You are on page 1of 14

LAPORAN KASUS HERPES ZOSTER

Disusun oleh:
dr. Egie Praja

Pembimbing :
dr. Wahyuni Hapsari, MARS

DOKTER INTERNSIP 27 NOVEMBER 2016 23 MARET 2017


PUSKESMAS CIBEBER
2017
LATAR BELAKANG MASALAH

Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan
oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster. Herpes zoster ditandai
dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik
dan nervus kranialis.
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka
kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia.
Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia
di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun. Patogenesis
herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoster
berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan
ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak
bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius.
Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela
yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang
berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk
pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang
terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah
krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3
kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara
langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat
terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.
Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu:
mengatasi inveksi virus akut, mengatasi nyeri akut ynag ditimbulkan oleh virus herpes
zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik.
LAPORAN KASUS

Keluhan utama:
Seorang perempuan berinisial H, berusia 45 tahun, bertempat tinggal di Cibeber, datang
ke poli umum Puskesmas Cibeber dengan keluhan utama lentingan yang terasa gatal,
nyeri, dan perih pada bagian punggung kanan sampai ke perut kanan atas

Anamnesa:

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien pada tanggal 30 Januari 2017
pukul 10.30 WIB. Pasien datang dengan keluhan lentingan yang terasa gatal dan nyeri
pada bagian punggung kanan sampai ke perut kanan atas. Lentingan awalnya muncul
pada bagian perut kanan atas dan menjalar sampai ke punggung sebelah kanan sejak 3
hari sebelum datang ke Puskesmas. Lentingan disadari semakin banyak dan ukurannya
bertambah besar dari hari ke hari. Lentingan ini berisi cairan berwarna jernih di
dalamnya, tidak ditemukan adanya lentingan berisi darah maupun nanah. Lentingan
dirasakan mudah untuk pecah terutama setelah digaruk. Lentingan disertai dengan rasa
gatal dan nyeri yang dialami sepanjang hari. Rasa nyeri diikuti dengan rasa panas yang
menjalar dari punggung ke perut. Skala nyeri pasien adalah 4/10. Selain itu terdapat
perubahan warna kulit menjadi kemerahan pada lokasi lentingan. Pasien merasakan
adanya demam yang dikatakan tidak tinggi pada awal muncul lentingan. Pasien tidak
mengeluhkan adanya mual, muntah, ataupun penurunan nafsu makan. Tidak ada keluhan
buang air besar ataupun buang air kecil. Pasien mengatakan tidak mengganti merek sabun
mandi, sabun cuci baju ataupun deodoran dalam waktu 1 minggu terakhir ini. Pasien
memiliki aktifitas yang cukup padat akhir-akhir minggu ini sehingga tidak banyak waktu
untuk beristirahat.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Pasien mengaku pernah
mengalami cacar air pada saat pasien masih sekolah dasar dahulu.
Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum pasien tampak sakit ringan, tingkat kesadaran compos mentis dengan
GCS E4M6V5, dan tanda-tanda vital tekanan darah 100/70 mmHg, laju nadi 74 x/menit,
dan laju nafas 16 x/menit. Status generalisata pasien dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status dermatologis, regio punggung kanan sampai ke dada sebelah kanan
tampak vesikel dan bula berkelompok di atas kulit eritematosa, unilateral, tersusun
dermatomal dan terdapat kulit yang normal diantara lesi.

Diagnosis:

Diagnosis banding pada pasien ini adalah dermatitis kontak alergi. Diagnosis pada pasien
ini adalah herpes zoster region thorakal dekstra.

Terapi:

Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa Acyclovir 100mg 4x2 selama 1 minggu,
cetirizine 1x1, dan ibuprofen 3x1.
ANALISA PERMASALAHAN DALAM KASUS

- Berdasarkan informasi yang telah pasien berikan, diketahui bahwa pasien pernah
memiliki riwayat cacar air atau varisela zoster pada saat masih kecil. Hal tersebut
merupakan faktor pendukung terjadinya herpes zoster. Selain itu pasien mengaku
tubuhnya sangat lelah akibat kurangnya istirahat. Daya tahan tubuh yang turun
merupakan penyebab teraktivasinya virus varisela zoster kembali. Dalam kasus ini
pasien memiliki prognosis yang baik karena pada umumnya dengan meningkatnya
daya tahan tubuh dan pemberian antivirus guna menekan replikasi virus herpes zoster
akan berangsur sembuh. Namun memang diperlukan waktu sampai dengan 2 minggu
bahkan 1 bulan agar rasa nyeri dapat hilang.

