consent Anestesi
Stop makan dan minum / puasa 6 jam pra bedah
Memakai baju khusus kamar bedah
2. Premedikasi : Fortanest 3 mg (iv), Fentanyl 100 mcg (iv)
3. Jenis anestesi : General Anestesia
4. Posisi : Lateral
5. Teknik : Intubasi dengan ETT No. 7, kk, Cuff (+) 5 ml, dan
menggunakan guedel No. 3.
6. Anestesi dengan : Induksi : Propofol 130 mg pada General Anastesia.
7. Maintenance : O2 (2 lpm), N2O (2 lpm), Isoflurane (1,2%)
8. Relaksasi : Vecuronium
9. Obat-obat an selama operasi :
Propofol 130 mg iv
Ondansteron 4 mg iv
Fentanyl 100 mcg iv
Efedrin 10 mg iv
Sulfas Atropine 0,5 mg iv
10. Jenis cairan : Ringer Lactate 500cc
11. Jumlah cairan yang masuk selama operasi
Kristaloid = 500 cc (RL 500 cc)

12. Perdarahan selama operasi : 50cc


13. Urin selama operasi : 400cc

5
Keadaan selama operasi

Keasadaran : Composmentis

TD : 90/48 mmHg

Nadi : 68x/menit

Pernafasan : 20x/menit

Suhu : 36 oC

SpO2 : 92%

Dengan URS & guide wire dari ostium ureter eksterna dilakukan tindakan endoskopi, tidak
ada penyempitan sampai daerah u.v. junction. Setelah itu, guide wire tidak menembus
karena ada penyempitan.

Jam 13.50 diputuskan untuk dilakukan pielolitotomi, direncanakan untuk ubah posisi
menjadi supine. Saat persiapan untuk lumbotomi dextra dan sebelum dilakukan perubahan
posisi, tiba-tiba saturasi oksigen mulai menurun diikuti penurunan tekanan darah serta
nadi.

Pada monitoring, didapatkan TD: 90/48 mmHg Efedrin 10 mg, SpO2 92% -- > TD
70/40 mmHg, SpO2: 86% ,HR: 68x/menit ambu (+) HR: 52x/menit Efedrin 10
mg + SA 0,5 mg, tidak respon. HR : 49x/menit SA 0,5 mg, sianotik (+). Saturasi
oksigen dan TD tidak terdeteksi. SA 0,5 mg bagging Adrenalin 1 amp.

Pukul 14.15 wib, TD 118/58 mmHg, HR: 58x/menit Pasien masuk ruang ICU.

Pasien dipindah ke ruang ICU, dilakukan tindakan Resusitasi Jantung, Paru, Otak (RJPO)
dan dilakukan monitoring. Resusitasi dilakukan selama 25 menit tetapi tidak berhasil,
dan melalui rekaman EKG dinyatakan pasien meninggal dunia pukul 15.40 wib.

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. EMBOLI

Emboli adalah adanya massa dapat berupa padat, cair, atau gas yang beredar di sirkulasi dan
dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang berlokasi jauh dari tempat asalnya.
Emboli sering ditemukan pada vena, arteri, pembuluh limfe, dan jantung. Emboli dapat
mengakibatkan kematian mendadak, kematian jaringan atau infark, emboli septic, saraf infeksi
baru dan abses-abses baru, serta metastasis tumor ganas. Emboli dapat berbentuk padat, cair,
maupun gas. Emboli gas dapat berupa emboli udara atau gas lain seperti CO atau NO.1
Jenis emboli antara lain:1
Berupa benda padat berasal dari thrombi, kelompok sel tumor, kelompok bakteri dan
jaringan.
Emboli yang bersifat cairan seperti cairan amnion.
Emboli yang bersifat gas berupa udara atau gas lain.

A.1. DEFINISI EMBOLI PARU

Emboli Paru adalah sumbatan arteri pulmonalis, yang disebabkan oleh trombus pada
thrombosis vena dalam di tungkai bawah yang terlepas dan mengikuti sirkulasi menuju arteri di
paru. Setelah sampai diparu, trombus yang besar tersangkut di bifurkasio arteri pulmonalis atau
bronkus lobaris dan menimbulkan gangguan hemodinamik, sedangkan trombus yang kecil terus
berjalan sampai ke bagian distal, menyumbat pembuluh darah kecil di perifer paru. Emboli paru
merupakan salah satu kegawatdaruratan pada bidang kardiovaskular yang cukup sering terjadi
dan dapat menyebabkan kematian pada semua usia.2

A.2. EPIDEMIOLOGI SINDROM TURP

Emboli Paru merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Di Perancis diperkirakan
angka kejadian pertahunnya lebih dari 100.000 kasus, di Inggris dan Wales 65.000 kasus
penderita yang dirawat , dan lebih dari 60.000 kasus di Italia. Di Amerika Serikat tiap tahunnya

7
didapatkan lebih dari 600.000 penderita emboli paru, mengakibatkan kematian 50.000 - 200.000,
dan menduduki urutan ke tiga penyebab kematian pasien rawat inap.

Insidensi dari emboli paru meningkat secara eksponensial dengan usia. 65% pasien
mengalami emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat peningkatan resiko sebesar delapan
kali lipat pada pasien berusia 80 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 50
tahun.2 Hanya 39.5% pasien yang melakukan tindakan operasi besar memiliki resiko terjadinya
emboli paru apabila mendapatkan profilaksis yang cukup.3,4

A.3. FAKTOR RESIKO

Faktor predisposisi terjadinya emboli paru adalah laki-laki, usia lanjut, immobilisasi,
trauma, tindakan bedah tertentu ( terutama pada pelvis dan tungkai), kehamilan, merokok,
kontrasepsi oral, obesitas, congestive heart failure dan keganasan. Semuanya meningkatkan
risiko terbentuknya bekuan darah yang dapat menyebabkan EP. Bila tidak diterapi, angka
kematiannya cukup tinggi, diperkirakan 30% (10 kali lebih besar dibanding dengan yang
diterapi) dan menurun 2-10% dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.

Berdasarkan American Heart Association, terdapat beberapa faktor predisposisi yang


dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya emboli paru.

A.4. PATOFISIOLOGI

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit kepala,
kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure. Selain itu

8
bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari
cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah
2
diobservasi awal setelah pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai.
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu :
tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka, lama reseksi / paparan
dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin
banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan
absorbsi air ke dalam sistem sirkulasi. 2

1. Intoksikasi air 2

Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan kelainan
neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien awalnya menjadi
somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang menjadi koma dalam posisi
deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang
terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral.
Gejala ini muncul apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level
normal.

2. Overload Sirkulasi 2

Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi TURP
melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan cara memeriksa udara
ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke
dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan
akut dari konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic
meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms).Reseksi biasanya
berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari cairan irigasi diserap / diabsorbsi
selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi yang meningkat, volume darah akan meningkat,
tekanan sistolik dan diastolik meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan
mendilusi protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan

9
peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen interstisial,
menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi,
hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruang interstisiil (periprostatik,
retroperitoneal ). Untuk setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na
ikut masuk ke dalamnya.

Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi. Morbiditas dan
mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih dari 90 menit. Absorbsi
intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi interstisial dipengaruhi integritas
kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor
penting lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian
kolom cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari
cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk
mendapatkan penglihatan yang baik.

3. Hyponatremia Hiperosmolaritas 2,5

Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma.
Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan
dengan volume cairan ekstraseluler. Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel,
terutama pada jantung dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP
melalui berbagai mekanisme :

1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi

2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat

3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan retroperitoneal

4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada kelebihan
volume cairan menyebabkan natriuresis..

10
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang. Ketika Na
serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan kontraktilitas miokardial
terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat
terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter
maka kejang umum, koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation
(VF) dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat bukanlah
hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang kita tahu bahwa
sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun permeabel terhadap air. Edema
serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial,
menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex).

4. Glycine Toxicity 2

Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan retina dan
dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek subakut dari
miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T. pada EKG 24 jam setelah
pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute
myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi
transuretra vs open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional
hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi.
Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Glisin
adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system saraf pusat.
Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan
neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. .
Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan

11
meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf
pusat dan gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain
dari glisin yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas
glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi,
oligouria, anuria dan kematian.

Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang pada pasien
TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik
dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.

5. Keracunan Amonia 2

Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia yang tinggi
menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini menyebabkan encephalopati
TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi
adalah satu jam setelah pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma.
Ammonia darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter).
Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena glisin secara
kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.

Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang mengalami
TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh tidak dapat
memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system., citric acid cycle dan
konversi glycolic dan glioxylic acid.

Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia normalnya
diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah produk intermediet dari
siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle tidak berlangsung sempurna dan
terjadi akumulasi amonia.

12
BAB IV

PEMBAHASAN

A. PRE OPERATIF

Pada pasien laki-laki umur 43 tahun, BB 80 kg dengan diagnosa Hidronefrosis Dextra et


causa batu u.v.juntion dilakukan general anestesi.

1. Durasi operasinya singkat sampai sedang dan faktor risikonya lebih rendah
2. Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui bahwa keadaan pasien cukup baik
(ASA 2)
3. Lambung dalam keadaan kosong

B. DURANTE OPERATIF

Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien bedah urologi diperlukan beberapa
pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya
pembedahan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin membuat nyeri dan perdarahan,
sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis.

Pada pasien ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan Sub Arakhnoid Block
(SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke ruang subarakhnoid, sehingga pada pasien
dipastikan tidak terdapat tanda-tanda hipovolemia. Teknik ini sederhana, cukup efektif. Induksi
menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi
regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.

13
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.
Mula kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam
keadaan terlentang (supine).

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua
crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat
tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin.
Jarum spinal nomor 26 ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS
(jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-
lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang
bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole
kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena
dicepatkan, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi hipotensi.

Anestesi dengan : Bupivacain 0,5 % 15 mg, heavy pada Anastesi Spinal.

Maintenance : O2 2 Lpm.

Obat-obat :

- Catapres 50 mcg
- Inj. Ondansteron 4 mg IV
- Inj. Asam Traneksamat 500 mg IV
- Inj. Efedrin 50 mg

Pemberian obat anti mual dan muntah ini sangat diperlukan dalam operasi. Pada pasien ini
diberikan anti mual dan muntah, ondancentron 4 mg secara intravena. Pada pasien ini berikan
cairan infus RL. (ringer laktat) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit
yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan minum 6 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien
ini :

14
BB = 71 kg
Maintenance = 2 cc/kgBB/jam = 2 x 71 kg = 142 cc/jam
Pengganti puasa = 6 x maintenance = 6 x 142 cc = 852 cc/jam
Stress operasi = 8 cc/kgBB/jam = 8 x 71 = 568 cc/jam
EBV = 70 cc/kgBB/jam = 70 x 71 = 4970 /jam
ABL = EBV X 20% = 4970 X 20 % = 994 cc

Pemberian Cairan :
1 jam pertama = (50 % X pengganti puasa ) + maintenance + stress operasi + 350
= (50 % X 852) +142 + 568 +350
= 1486 cc
1 jam kedua = (25 % X pengganti puasa ) + maintenance
= ( 25 % X 852 ) + 142
= 355 cc

Pada jam ketiga = maintenance+ stress operasi 142 + 568 = 710

Jam ke empat = stress operasi568 cc

C. POST OPERATIF

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan. Pasien berbaring dengan
posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, karena efek obat anestesi masih ada.
Observasi post TURP dilakukan selama 1 jam 50 menit, dan dilakukan pemantauan secara ketat
meliputi vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), bromage skor dan
memperhatikan banyaknya darah yang keluar pasca operasi. Oksigen tetap diberikan 2-3
liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruang perawatan biasa.

15
BAB V

KESIMPULAN

Pasien Tn. MD usia 71 tahun dengan Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dilakukan
operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP). Teknik anestesi spinal dengan
Bupivacain 0,5% heavy. Teknik anastesi yang digunakan pada pasien ini sudah sesuai indikasi
yaitu dengan mempertimbangkan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya bedah urologi (1
jam 50 menit), sesuai dengan durasi anestesi spinal yang tidak terlalu panjang yaitu 1,5 2 jam.

Operasi berjalan dengan lancer, status hemodinamik pasien selama operasi stabil. Lalu
pasien post operasi pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dengan mengamati tanda-tanda vital
pasien per 5 menit dan juga dengan pemberian o2 nasal kanul 3 Lpm. Lama di ruang pemulihan
selama 1 jam, dengan menilai skor bromage dan skor alderete. Setelah skor bromage <2 pasien
masuk ruang perawatan inap/bangsal