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

- Kunci utama dalam pengobatan herpes zoster adalah pemberian edukasi kepada
pasien. Untuk mempercepat proses pemulihan, pasien diharapkan dapat mengurangi
aktivitas guna mendapatkan kualitas istirahat yang baik dan cukup. Selain itu pasien
juga dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan sehat dan makan secara teratur.
- Pasien dianjurkan untuk tidak menggaruk lentingan agar tidak pecah dan menyebar
ke bagian kulit lainnya. Hal ini dilakukan agar area nyeri tidak semakin luas dan
mengganggu pasien.
- Selain itu pasien juga diberikan edukasi untuk menjaga kontak dengan orang
disekitarnya karena cairan di dalam lentingan yang pecah bersifat menular.

PELAKSANAAN INTERVENSI
Pasien tidak mengetahui apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tertentu.
Intervensi pemberian obat telah diberikan pada saat kunjungan pertama dengan
memberikan informasi tentang gejala alergi obat. 2 hari setelah kunjungan pertama pasien
datang ke Puskesmas dan mengaku tidak cocok setelah mengkonsumsi ibuprofen karena
pasien mengalami gatal pada seluruh tubuh. Oleh karena itu dipikirkan untuk
memberikan asam mefenamat sebagai obat anti nyeri pasien ini.
MONITORING
Pasien dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan
pertama. Monitoring ini dilakukan untuk memastikan perjalanan virus herpes zoster tidak
semakin meluas. Hasil dari pengobatan dan juga edukasi yang diberikan cukup baik
ditandai dengan berkurangnya lentingan dan pasien merasakan nyeri berkurang.

PEMBAHASAN TEORI
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan ditandai dengan adanya
manifestasi erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa.1,2 Pada umumnya
daerah kulit yang terkena sesuai dengan dermatom dan terjadi unilateral. Herpes
zoster merupakan akibat dari terjadinya reaktivasi virus varisela zoster yang laten di
dalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion
saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang
sama.1,3,4

Herpes zoster terjadi sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh perubahan musim.
Angka kejadiannya 2-4 kasus dalam 1000 orang setiap tahunnya.1,3 Tingkat keparahan
penyakit ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Komplikasi dapat
terjadi sebanyak 50% dari jumlah kasus herpes zoster pada usia lebih dari 60 tahun.1
Selain itu sebesar 3% dari jumlah kasus tersebut membutuhkan perawatan di rumah
sakit.3 Umumnya herpes zoster jarang terjadi pada anak usia dini. Penyakit ini dapat
menular meskipun daya tularnya lebih kecil dibandingkan dengan varisela.1