16
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Chih-Chung Tsai, et al. Water intoxication during transcervical resection of uterine


myoma. Department of Anesthesiology, Chang Gung Memorial Hospital, ChiaYi.
Taiwan. 2005.
2. Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome - Current Consept in Pathology and Physiology.
Indian J Urology 2001 17 : 97-102.
3. Zepnick H, Steinbach F, Schuster F. [Value of transurethral resection of the prostate
(TURP) for treatment of symptom- atic benign prostatic obstruction (BPO): An analysis
of ef- ciency and complications in 1015 cases.] (Ger) Aktuelle Urol 2008;39:369372.
4. Reich O, Gratzke C, Bachmann A, et al. Morbidity, mortality and early outcome of
transurethral resection of the prostate: A prospective multicenter evaluation of 10,654
patients. J Urol 2008;180:246249.
5. Gravenstein D. Transurethral Resection of the Prostate (TURP) Syndrome A Review of
Patofisiology and Management. Aneshesia analgesia.. 1997. pp.438-446
6. Bougar FS, Sue DY. Hipervolemia. Current Critical Care And Diagnosis and Treatment.
Appleton and Lange : USA. 1994
7. Transurethral Resection of the Prostate Syndrome: Almost Gone but Not Forgotten
JOURNAL OF ENDOUROLOGY Volume 23, Number 12, December 2009 .
8. Hahn RG. Fluid absorption in endoscopic surgery. Br J Anaesth 2006;96:820.
9. Olsson J, Nilsson A, Hahn RG. Symptoms of the transure- thral resection syndrome using
glycine as the irrigant. J Urol 1995;154:123128.
10. Hatch PD. Surgical and anaesthetic considerations in trans- urethral resection of the
prostate. Anaesth Intensive Care 1987;15:203211.
11. Jensen V. The TURP syndrome. Can J Anaesth 1991;38:9096.
12. Creel DJ, Wang JM, Wong KC, Transient blindness associ- ated with transurethral
resection of the prostate. Arch Ophthalmol 1987;105:15371539
13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. McGraw- Hill : New
York. 2006.
14. Jin F, Chung F. Minimizing perioperative adverse events in the elderly. Br J Anaesth
2001;87:608624.
17
15. Hahn RG. Ethanol monitoring of irrigating uid absorption. Eur J Anaesthesiol
1996;13:102115.
16. Sohn MH, Vogt C, Heinen G, et al. Fluid absorption and circulating endotoxins during
transurethral resection of the prostate. Br J Urol 1993;72:605610.
17. Shipstone DP, Inman RD, Beacock CJ, Coppinger SW. Va- lidation of the ethanol breath
test and on-table weighing to measure irrigating uid absorption during transurethral
prostatectomy. BJU Int 2002;90:872875.
18. Madsen PO, Madsen RE. Clinical and experimental evalua- tion of different irrigating
uids for transurethral surgery. Invest Urol 1965;3:122129.
19. Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung seto.
20. McConnell JD, Barry MJ, Bruskewitz RC. Benign prostatic hyperplasia: diagnosis and
treatment. Agency for Health Care Policy and Research. Clin Pract Guidel Quick Ref
Guide Clin. 1994 Feb. 1-17
21. Wasson JH, Bubolz TA, Lu-Yao GL, Walker-Corkery E, Hammond CS, Barry MJ.
Transurethral resection of the prostate among medicare beneficiaries: 1984 to 1997. For
the Patient Outcomes Research Team for Prostatic Diseases. J Urol. 2000 Oct.
164(4):1212-5.
22. Mutlu M, Titiz M. Hyponatremia and Neurological Manifestation of TURP
syndrome.The Internet Journal of Anesthesiology 2007; 12(1): 235 70.
23. Scott JM, 2008, Strategies to Prevent Hyponatremia During Prolonged Exercise Current
Sports Medicine Reports
24. Kolka MA et al, 2003, Current U.S. Military Fluid
Replacement Guidelines ResearchGate
25. Dietary Reference Intakes for Water, Potassium, Sodium, Chloride, and Sulfate ( 2005 )/4
Water The National Academic Press
26. Loise M, et all. Exercise and Fluid Replacement. America Collage of Sport Medicine.
2007
27. Kinn H, RN, BSN, CCRN, Water Intoxication. North Colorado Med Evac. 2014
28. Donnell A, Foo I,. Anaesthesia for transurethral resection of the prostate. Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain Oxford University. Volume 9 Number 3
2009.

18
29. Kluger, Szekely, Singleton, et al. Crisis management during anaesthesia: water
intoxication. Qual Saf Health Care Adelaide, South Australia.2005.

19

You might also like