Patogenesis terjadinya herpes zoster yaitu sebagai reaktivasi dari virus varisela
zoster. Cacar air atau infeksi varisela merupakan infeksi yang sangat menular dan
menyebar secara droplet (batuk atau bersin) ataupun kontak langsung dengan
penderita. Infeksi virus yang masuk akan menginvasi mukosa saluran pernafasan atas
dan juga konjungtiva mata. Setelah itu virus berjalan masuk ke peredaran darah dan
infeksi varisela terjadi diawali dengan munculnya ruam merah di seluruh tubuh.
Selain itu virus varisela juga akan masuk dan diam di dalam neuron ganglion sensoris
radiks dorsalis serta ganglion saraf kranialis. Infeksi di sel saraf tidak menimbulkan
gejala karena berada dalam fase laten.5 Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi dari
virus varisela zoster yang ada di sel saraf tersebut. Reaktivasi virus ini terjadi akibat
daya imunitas tubuh yang melemah atau munurun. Keadaan ini biasanya terjadi pada
orang dengan penyakit imunosupresif atau pada orang tua. Titer antibodi yang
spesifik terhadap virus varisela zoster juga menurun pada kondisi tersebut sehingga
tidak efektif lagi dalam mencegah infeksi virus. Selain keadaan tersebut, faktor
pencetus lain yang dapat mengaktivasi kembali virus ini yaitu adanya infeksi lain,
kondisi stres, dan juga kelemahan fisik meskipun belum dapat dipastikan.1-5 Herpes
zoster berbeda dengan varisela dalam hal penularannya. Herpes zoster tidak
ditularkan melalui droplet udara melainkan kontak langsung dengan cairan vesikel.
Selain itu cairan yang menempel pada baju ataupun handuk juga berkontribusi dalam
penyebaran penyakit ini. Herpes zoster yang ditularkan akan mengakibatkan infeksi
varisela pada orang yang belum pernah terpapar virus ini sebelumnya.5 Patogenesis
ini dapat menjelaskan mengapa pasien FS mengalami herpes zoster. Riwayat terkena
varisela sebelumnya merupakan faktor pencetus menetapnya virus varisela zoster di
dalam tubuh. Kondisi kelelahan fisik yang dialami oleh pasien ini merupakan
kecurigaan terjadinya reaktivasi virus varisela.

Gejala klinis herpes zoster dimulai berupa gejala prodromal berupa sensasi
abnormal atau nyeri otot lokal yang terjadi sebanyak 70-80% kasus2, nyeri tulang,
parestesia sepanjang dermatom, gatal, dan rasa terbakar. Selain itu dapat juga
ditemukan adanya gejala sistemik seperti sakit kepala, tidak nafsu makan, dan demam
yang terjadi pada kurang dari 20% kasus.1,2 Gejala prodromal ini biasanya
berlangsung selama 1-10 hari, dengan rata-rata 2 hari. Setelah gejala prodromal, akan
timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri terlokalisasi sepanjang dermatom
berupa makula kemerahan.1 Sebanyak 80% kasus erupsi kulit akan muncul dalam
waktu 48-72 jam.4 Setelah itu timbul vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Isi
vesikel yang tadinya jernih akan menjadi keruh dan pecah sehingga terbentuk krusta,
umumnya berlangsung selama 7-10 hari. Setelah itu erupsi kulit akan mengalami
involusi setelah 2-4 minggu yang biasanya tidak menimbulkan gejala sisa.1 Tingkat
kesakitan yang dirasakan oleh penderita berbeda-beda tiap individu tergantung dari
status imunologis dan usia penderita.4 Pada kasus ini diketahui bahwa pasien
memiliki gejala sejak 3 hari yang lalu. Gejala berupa nyeri, gatal, dan muncul
lentingan dikatakan muncul pada waktu yang bersamaan. Berdasarkan informasi
tersebut maka dapat diperkirakan bahwa fase prodromal herpes zoster yang dialami
tidak memiliki gejala yang signifikan. Erupsi kulit yang dialami merupakan suatu ciri
herpes zoster yaitu vesikel dan bula berisi cairan jernih dengan dasar eritema dan
tersebar sesuai dermatom.

Komplikasi yang sering terjadi yaitu neuralgia pasca herpes (NPH), dimana nyeri
masih menetap pada daerah yang terkena meskipun tidak adanya kelainan kulit yang
tersisa.1,4 Beberapa ahli berpendapat bahwa dapat dikatakan seseorang mengalami
NPH jika rasa nyeri terus bertahan dalam 90-120 hari sejak onset pertama.4 Herpes
zoster dapat terjadi rekuren yang umumnya terjadi pada orang dengan penyakit
imunokompromis.1,5 Sebesar 4% dari jumlah kasus herpes zoster akan mengalami
rekurensi.5 Gejala yang terjadi lebih berat berupa bula hemoragik, nekrotik, dan terasa
sangat nyeri. Proses penyembuhan atau resolusi juga membutuhkan waktu yang lebih
lama.

Penyakit herpes zoster yang menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius
dapat menyebabkan terjadinya sindrom ramsay-hunt. Sindrom ini ditandai dengan
adanya erupsi kulit di liang telinga luar ataupun membran timpani disertai gangguan
lakrimasi, gangguan pengecapan 2/3 bagian depan lidah, tinnitus, vertigo, dan tuli.
Selain itu jika virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus akan terjadi herpes
zoster oftalmikus, yang ditandai adanya vesikel di puncak hidung yang dikenal
sebagai tanda hutchingson.1,3
Tabel 1. Komplikasi herpes zoster 2
Untuk mendiagnosis penyakit herpes zoster dapat dilihat berdasarkan gambaran
klinisnya. Pada kasus dengan gambaran klinis yang tidak jelas dapat digunakan
deteksi antigen, isolasi virus dari sediaan apus lesi atau pemeriksaan antibodi IgM
spesifik. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk herpes zoster yaitu
dengan menggunakan teknik PCR.1 Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 95% dan
spesifisitas 100%.2 Teknik ini digunakan untuk mendeteksi DNA virus varisela zoster
dari cairan vesikel. Pemeriksaan alternatif yang dipakai selain PCR yaitu direct
immunoflourecent antigen-staining, dimana pemeriksaan ini lebih cepat dan
mempunyai sensitifitas yang tinggi. Pemeriksaan yang tidak lagi dianjurkan yaitu
kultur virus karena sensitivitasnya yang rendah akibat sifat virus herpes zoster yang
labil.1,3 Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang apapun. Hal ini
dikarenakan gambaran klinis terlihat sangat jelas sehingga diagnosis dapat
ditegakkan. Diagnosis banding pasien ini adalah dermatitis kontak alergi, dimana
kelainan kulit yang dapat ditimbulkan dapat menyerupai herpes zoster. Namun pada
dermatitis kontak alergi vesikel dan bula yang tersebar tidak sesuai dengan dermatom.
Selain itu dermatitis kontak alergi juga jarang memiliki keluhan nyeri pada otot.
Riwayat penggunaan sabun mandi ataupun sabun cuci baju yang baru juga disangkal
oleh pasien sehingga dermatitis kontak alergi dapat disingkirkan.

Pengobatan herpes zoster yang terutama adalah menghilangkan nyeri secepat


mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga kerusakan saraf dapat
berkurang. Obat sistemik yang dapat diberikan berupa obat antivirus dan analgetik.
Antivirus terbukti dalam menurunkan durasi lesi dan derajat keparahan nyeri. tiga
antivirus yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yaitu famsiklovir
(famvir), valasiklovir hidroklorida (Valtrex), dan asiklofir (zovirax).1,2,5
Bioavailabilitas asiklofir hanya 15-20%, lebih rendah dibandingkan valasiklovir
(65%) dan famsiklovir (77%).1 Pemberian famsiklovir yaitu 3x500 mg, valasiklovir
3x1000 mg, asiklovir 5x800 mg, dan diberikan sebelum 72 jam sejak gejala awal
muncul selama 7 hari.1,2,4,5 Pada kasus ini pilihan antivirus yang diberikan yaitu zoter
400mg (asiklovir) dengan dosis 5x2 tab selama 5 hari. Asiklovir dipilih meskipun
memiliki bioavaibilitas yang rendah karena pasien berusia muda dan masih memiliki
tingkat sistem imun yang tinggi.
Tabel 2. Jenis antivirus yang dipakai 3
Analgetik berupa anti inflamasi non-steroid seperti asetosal, piroksikam,
ibuprofen, dan diklofenak terbukti dapat mengurangi gejala nyeri yang dialami. Pada
kasus dengan nyeri yang hebat dapat juga diberikan opioid seperti kodein, morfin,
dan oksikodon. Obat anti nyeri berupa kortikosteroid masih kontroversial untuk
digunakan.1,3 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa
prednison memiliki pengaruh dalam mengurangi nyeri. Namun beberapa penelitian
lain menunjukkan respon yang minimal dan tidak sebanding dengan efek samping
yang disebabkan oleh kortikosteroid. Oleh karena itu penggunaan kortikosteroid tidak
dianjurkan sebagai analgetik herpes zoster.1,3,5 Pemberian obat anti-depresan dan anti-
konvulsan memiliki efek yang baik terhadap prognosis penderita herpes zoster dan
merupakan pilihan pengobatan pada pasien dengan neuralgia pasca herpes (NPH).1,3
Pasien ini tidak diberikan obat analgetik maupun anti-depresan dan anti-konvulsan.
Analgetik dipertimbangkan untuk tidak diberikan karena gejala nyeri yang dirasakan
hanya skala 3 dari 10 dan tidak mengganggu aktifitas. Pasien lebih mengeluhkan rasa
gatal dan tidak nyaman dibandingkan dengan nyeri. Selain itu pada pasien ini juga
tidak diberikan anti-konvulsan maupun anti-depresan karena mengingat usia pasien
yang masih muda, maka kemungkinan terjadinya NPH dan komplikasi lainnya kecil.
Pengobatan lain yang dapat diberikan yaitu berupa analgetik topikal. Yang
pertama adalah kompres terbuka dengan burowi dan solusio calamine (caladryl) pada
lesi terbukti dapat mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dilakukan 4-6 kali sehari
selama 30-60 menit. Selain itu kompres dingin juga merupakan pilihan yang dapat
dipakai.1 Anti inflamasi non-steroid topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform,
krim indometasin, dan diklofenak banyak digunakan dan efektif dalam mengurangi
nyeri akut. Kortikosteroid topikal tidak disarankan karena tidak memberikan dampak
yang bermakna dalam mengurangi gejala nyeri.1,5 Pada kasus ini tidak diberikan
terapi topikal, namun dapat disarankan untuk mengkompres daerah yang terkena agar
dapat mengurangi gatal.

Pencegahan infeksi herpes zoster yaitu dengan menghindari kontak langsung


dengan penderita bagi orang yang belum pernah terinfeksi varisela. Selain itu vaksin
herpes zoster juga direkomendasikan khususnya pada orang usia lebih dari 50 tahun.
Zostavax merupakan vaksin yang tersedia untuk mengurangi insidensi herpes zoster.
Berdasarkan meta-analisis pada tahun 2012 didapatkan bahwa vaksin herpes zoster
dapat mengurangi insidensi sebesar 50% dibandingkan dengan populasi yang
diberikan vaksin placebo. Vaksin dinilai paling efektif jika diberikan pada orang
dengan usia 60-69 tahun (64% mengurangi insidensi).2 Efektivitas vaksin akan
menurun pada orang usia lebih dari 70 tahun. Meskipun demikian pemberian vaksin
tetap dinilai efektif dalam mencegah terjadinya NPH dan menurunkan tingkat dan
waktu kesakitan pada penderita.3 Karena vaksin yang diberikan merupakan vaksin
hidup, maka terdapat beberapa kontraindikasi diberikannya vaksin yaitu pada orang
yang memperoleh sitotoksik kemoterapi dalam 3 bulan terakhir, pasien HIV dengan
CD4 200 /mm2 atau <15% dari jumlah limfosit, ibu hamil dan orang yang menerima
obat imunosupresif dosis tinggi.2,3,5 Pasien FS telah mengalami cacar dan juga herpes
zoster, sehingga pemberian vaksin tidak memberikan hasil yang baik. Selain itu usia
pasien juga masih muda sehingga imunitas yang dimiliki baik.
Pada umumnya herpes zoster yang terjadi pada usia muda memiliki prognosis
yang baik. Prognosis akan semakin buruk seiring dengan bertambahnya usia karena
kemungkinan terjadinya komplikasi akan meningkat.3

Cilegon, 3 Maret 2017

Peserta Pendamping

( ) ( )
Referensi

1. Pusponegoro EH. Herpes zoster. Dalam: Menaidi SL, Bramono K, Indriatmi W,


penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan penerbit
FKUI; 2015. h.121-4
2. Gilden DH. The diagnosis and management of herpes zoster and its
complications. Best practice journal. 2014;59:36-43
3. Solomon CG, Cohen JI. Herpes zoster. The new England journal of medicine.
2013;369:255-63.
4. Anonymus. Herpes zoster. National centre for immunization. 2015;32:1-8
5. McCary J. Herpes zoster (shingles). The healthcare for of homeless person.
2011;21:47-51

You might also like